Ishlâhiyyah Pendidikan Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar
56
penguasa adalah seorang penulis, rakyat adalah pulpennya. Pulpen tidak mungkin menorehkan tintanya, tanpa penulis dan penulis tidak mungkin menulis tanpa
pulpen. Kemudian, Muhammad Abduh menghimbau pemerintah Mesir melakukan perbaikan sistem pendidikan. Ia memandang hal itu tidak akan sulit
direalisasikan karena bangsa Mesir adalah bangsa yang secara fitrah penurut, cerdas, dan siap mengikuti kemajuan. Jika penguasa dianalogikan sebagai kepala,
rakyat Mesir ibarat tubuh yang patuh pada kehendak kepala. Sekali penguasa memelopori, mereka akan serempak mengikuti. Muhammad Abduh menganjurkan
kepada para pengelola lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah agar menjadikan pokok-pokok agama sebagai bagian penting dari kurikulumnya.
Pokok-pokok agama ini mesti ditanamkan pada para mahasiswa dengan tidak menyimpang sedikit pun dari prinsip-prinsip agama. Mereka tidak boleh
menentang pakar agama secara apriori karena mereka tidak mungkin melakukan sesuatu di luar kapasitas dan otoritasnya.
45
Muhammad Abduh juga mengkritik tentang berbagai lembaga pendidikan pernerintah. Ia menilai bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mempelajari
ilmu-ilmu hakikat dan tidak pula menggunakan sistem pendidikan yang benar. Ia mempersamakan situasi ini dengan zaman Ismail, ayah Khedevi Taufiq, ketika
orang-orang tidak mau memberi nafkah pada anak-anaknya dan menyuruh mereka melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan negara demi mendapat upah.
Adapun masalah pengajaran dan pendidikan untuk menciptakan generasi yang maju ternyata tidak mendapat perhatian. Lembaga-lembaga pendidikan asing
menurut Muhammad Abduh memiliki kelemahan adanya perbedaan paham yang tajam antara pengajar dan pelajar. Hal ini membuat pendidikan dan pengajaran
tidak efektif, sehingga sedikit sekali orang Mesir yang memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan asing. Mereka terus-menerus menasihati anak-anaknya untuk
tidak mengikuti paham para pengajar tersebut agar aqidah mereka terpelihara dari penyimpangan
pola pikir dan
penyelewengan moralitas.
Memang
45
Lihat Abd Allah Muhammad Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi Tafsir al- Quran al-Karîm,
dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130.
57
lembaga-lembaga pendidikan asing ini cenderung dijauhi oleh kaum Muslimin Mesir.
46
Universitas Al-Azhar, lanjut Muhammad Abduh, merupakan lembaga pendidikan agama, yang menarik orang-orang, baik dengan motivasi murni
mempelajari ilmu agama semata-mata mengharap pahala akhirat maupun dengan motivasi meraih status sosial sebagai mahasiswa dan sarjana belaka. Apa yang
disayangkan Muhammad Abduh adalah tidak adanya tata tertib sebagai pedoman pembelajaran. Para dosen tidak mempedulikan apakah mahasiswa hadir atau
absen, paham atau tidak, dan berakhlaq atau tidak. Mereka mempelajari aqidah dengan metode yang cenderung jauh dari sasaran. Oleh karena itu, Muhammad
Abduh berbicara tentang perbaikan pendidikan di Al-Azhar. Pendidikan ini, menurutnya harus dilakukan secara bertahap. Perbaikan dipandu oleh tata tertib
yang disusun dengan kaidah yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman. Diantaranya, mahasiswa wajib menghadiri kuliah dan jika tidak, ia tidak boleh
meraih nilal bagus. Setiap dosen harus mengabsen mahasiswanya. Perbaikan juga diarahkan pada pemantapan kurikulum, pengayaan referensi, dan menegakkan tata
tertib ujian akhir serta syarat-syaratnya.
47
Muhammad Abduh juga mengupayakan ishlâhiyyah sistem pendidikan di sekolah-sekolah swasta yang diarahkan pada para tenaga ahli pengajarnya dan
dilakukan secara bertahap. Untuk sekolah-sekolah formal dasar, menengah dan atas, Muhammad Abduh berpendapat perlunya menanamkan semangat
ishlâhiyyah sistem pendidikan pada para murid. Tujuannya adalah agar mereka
mampu menggunakan apa yang mereka pelajari secara maksimal. Muhammad Abduh juga berbicara masalah tenaga pengajar dan pendidik di Universitas Dâr
al- Ulum dan prasyarat untuk pengembangannya. Ia menyarankan agar ilmu-ilmu
kearaban dan keagamaan diajarkan oleh alumni Al-Azhar karena orang-orang Dâr al- Ulum
tidak mengerti agama dan Bahasa Arab.
46
Lihat Khoeruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996, hlm.11-12, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al- ‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr
, hlm. 130.
47
Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 131.
58
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Dâr al- Ulum dapat melepaskan diri dari Al-Azhar dengan catatan dua belas item harus dipersiapkan. Diantaranya
adalah perbaikan kurikulum, membuang sebagian mata kuliah, merubah metode tafsir al-Quran, seleksi pengajar dari sisi kompetensi dan kesalehan, menunjuk
penilik sekolah, mengalokasikan satu tahun masa pendidikan untuk job training mengajar, rujukan mesti terdiri dari buku-buku terbitan terbaru, dan berbagai
pedoman penyelenggaraan pendidikan.
48
Setelah itu, Muhammad Abduh melanjutkan ishlâhiyyah sistem pendidikan di Al-Azhar yang ia juluki sebagai “kandang kuda,” “Rumah Sakit
Jiwa,” dan “bangunan roboh.” Peluang perbaikan tersebut terbuka lebar ketika Raja Abbas II naik tahta pada tahun 1892 M. Raja Abbas yang berniat melakukan
perlawanan atas penjajahan mendekati para tokoh masyarakat dan ulama, yang diantaranya adalah Muhammad Abduh. Pada kesempatan ini, Muhammad Abduh
mengusulkan kepada Raja agar melakukan ishlâhiyyah Al-Azhar, badan wakaf, dan badan-badan urusan agama. Ia meyakinkan raja bahwa kemaslahatan negara,
bergantung kepada kemaslahatan lembaga-lembaga tersebut. Dan hal ini merupakan jalan terbaik untuk meruntuhkan penjajahan.
49
Merasa puas dengan penjelasan Muhammad Abduh, Abbas segera mengeluarkan surat keputusan pembentukan dewan pembina Al-Azhar 1312 H,
yang diantara anggotanya adalah Muhammad Abduh. Abbas juga menunjuk Syekh Hasunah untuk menjadi Syekh Al-Azhar menggantikan Syekh Anbabi yang
menentang kebijakan Abbas di atas. Kemudian ia segera memulai dengan perbaikan sarana, hardware dan software: melengkapi alat penerangan masjid,
menugaskan dokter, membuka apotek, dan membangun fasilitas olah raga, khusus bagi Al-Azhar. Ia juga menetapkan masa studi, evaluasi tahunan, dan pembekalan
bagi para alumni. la juga mengganti buku-buku yang kurang relevan dengan buku-buku kontemporer yang penting. Masa studi ilmu-ilmu praktis seperti fiqh
48
Lihat John Obert Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, hlm. 230, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132.
49
Lihat Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 483, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr
, hlm. 132.
59
dan tafsir ditetapkan lebih lama daripada ilmu-ilmu alat seperti nahwu dan sharaf. Dalam kurikulum juga ditambahkan ilmu akhlaq, sejarah, tata negara, ilmu-ilmu
pasti, dan perubahan-perubahan penting lainnya.
50
Pada tahun 1323 H, Muhammad Abduh mengakhiri kegiatan ishlâhiyyah di Al-Azhar, yang merupakan rangkaian akhir dalam perjuangan ishlâhiyyah
sistem pendidikan. Tak lama berselang, ia kemudian meninggal dunia, yaitu pada tanggal 11 Juli tahun 1905M akibat penyakit kanker yang dideritanya.
51
Sepanjang karir kehidupan Muhammad Abduh, ishlâhiyyah sistem pendidikan merupakan tema perjuangannya yang paling penting. Hal ini
merupakan “tujuan agung” yang senantiasa menyedot perhatian dan pikiran Muhammad Abduh. Menurutnya, kebangkitan Islam tidak mungkin mewujud
kecuali dengan perombakan sistem pendidikan. Ia dalam hal ini berbeda pendapat dengan gurunya Al-Afghani. Gurunya ini berkeyakinan bahwa jalan menuju
kebangkitan Islam adalah “gerakan politik.” Dengan demikian, gerakan dakwah Muhammad Abduh berciri khas ilmiah sedangkan dakwah Al-Afghani bercorak
politis. Namun demikian, Muhammad Abduh juga tidak berarti tanpa memiliki semangat politik, sebagaimana kecenderungannya mendukung Al-Afghani.
52
Dalam bidang tafsir, Muhammad Abduh bermaksud menghindarkan tafsir Al-Quran dari segala hal yang bersifat israiliyyat, hadits maudhu , khurafat,
berkutat dalam hal nahwu, reduksi makna, penjelasan istilah yang berbelit-belit, pertikaian ilmu kalam, ketetapan-ketetapan ushul fiqh, kesimpulan-kesimpulan
fiqh yang berbau taqlid, ta wil kaum sufi, fanatisme golongan, terlalu banyak cerita, ilmu pasti dan ilmu alam.
53
Tentu saja membersihkan tafsir-tafsir lama dari hal-hal di atas bukan merupakan pekerjaan mudah. Produk tafsir yang sudah ada saat itu begitu banyak
50
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 60.
51
Lihat Rif at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat
, hlm. 40.
52
Yvonne Haddad, Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam
, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan,, hlm. 57
53
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 26-29
60
sehingga memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang sangat besar. Oleh karena itu, ia membiarkan khazanah lama ini apa adanya dengan nuansanya yang khas.
Sementara itu, ia menyusun tafsir percontohan sebagai pilot project bagi generasi yang ada dan generasi selanjutnya.
Muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha lalu mengusulkan kepada Muhammad Abduh untuk mengajarkan tafsir Al-Quran. Muhammad Abduh
mengabulkan usul tersebut dengan mulai mengajar di Al-Azhar pada Muharram 1317H dan berakhir pada tahun 1323 H pada, tafsir ayat Wa Kâna al-Lâh bi Kulli
Syai-in Muhîthâ, yaitu Q.S. Al-Nisa 4: 126. Ini merupakan lima jilid pertama
dalam Tafsîr al-Qurân al-Hakîm yang dikenal pula dengan nama Tafsir Al- Manâr. Sampai ayat ini, Muhammad Abduh kemudian meninggal dunia.
Metode Muhammad Abduh dalam mengajar tafsir adalah berkonsentrasi pada aspek-aspek yang tidak atau kurang mendapat perhatian dalam tradisi tafsir.
Sedangkan cerita-cerita yang tidak didasari oleh dan tidak berdasar pada ayat-ayat al-Quran, ia mengkritiknya atau meninjaunya dari perspektif Wahyu. Sebelum
menyampaikan dan menulis gagasan ini, sebenarnya Muhammad Abduh telah membuat tafsir. Ia telah menyusun tafsir Juz ‘Amma khusus untuk para pelajar Al-
Jam’iyyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah . Ia juga, menulis tafsir Surah Al-„Ashr
yang ia presentasikan di Aljazair. Lalu ia menyebarkannya dalam majalah AI-Manar dan menerbitkannya secara terpisah yang berbeda dengan tafsirnya
dalam Juz „Amma.
54