Ishlâhiyyah Pendidikan Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar

56 penguasa adalah seorang penulis, rakyat adalah pulpennya. Pulpen tidak mungkin menorehkan tintanya, tanpa penulis dan penulis tidak mungkin menulis tanpa pulpen. Kemudian, Muhammad Abduh menghimbau pemerintah Mesir melakukan perbaikan sistem pendidikan. Ia memandang hal itu tidak akan sulit direalisasikan karena bangsa Mesir adalah bangsa yang secara fitrah penurut, cerdas, dan siap mengikuti kemajuan. Jika penguasa dianalogikan sebagai kepala, rakyat Mesir ibarat tubuh yang patuh pada kehendak kepala. Sekali penguasa memelopori, mereka akan serempak mengikuti. Muhammad Abduh menganjurkan kepada para pengelola lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah agar menjadikan pokok-pokok agama sebagai bagian penting dari kurikulumnya. Pokok-pokok agama ini mesti ditanamkan pada para mahasiswa dengan tidak menyimpang sedikit pun dari prinsip-prinsip agama. Mereka tidak boleh menentang pakar agama secara apriori karena mereka tidak mungkin melakukan sesuatu di luar kapasitas dan otoritasnya. 45 Muhammad Abduh juga mengkritik tentang berbagai lembaga pendidikan pernerintah. Ia menilai bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mempelajari ilmu-ilmu hakikat dan tidak pula menggunakan sistem pendidikan yang benar. Ia mempersamakan situasi ini dengan zaman Ismail, ayah Khedevi Taufiq, ketika orang-orang tidak mau memberi nafkah pada anak-anaknya dan menyuruh mereka melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan negara demi mendapat upah. Adapun masalah pengajaran dan pendidikan untuk menciptakan generasi yang maju ternyata tidak mendapat perhatian. Lembaga-lembaga pendidikan asing menurut Muhammad Abduh memiliki kelemahan adanya perbedaan paham yang tajam antara pengajar dan pelajar. Hal ini membuat pendidikan dan pengajaran tidak efektif, sehingga sedikit sekali orang Mesir yang memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan asing. Mereka terus-menerus menasihati anak-anaknya untuk tidak mengikuti paham para pengajar tersebut agar aqidah mereka terpelihara dari penyimpangan pola pikir dan penyelewengan moralitas. Memang 45 Lihat Abd Allah Muhammad Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi Tafsir al- Quran al-Karîm, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130. 57 lembaga-lembaga pendidikan asing ini cenderung dijauhi oleh kaum Muslimin Mesir. 46 Universitas Al-Azhar, lanjut Muhammad Abduh, merupakan lembaga pendidikan agama, yang menarik orang-orang, baik dengan motivasi murni mempelajari ilmu agama semata-mata mengharap pahala akhirat maupun dengan motivasi meraih status sosial sebagai mahasiswa dan sarjana belaka. Apa yang disayangkan Muhammad Abduh adalah tidak adanya tata tertib sebagai pedoman pembelajaran. Para dosen tidak mempedulikan apakah mahasiswa hadir atau absen, paham atau tidak, dan berakhlaq atau tidak. Mereka mempelajari aqidah dengan metode yang cenderung jauh dari sasaran. Oleh karena itu, Muhammad Abduh berbicara tentang perbaikan pendidikan di Al-Azhar. Pendidikan ini, menurutnya harus dilakukan secara bertahap. Perbaikan dipandu oleh tata tertib yang disusun dengan kaidah yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman. Diantaranya, mahasiswa wajib menghadiri kuliah dan jika tidak, ia tidak boleh meraih nilal bagus. Setiap dosen harus mengabsen mahasiswanya. Perbaikan juga diarahkan pada pemantapan kurikulum, pengayaan referensi, dan menegakkan tata tertib ujian akhir serta syarat-syaratnya. 47 Muhammad Abduh juga mengupayakan ishlâhiyyah sistem pendidikan di sekolah-sekolah swasta yang diarahkan pada para tenaga ahli pengajarnya dan dilakukan secara bertahap. Untuk sekolah-sekolah formal dasar, menengah dan atas, Muhammad Abduh berpendapat perlunya menanamkan semangat ishlâhiyyah sistem pendidikan pada para murid. Tujuannya adalah agar mereka mampu menggunakan apa yang mereka pelajari secara maksimal. Muhammad Abduh juga berbicara masalah tenaga pengajar dan pendidik di Universitas Dâr al- Ulum dan prasyarat untuk pengembangannya. Ia menyarankan agar ilmu-ilmu kearaban dan keagamaan diajarkan oleh alumni Al-Azhar karena orang-orang Dâr al- Ulum tidak mengerti agama dan Bahasa Arab. 46 Lihat Khoeruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996, hlm.11-12, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al- ‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 130. 47 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 131. 58 Muhammad Abduh berpendapat bahwa Dâr al- Ulum dapat melepaskan diri dari Al-Azhar dengan catatan dua belas item harus dipersiapkan. Diantaranya adalah perbaikan kurikulum, membuang sebagian mata kuliah, merubah metode tafsir al-Quran, seleksi pengajar dari sisi kompetensi dan kesalehan, menunjuk penilik sekolah, mengalokasikan satu tahun masa pendidikan untuk job training mengajar, rujukan mesti terdiri dari buku-buku terbitan terbaru, dan berbagai pedoman penyelenggaraan pendidikan. 48 Setelah itu, Muhammad Abduh melanjutkan ishlâhiyyah sistem pendidikan di Al-Azhar yang ia juluki sebagai “kandang kuda,” “Rumah Sakit Jiwa,” dan “bangunan roboh.” Peluang perbaikan tersebut terbuka lebar ketika Raja Abbas II naik tahta pada tahun 1892 M. Raja Abbas yang berniat melakukan perlawanan atas penjajahan mendekati para tokoh masyarakat dan ulama, yang diantaranya adalah Muhammad Abduh. Pada kesempatan ini, Muhammad Abduh mengusulkan kepada Raja agar melakukan ishlâhiyyah Al-Azhar, badan wakaf, dan badan-badan urusan agama. Ia meyakinkan raja bahwa kemaslahatan negara, bergantung kepada kemaslahatan lembaga-lembaga tersebut. Dan hal ini merupakan jalan terbaik untuk meruntuhkan penjajahan. 49 Merasa puas dengan penjelasan Muhammad Abduh, Abbas segera mengeluarkan surat keputusan pembentukan dewan pembina Al-Azhar 1312 H, yang diantara anggotanya adalah Muhammad Abduh. Abbas juga menunjuk Syekh Hasunah untuk menjadi Syekh Al-Azhar menggantikan Syekh Anbabi yang menentang kebijakan Abbas di atas. Kemudian ia segera memulai dengan perbaikan sarana, hardware dan software: melengkapi alat penerangan masjid, menugaskan dokter, membuka apotek, dan membangun fasilitas olah raga, khusus bagi Al-Azhar. Ia juga menetapkan masa studi, evaluasi tahunan, dan pembekalan bagi para alumni. la juga mengganti buku-buku yang kurang relevan dengan buku-buku kontemporer yang penting. Masa studi ilmu-ilmu praktis seperti fiqh 48 Lihat John Obert Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, hlm. 230, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132. 49 Lihat Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 483, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 132. 59 dan tafsir ditetapkan lebih lama daripada ilmu-ilmu alat seperti nahwu dan sharaf. Dalam kurikulum juga ditambahkan ilmu akhlaq, sejarah, tata negara, ilmu-ilmu pasti, dan perubahan-perubahan penting lainnya. 50 Pada tahun 1323 H, Muhammad Abduh mengakhiri kegiatan ishlâhiyyah di Al-Azhar, yang merupakan rangkaian akhir dalam perjuangan ishlâhiyyah sistem pendidikan. Tak lama berselang, ia kemudian meninggal dunia, yaitu pada tanggal 11 Juli tahun 1905M akibat penyakit kanker yang dideritanya. 51 Sepanjang karir kehidupan Muhammad Abduh, ishlâhiyyah sistem pendidikan merupakan tema perjuangannya yang paling penting. Hal ini merupakan “tujuan agung” yang senantiasa menyedot perhatian dan pikiran Muhammad Abduh. Menurutnya, kebangkitan Islam tidak mungkin mewujud kecuali dengan perombakan sistem pendidikan. Ia dalam hal ini berbeda pendapat dengan gurunya Al-Afghani. Gurunya ini berkeyakinan bahwa jalan menuju kebangkitan Islam adalah “gerakan politik.” Dengan demikian, gerakan dakwah Muhammad Abduh berciri khas ilmiah sedangkan dakwah Al-Afghani bercorak politis. Namun demikian, Muhammad Abduh juga tidak berarti tanpa memiliki semangat politik, sebagaimana kecenderungannya mendukung Al-Afghani. 52 Dalam bidang tafsir, Muhammad Abduh bermaksud menghindarkan tafsir Al-Quran dari segala hal yang bersifat israiliyyat, hadits maudhu , khurafat, berkutat dalam hal nahwu, reduksi makna, penjelasan istilah yang berbelit-belit, pertikaian ilmu kalam, ketetapan-ketetapan ushul fiqh, kesimpulan-kesimpulan fiqh yang berbau taqlid, ta wil kaum sufi, fanatisme golongan, terlalu banyak cerita, ilmu pasti dan ilmu alam. 53 Tentu saja membersihkan tafsir-tafsir lama dari hal-hal di atas bukan merupakan pekerjaan mudah. Produk tafsir yang sudah ada saat itu begitu banyak 50 Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 60. 51 Lihat Rif at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat , hlm. 40. 52 Yvonne Haddad, Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam , terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan,, hlm. 57 53 Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 26-29 60 sehingga memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang sangat besar. Oleh karena itu, ia membiarkan khazanah lama ini apa adanya dengan nuansanya yang khas. Sementara itu, ia menyusun tafsir percontohan sebagai pilot project bagi generasi yang ada dan generasi selanjutnya. Muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha lalu mengusulkan kepada Muhammad Abduh untuk mengajarkan tafsir Al-Quran. Muhammad Abduh mengabulkan usul tersebut dengan mulai mengajar di Al-Azhar pada Muharram 1317H dan berakhir pada tahun 1323 H pada, tafsir ayat Wa Kâna al-Lâh bi Kulli Syai-in Muhîthâ, yaitu Q.S. Al-Nisa 4: 126. Ini merupakan lima jilid pertama dalam Tafsîr al-Qurân al-Hakîm yang dikenal pula dengan nama Tafsir Al- Manâr. Sampai ayat ini, Muhammad Abduh kemudian meninggal dunia. Metode Muhammad Abduh dalam mengajar tafsir adalah berkonsentrasi pada aspek-aspek yang tidak atau kurang mendapat perhatian dalam tradisi tafsir. Sedangkan cerita-cerita yang tidak didasari oleh dan tidak berdasar pada ayat-ayat al-Quran, ia mengkritiknya atau meninjaunya dari perspektif Wahyu. Sebelum menyampaikan dan menulis gagasan ini, sebenarnya Muhammad Abduh telah membuat tafsir. Ia telah menyusun tafsir Juz ‘Amma khusus untuk para pelajar Al- Jam’iyyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah . Ia juga, menulis tafsir Surah Al-„Ashr yang ia presentasikan di Aljazair. Lalu ia menyebarkannya dalam majalah AI-Manar dan menerbitkannya secara terpisah yang berbeda dengan tafsirnya dalam Juz „Amma. 54

2. Ishlâhiyyah Sistem Politik

Memang salah satu tujuan perjuangan hidup Muhammad Abduh adalah ishlâhiyyah politik. 55 Ini tergambar dari ucapannya bahwa ”masih ada persoalan lain dalam rangka dakwahku, sementara tak ada seorang pun yang hirau akan masalah itu untuk memikirkannya. Masalah tersebut adalah masalah prinsip yang 54 Lihat J.M.S. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, terj. Modern Muslim Koran Interpretation 1880-1960 , oleh A. Ni amullah Munir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, hlm. 131. dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 143-144 55 Menurut Muhammad Al-Ghazali, aktivitas politik termasuk bagian dari aktivitas dakwah. Pendapatnya ini dimuat dalam karyanya Ma’a al-Lâh; Dirâsât fî al-Da’wah wa al-Du’ât Mesir: Matba ah Hasan, 1981, hlm. 354-355. 61 tatanan hidup sosial bergantung kepadanya.” Lalu ia menjelaskan aspek dakwah tersebut dengan berkata: “yaitu memperjelas bahwa kewajiban rakyat tunduk pada pemerintah dan kewajiban pemerintah adalah mewujudkan keadilan bagi rakyat.” la menyebut dakwahnya ke arah itu sebagai “dakwah terbuka.” Mengenai negerinya, Muhammad Abduh melukiskan bahwa “tirani sudah merajalela dan kezhaliman telah mencengkeram negeri ini.” Sebagai seorang pengemban amanat dakwah seperti ltu, Muhammad Abduh berterus terang bahwa, “memang saya bukan seorang imam panutan, bukan pula seorang pimpinan yang patut dipatuhi. Saya hanya berperan sebagal „ruh inti dakwah tersebut.” 56 Dakwah Muhammad Abduh ini semakin menyala ketika ia bergabung bersama Al-Afghani, yang membuatnya semakin ekstensif dan intensif. Hubungan dengan Al-Afghani ini agak terhambat ketika ia dicekal atas keterlibatannya dalam kegiatan dakwah tersebut dan ia tidak boleh meninggalkan negerinya. Ketika Muhammad Abduh mendapat ampunan dan kembali aktif dalam gerakannya, ternyata sudah ada suatu gerakan menentang penjajahan yang dipimpin oleh Urabi Pasya pada tahun 1881M. Gerakan ini diilhami di antaranya oleh semangat Al-Afghani terdahulu. Muhammad Abduh menolak dianggap memiliki hubungan dengan gerakan ini bahkan ia menyerukan orang-orang agar berhati-hati dengan gerakan ini. Ia juga mengungkapkan keborokan para pemimpin gerakan ini, sehingga Urabi Pasya mengutus seseorang yang kemudian mengancam Muhammad Abduh. 57 Rasyid Ridha membela Muhammad Abduh, yang menolak gerakan ini sementara ia termasuk pendukung ishlâhiyyah politik, dengan argumen bahwa Muhammad Abduh menempuh jalan kompromi dengan pemerintah bukan dengan. konfrontasi. Namun demikian, ketika gerakan ini mendapat sambutan masyarakat dan memukul mundur armada Inggris di Iskandariyah, Muhammad Abduh segera bergabung dengan gerakan ini. Setelah melakukan pemberontakan bersama gerakan ini, Muhammad Abduh kemudian diasingkan selama tiga tahun. Ia lalu 56 Lihat Thâhir al-Tanahi ed., Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh, hlm. 20, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133. 57 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133. 62 pergi ke Syria dan kemudian ke Paris sampai ia bertemu dengan Al-Afghani di sana. Mereka bersama-sama menerbitkan Al-‘Urwah al-Wutsqâ yang berisi serangan atas penjajahan Inggris, pikiran-pikiran Al-Afghani, dan gagasan-gagasan Muhammad Abduh. 58 Al-‘Urwah al-Wutsqa ternyata berusia pendek. Ia berhenti beredar sejalan dengan putusnya hubungan antara Afghani dan Muhammad Abduh. Di satu pihak, Afghani berpendapat bahwa gerakan pemberontakan sebagai manifestasi perjuangan politik masih tetap relevan. Di pihak lain, Muhammad Abduh menganggap gerakan politis itu sudah cukup dan sudah saatnya diganti dengan gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata kepada Afghani, bahwa saya berpendapat kita mesti meninggalkan gerakan politik. Kita mesti memasuki wilayah tertutup yang tidak diketahui seorang pun. Kita rekrut sepuluh orang atau lebih pemuda potensial yang cerdas dan bermental sehat. Kita didik mereka dengan cara kita dan kita arahkan mereka pada tujuan kita. Yang sepuluh itu kemudian kita minta masing-masing mendidik sepuluh orang lain, sehingga dalam tempo beberapa tahun kita akan memiliki seratus orang pimpinan terdidik yang dapat memimpin perjuangan ishlâhiyyah. Dari orang-orang seperti itulah akan muncul harapan masa depan yang membahagiakan. 59 Terhadap pernyataan tersebut, Afghani kemudian menjawab: “Kamu itu baru berencana, sedangkan kami sudah bergerak melangkah. Dan kita harus terus bergerak selagi ada kesempatan.” Karena perbedaan pandangan ini, mereka lalu berpisah. Muhammad Abduh lantas pulang ke Syria. Hubungan antara, guru dan murid ini kian bertambah buruk ketika Muhammad Abduh menulis surat kaleng kepada Afghani. Surat tersebut memuat cercaan pada orang-orang tertentu dengan tanpa disebut namanya. Afghani sangat marah atas surat tersebut. Ia kemudian menulis surat balasan kepada Muhammad Abduh. 58 58 Lihat HAMKA, Sa’id Djamaluddin al-Afghany, hlm. 100-101 dan Fahd, Manhaj al- Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 133. 59 Lihat Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 61-62, dan Fahd, Manhaj al- Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 134 63 Surat itu diawali dengan mendo akan Muhammad Abduh agar memiliki ketetapan hati, Afghani menulis dalam surat ini, bahwa Anda menulis surat dengan tidak membubuhkan tanda tangan surat kaleng dan anda telah merintis jalan berliku....Sungguh anda sedang berada dalam bahaya besar. ...Sementara di depan anda maut menghadang. ...Kewaspadaan anda tak akan mampu menyelamatkan anda dari bahaya tersebut dan rasa takut anda tak akan meloloskan anda dari maut. Janganlah anda memojokkan diri anda sendiri. Jadilah filosof yang tampak „alim dan jangan jadi anak kecil yang berkeluh kesah. ... Semoga Allah menguatkan hati anda. 60 Muhammad Abduh terus menempuh perjuangan ishlâhiyyah pendidikan. Ia kian merasa tidak suka atas gerakan politik Afghani dan metode perjuangan Afghani dengan mempersalahkan para kaum cendekiawan Muslim yang bermaksud membela Islam dengan jalan politik. 61 Rasa benci Muhammad Abduh akan politik ini ditunjukkan dalam sikapnya bahwa perlu mencabut penguasaan agama dalam proses berpolitik yang tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan yang terkait dengan kemajuan urusan duniawi demi kemaslahatan umat. 62 Apa yang kemudian bisa kita katakan adalah bahwa Muhammad Abduh memang meninggalkan politik, tapi sebenarnya politik itu sendiri tidak meninggalkan Muhammad Abduh. Politik tetap saja menyita perhatian Muhammad Abduh dan Muhammad Abduh seolah-olah menjadi kendaraan politik yang disadari atau tidak, ternyata telah menguntungkan Inggris. Atas dasar ini Lord Cromer berkata: “Signifikansi politis Muhammad Abduh terletak pada kenyataan bahwa ia memperpendek jurang perbedaan antara Barat dan umat Islam. Ia dan murid-murid sekolahnya juga layak menerima setiap bantuan dan dukungan yang mungkin diberikan pada mereka. Dengan demikian, mereka dipandang sebagai sekutu bagi para pemikir Eropa.” 63 60 Lihat Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam, hlm. 27-28. 61 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 134. 62 Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, terj. al-Islam wa al- Nashraniyah fi al-‘Ilm wa al-Madaniyyah , oleh Mahyuddin Syaf dan A. Bakar Usman, Bandung: Diponegoro, 1992, hlm. 83-89. 63 Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135. 64 Sikap dan perilaku politik Muhammad Abduh ditunjukkan dengan diangkatnya menjadi anggota dari Majelis Syuro Dewan Legislatif Mesir pada tahun 1899. Sebagai orang bukan asing dalam bidang politik, Muhammad Abduh turut menentukan jalannya kegiatan legislatif, dan ia berhasil mengharmoniskan komunikasi politik antara legislatif dengan pemerintah dalam wujud kerjasama yang signifikan, yang sebelumnya sering terjadi konflik di antara kedua lembaga politik tersebut. Muhammad Abduh terjun di bidang politik ini dalam upaya mendidik rakyat Mesir memasuki kehidupan politik demokratis yang didasarkan atas musyawarah. 64

3. Ishlâhiyyah Jurnalistik

Muhammad Abduh juga menekuni jumalistik. 65 Ia mengawali kegiatan jumalistiknya dengan menulis pada koran Al-Ahram, kemudian pada majalah Al- Tijârah dan Mishr, dengan mendapat dukungan dari gurunya, Al-Afghani, 66 yang memiliki saham atas penerbitan kedua majalah tersebut. Kedua majalah tersebut dan majalah-majalah lain di Mesir, seperti Mir-ah al-Syarq, mengikuti isyarat Al-Afghani. 67 Setelah Al-Afghani diasingkan dan Muhammad Abduh mendapat ampunan, setelah beberapa lama ia tidak mengajar, Muhammad Abduh dipercaya untuk menjadi redaktur koran Al-Waqa’i al-Mishriyah, yaitu koran resmi. Sebenarnya, dengan penugasan ini, mereka menginginkan agar Muhammad Abduh berhenti dari gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Namun, setelah terpilih menjadi ketua redaksi, Muhammad Abduh kemudian merubah pola dan standarnya sehingga ia menjadikannya sebagai “mimbar” untuk menyebarkan. pikiran dan gagasannya. Ia memilih beberapa anggota redaktur yang kompeten. Ia kemudian mendesak seluruh administrasi pemerintah untuk menulis laporan di koran tersebut mengenai kegiatan mereka yang sudah rampung atau yang belum 64 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi rasional Mu’tazilah, hlm. 22-23. 65 Jurnalistik ini termasuk bagian dari aktivitas tabligh Islam, dan tabligh Islam merupakan bagian dari bentuk utama dakwah bi ahsan al-qaul. Selanjutnya lihat Abdul Latif Hamzah, al-I’lâm fî Shadr al-Islâm Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977, hlm. 14-15. 66 Lihat Albet Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 138 dan Fahd, Manhaj al- Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 135.