146
Menurut Imâm al-Ghazali bahwa, al-hikmah digunakan untuk menghadapi mad u al-„ulamâ al-kâmilûn
kaum cendekia yang sempurna yang memiliki pemikiran yang sehat dan penglihatan yang tajam dalam mencari hakikat segala
sesuatu. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan al-dalâil al-qath iyyah al- yaqîniyyah
bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan. Al-mau izhah digunakan dalam menghadapi mad u ashhâb al-fithrah al-salîmah al-ashliyyah penyandang
fitrah yang murni dan asli. Mad u ini merupakan kelompok manusia yang terbanyak yang belum sampai pada derajat kemuliaan, bahkan mereka sering
terjebak pada tindakan tercela. Dakwah mau izhah di sini dilakukan dengan cara nashîhah
dan taushiyah. Mereka berada pada posisi di tengah antara mad u kelompok pertama dan kelompok mad u yang ketiga, yaitu ashâb al-jidâl ahli
berdebat, khishâm bertelingkah, dan mu ânadah berselisih pendapat, dengan cara berdiskusi yang baik dan santun.
230
Pasangan penggunaan tiga macam prinsip metode dakwah dalam menghadapi tiga macam mad u ini, bagi Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, agak berbeda
dalam memberikan karakteristiknya, yang lebih menekankan pada aspek responnya, yaitu: 1 al-hikmah digunakan untuk menghadapi mad u cendekia
yang menerima kebenaran dan tidak menentangnya; 2 al-mau izhah al-hasanah digunakan untuk menghadapi mad u yang menerima kebenaran dari kalangan
orang yang lupa dan tertinggal dalam keilmuan Islam dan penegakannya; dan 3 al-mujâdalah
digunakan untuk menghadapi mad u yang cendekia tetapi menolak dan menentang kebenaran.
231
Dari ketiga pendapat mengenai tiga macam prinsip metode dakwah dan tiga macam tipe mad u yang dihadapinya, baik menurut Muhammad Abduh, al-
Ghazali, dan Ibn al-Qayyim, jika digambarkan menunjukkan “kurva normal.”
230
Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Qisthâs alMustaqîm
dalam al-Qushûr al-„Alawaly, jld. I, ed. Muhammad Musthafa Abu al-A lâ Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970, hlm. 11.
231
Lihat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Al-tafsîr al-Qayyim Beirut: Dâr al-Fikr, 1988 hlm. 34. Al-hikmah ini sebagai prinsip-prinsip metode dakwah, lebih lanjut lihat Sa id bin Ali al-
Qahthani, Da wah Islam Da wah Bijak, terj. Al-Hikmah fî al-Da wah ilâ al-Lâh, oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
147
Bagi mad u „uqalâ mustajib dan mu ânid masing-masing berimbang. Lebih banyak kelompok mad u „awâm.
232
Selanjutnya, tiga macam prinsip metode dakwah: a al-hikmah, b al- mau izhah hasanah
, dan c al-mujâdalah al-husnâ dijelaskan oleh Muhammad Abduh sebagai berikut:
1. Al-Hikmah
Muhammad Abduh meyakini bahwa term al-hikmah memiliki banyak makna. Antara lain Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah merupakan
ilmu yang disertai dengan rahasia-rahasia hukum dan manfaatnya yang membangkitkan kegiatan mengamalkan ilmu tersebut. Sebagian ulama
memaknainya sebagai sunnah.
233
Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, hikmah digunakan untuk menunjuk ilmu yang bermanfaat tentang rahasia-rahasia hukum yang
membangkitkan pada pengamalannya, dan al-sunnah.
234
Muhammad Abduh juga mengartikan hikmah ketika menafsirkan QS. Al- Baqarah 269 menurutnya bahwa, hikmah di sini berarti ilmu yang valid dan
menjadi sifat yang melekat dalam jiwa dan mengendalikan keinginan yang mengarahkannya pada pengamalan ilmu.
235
Sebelum Muhammad Abduh, al-Fairuzzabadi w. 817 H berpendapat yang esensinya sama dengan ungkapan Muhammad Abduh di atas. Selain term al-
hikmah berarti al-Quran dan al-sunnah bagi al-fairuzzabadi, term al-hikmah
adalah akurasi perkataan, perbuatan dan pendapat.
236
232
Komposisi ini perlu dikaji pada tataran empirik melalui penelitian khusus.
233
Al-Manâr , jld. II, hlm. 29. Term al-hikmah dalam QS. Al-Baqarah 269 dimaksudkan
sebagai ilmu tentang Al-Qurân dan al-sunnah. Lihat Muhammad Sulayman Abd Allah al-Asyqar, Zubdah al-Tafsîr
Riyadh: Dâr al-Tadmuriyah, 2004, hlm. 45. Secara lughawi, hikmah berarti al- „adl
, al-„ilm, al-hilm, al-nubuwwah, al-qurân, al-injîl, al-sunnah, al-„ilah, al-tajribah, al-ishabah, dan al-khayr. Kemudian lihat Muhammad Abd al-Fatah al-Bayânûni, al-Madkhal fî „Ilm al-
Da wah , hlm. 24-25.
234
Al-sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW berupa
perkataan, perbuatan, dan persetujuan atas suatu perkara. Lihat Abd al-Wahâb Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh
, hlm. 36.
235
Al-Manâr , jld. III, hlm 75.
236
Lihat Abu Thahir Muhammad bin Ya qûb al-Fairuzzabadi, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn „Abbâs
Jedah: al-haramayn, tt., hlm. 31 dan 175.
148
Berbeda dengan pendapat Muhammad Abduh dan al-Fairuzzabadi di atas, pengertian al-hikmah yang diyakini oleh Ibn al-Qayim al-Jawziyah, menurutnya
bahwa hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya yang patut.
237
Ketika menafsirkan QS. Ali Imran 164, term al-hikmah dalam ayat ini, dinyatakan oleh Muhammad Abduh yaitu, adapun hikmah adalah rahasia serba
urusan, pemahaman atas berbagai hukum, penjelasan kemasalahatan di dalamnya, dan jalan menuju pengamalannya. Itulah pemahaman yang mampu
menggairahkan pengamalan. Hikmah juga berarti pengamalan yang memungkinkan pemahaman atas hukum-hukum tadi atau metode penelusuran
dalil dan pencarian berbagai hakikat melalui serba buktinya. Metode ini tiada lain adalah metode Al-Qurân dan sunnahnya dalam hal akidah, moral, dan juga
ibadah.
238
Al-hikmah sebagai prinsip metode dakwah dalam paparan Muhammad
Abduh di atas memuat kategori lain yaitu sebagai metode Al-Qurân dan sunnah Al-Qurân
dalam mendakwahkan aspek ajaran Islam, yaitu al-„aqâid, al-adâb dan al-„ibâdah
. Esensi al-hikmah menurut Muhammad Abduh meliputi: 1 rahasia- rahasia segala sesuatu; 2 pengetahuan mendalam mengenai hukum-hukum; 3
penjelasan nilai guna yang terkandung dalam hukum; 4 cara-cara pengamalan hukum; 5 pemahaman mendalam mengenai hukum sebagai pembangkit
perbuatan,; 6 pengamalan hukum dapat menyampaikan kepada pemahaman mendalam tentang hukum; 7 macam-macam metode istidlâl penalaran dalam
pengambilan keputusan; dan 8 al-burhân argumen demonstratif sebagai cara memahami segala hakikat pengetahuan.
239
Macam-macam esensi al-hikmah di atas diimplementasikan secara obyektif-proporsional dalam proses dakwah menurut dan sesuai dengan bentuk
237
Tafsîr al-Qayyim, hlm. 345.
238
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 223. Term bî al-hikmah dalam QS. Al-nahl 125 diartikan oleh
Muhammad Karim Rajih sebagai dengan cara perlakuan yang tepat dan
akurat, yaitu dalil kebenaran yang menghilangkan keraguan. Lebih lanjut lihat karyanya Audhah al-Bayân fî Syarh al-Mufradât wa Jumal al-Qurân Beirut: Dâr al-
Ma rifah, 1983, hlm. 60 dan 232.
239
Bandingkan dengan pendapat al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jâwi, al-Tafsîr al-Munîr, jld. 1 Bandung: CV. Al-Ma arif,tt. hlm. 468.
149
kegiatannya, baik dalam da wah bi ahsan al-qaul, da wah bi ahsan al-„amal, dan da wah al-nafsiyah
sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Fushilat 33. Kemudian, dalam pengertian al-hikmah yang dimajukan Muhammad
Abduh yang memuat delapan macam esensi hikmah, terdapat tiga macam esensi yang berhubungan dengan metode penalaran sebagai pekerjaan akal, yaitu: fqih,
bayân, thuruq al-istidlâl , dan barâhîn sebagai bentuk plural dari burhân. Berikut
penjelasan empat term dari esensi hikmah ini. Pertama
, fiqh atau al-fiqh menurut Al-Askary adalah ilmu tentang topik perbincangan sesuai dengan jalan pemikirannya yang berbeda dari ilmu itu
sendiri. Oleh sebab itu, tidaklah patut dikatakan bahwa Allah memahami karena Dia tidak bisa disebut sebagai melakukan pemikiran permenungan mendalam.
Lalu ia menegaskan, bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah mengetahui sesuatu dan meyakininya secara obyektif dan meyakinkan.
240
Kedua , bayân merupakan bagian dari term metodologis dalam pekerjaan
akal ketika memahami dan menerangkan obyek pengetahuan yang dikajinya. Muhammad Abd al-jabiri menggunakan term bayânî selain term burhânî dan
irfânî sebagai sistem pengetahuan dalam formasi nalar Arab.
241
Term al-bayân juga digunakan dalam disiplin ilm al-fiqh, usûl al-fiqh, dan balâghah. Oleh
karenanya, pengertian al-bayân ini dibatasi pada dua arti yaitu al-bayân sebagai al-ta rîf
dan al-dalîl, yang penggunaannya dapat digunakan dalam tablîgh al- islâm
ketika menjelaskan ajaran Islam sebagai materinya, melalui lisan, tulisan, dan perbuatan.
Al-bayân sebagai al-ta rîf dijelaskan oleh Muhammad Husni Abd al-
Hakim adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuknya yang abstrak menjadi berbentuk konkret dan jelas. Sedangkan al-bayân sebagai al-dalîl adalah dalil
yang dengan penalarannya yang benar di dalamnya mengantarkan kepada pengetahuan atas sesuatu yang didalilinya.
242
240
Lihat Abu Hilal al-Askary, al-Lum ah min al-Furûq Surabaya: al-Maktabah al- Tasaqafiyah, tt., hlm. 9 dan 11.
241
Penelaahan lebih lanjut, lihat Muhammad Abd al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Takwîn al-„Aql al-„Araby
, oleh Imam Khoiri Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
242
Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân Kairo: Jami ah al-Azhar, 1982, hlm. 37.
150
Dalîl merupakan keterangan yang memberikan petunjuk atas perkara yang
dicari yang bersumber dari pendengaran dan penalaran. Yang pertama berupa al- kitâb
dan al-sunnah dan yang kedua berupa nazhar pemikiran mendalam dan ta ammul
perenungan mendalam. Dalil ini digunakan dalam menggambarkan ajaran Islam oleh dâ i ketika melaksanakan kewajiban dakwah sesuai dengan
tuntutan situasi dan kondisi mad u yang dihadapinya.
243
Sumber al-bayân adalah sunnah utusan Allah SWT dan dari sumber ini melahirkan macam-macam kegiatan bayân. Muhammad al-Asqari, sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Husni Abd al-Hakim berpendapat bahwa, sesungguhnya Allah, Dzat yang tampak agung hikmah-Nya, menjadikan Rasul SAW. sebagai
manusia teladan bagi al-kitâb yang menjabarkan melalui tingkah-laku, kegiatan, perasaan, dan pemikirannya berbagai prinsip dasar metode qurani dan makna-
maknanya.
244
Berdasarkan atas penelaahan sunnah rasul Allah SWT oleh para ulama, terdapat delapan macam al-bayân menurut tehniknya, yaitu: 1 al-bayân bî al-
qaul penjelasan dengan perkataan, 2 al-bayân bî al-fi il penjelasan dengan
perbuatan, 3 al-bayân bî al-taqrîr penjelasan dengan persetujuan, 4 al- bayân bî mâ hamma bih
penjelasan dengan sesuatu yang tersirat, 5 al-bayân bî al-isyârah
penjelasan dengan tanda petunjuk, 6 al-bayân bî al-kitâbah penjelasan melalui tulisan, 7 al-bayân bî al-tarki penjelasan dengan tidak
melakukan, dan 8 al-bayân bî al-tanbîh „alâ al-„illah penjelasan dengan peringatan yang beralasan. Subyek instrumen dari kedelapan macam al-bayân ini
berfungsi sebagai media dakwah dan aktualisasi aktivitasnya sebagai metode dakwah.
245
Ketiga, thuruq al-istidlâl , Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode-
metode penalaran dalam mengambil keputusan atau penyimpulan dengan mengajukan alasan yang kuat dalam menetapkan sesuatu yang dituju adalah
243
Lebih lanjut lihat Muhammad bin Shalih al-„Utsaymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl Riyadh: Muassasah al-Jarisy, 1994, hlm. 14-15.
244
Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38.
245
Pendapat ini dikutip dari pendapat Imâm al-Zarkâsyi, lihat Muhammad Husni Abd al- Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38.
151
bagian dari esensi al-hikmah dalam dakwah. Muhammad Abduh menjelaskan perlunya menerapkan metode penalaran ini ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah
111 dan menghubungkannya dengan QS. Yusuf 108, menurutnya bahwa Al- Qurân mengajarkan kepada ahlinya agar mereka menuntut sekalian manusia untuk
menggunakan argumen al-hujjah karena Al-Qurân menempatkan mereka pada posisi argumentasi yang sama. Ia juga mendorong orang yang meyakininya untuk
menuntut lawan-lawanya berargumen dan menyerunya kepadanya. Jalan inilah yang ditempuh oleh kaum salaf umat Islam yang saleh. Mereka berpendapat atas
dasar dalîl dan menuntut dalil dari yang lain. Mereka melarang melakukan penalaran al-istidlâl tanpa dasar dalil. Kemudian datanglah generasi penerus
yang tidak saleh. Mereka memutuskan sesuatu secara taklid dan meerintahkan bertaklid. Mereka mencegah orang menelusuri bukti-bukti al-burhân
ketidakbenaran taklid. Sehingga, seolah-olah Islam itu keluar dari batasannya atau berbalik ke arah lawannya. Segeralah orang-orang yang mengerti bahwa Islam
berbeda dari agama-agama lain menyerang taklid dan menekankan perlunya data dan dalil. Orang-orang lalu mengetahui kemerdekaan berpikir, sambil berdiskusi
tentang hal itu, menyerukan umat Islam untuk kembali kepada dalil dan mencela kecenderungan untuk memercayai informasi tanpa dalil.
246
Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, terdapat term al-istidlâl dan al-dalîl
, al-hujjah, dan al-burhân sebagai perangkat metodologis penalaran ilmiah dalam mendakwahkan al-islâm kepada mad u „uqalâ. Berikut penjelasan singkat
term ini yang dirangkum dari para pengkaji manthiq: Pertama, Al-istidlâl
dan dalîl. Istidlâl adalah iqâmah al-dalîl li itsbât al- dalîl
menegakkan dalil untuk menetapkan apa yang dikehendaki dan dalîl adalah mâ yarsyudu ila al-mathlûb
sesuatu yang mengarahkan pada apa yang dikehendaki. Terdapat dua macam istidlâl, pertama istidlâl al-mubâsyir dan
kedua istidlâl ghayr al-mubâsyir. Pengertian istidlâl macam pertama adalah iqâmah al-dalîl „ala al-mathlub mubâsyiratan ay mustaqîman
menegakkan dalil atas sesuatu yang dikehendaki secara langsung atau linier. Ini meliputi tiga cara:
246
Al-Manâr , jld. I, 425. Pandangan Muhammad Abduh ini sarat dengan substansi teori
paradigma tindakan rasional.
152
1 al-qiyâs silogisme, 2 al-istiqrâ induksi, dan 3 al-tamtsîl penampilan contoh. Ketiga macam ini menjadi isi dari al-hujjah argumen logis. Pengertian
yang kedua adalah iqâmah al-dalîl „ala mâ yalzumu al-mathlûb li itsbâtihi menegakkan dalil atas sesuatu yang memestikan adanya sesuatu yang
dikehendaki guna menetapkannya. Ini meliputi tiga cara: 1 tanâqud, 2 „aks mustawi
, dan 3 aks al-maqîdh; Kedua, al-hujjah
, secara lughawi berarti al-ghalabah mengalahkan. Secara ishtilâhi, hujjah berarti al-dalîl al-dâl „alâ al-mathlûb dalil yang
menunjukkan pada sesuatu yang dikehendaki. Jika keterangan dimaksudkan untuk menunjuk pada penggambaran sesuatu tanpa adanya penetapan sesuatu
padanya, disebut ta rîf definisi. Jika ada penetapan pada sesuatu yang ditunjuk disebut tashdîq proposisi. Hujjah ini meliputi tiga macam cara: 1 al-qiyâs, 2
al-istiqrâ , dan 3 al-tamtsîl. Inti penalaran dalam al-qiyâs adalah menetapkan
ketentuan umum kepada bagian-bagiannya, istiqrâ menetapkan hukum yang terdapat dalam bagian kepada umum, dan tamtsîl menetapkan bagian kepada
bagian yang lain atas adanya titik persamaan. Ketiga, al-burhân
, secara lughawi berarti al-dalîl penunjuk, secara ishthilâhi
, al-burhân adalah al-dalîl al-qath iy al-murakkab min mqaddimât yaqîniyah
penunjuk yang pasti yang terdiri atas premis-premis yang valid dan muqaddamât yaqîniyyah
premis-premis yang valid ini meliputi: 1 al-awaliyât, 2 al-musyâhadât, 3 al-mujarrabât, 4 al-hadatsiyât, 5 al-mutawâtirât, dan
6 al-wijdâniyât. Al-burhân ini ada dua macam: 1 al-burhân al-limiyyî, yaitu al-istidlâl min al-„illah ila al-ma lûl
mencari dalil dari alasan menuju obyeknya dan 2 al-burhân al-Inayyi, yaitu al-istidlâl min al-ma lûl ilâ al-„illah mencari
dalil dari obyek menuju alasan.
247
Muhammad Abduh melontarkan kritikan terhadap para pembaca Al-Qurân yang hanya menekankan pada cara dan keindahan bacaannya. Mereka
247
Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 54-63, Muhammad Nur al-Ibrahimy, „Ilm al-Manthiq Surabaya: Maktabah Sa id bin Nashim Nabhan,
tt., hlm. 86-87, Muhammad Sayid al-Jalind dan Rizq al-Hajr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts
Kairo: Maktabah al-Zahra, tt., hlm. 107-116, dan Muhammad Anwar al-Badkhasyani, Tashîl al-Manthiq
Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988, hlm. 88-89.