Urgensi Kaderisasi Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar

211 untuk berkumpul dan memilih sekelompok orang yang dipandang ahli untuk mengerjakan tugas dakwah ini. 119 Muhammad Rasyid Ridha mengomentari dan memperkuat argumentasi gurunya tersebut di atas. Menurut Ridha, bahwa, mengenai ungkapan ustadz [Muhammad Abduh] „dan mereka memilih satu orang atau lebih dari kalangan mereka, sepertinya apa yang ia maksud dengan satu orang adalah hendaknya yang satu orang ini bergabung dengan orang-orang terpilih di desa-desa dan negeri lain, agar melakukan perjalanan di muka bumi guna berdakwah menyeru kepada Islam di luar kampungnya, atau untuk menegakkan sebagian kefarduan, syiar Islam, atau mengenyahkan sebagian kemunkaran dari negeri lain dari negeri Islam. Jika tidak dipahami demikian, bukankah yang menjadi kewajiban penduduk desa adalah hendaknya mereka memilih sekelompok orang yang bisa disebut sebagai ummah dan mereka menunaikan tugas-tugas yang bisa dikerjakan oleh setingkat ummah dengan persatuan dan kekuatan, agar mereka berwenang menegakkan kefarduan tersebut di sana, sebagaimana hal itu menjadi kewajiban setiap masyarakat Islam, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sebab, arti ummah itu termasuk juga di dalamnya ikatan dan kesatuan yang membuat para anggotanya, meski tugas dan pekerjaannya berbeda-beda hingga dalam menegakkan kefarduan ini tatkala pekerjaan mereka dalam hal ini bermacam- macam, seolah-olah satu orang. Inilah tampaknya yang coba dikemukakan oleh ustadz [Muhammad Abduh] dalam konteks ini. 120 Ungkapan Muhammad Abduh, yang diperkuat oleh Ridha di atas, menunjukkan bahwa hukum takwîn al-du ât itu wajib „ain dengan dasar nash Al- Qurân mengenai kewajiban dakwah. Kewajiban ini dalam pengertian bahwa masing-masing individu yang mukallaf sebagai komponen dakwah berhak dan berkewajiban menyelenggarakan takwîn al-du ât dan menjadi du ât dâ i 119 Al-Manâr , jld. IV, hlm. 37-38. Seseorang sebagai ahli jika ia memiliki kemampuan akademik dan melakukan tugasnya berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. IAIN, sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam negeri di Indonesia memiliki peran besar dalam mengubah citra keberadaannya sebagai lembaga dakwah menjadi lembaga akademik, termasuk akademik bidang dakwah. Lebih lanjut, lihat Fuad Jabali dan Jamhari peny., IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia Jakarta: Logos, 2002. 120 Al-Manâr , jld. IV, hlm. 38. 212 profesional yang betugas mengurusi urusan umat sebagai dakwah bî al-tadbîr rekayasa sosial. Kemudian Muhammad Abduh meyakini adanya tugas ummah, menurutnya, termasuk dalam pekerjaan ummah ini adalah urusan-urusan publik yang merupakan urusan pemerintah, urusan keilmuan, ragam jalan mndapatkannya, penyebarannya, penetapan hukum, dan urusan-urusan umum yang bersifat pribadi. Di sini dipersyaratkan ilmu mengani semua urusan itu. Dan untuk itulah ummah ini dibentuk. 121 Mengenai tujuan takwîn al-du ât Muhammad Abduh mengacu pada QS. Ali Imran: 79 . Terhadap ayat tersebut, Muhammad Abduh menjelaskan, antara lain, yaitu, maksudnya, bahwa nabi yang diberi kitab dan hukum itu memerintahkan kepada mereka untuk menggabungkan diri kepada Tuhan secara langsung tanpa seorang perantara dan mediator. Allah memberikan petunjuk kepada perantara yang sesungguhnya yang menghantarkan ke sana, yakni mengajarkan kitab dan mempelajarinya. Sebab, dengan ilmu kitab, mengajarkan dan mengamalkannya, manusia menjadi dekat dengan Tuhan dan diridhai oleh- Nya. Kitab itu merupakan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan rasul merupakan perantara yang menyampaikan kitab. 122 Dari penjelasan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa tujuan takwîn al-du ât adalah membentuk kader dâ i sebagai manusia rabbâni yang diridhai Allah SWT. yang menguasai ilmu dan terampil mengamalkannya, yang bertugas meneruskan kewajiban dakwah menurut contoh sunnah rasul sebagai da i dan muballigh dengan berbagai fungsinya. 123 Tujuan takwin al-du at yang berarti pula tarbiyah al-du at ini merupakan bagian dari pendidikan Islam. Sedangkan di dalam tujuannya antara lain 121 Al-Manâr , jld. V, hlm. 38. 122 Al-Manâr , jld. III, hlm. 248 123 Menurut isyarat QS. Al-Ahzâb 53: 45-46, nabi dan rasul Allah berperan sebagai syahid saksi, mubasyir penyampai berita gembira, nadzîr pemberi peringatan, dâ i penyeru, dan sirâj munîr lampu yang menerangi. Sebagai muballigh diisyaratkan QS. Al-Maidah 5: 67. Sedangkan tugas dan pekerjaan dari peran yang disandang oleh nabi dan rasul, menurut isarat QS. Al-Baqarah 2: 151 adalah tilâwah ayat, tazkiyah, ta lîm al-kitâb, dan ta lîm al-hikmah. 213 mencakup agar peserta didik bukan hanya menguasai pengetahuan tetapi juga agar berbudi rasional. 124 Sementara itu, menurut Hisham Yahya al-Thalib, bahwa sasaran takwîn al-du ât diarahkan pada peningkatan: 1 kualitas rohani, 2 kualitas pengetahuan dan pemahaman Islam yang betul, 3 pengetahuan dasar tentang ideologi dan agama masa kini, dan 4 keterampilan dan perlengkapan dakwah. 125 Kemudian, Muhammad Abduh menegaskan bahwa pelaku takwîn al-du ât adalah al-mu allim pengajar yang kompeten, yaitu yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang materi takwîn dan ia pengamal ilmu yang dimilikinya. Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ayat 79 surat Ali Imran menyiratkan bahwa manusia bisa menjadi rabbâni dengan ilmu kitab, mempelajarinya, mengajarkannya kepada orang-orang, menyebarkannya. Sudah menjadi ketetapan bahwa mendekatkan diri kepada Allah tidak mungkin tercapai kecuali dengan mengamalkan ilmu. Ilmu yang tidak memotivasi amal tidaklah dianggap sebagai ilmu yang benar, karena ilmu yang sahih adalah ilmu yang menjadi sifat bagi pemiliknya dan menjadi watak yang melekat dalam dirinya. Amal itu tiada lain adalah cerminan sifat dan watak tadi. Seorang ilmuan akan dinilai dari apa yang tertanam dalam dirinya. Siapa saja yang ilmu kitabnya hanya menghasilkan bentuk tampilan dan khayalan, yang berkelap-kelip dalam ingatan tetapi tidak menetap dalam ingatan dan tidak menetap dalam jiwa, tidak memungkinkan dia untuk menjadi pengajar kitab yang mengalirkan ilmu kepada 124 Tujuan pendidikan Islam yang berbeda dengan pendidikan Barat dan Timur dirumuskan oleh Suwito dan Fauzan, bahwa: “Pendidikan Islam lebih luas daripada sistem pendidikan di Barat yang demokratis dan Timur yang sosialis, karena ia bertujuan untuk melatih kepekaan murid dalam tingkah laku yang ada dalam sikap mereka terhadap lingkungan dan pendekatan bagi semua jenis pengetahuan. Mereka dipimpin oleh nilai-nilai etika dan spiritualitas Islam. Perbedaan lainnya terletak pada konsepnya tentang manusia. Dalam Islam. Manusia terlahir dalam keadaan bebas dan suci, tidak menanggung doa. Jadi, tujuan kemahiran pengetahuan dalam sistem Islami tidak hanya memuaskan keingintahuan seorang intelektual tapi untuk melatih individu-individu yang berbudi dan rasional, dalam hal moral dan kebaikan fisik keluarga mereka, masyarakat dan manusia secara keseluruhan. Sistem Pendidikan Islam tersebut menekankan keseimbangan antara kebutuhan untuk mengembnagkan individu dan kebutuhan masyarakat.” Lihat Fauzan dan Suwito ed., ”Perlunya Penelusuran Kembali Sejarah Sosial Pendidikan Islam”, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. xv. 125 Lihat Hisham Yahya al-Thalib, Panduan Latihan Bagi Juru Dakwah, terj. Training Guide for Islamic Workers , oleh Faruk Zabidi dan Ali Audah Jakarta: Media Dakwah, 1996, hlm. 4. 214 orang lain, sebagaimana ia tidak bisa mengamalkannya semestinya. Hal ini dikuatkan oleh observasi dan eksperimen sebagaimana dalam ilmu-ilmu keterampilan. 126 Seorang mu allim akan efektif menjalankan tugas pengkaderan dâ i apabila memiliki empat ciri, sebagaimana dikemukakan oleh Davis dan Thomas yang dikutip oleh Jamaluddin Idris, yaitu sebagai berikut: Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang dapat dirinci: 1 memiliki keterampilan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada peserta, dan ketulusan; 2 memiliki hubungan baik dengan peserta; 3 mampu menerima, mengakui dan memperhatikan peserta secara tulus; 4 menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar; 5 mampu untuk menciptakan atmosfer untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok peserta; 6 mampu melibatkan peserta dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; 7 mampu mendengarkan peserta dan menghargai hak peserta untuk berbicara dalam setiap diskusi; dan 8 mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas. Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, meliputi: 1 memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani peserta yang tidak punya perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan; 2 mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berfikir yang berbeda untuk semua peserta. Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik feedback dan penguatan reinforcement, terdiri dari: 1 mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon peserta; 2 mampu memberikan respon yang bersifat membantu peserta yang lamban belajar; 3 mampu memberikan 126 Al-Manâr , jld. III, hlm. 348. Ta lîm dan tadrîs pengkajian akademis tentang semua bangunan pengetahuan merupakan wujud ketundukan semua pemikiran manusia kepada arbitrasi Al-Qurân. Lihat Ziauddin Sardar ed., Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj. „Ilm and the Revival of Knowledge , oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyantanto Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 56-57. 215 tindak lanjut terhadap jawaban peserta yang kurang memuaskan; 4 mampu memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan. Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari: 1 mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara secara inovatif; 2 mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; 3 mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang relevan. 127 Insan rabbâni yang memperoleh ridha Allah SWT. Menurut al-Sa di adalah kaum ulama, kaum bijak, kaum bestari yang mengajari orang banyak dan mendidiknya melalui ilmu-ilmu kecil sebelum yang besar. Mereka mengamlkan semua itu. Mereka menyerukan untuk beramal, berilmu, dan mengajar, yang itu semua merupakan pokok pangkal kebahagiaan. Sebab, dengan kehilangan salah satunya, terjadilah kekurangan dan kekeliruan. 128 Dalam pandangan al-Sa di di atas, terkandung rumusan indikator insan rabbani , yaitu sebagai: 1 „ulamâ kaum ilmuan; 2 hukamâ kaum bijak; 3 hulamâ kaum bestari; 4 mu allim pengajar; 5 murabbi pendidik; dan 6 „âmil pengamal. 129 Oleh karena itu, takwîn al-du ât merupakan pendidikan tinggi kader dakwah yang diharapkan menghasilkan dâ i-dâ i profesional yang berkarakteristik insan rabbani. Dalam konteks Indonesia, pendidkan nasional, kurikulum untuk abad ke- 21 Masehi, diarahkan pada upaya membangun manusia Indonesia yang non- 127 Jamaluddin Idris, Analisis Kritis Mutu Pendidikan, Yogyakarta: Suluh Press, 2005, hlm. 62-63. Mengenai bahan ajar sebagai bagian dari kurikulum yang perlu diberikan menurut Ibn Miskawaih terdiri dari materi yang diperlukan oleh: 1 tubuh manusia; 2 jiwa manusia dan 3 bagi hubungan dengan sesama manusia, lihat Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, ed. Jejen Musfah, Yogyakarta: Blukar, 2004, hlm. 119. 128 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al- Mannân , hlm. 136. Mengenai karakteristik insan Robbani ini merupakan bagian karakteristik insan yang dituju dalam pendidikan Islam. Selanjutnya lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma arif , 1995 hlm. 10-22. dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. Crisis in Muslim Eucation oleh Fadhlan Mudhafir, Jakarta: Mawardi Prima, 2000, hlm. 19 129 Kader dâ i profesional disebut oleh Muhammad Yusuf sebagai junûd al-da wah tentara dakwah. Lebih lanjut lihat karyanya Junûd al-Da wah Mesir: Dâr al-I tishâm, 1979.