Da’i dan Mad’u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat
101
penjelasan, dan 16 al-huda petunjuk.
89
Keanekaragaman makna akal ini menunjukkan keragaman fungsi akal bagi pemiliknya, yang membedakan
kediriannya dari makhluk hidup lain yang tidak berakal dalam mengatasi berbagai macam problem kehidupannya.
90
Mufasir al-Zamakhsyari memaknai kata kerja aql dalam tafsirnya dengan 1 menggunakan kecerdasan tafathn, 2 memahami fahm 3 mengikat
pengertian dhabath, 4 memikirkan secara mendalam nazhar, 5 mengambil pelajaran itibâr, 6 mengetahui ilm.
91
Tafsir ini menjadi salah satu rujukan bagi Muhammad Abduh. Bagi al-Fairuzâbâdi, term-term yang dipilih bagi makna
kata kerja akal dalam tafsirnya adalah: 1 menyadari dalam hati atau kesadaran hati al-dzikri, 2 membenarkan tashdiq, 3 mengetahui ilm. dan
memahami fahm.
92
Muhammad Abduh juga menjadikan Tafsir al-Jalalayn sebagai salah satu acuannya ketika menjelaskan kosa kata dalam penafsiran term-term tertentu.
Imam al-Jalalayn menafsirkan makna kata kerja akal dengan: 1 memikirkan secara mendalam tadabbur, 2 mengetahui ilm, 3 memahami fahm dan 4
mempercayai iman.
93
Termasuk mufasir pengikut Muhammad Abduh, Ahmad Musthafa al-Maraghi memaknai kata kerja akal dengan menggunakan makna: 1
memahmi faqh, 2 mengikat pengertian dhabt, 3 memikirkan secara mendalam tadabbur, 4 memperhatikan nazhar, 5 memahami idrâk, dan
6 membedakan tamyîz.
94
89
Lihat Sayid Abul Majd, al-Malakat al-Aqliyyah fl al-Qurân al-Karîm dalam al- Muhâdharah al-Âmmah,
Mesir. Mathbaah al-Azhar, 1960, hlm 80-81, dan Ibrahim Anis dkk., al-Mujam al-Washit,
Kairo: Dar al-Maarif, I960, hlm 616.
90
Lihat Hasan Muhammad Musa, Qâmus Qurâni Kairo: Maktabah Khalil Ibrahim, 1966, hlm. 343
91
Lihat Abu al-Qasim Jar al-Lah Mahmud ibn Amr al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al- Kasyf an Haqâiq al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta wîl,
Beirut: Dar al-Maarif, tt., hlm. 277, 289, 291, dan 326.
92
Lihal Abu Thahir Muhammad bin Yaqub al-Fairuzabadi al-Sairazi, Tanwîr al-Miqbas min Tafsîr Ibn Abbas,
Jedah: al-Haramayn, tt., hlm. 7, 9, dan 18.
93
Lihat Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din al-Suyuthy, Tafsir al-Qurân al-Azhîm, Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt., hlm. 11, 23, dan 37.
94
Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tqfsir al-Marâghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974, jld. I, hlm. 145, 149, dan jld II, hlm. 33-37. Mufasir Wahbah al-Juhaili mengikuti al-Maraghi memaknai
kata kerja akal ini dalam tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz ala Hamisy al-Qurân al-Azhîm, sebagai ringkasan Tafsir al-Mun
î
r karya yang sama tentang tafsir secara tahl
î
li.
102
Rumusan deskriptif hakikat akal yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan ayat al-Quran yang memuat kata kerja aql dan term
al-albâb term kata kerja aql dan al-albâb terlampir dalam lampiran 3 menurut
pemahaman penulis, dapat dirumuskan menjadi 10 sepuluh macam rumusan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, akal adalah bagian dari hidayah Allah kepada manusia selain
hidayah indera eskternal al-hawâs al-zhâhirah kesadaran hati wijdân, dan agama al-dîn. Dengan hidayah-hidayah ini manusia dapat meningkatkan kualitas
kehidupannya secara berangsur-angsur tadarruj.
95
Dalam rumuan pertama ini, Muhammad Abduh memposisikan akal sebagai salah satu hidayah Allah kepada manusia. Dengan hidayah akal ini
manusia menjadi mukallqf dari hidayah al-dîn tata aturan hidup dan kehidupan manusia. Empat macam hidayah ini merupakan sistem yang mendasari aktivitas
manusia dalam mengetahui sesuatu yang menjadi obyek tahu yang akan mengantarkan kepada kebenaran yang sebenarnya. Sebab, hidayah memiliki
muatan makna bayân penjelasan, dilâlah proses pemahaman, tawfîq penyesuaian dan mencocokkan, dan ilhâm intuisi kognitif atas segala sesuatu
yang menjadi obyek penalaran sebagai aktivitas potensi akal. Hakikat hidayah ini merupakan bagian dari muatan maknanya yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-
Jawzi.
96
Pancaindera memiliki kemampuan mencerap obyek tahu, dan melalui jendela pancaindera ini makna-makna obyek tahu itu diabstraksikan oleh akal,
kemudian diendapkan dalam memori sebagai makna sesuatu yang diketahui melalui fungsi kesadaran hati wijdân. Said Syekh menjelaskan term wijdân ini
sebagai kognisi-kognisi intuitif, yaitu pemahaman melalui indera-indera dalam al-hawâs al-bâthinah
tentang makna-makna dan signifikasi-signifikasi berbagai benda.
97
95
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44, lihat al-Manar, jld. I, hlm.288.
96
Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, Libanon: Dar al-Fikr, 1988, hlm. 9.
97
M. Said Syeikh, Kamus Filsafat Islam A Dictionary of Muslim Philosophy, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 181.
103
Term al-dîn agama sebagai salah satu macam hidayah disatukan ke dalam penjelasan hakikat akal, tampaknya Muhammad Abduh ingin menegaskan
bahwa akal dan agama itu saling melengkapi. Tidak ada pertentangan di antara keduanya. Hal ini memperkuat pandangannya mengenai perjuangan reformasi
yang digelar pada zamannya dalam memberantas belenggu kejumudan taklid buta.
98
Sebab, salah satu rumusan hakikat agama adalah tatanan hidup manusia buatan Allah bagi orang yang berakal. Dengan aktualisasi daya ikhtiarnya,
manusia memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak.
99
Kedua, akal merupakan fithrah sifat dasar yang melekat dalam penciptaan
insan dan ahd al-Lâh perjanjian ketuhanan di alam ruh.
100
Dalam rumusan hakikat akal yang kedua ini, Muhammad Abduh mengaitkan akal dengan fithrah dan ahd al-Lâh. Hal ini menunjukkan bahwa akal
ada sejalan dengan perjalanan hidup manusia sejak awal penciptaannya. Perjanjian ke-Tuhanan di alam ruh adalah peristiwa transendental di mana
manusia mengakui adanya Pengada yang Maha Esa, yaitu Allah SWT ketika di alam ruh. Pengakuan ini inhern menjadi potensi diri dalam ruh yang immaterial.
Keinhernan yang diletakkan dalam penciptaan ini merupakan bagian dari makna fithrah.
Jadi, ia adalah pengakuan tauhîdullâh.
101
Dalam perjalanan hidupnya, manusia mengalami alam ruh, rahim, dunya, barzah antara dunia dan akhirat,
dan alam akhirat.
102
Para filosof Barat pun mengakui adanya potensi kognitif akal di dalam ruh manusia yang berkemampuan memahami obyek tahu ketika
manusia mengetahui sesuatu. Dengan potensi ini pula manusia menjadi sadar akan
98
Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat Ibn Rusyd. Selanjutmya lihat Muhammad Yusuf Musa, Bayna al-Dîn wa al-Falsafah fi Ray Ibn Rusyd wa Falsafah al-Ashr al-Wasîth, Beirut:
Al-Ashr al-Hadits, 1988, hlm. 102-103.
99
Lihat Said bin Muhammad Basyan, Busyra al-Karîm fi Masâil al-Talîm. Jedah: al- Haramayn, tt., hlm 4,
100
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 290.
101
Potensi fitrah dalam ruh ini dikaji oleh Ibn Qayyim al-Jawzi dalam bukuinya R
û
h li Ibn al-Oayyim,
Beirut: Dar al-Qalam, 1403H.
102
Mengenai peristiwa yang dialami dalam masmg-masing alam ini, lihat Hadhari Nawawi, Hakikat Manusia menurut Islam,
Surabaya. al-Ikhlas, 1993, sebanyak 407 halaman.
104
perlunya moral agama dalam menjalankan fungsi hidupnya yang tidak bisa mengadakan keadaan dirinya.
103
Mengaitkan aql dengan rûh dan fithrah dalam penjelasan Muhammad Abduh yang kedua ini menunjukkan bahwa akal berkaitan dengan persoalan ada
yang keberadaannya immaterial bagian dari obyek tahu dalam aktivitas beipikir manusia pemilik akal. Term-term rûh, fithrah, dan aql ini menjadi kajian dalam
disiplin psikologi Islam.
104
Selain itu, obyek akal akan berhubungan dengan obyek yang berupa materi mâddah, sebab term fithrah dan bentuk kata kerjanya
digunakan untuk menunjukkan penciptaan benda-benda empirikal berupa langit dan bumi beserta segala yang ada di dalam dan di antara keduanya Q.S. al-
Anam: 79 dan al-Anbiya: 56. Dalam kaitan adanya benda-benda material ini, fithrah
diartikan sebagai penciptaan segala yang ada dari tiada oleh Pengada, yaitu Allah SWT yang Maha Pengada.
105
Ketiga, akal memiliki muatan makna fungsional dan karakter yang sejalan
dengan term qalb, ada yang tenang muthmainnah. la patuh kepada ketentuan Tuhan muhbit dan, sebaliknya, yaitu ketika akal didominasi oleh pengaruh
potensi yang menyuruh kepada perilaku buruk nafs ammarah bi al-sû
106
. Dalam rumusan akal yang ketiga ini, Muhammad Abduh menegaskan
kaitan akal dengan perilaku eksternal sebagai refleksi dari perilaku internal yang subyek dan sumber perilaku itu adalah qalb dan nafs. Ketiga instrumen ruhiyah
manusia ini saling pengaruh-mempengaruhi. Akal dalam fungsinya sebagai tali kekang,
dapat mengendalikan aktivitas qalb dan nafs ke arah yang sesuai dengan kehendak Allah dan ajaran din. Qalb yang disebut hati di antaranya berkarakter
fluktuatif. Begitu pula nafs menerima pengaruh daya tarik perangai rendah
tuntutan biologis jasadiyah. Oleh karena itu. hati selain berfungsi sebagai locus
103
Lihat Van Der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia Gmie Filosofen over de men, terj. K.Bertens, Ycgyakarta Kanisius, 2000, hkr.. 174-177
104
Lihat A.A.Wahab, An Introduction to Islamic Psychology, Delhi: Institute of Objective Studies, 1996, hlm. 2-3, dan Yusuf Qardhawi, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan AI-Aql wa al-IIm fi al-Qur
â
n al-Kar
î
m, terj. Abdulhay al-Katani dkk., Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 44,
105
Lihat Muhammad Ismail Ibrahim, Mujam al-Alfâdzh wa al-IIâm al-Qurâniyyah, Kairo: Dâr al Fikr al-Araby, 1969, hlm 402-403, dan Muhammad Hasan al-Amari, al-Qurân wa al-
Thaba i al-Nafsiyyah, Al-Raudhah: al-Majlis al-Ala li al-Syuûn al-Islamiyyah, 1966, hlm 34-35.
106
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. 2:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 301.
105
ilmu juga locus perilaku internal yang mendorong perilaku eksternal melalui medium jasad manusia pemilik hati.
107
Qalb didefinisikan, oleh al-Tibrizi, sebagai budi halus yang bersinar di
dalam struktur batin manusia sebagai tempat perilaku terpuji yang menyuruh berbuat baik dan dapat mengenal Allah SWT.
108
Al-Tibrizi membagi qalb ini menjadi tiga macam: 1 qalb âm, yaitu potensi yang bergerak mengitari dan
berhubungan dengan keutamaan duniawi dan berkemampuan mentaati ketentuan yang diperuntukkan baginya, 2 qalb khâsh, yaitu potensi yang bergerak di
sekitar akibat keutamaan duniawi, dan 3 qalb akhâsh al-khâsh, yaitu potensi yang menerangi di Sidrah al-Muntahâ akar perilaku betah dalam beribadah dan
mendekatkan diri kepada Maha Penciptanya yang Maha Dekat.
109
Sedangkan Nafs menurut al-Tibrizi adalah budi halus yang gelap dan berada di dalam struktur batin manusia sebagai tempat munculnya perilaku tercela
yang menyuruh berbuat buruk. Sama seperti qalb. al-Tibrizi membagi nafs ini menjadi tiga peringkat: 1 nafs âm, potensi jiwa yang mendorong berbuat buruk,
berdasarkan Q.S. Yusuf: 53, 2 nqfs khâsh, yaitu potensi jiwa yang menyesali dirinya, berdasarkan Q.S. al-Qiyamah: 2, dan 3 nafs akhâsh al-khâsh, yaitu
potensi jiwa yang tenang yang secara total telah tunduk patuh kepada Allah SWT dan memperoleh ridha-Nya, berdasarkan Q.S. al-Fajr: 27. Potensi yang pertama
disebut nafs al-ammârah bi al-sû, yang kedua nafs al-lawwâmah, dan yang ketiga nqfs al-muthmainnah.
110
107
Lihat William C. Chittik, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu The .Sufi Paith of Knowledge: Ibn Arabis Metaphisics of Imagination,
terj. Achmad Nidjam dkk., Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 294-295, dan Ibrahim Basywai, Nasyah ai-Tashawuf aI-lsldmi. Mesir. Dâr
al-Maârif, 1969, hlm, 58-62.
108
Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Malik al-Asyary al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-Araby, Kairo: Maktabah Nahdhah
al-Mishriyyah, 1981, hlm. 90.
109
Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-Araby,
hlm. 91. Qalb yang ketiga inilah yang disebut al-Quran sebagai qalb salîm, Q.S. al-Syu ara: 89 dan Q.S. al-Shaffat: 84. Tingkatan jiwa ini dimiliki oleh para nabi, wali
Allah, shâlihîn, dan mu minîn yang muhbitîn. Selanjutnya lihat Sayid Abd al-Aziz al-Darini, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li Alam al-Guyûb,
Jedah: al-Haramayn, tt, hlm. 243.
110
Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-Araby,
hlm. 89, dan lihat Rif at Syauqi Nawawi , Kepribadian Qurani, Jakarta: WNI Press, 2009, hlm. 57-58.
106
Mengacu pada pendapat al-Tibrizi, maka kedudukan aql muthmainnah dan muhbit berada pada peringkat qalb akhâsh al-khâsh dan nqfs akhâsh al-khâsh.
Penjelasan hal ini juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Syams ayat 8-10. Menurutnya, tazkiyah al-nafs adalah proses
menaklukkan pengaruh nafs peringkat pertama dalam diri manusia berakal.
111
Keempat, akal adalah memahami fahm rahasia-rahasia hukum Allah dan
mengambil manfaat dengan mematuhi aturan yang diperuntukkan bagi manusia berakal.
112
Penjelasan dalam rumusan hakikat akal yang keempat ini, Muhammad Abduh menggunakan fungsi kinerja akal berupa memahami terhadap obyek yang
dipahami yang terdiri dari rahasia-rahasia hukum Allah sunan al-kawn dan sunan al-khalq
dan mengambil manfaat dari obyek yang dipahami dan menunduki aturan Allah bagi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa akal berkemampuan
memahami obyek material di balik materi melalui jendela indera pendengaran. Term fahm digunakan untuk mengetahui proses mempersepsi makna sesuatu al-
syai yang tersimbolkan dalam bentuk kata. Sesuatu yang ditunjuk oleh kata itu
dapat berupa materi dan immateri dalam kerangka sarwa keadaan yang ada.
113
Rahasia-rahasia hukum Allah adalah segala nilai manfaat dan tidak manfaat di balik bentuk ukuran sesuatu dan tuntunan perilaku manusia dan
perilaku alam selain manusia, yang kesemuanya berpulang pada kebutuhan dan kepentingan hidup manusia. Sesuatu yang diperintahkan mengandung nilai
manfaat jika dilakukan dan madharat jika ditinggalkan. Begitu pula, sesuatu yang
111
Lihat Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, Beirut: Dar Ibn Zaidun, 1989, hlm. 110- 113. Tafsir ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Muhammad Baqir dan diberi
pengantar oleh M. Quraish Shihab dengan penerbit Mizan, Bandung, tahun 1998. Akal yang tercerahkan melalui tazkiyyah ini berkemampuan menangkap makna-makna yang diisyiaratkan
dalam simbol bahasa dan gerak benda, dan disebut perilaku mutawassimîn Q.S. al-Hijr. 75.
112
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 351.
113
Selanjutnya lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, Beirut. Dar al- Fikr, 1993, jld. 1, hlm. 224, dan Abu Hilal al-Askari, al-Lumah min al-Furûq, Surabaya; al-
Maktabah al-Tsaqafiyah, tt., hlm. 10.
107
dilarang mengandung nilai madharat jika dilakukan dan bermanfaat jika ditinggalkan.
114
Muhammad Rasyid Ridha menguraikan secara mendalam mengenai karakteristik hukum Allah yang berupa dîn Islâm yang di dalamnya terkandung
pemenuhan kebutuhan manusia dalam menegakkan aktivitas akal. Menurutnya, tidak kurang dari sepuluh macam karakter Islam sebagai hukum Allah bagi
manusia berakal, yaitu sebagai 1 dîn al-fithr agama fitrah, 2 dîn al-aql agama rasional, 3 dîn al-fikr agama pemikiran, 4 dîn al-ilm agama
ilmiah, 5 dîn al-hikmah agama kebijaksanaan, 6 dîn al-burhân agama argumen demonstratif, 7 dîn al-hujjah agama alasan, 8 dîn al-wijdan agama
kesadaran hati, 10 dîn al-istiqlâl agama kemerdekaan.
115
Kelima, akal adalah daya nalar kecerdasan jiwa al-nafs al-nâthiqah yang
secara umum sejalan dengan muatan makna qalb. Qalb itu sendiri merupakan suatu subyek aku yang ditunjuk pemiliknya ketika menampakkan diri sebagai
perpaduan potensi sanubari atau kecerdasan jiwa dan potensi nalar. Di dalam nafs nathiqah
itu tercakup daya kesadaran jiwa wijdan, nalar aql, dan rûh yang saling mempengaruhi di antara ketiganya ketika melakukan peran kognisi.
116
Mengenai daya nalar kecerdasan jiwa dan ruh dalam rumusan hakikat akal yang kelima tersebut, Muhammad Abduh mengakui adanya pengaruh sesuatu
yang immateri terhadap yang immateri. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu al- hasan ibn Yusuf al-Amiri, bahwa terdapat empat macam arus pengaruh, yang
salah satunya adalah pengaruh immateri nafs terhadap immateri nafs. Pengaruh lainnya adalah pengaruh immateri nafs terhadap materi jism, pengaruh jism
terhadap nafs, pengaruh nafs terhadap jism, dan pengaruh jism terhadap jism. Contoh bagi yang pertama adalah pengaruh nasihat, yang kedua seperti sihir
penyebab penyakit fisik, yang ketiga seperti bunyi benda, dan yang keempat seperti daya magnetis. Selanjutnya, al-Amiri menegaskan bahwa Allah SWT
114
Selaniutnya lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuh. Beirut: Dar al-Fikr. tt., hlm. 7-10.
115
Term-term ini dapat dikaji dalam karya Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy al- Muhammadi,
Beirut. al-Maktabah al-Islami, 1971, sebanyak 430 halaman.
116
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 351 dan QS. Al-Baqarah: 164, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 84.
108
meliputi dan menguasai segala yang ada dengan liputan taqdir. Jiwa dikuasai oleh akal dan akal tunduk kepada Maha Penciptanya.
117
Ibn Sab in menjelaskan nqfs nâthiqah adalah potensi yang dimiliki oleh manusia, selain nafs hewani dan nabati, yang berkemampuan menerima ilmu dan
kelembutan watak hilm, mengetahui perbedaan nilai baik-buruk, menyenangi kebaikan dan membenci keburukan. Nafs nâthiqah ini tetap hidup setelah fisik
kembali ke asalnya mati. Nafs ini juga disebut sebagai al-nafs al-hikmiyah yang berkemampuan menangkap hakikat wujud dan menganalisisnya dalam struktur
keilmuan.
118
Term nafs nâthiqah ini merupakan potensi internal insan yang berkemampuan memahami makna yang terindera. Oleh karenanya, menurut Ibn
Sina, nafs ini juga disebut akal yang berkemampuan ganda, yaitu daya mengetahui dan daya menggerakkan untuk berperilaku eksternal. Kemampuannya
untuk mengetahui sesuatu lebih kuat ketimbang kemampuan indera.
119
Keenam, akal adalah alat memahami sesuatu, pembeda eksistensi manusia
dari yang bukan manusia, berkemampuan mengkaji dan mengetahui hukum kausalitas alam, memilah dan memilih nilai manfaat dan madharat di balik realitas
yang ada di balik rahasia keberadaan realitas alam dan hukumnya yang diciptakan oleh Allah SWT, dan menjadikan keberadaan alam itu sebagai dalîl akan
keberadaan pembuatnya Pengadanya, yaitu Allah SWT.
120
Dalam rumusan hakikat akal yang keenam tersebut, Muhammad Abduh lebih merinci kemampuan akal sebagai alat dalam memahami obyek tahu berupa
wujud alam, hukum-hukumnya, dan rahasia nilai manfaat dan madharat yang berada di balik semua obyek tahu yang dapat diketahui oleh akal yang bermuara
pada pengetahuan keberadaan Maha Pencipta dan mentauhidkan-Nya. Rumusan
117
Selanjutnya lihat Evett K. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al- Amiris Kitab al-Amad ala al-Abad,
New Haven: The American Oriental Society, 1988, hlm. 88 dan 122.
118
Lihat Abu al-Wafa al-Ghaynimi al-Taftazani, Ibn Sab in wa Falsafah al-Tashawuf, Beirut: D
â
r al-Kitab al-Lubnani, 1973, hlm. 352-353.
119
Lihat Sayyed Hossein Nasr , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Pen. Ach. Maimun Syamsuddin, Yogyakarta: IRCiSod, 2006, hlm. 75-76.
120
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:164. Lihat al-Manâr, jld.II, hlm. 63-64 dan QS. Al-Baqarah: 179, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 133.
109
ini sejalan dengan pendapat Naquib al-Attas yang berpendapat bahwa akal adalah suatu substansi ruhaniyah yang memungkinkan diri rasional mengenali kebenaran
dan mampu membedakannya dari kepalsuan. Akal merupakan identitas diri yang mendasari hakikat manusia yang diisyaratkannya ketika menyatakan aku bagi
dirinya.
121
Term Fahm dimaksudkan sebagai quwwah mudrikah daya memahami dan
mengetahui. Dengan menyebutkan term ini Muhammad Abduh ingin menunjukkan kinerja akal dalam berhubungan dengan obyek di luar dirinya
adalah idrâk memahami dan mengetahui. Secara eksplisit Muhammad Abduh memasukkan ke dalam term fahm ini unsur merasakan sesuatu secara benar
dzawq salîm dan kehalusan kesadaran luthf al-wijdân sebagai pusat aktivitas
kinerja akal.
122
Dalam hal ini Muhammad Abduh mengikuti pendapat Fakhr al- Din al-Razi.
Term al-syuûr, al-fahm, dan al-hikmah memahami rahasia sesuatu merupakan bagian dari penjelasan konsep idrâk sebagai kinerja akal diajukan oleh
Fakhruddin al-Razi. Menurutnya, indikator idrâk itu terdiri dari: 1 sampainya pengetahuan pada hakikat obyek tahu al-liqa wa al-wushûl, 2 menyadari
obyek tahu al-syu ûr 3 mempersepsi obyek tahu al-tashawwur, 4 mengingat makna obyek tahu al-hifzh, 5 menghadirkan kembali ingatan makna
obyek tahu al-tadzakur, 6 suasana kembalinya ingatan makna obyek tahu al- dzikr,
7 mengetahui makna satuan obyek tahu secara parsial al-marifah, 8 memahami makna simbol bahasa yang terdengar al-fahm, 9 mengetahui
maksud pengguna bahasa al-fiqh, 10 mengetahui makna bahan kesimpulan al- dirâyah,
11 mengetahui hakikat dan kegunaan obyek tahu hikmah, 12 meyakini obyek tahu al-yaqîn, 13 merekam makna obyek dalam memori al-
dzihn, 14 proses menghubungkan makna parsial menjadi kesatuan makna suatu
konsep al-fikr, 15 menyerap makna obyek dalam jiwa al-hads, 16 lintasan makna dalam jiwa al-khâtir, 17 kecerdasan menyerap makna yang sampai
pada yang dituju al-dzakâ, 18 menyusun argumen yang akurat al-fathânah,
121
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains Islam and the Philosophy of Science,
terj. Saeful Muzani, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 41.
122
Lihat al-Manâr, jld. I, hlm. 27.
110
19 menduga makna obyek tahu al-wahm, 20 menduga keras makna obyek tahu al-zhan, 21 imajinasi makna obyek terindera al-khayâl, 22 mengetahui
obyek tahu secara langsung al-badîhah, 23 mengetahui hubungan makna antar obyek tahu secara langsung al-awaliyat, 24 memahami obyek tahu secara
mendalam dan berulang-ulang al-ruwyah, 25 menangkap makna nilai manfaat obyek tahu al-kayasah, 26 menguji akurasi makna obyek tahu al-tajribah,
27 menyusun satuan makna obyek menjadi keputusan rasional al-rayu, dan 28 menangkap makna internal obyek tahu dari yang eksternal al-farasah.
123
Memasukkan wujud alam beserta hukum-hukumnya, yang dapat diketahui akal sebagai dalil keberadaan Allah yang menciptakannya, menjadi pembeda
pengetahuan berwawasan tauhid dari pengetahuan yang dikotomis sekuler. Dalil sebagai sesuatu yang memandu ke arah yang dituju, yaitu kebenaran obyektif
rasional, spiritual, dan emosional yang terdapat dalam obyek tahu, berupa alam yang tercipta oleh Pencipta, disebut dalil kosmologis keberadaan Pengada yang
ada sebagai obyek tahu.
124
Ketujuh, akal adalah perpaduan daya kemampuan berpikir dalam otak dan
daya memahami dalam jiwa mengenai sesuatu yang dituju oleh subyek yang diketahui al-syai yang berdampak pada perilaku.
125
Dalam rumusan hakikat akal yang ketujuh tersebut, Abduh lebih menekankan pada mekanisme kerja esensi akal dalam mengetahui obyek tahu al-
syai sebagai suatu sistem berpikir yang melibatkan unsur al-mana, al-dimâgh,
al-dzihn, al-nâfs, tadabbur, dan taammul. Term-term ini dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pengertian al-mana, menurut Ibrahim Anis dkk., adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh kata tertentu.
126
Sedangkan menurul Ibn Sina, makna adalah
123
Lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld. 1, hlm. 223-227, dan Abu Ali Fadhl bin al-Hasan al-Thabrusi, Majma al-Bayân fi Tafsîr al-Qurân, Beirut: Dar al-Fikr,
1994, hlm 157-158.
124
Lihat Muhammad ibn Shahih al-Utsymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, Riyad. Dar al- Tsiraya, 1994, hlm. 14-15.
125
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 242. Redaksi rumusan akal ini lengkapnya adalah
. al-Manâr, jld II, hlm. 453.
111
sesuatu yang diketahui oleh jiwa melalui cerapan indera, walaupun sesuatu itu tidak diketahui terlebih dahulu oleh indera.
127
al-Dimâgh otak adalah suatu alat di dalam tubuh manusia, yang selain
berfungsi menerima kenyataan dari segala peristiwa dan keadaan di luar badan, juga menjadi alat untuk menyatakan hadirat manusia sebagai makhluk yang sadar
akan diri sendiri dan alam di sekeliilingnya.
128
al-Dzihn difenisikan oleh Abu Hilal al-Askari sebagai lawan dari
buruknya pemahaman, dan ia berarti sesuatu yang menyatakan tentang adanya hafalan sesuatu yang diketahui.
129
al-Nafs adalah potensi jiwa penalaran dalam diri manusia berapa daya
mcngetahui quwwah aqliyyah, quwwah mudrikah, nafs nâthiqah yang disebut pula dengan qalb.
130
Tadabbur yaitu memahami akibat-akibat obyek tahu secara mendalam dan
berpikir adalah kinerja daya nalar dalam mengetahui arti yang terkandung dalam obyek tahu.
131
Taammul adalah merenungkan obyek tahu secara cermat dalam
memperoleh pengetahuan yang terjadi dalam durasi waktu tertentu.
132
Pernyataan konsep dimagh dan nqfs dalam rumusan hakikat akal dalam pendapat Muhammad Abduh menunjukkan bahwa adanya akal bukan di otak
semata, dan di dalam jiwa semata, tetapi bcrada di dalam keduanya sebagai satu kesatuan.. Mengenai di mana tempat keberadaan akal ini dalam struktur ruhaniyah
manusia, berbeda dari pendapat Imam al-Syafii, akal berada di qalb berupa nûr cahaya yang menunjukkan bukan materi. Sedangkan menurut Imam Hanafi,
126
lbrahim Anis dkk, Qamûs al-Muhîth, hlm. 633.
127
Muhammad Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, tt., hlm. 474.
128
Lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 7.
hlm. 9.
129
Abu Hilal al-Askari, al-Lumah min al-Furûq, Surabaya Maktabah al-Tsaqafiyah, tt.,
130
Lihat Abu Hamid ibn Muhammad al-Gazali, Ris
â
lah al-Laduniyyah, dalam al-Qush
û
r al-Awali,
Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970, hlm. 101.
131
Abu Hilal al-Askari, al-Lumah min al-Furûq,hlm. 7.
132
lihat Abd al-Rahman al-Aysawi, al-Islâm wa ilâj al-nafs, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, hlm. 41. dan Abu Hilal al-Askari, al-Lumah min al-Furûq, hlm. 7.
112
Imam Ahmad, dan pada umumnya pakar kedokteran, letaknya berada di dimâgh otak.
133
Otak manusia yang beratnya rata-rata 1500 gram terdiri dari tiga bagian, yaitu pangkal otak, otak kecil, dan otak besar. Pangkal otak terdiri dari susunan
sel-sel simpul saraf ganglioncellen yang besar-besar. Otak kecil yang berukuran kira-kira sebesar jeruk manis dan tergantung pada bagian bawah dari otak besar
mempunyai susunan serat-serat yang menghubungkannya dengan otak besar dan sumsum punggung yang sangat kompleks, sehingga belum dapat diketahui
semuanya. Sedangkan otak besar terletak di bagian depan pangkal otak, yaitu di dalam rongga kepala. la tidak dapat tumbuh ke arah kehendaknya sendiri, tetapi
tumbuh seperti tanduk kambing jantan, mula-mula ke arah depan, kemudian membelok ke atas dan ke belakang dan akhirnya ke bawah dan ke depan lagi.
Bagian depannya disebut belah dahi, bagian tengah disebut belah pinggir, bagian belakang disebut belah kepala belakang, dan bagian bawah disebut belah
pelapisan.
134
Jumlah sei-sel otak yang dimiliki masing-masing individu manusia berbeda-beda banyaknya. Perbedaan inilah yang membedakan tingkat kecerdasan
masing-masing individu dalam memperoleh sejumlah obyek tahu melalui kegiatan berpikir sebagai produk dari proses-proses bio-kimia yang terjadi di dalam otak.
Dan jumlah sel otak ini kira-kira sepuluh milyar sel otak.
135
Menurut Isaac Asimov, seperti yang dikutip oleh Jean Marie Stine, bahwa sel otak manusia itu sebanyak 200 milyar. la dapat menggunakan 100 milyar
informasi, memiliki gerak pikiran berkecepatan 300 mil per jam, dan memiliki lebih dari 100 trilyun hubungan yang mungkin dibangun.
136
133
Selanjutnya lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhab al- Nafâis,
Jakarta; Dinamika Utama, tt., hlm 271, dan Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al- Dîn,
Beirut: Dar al-Fikr, 1955, hlm 20-21. Muhammad Husayn al-Thabathabai berpendapat ada di otak. Lihat al-Mizan fi Tafsîr al-Quran, Beirut:Muassasah al-Alamy, 1991, hlm. 53.
134
Selanjutnya lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia , hlm 8-10.
135
Lihat Muhammad Mahmud Abdul Kadir, Biologi Iman Biylujiyah al-iman, tei] Rusjdi Malik, Cet 3, Jakarta: Al-Hidayah, 1983. hlm 13.
136
Lihat Jean Marie Stine, Mengoptimalkan Daya Pikir, Anonim: Delapratasa Publishing, 2001, hlm. xxvi.
113
Perbedaan jumlah sel otak yang dimiliki oleh manusia membawa perbedaan dalam kualitas dan kuantitas penguasaan obyek tahu. Menurut al-
Darini, terdapat tiga peringkat kemampuan manusia dalam menggunakan potensi akal memikirkan obyek tahu: .1 ilmuwan, yang mampu memikirkan segala alam
tercipta sebagai obyek pikir dan mampu mengambil keputusan ilmiah dan apa yang dipikirkannya yang berujung pada meyakini adanya Maha Pencipta dirinya
dan obyek yang dipikirkannya, yaitu Allah SWT; 2 manusia bersyukur, yang mampu memikirkan wujud lahir obyek tahu dan mengambil manfaat dari
keberadaannya; dan 3 manusia pekerja, yang mampu memikirkan apa yang mesti diperbuat sebagai tugas kehambaannya.
137
Begitu pula, manusia dengan daya ikhtiar yang dimilikinya tidak sama mendayagunakan potensi akal dalam mengetahui obyek tahu dan terjadi
pemaknaan pada aspek-aspek tertentu yang membawa wujud perbedaan kualitas dan kuantitas kepemilikan pengetahuan masing-masing inidividu manusia. Hal ini
bergantung pada penggunaan alat, bidang, bentuk, soal, dan obyek yang dipilih dalam berpikir serta tujuan yang akan diperoleh. Situasi ini membawa adanya
tingkat pikiran manusia.
138
Kedelapan, akal adalah potensi pikir yang dapat tercerahkan oleh cahaya
nur ketakwaan dan berkemampuan memanfaatkan fungsinya sesuai
peruntukannya.
139
Akal ini merupakan akal besar yang disinari dengan kesadaran ilahiah
dzikir Allah.
140
Konsep penjelas utama dalam rumusan hakikat akal yang kedelapan, Muhammad Abduh menggunakan cahaya yang mencerahkan nûr, ketakwaan,
akal besar, dan kesadaran ilahiah. Term-term ini tennasuk lazim digunakan oleh para filosof muslim dalam memahami hakikat akal, baik menurut akal maupun
menurut sumber al-Quran dan al-Hadits.
137
Abd al-Aziz al-Darini, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li Alam al-Guyûb hlm. 31.
138
Paryana Suryadipura, Manusia dengan Atomnya dalam Keadaan Sehat dan Sakit, Jakarta:Bumi Aksara, 1994, hlm. 235.
139
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:197. Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 229.
140
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:7. Lihat al-Manâr jld.III, hlm. 171-172.
114
Esensi akal sebagai nûr cahaya dikemukakan oleh Sayidina Ali KW dan Ibn Abbas. Kedua sahabat ini berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan akal
dari nûr yang berkemampuan memahami dan mengetahui obyek tahu. Kegiatannya itu melahirkan sejumlah ilmu.
141
Al-Mawardi mengatakan bahwa akal merupakan substansi halus yang berkemampuan menganalisis dan membeda-bedakan esensi obyek tahu. Akal ini
disebutnya sebagai al-aql al-ghârizi, yaitu potensi yang melekat dan menyatu dengan watak penciptaan dan dapat ditransmisikan melalui pewarisan watak
secara genetis. Sedangkan akal yang berkemampuan mengetahui obyek tahu melalui upaya maksimal dalam meneliti, mengkaji, dan menganalisis obyek tahu
disebut al-aql al-muktasab. Nûr sebagai esensi akal ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Nur. 35 dan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa akal itu
cahaya di dalam qalb yang dapat membedakan yang hak dari yang batil.
142
Akal yang tercerahkan dengan cahaya ketakwaan dan sinar ilahiah, juga dikaji oleh Imam al-Ghazali ketika menafsirkan Q.S al-Syams: 7-9 dan Q.S. al-
Nur. 40, bahwa fungsi nûr itu dapat memperoleh ilmu sebagai nûr juga.
143
Oleh karenanya akal dapat memahami wahyu yang disebut juga sebagai nûr yang
menerangi jalan hidup dan kehidupan manusia dalam menjalankan tugas keabidan
dan kekhalifahan.
144
Akal yang tercerahkan ini, menurut Ibn Miskawih, adalah al-quwwah al-nâthiqah fakultas berpikir yang terhindar dari dominasi al-
quwwah al-ghadhabiyyah fakultas amarah, dan al-quwwah al-syahwaniyyah
fakultas naluri biologis.
145
Akal yang tercerahkan ini disebut pula sebagai akal yang sehat sebagai lawan dari akal yang sakit yang tidak tercerahkan oleh cahaya ilahiyah. Akal sehat
270
141
Lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhâb al-Nafâis, hlm
142
Lihat Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dîn, hlm 20-22.
143
Lihat Imam al-Ghazali, Risalah al-Ladunniyah, hlm. 122.
144
Selanjutnya lihat Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, Psychology of Sufism, terj. Arif Rahmat, Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 1998, hlm. 176, dan Yusuf al-Qardhawy, Al-Quran
dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam al-Marjaiyah al-UIya fi al-Islâm li al-Qurân wa al-Sunnah,
terj. Badruddin Fannani, Jakarta: Robbani Press, 1997, hlm. 359.
145
Lihat Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Tahdzib al-Akhlaq, terj. Zaenul Kamal, Bandung. Mizan, 1994, hlm. 43-44. Suwito mengkaji pemikiran Ibn Miskawaih
mengenai konsep pendidikan sebgai disertasi, lebih lanjut lihat Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak menurut Ibn Miskawaih ,
Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1995
115
inilah yang dapat bergerak ke arah mendekati Pcnciptanya yang Maha Suci, senang dalam ketaatan, mencintai kebenaran, dan benci kebatilan.
146
Akal kabîr, jika dikaitkan dengan struktur otak instrumen bersemayamnya daya pikir sebagaimana dijelaskan oleh Paryana Suryadipura, maka akal kabir
sejalan dengan fungsi akal besar. Otak sebagai pusat kesadaran kognitif disebut pula dengan dua sebutan yaitu alam shagîr dam alam kabîr”. Hal ini
dikemukakan oleh Bahaudin Mughary, menurutnya bahwa, otak manusia mempunyai atau terdiri dari dua pusat. Pertama, adalah pusat yang menuju ke
alam lahir logis, corporiil, materiil, riil yang memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan, dengan dunia luar atau yang disebut alam saghîr. Pusat
yang kedua berfungsi mengadakan hubungan dengan dunia dalam yaitu alam yang irriil, immateriil, abstrak, metafisis, yang juga disebut sebagai alam kabîr”.
147
Kesembilan, akal adalah alat memperoleh hikmah wisdom. la merupakan
neraca setimbang al-mîzân al-Qisth yang mampu menimbang semua getaran hati khawâthir berupa idea, gagasan, kehendak, dan pengetahuan. la mampu
membedakan yumayyizu antara pembentukan konsep satuan pengetahuan berupa pembentukan konsep tashawwurât dan pembentukan keputusan tashdîqât.
148
Dalam rumusan hakikat akal kesembilan tersebut, Abduh lebih menekankan pada aktualisasi metode kerja akal dalam memperoleh pengetahuan,
berupa tata aturan berpikir logis menurut aturan logika manthîq. Hal ini ditunjukkan dengan konsep utama sebagai penjelas hakikat akal, yaitu al-mîzân
al-qisth, al-khawâthir, al-mudrakât, yumayyiz bih, al-tashawwurât dan al-
tashdîqât. al-mîzân al-qisth,
yang secara lughawi berarti timbangan yang setimbang untuk menimbang sesuatu secara setimbang antara timbangan dan yang
146
Lihat Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Ouran The Holy Quran and the Sciences of Nature, terj. Agus Effendi, Bandung. Mizan, 1989, hlm. 102-103, dan Evert K.
Roswon, A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiris Kitab al-Amad ala al-Abad, hlm. 154-160.
147
Bahaudin Mudhary, Setetes Rahasia Alam Tuhan Melalui Peristiwa Metafisika al- Miraj,
Surabaya: Pustaka Progresif, 1996, hlm 124-125.
148
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:269. . Lihat al-Manâr, jld III, hlm. 75.
116
ditimbang, dijadikan oleh Muhammad Abduh sebagai penjelas hakikat akal. Hal ini menunjukkan bahwa akal berfungsi dan mampu menimbang sesuatu yang
abstrak sebagai obyek tahu guna menemukan kebenaran obyektif rasional, sebab al-qisth
juga berarti keadilan yang berarti memposisikan sesuatu sesuai posisi peruntukannya.
149
Term al-mîzân digunakan oleh Imam Ghazali sebagai sebutan bagi proses berpikir logis dengan menggunakan disiplin logika dalam menimbang dan
menemukan hakikat suatu obyek yang dipikirkan oleh akal. Mizan ini disebut pula sebagai mîzân al-Quran tata pikir menurut al-Quran dan mîzân ruhani tata
pikir dunia makna. Obyek mîzân al-Quran ada lima macam, yaitu: 1 marifah tentang Allah. 2 malaikat, 3 kitab, 4 rasul, dan 5 mulk al-Lâh, yakni
kerajaan Allah.
150
Mîzân al-Quran, sebagai tata aturan berpikir logis, dibagi oleh Imam al-
Ghazali menjadi lima macam, yaitu: 1 mîzân al-ta âdul al-kubra penalaran dengan menggunakan pola syakal awal dari qiyas iqtirani , 2 mîzân al-taâdul
al-awsath penalaran dengan menggunakan pola syakal tsani dari qiyas iqtirani,
3 mîzân al-taâdul al-ashghar penalaran dengan menggunakan pola syakal tsalis
dari pola qiyas istitsnai, 4 mîzân al-talâzum penalaran dengan menggunakan pola hukum kausalitas itsbat, dan 5 mîzân al-ta ânud penalaran
dengan menggunakan pola hukum kausalitas nafy.
151
Penjelasan istilah-istilah ini dapat digunakan menjadi bagian analisis epistemologis dalam mengembangkan
ilmu dakwah. Al-khawâthir
berarti lintasan-lintasan pikiran. Term ini merupakan bentuk jama dari al-khâthir, yaitu segala sesuatu yang terlintas dalam hati dan pikiran.
152
Dengan memasukkan term ini ke dalam penjelasan hakikat akal menunjukkan bahwa mekanisme kerja akal melibatkan aspek daya qalb yang berkemampuan
memahami sesuatu.
149
Lihat Ibn Qayim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, hlm. 184.
150
Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, al-Qisthas al-Mustaqîm, dalam al- Qushûr al-Awali,
Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970, hlm 14-15.
151
Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, alQisthas al-Mustaqîm,hlm. 18.
152
Ibrahim Anis dkk.. al-Mu jam al-Wasith,, jld. I. hlm. 243
117
Al-mudrakât berarti segala sesuatu yang diketahui oleh pikiran. la
merupakan bentuk jama dari al-mudrak. Dimasukkannya term ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja akal melibatkan potensi daya nalar, yaitu kemampuan
perseptif atau kognitif. Dalam filsafat Islam, potensi ini disebut al-quwwah al- mudrikah, yaitu
kemampuan perseptif atau kemampuan kognitif. la terdiri dari dua macam: eksternal zâhir dan internal bâtin. Yang disebut pertama meliputi
pancaindera al-hawâsul khamsah yaitu daya peraba, perasa, penciuman, penglihatan, dan pendengaran; dan yang disebut belakangan mencakup indera-
indera dalam, yaitu akal sehat al-hissul al-musytarik, kemampuan formatif al- quwwat al-mutasawwirah,
ingatan al-quwwah al-mutadzakirah, dan kemampuan estimatif al-quwwa al-mutawahhimah. Obyek-obyek yang
diketahui melalui indera-indera luar disebut wajdaniyyat intuisi-intuisi. Apa yang dipersepsi pertama kali dengan indera-indera luar dan kemudian oleh indera-
indera dalam, adalah bentuk obyek-obyek yang dapat diindera, dan apa yang dipersepsi dengan indera-indera dalam sendiri adalah makna dari suatu benda.
153
Yumayyiz bih, berarti dapat membedakan sesuatu yang menjadi obyek
yang dipikirkan oleh akal. Dengan memasukkan term ini, Muhammad Abduh ingin menunjukkan bahwa akal berkemampuan membedakan obyek tahu, memilih
dan memilah mana yang baik dan yang tidak baik. Menurut hasil penelitian Harun Nasution tentang kemampuan dan kekuatan akal dalam pembicaraan persoalan
teologis, ternyata Muhammad Abduh menempatkan kekuatan akal lebih banyak ketimbang kelompok Mutazilah, Asyariyah, Maturidiyyah, Samarkand, dan
Matundiyyah Buchara. Hal ini dikaitkan dengan persoalan hubungan akal dengan wahyu dalam mengetahui sesuatu obyek tahu sebagai basis epistemologis.
154
Berkaitan dengan kekuatan akal dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, Azyumardi Azra berpendapat bahwa
”Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan
153
Syekh Said, Kamus Filsafat Islam, Jakarta:Rajawali Press, 1992, hlm. 122.
154
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teori Rasional Mu tazilah,Jakarta: UI Press, 1987 hlm 56-57.
118
membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber pada wahyu Allah itu temasuk akal dan qalbu hati nurani-nya”.
155
Al-tashawwurât dan al-tashdîqât berarti pembentukan konsep dan
pembentukan keputusan dalam proses berpikir. Dengan memasukkan kedua term tata aturan berpikir ini ke dalam penjelasan hakikat akal, Muhammad Abduh ingin
menunjukkan tentang bentuk mekanisme kerja akal dalam mengetahui obyek tahu melalui tashawwur dan tashdiq.
Tashawwur dan tashdiq didefinisikan oleh Said al-Taftazani, bahwa
Tashawwur adalah memahami makna obyek tahu dengan tidak menghubungkan
dengan makna obyek tahu yang lainnya. Tashdiq adalah memahami hubungan antara satu makna obyek tahu dengan yang lainnya dengan menetapkan antara
satu makna obyek tahu kepada yang lainnya. Yang pertama merupakan kegiatan pembentukan pengertian tarîf dan qawl syarh dan yang kedua merupakan
kegiatan pembentukan dailîl dan hujjah. Al-Jurjani mendefinisikan tashawwur dan tashdîq, bahwa Tashawwur adalah diperolehnya gambaran sesuatu di dalam
memori. Mengetahui sesuatu hakikat dengan tidak menetapkan tetapnya sesuatu atau tidak tetapnya sesuatu atas suatu hakikat. Sedangkan Tashdiq adalah pilihan
menetapkan suatu kebenaran kepada obyek yang diberitakan.
156
Kesepuluh, akal adalah sinonim dengan lub dengan alasan bahwa lub
merupakan tempat daya hidup sesuatu, tempat keistimewaan dan kegunaannya. Sedangkan keistimewaan daya hidup manusia adalah daya akalnya. Setiap akal
memungkinkan untuk dapat mengambil kegunaan dari hasil memperhatikan ayat- ayat Allah dan menjadikannya sebagai dalil atas kekuasaan Allah dan mengambil
hikmahnya.
157
Dalam rumusan penjelasan hakikat akal yang kesepuluh tersebut, Abduh menyamakan hakikat akal dengan hakikat lub, yang secara lughawi berarti
155
Azyumardi Azra, ”Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial” dalam Kehampaan Spiritualitas Masyarakat Modern,
ed. Nurcholis Madjid dkk., Jakarta: Mediacita, 2000, hlm. 391.
156
Lihat Abdullah bin Fadhl al-Khabishi, Syarh al-Khabishi ala Matn Tahdz
î
b al-Manthiq,
Mesir: Jamiah al-Azhar, 1965, hlm. 9, dan Hasan Darwisy al-Quwsyini, Syarh ala Matn al-Sulam,
Surabaya: Maktabah Said bin Nabhan,tt hlm. 10.
157
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:190. Lihat al-Manâr, Jld. IV, hlm.296.
119
mempunyai biji, berotak, benak, dan hati. Bentuk jama dari kata lub adalah albab,
sementara ism failnya adalah labib.
158
Dan lub berfungsi sebagai simbol keunggulan kehidupan manusia yang mampu memikirkan secara mendalam ayat-
ayat Allah sebagai obyek tahu dan mengambil faidah dan hikmah dari hasil pemikirannya itu. Ini kemudian bermuara pada pengakuan akan adanya Maha
Pencipta, yaitu Allah SWT. Muhammad Ismail Ibrabim menjelaskan arti kata lub ini, bahwa Lub-
lubabah berarti memiliki akal. la adalah esensi segala sesuatu. Esensi dari segala
sesuatu adalah kemurnian esensinya, atau substansi dan esensi sesuatu, seperti biji kenari dan sebangsanya yang berada di tengah-tengah benda itu. Lub juga berarti
akal karena ia merupakan substansi manusia. Bentuk jamanya adalah albâb.
159
Dengan memasukkan kemampuan memikirkan sesuatu secara mendalam sehingga mampu memperoleh dan mengambil faidah dalil dan hikmah menjadi
khâshshâh keunggulan pembeda manusia dari yang bukan manusia sebagai
penjelas hakikat akal, Muhammad Abduh hendak menunjukkan bahwa akal memiliki keunggulan dalam memahami obyek tahu sebagai potensi yang hanya
dimiliki oleh pemilik akal. Kemampuan ini, menurut Fakhruddin al-Razi, disebut sebagai al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-aqliyah yang dimiliki manusia
selain al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-hâssah daya pencerapan indera lahir, atau daya sensasi. Dua daya ini masing-masing memiliki macam-macam
kemampuan menurut peruntukannya yang berbeda di antara keduanya.
160
Setelah diketahui akal dapat mengetahui dirinya, sesuatu di luar dirinya, dan tahu proses mengetahuinya, maka dakwah merupakan bagian dari sesuatu di
luar dirinya yang menjadi obyek yang dapat diketahuinya. Implikasi dari konsep akal menurut Muhammad Abduh terhadap pemikiran dakwah antara lain tampak
dalam mengkategorikan mad u yang mesti dihadapi dengan metode hikmah adalah mad u uqala orang yang cerdik pandai. Dan dapat dipahami pula, bahwa
Muhammad Abduh telah memberikan kontribusi epistimologis bagi
158
Lihat Alias A Elias dan Edward E. Elias, Qamûs al-Jayb, terj. Ali Almascatie, Bandung: PT. Al-Maarif, 1983, hlm. 938-939.
159
Muhammad Ismail Ibrahim, Mujam al-Alfâdzh wa al-IIâm al-Qurâniyyah, hlm. 468.
160
Fakhruddin al-Razi, Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld.XII, hlm. 226-229.
120
pengembangan kajian dakwah Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu dalam Islam, dengan menerapkan kaidah-kaidah manthiqiyah dalam pembentukan
konsep dan argumen keilmuan dakwah sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner. Karakteristik epistimologis yang diajukan Muhammad Abduh bercorak rasional
taksonomis tidak rasional dikotomis.
Namun akal juga terbatas, karena terkadang tidak mampu menentukan kebenaran di luar wilayah jangkauannya. Keterbatasan ini terjadi terutama ketika
akal didominasi oleh pengaruh hawa dan syahwat. Untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan perjalanan hidup hakiki menurut pencipta manusia, dengan
demikian, memerlukan hidayah lain yang membimbingnya, yakni macam hidayah keempat yaitu hidâyah al-dîn.
161
Keempat , hidâyah al-dîn hidayah agama. Hidayah al-dîn ini memberikan
petunjuk penjelasan dan bimbingan tentang jalan kehidupan yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan sejati bagi manusia berakal.
Hidayah ini juga memperingatkan jalan kehidupan yang dapat mengantarkan kepada kesesatan dan kecelakaan hidup. Terhadap dua jalan ini manusia berakal
dengan potensi kebebasan kehendak dan kebebasan memilih dapat menentukan pilihannya jalan mana yang akan ditempuh dari kedua jalan kehidupan itu dengan
risikonya masing-masing.
162
Mencermati pandangan Muhammad Abduh mengenai konsep akal, kebebasan berkehendak, kebebasan memilih dalam menentukan tindakan bagi
manusia dan peran hidayah dalam agama Islam tersebut, dapat digolongkan ke dalam teori pilihan rasional atau paradigma tindakan rasional yang diajukan oleh
James S. Coleman W. 1995M, teori ini antara lain menegaskan bahwa, nilai dan norma yang bersumber pada kepercayaan mendasari niyat atau kehendak, dan
kehendak ini melahirkan pilihan tindakan seseorang, ketika menentukan pilihan, rasiolah yang berperan untuk bertindak dan tindakannya itu guna mencapai tujuan
sesuai nilai dan norma yang diyakininya. Kemudian, suatu tindakan atau pilihan
161
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63.
162
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63-64.
121
dapat dikategorikan rasional, jika mengikuti premis yang mendasar dan menjastifikasi pelaksanaannya.
163
Kemudian Muhammad Abduh mengakui bahwa ada satu macam lagi hidayah selain keempat hidayah tersebut, yaitu hidâyah al-i ânah wa al-tawfîq
hidayah perbantuan dan pertepatan. Sehubungan dengan hidayah ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, masih ada hidayah yang lain, yakni apa
yang diungkapkan oleh Allah SWT: „Mereka itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuknya.
164
Apa yang dimaksud dengan hidayah di sini bukanlah hidayah yang telah disebut terdahulu. Hidayah dalam ayat-ayat
terdahulu itu bermakna „dilâlah yang berfungsi untuk menghentikan manusia pada ujung dua jalan kecelakaan dan keselamatan sambil menjelaskan hal-hal
yang bisa meratakan jalan ke arah keduanya. Hidayah ini diberikan oleh Allah secara „cuma-cuma kepada seluruh manusia. Adapun hidayah yang ini bersifat
lebih khusus ketimbang yang tadi. Hidayah ini dimaksudkan sebagai perbantuan dan pertepatan kepada manusia untuk berjalan pada jalan kebaikan dan
keselamatan sambil terarah dengan baik. Hidayah ini tidak diberikan kepada sembarang orang sebagaimana indera, akal, dan syariat agama.
165
Muhammad Abduh memberikan catatan bahwa antara macam hidayah kelima ini dengan hidayah al-dîn tidak ada pertentangan, sebab hidayah yang
diberikan menjadi kewenangan Nabi SAW. adalah memberikan petunjuk kepada kebaikan al-khayr dan kebenaran al-haq, yakni jalan yang lurus al-shirâth al-
mustaqîm , nama lain dari dîn al-islâm. Sedangkan memberikan dan menjadikan
orang menerima dan mencocokkan tata lakunya dengan al-islâm tidak menjadi kewenangan Nabi SAW., tetapi merupakan hak prerogatif Allah SWT, yang
dengan hak-Nya ini Allah memerintahkan kepada manusia untuk berdo a sebagai bukti status kehambaan manusia di hadapan Allah SWT Maha Pencipta. Dengan
163
Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Modern Sociological Theory, oleh Alimandan Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 391-402.
164
Q.S. Al-An âm 6:90.
165
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 64. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al- Fatihah:6. Hidayah al-tawfîq ini disebut juga sebagai al-hidâyah al-qalbiyyah al-bâthiniyyah
hidayah hati batin. Lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aysar al-Tafâsîr lî Kalâm al-„Âly al-Kabîr, jld. I Mesir: Dar al-Salam, 1992, hlm. 15.
122
demikian, menurut Muhammad Abduh, bahwa arti „ihdinâ al-shirâth al- mustaqîm
berilah kami petunjuk yang disertai oleh perbantuan gaib dari sisi-Mu yang memelihara kami dari kesesatan dan kesalahan. Permohonan ini tidak
merupakan do a pertama kita kepada Allah kecuali disebabkan kebutuhan kita terhadapnya lebih besar ketimbang kebutuhan kita terhadap hal-hal lainnya.
166
Jalan yang lurus al-shirâth al-mustaqîm dipahami oleh Muhammad Abduh sebagai totalitas sesuatu yang menghantarkan kita kepada kebahagiaan
dunia akhirat dalam bentuk akidah, adab, hukum, dan ajaran-ajaran.
167
Dalam membuat kategori macam-macam hukum bagian dari unsur ajaran Islam, Muhammad Abduh mengikuti kategori fuqahâ, yaitu wâjib, mandûb,
mubâh , harâm, dan makrûh. Macam-macam hukum ini merupakan sistem nilai
dan norma bagi kahidupan manusia berakal yang menuntut untuk diimplementasikan secara sungguh-sungguh dan berupaya menundukkan segala
tantangan yang datang dari potensi syahwat dan hawâ yang negatif dalam diri individu manusia.
Syahwat keinginan, kecenderungan, dipahami oleh Muhammad Abduh
bahwa, kata „syahawât merupakan bentuk plural dari kata „syahwah yaitu kecenderungan jiwa dengan merasakan kebutuhan atas sesuatu yang dianggapnya
menyenangkan.
168
Hawâ kecondongan jiwa dapat memalingkan dari berbuat adil terhadap
sesuatu dan adil ini merupakan salah satu karakteristik Islam. Term hawâ ini ada yang digabungkan dengan term nafs yang negatif menjadi hawâ al-nafs yang
mengacu pada situasi potensi atau daya kejiwaan manusia yang mendorong kepada hal yang negatif dan dapat mempengaruhi kejernihan akal yang menjadi
penyebab munculnya perbuatan negatif. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan, adapun sebab yang mengakibatkan orang yang sudah
166
Al-Manâr , jld. I, hlm. 65. Berdo a secara psikologis merupakan ekspresi fithrah diniyah
naluri keagamaan manusia, dan bagian dari macam beribadah kepada Maha Pencipta manusia, lihat Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa al-Thabâ iât al-Nafsiyyah, hlm. 105-108.
167
Al-Manâr , jld. I, hlm. 65.
168
Al-Manâr , jld. III, hlm. 238. Ungkapan ini bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran 3:14,
ayat ini mengenai adanya kecenderungan manusia mengenai perhiasan duniawi. Lihat pula Al- Manâr
, jld. III, hlm. 239 dan 246-247.
123
mengetahui hidayah kemudian meninggalkannya tidak diragukan lagi merupakan suatu situasi nafsani yang kuat seperti iri-dengki, perlawanan, ambisi kekuasaan,
kesombongan, nafsu syahwat yang mengalahkan akal, primordialisme, dan perkataan yang memperturutkan hawa nafsu.
169
Kemudian menurut Muhammad Abduh, hidâyah hawâsî disebut pula sebagai al-quwwah al-zhâhirah daya kognisi lahir dan hidâyah „aqal sebagai al-
quwwah al-bâthinah daya kognitif dalam. Masing-masing memiliki aktivitas
sesuai peruntukannya, yakni mengetahui obyek-tahu yang berwujud materi dan immateri. Adapun yang menyertai dua macam hidayah ini, yaitu hawâ al-nafs,
yang mendorong lahirnya al-syahwah al-bâthiniyah keinginan biologis dan hewani. Dengan dorongan keinginan inilah manusia bisa berperilaku seperti al-
an âm hewan ternak bahkan lebih jahat. Oleh karena itu, dengan hidayah akal
yang memiliki quwwah al-tamyîz daya pembeda antara yang hak dan yang batil dan quwwah al-ikhtiyâriyyah daya memilih, manusia dihadapkan pada pilihan
apakah mau melakukan tazkiyyah al-nafs menyucikan jiwa atau tadsiyyah al- nafs
mengotori jiwa. Bagi yang pertama melahirkan perilaku baik dan yang kedua melahirkan perilaku jelek.
170
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, kebahagiaan dan kerugian, keselamatan dan kecelakaan manusia ditentukan oleh perilaku dan pilihannya
sendiri. Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa urusan dan keputusannya terpulang pada usaha dan upaya manusia. Di antara wujud kasih-
sayang Allah SWT kepadanya adalah bahwa Allah memberikan ilham kepada sebagaian anggota manusia dan mengajarinya berbagai jalan petunjuk. Maka,
siapa yang menempuh jalan tersebut beruntung dan berbahagialah dan siapa yang menyalahinya akan merugi dan celaka.
171
169
Al-Manâr , jld. V, hlm. 416. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa:
115, ayat ini mengenai ancaman bagi orang yang tidak mengikuti ajaran Islam.
170
Lihat Syaikh Muhammad Abduh, Tafsîr Juz „Amma Beirut: Dâr Ibn Zaydun, 1989, hlm. 110-111. Penjelasan ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Syams: 7-10 dan Al-Manâr, jld. II,
hlm. 242, jld. IV, hlm. 448.
171
Al-Manâr , jld. I, hlm. 285. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah:
38-39, ayat ini mengenai bagian kisah Adam A.S dan balasan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan orang kafir.
124
Dengan term yang berbeda mengenai kategorisasi nafs yang dimiliki manusia, sebelum Muhammad Abduh telah banyak dikaji oleh para filosof
Muslim di bidang pemikiran akhlak dan tasawuf.
172
Mereka pada umumnya ada yang membagi kepada tiga macam kategori nafs dan ada yang membaginya
menjadi enam macam kategori nafs sebagai hasil istinbâth penalaran deduktif pada teks Al-Qurân yang menyinggung masalah nafs. Al-Tabrizi
173
meyakini bahwa ada tiga macam nafs sebagai daya yang terdapat dalam qalb manusia dan ia
merupakan tempat daya dorong perilaku tercela dan buruk, yaitu: 1 al-nafs al- ammârah bi al-syar
jiwa pendorong pada keburukan, 2 al-nafs al-lawwâmah jiwa pendorong pada penyesalan, dan 3 al-nafs al-muthmainnah jiwa yang
tenang. Ketiga macam nafs ini melahirkan perilaku empiris melalui instrumen pancaindera dan anggota badan lahir, baik yang tercela maupun yang terpuji. Bagi
yang pertama, Al-Tabrizi mengacu pada Q.S. Yusuf: 53, yang kedua mengacu pada Q.S. al-Qiyâmah: 2, dan yang ketiga mengacu pada Q.S. al-Fajr: 27.
174
Dalam pada itu, nafs menurut Muhammad al-Sayid Arnaûth ada enam macam peringkat, yaitu: 1 al-nafs al-ammârah bî al-sûi yang disebut maqâm
zhulumât al-agh yâr tampat kezaliman pada orang-orang lain. Nafs ini
mendorong pada perilaku tercela dan buruk karena kecondongan wataknya pada keinginan-keinginan jasad biologis. Ia tidak mau pada kebaikan. Ini merupakan
peringkat nafs terendah; 2 al-nafs al-lawwâmah yang disebut maqâm hudûts al- anwâr
tempat munculnya cahaya-cahaya. Nafs ini setelah mengikuti dorongan nafs ammârah
segera muncul kesadaran pada dirinya dengan menyesali apa yang telah dilakukannya. Nafs ini lebih atas derajatnya daripada nafs yang pertama; 3
172
Misalnya, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih yang pernah dipelajari oleh Abduh dan juga diajarkan melalui kegiatan belajar-mengajarnya. Lebih lanjut lihat Abu al-Fatah Muhammad Abd
al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 472-477, Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Al-Dirâsah al-Nafsâniyah „inda
al-„Ulamâ al-Muslimin , oleh Gazi Saloom Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 144-148, dan
Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Tahdzîb al-Akhlâq, oleh Helmi Hidayat, Pengantar Zainun Kamal Bandung: Mizan, 1944, hlm. 35-43.
173
Lihat Ahmad bin Muhammad bin al-Malik al-Asy ari al-Tabrizi, Sirâj al-Qulûb, ed. Abd al-Lathif Muhammad al-„Ayd dalam Sittu Rasâil min al-Turâts al-„Arabi al-Islâmi Kairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1981, hlm. 89-90.
174
Zainun Kamal mengajukan hal yang sama dengan tiga macam nafs ini. Lihat Zainun Kamal, Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah , ed. Budhi Munawar-Rahman Jakarta: Paramadina, 1994, hlm. 203-204.
125
al-nafs al-mulhamah jiwa terinspirasi yang disebut maqâm dark al- asrâr fî al-
khayr wa al-syar tempat mengetahui beagam rahasia kebaikan dan keburukan.
Nafs ini berkemampuan mengetahui dan membedakan antara sesuatu yang baik
dengan sesuatu yang buruk dan menjadi basis pertimbangan potensi ikhtiar untuk mengambil putusan pilihan perilaku; 4 al-nafs al-muthmainnah yang disebut
sebagai maqâm al-tawâzun al-nafsî tempat keseimbangan jiwa. Nafs ini berkemampuan mendorong kepada perilaku terpuji dan baik, dengan
menggantikan sifat-sifat yang tercela, seperti rasa cinta, kasih sayang, lemah- lembut, harga diri, dan kedermawanan; 5 al-nafs al-radhiyyah jiwa yang
menerima yang disebut sebagai maqâm nail al-washl tempat memperoleh hubungan. Nafs ini berkemampuan membentuk ketenangan jiwa dengan
menundukkan dorongan dan sifat-sifat tercela dalam dirinya. Ia merasa betah dan rela dalam menjalani kewajiban dan meninggalkan segala larangan yang akan
mengotori dirinya; dan 6 al-nafs al-mardhiyyah jiwa yang diridhai yang disebut dengan maqâm tajâlî al-mawâhib al-ilâhiyyah tempat tampaknya segala
pemberian Tuhan. Nafs ini berkemampuan dalam mewujudkan situasi jiwa selain ridha juga ikhlas tulus dalam menerima dan meyakinkan apa yang ditaklifkan
pada dirinya oleh Allah SWT Maha Pencipta, segala perintah-Nya dilaksanakan dan segala larangan-Nya ditinggalkan.
175
Arnaûth seperti halnya Abu Yusuf bin Hasan al-„Amiri meyakini adanya pengaruh dan mempengaruhi antara nafs yang bersifat immateri dengan jasad
yang bersifat materi. Di sinilah peranan dakwah Islamiyah berlangsung dalam sistem kehidupan psikologis manusia. Menurut Al-Amiri, bahwa ketika wujud
materi dan immateri berinteraksi, maka ada empat macam pengaruh, yakni: 1 pengaruh materi terhadap materi, 2 pengaruh materi terhadap immateri, 3
pengaruh immateri terhadap immateri, dan 4 pengaruh immateri terhadap materi.
176
175
Lihat Muhammad al-Sayyid Arnaûth, al-I jâz al-„Ilmy fî al-Qurân al-Karîm, hlm. 388- 389 dan lihat pula Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 55-58.
176
Lihat Everett K. Roswon, A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-„Amiri s Kitâb al-Amad alâ al-Abad
New York: American Oriental Society, 1988, hlm. 122-126.
126
Muhammad Abduh, seperti halnya mufassir lain, meyakini bahwa manusia dengan berbekal hidayah gharîzah, hawâsî, „aql, agama, dan tawfîq diberikan
amanat dan kewajiban yang melekat dalam fungsi dan peranannya sebagai hamba Allah „abd al-Lâh dan khalifah-Nya di muka bumi. Sehubungan dengan hal ini,
Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk menyembah Allah saja seraya memurnikan agama bagi-Nya. Allah juga
memberikan arahan kepada mereka dengan memberitahukan bahwa Allah memberikan anugrah penciptaan yang sama kepada mereka dan kepada generasi
sebelum mereka untuk beramal secara mandiri.
177
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, maka manusia, dengan bekal daya tersebut, tidak terbatas potensi dan keinginannya, tidak pula terbatas
ilmu dan amalnya. Meski masing-masing individu lemah, ia bisa bekerjasama dalam alam secara tidak terbatas atas izin dan rekayasa Allah. Sebagaimana Allah
memberinya anugrah-anugrah dan hukum-hukum alam tersebut agar tampaknya dengannya serba rahasia penciptaan-Nya dan kerajaan-Nya di muka bumi juga
menundukkan gejala-gejala alam, Allah juga memberinya sejumlah hukum dan ajaran yang mengikat berbagai aktivitas dan moralitasnya, suatu ikatan yang di
luar makar anggota dan kelompoknya satu sama lain. Hukum dan ajaran tersebut membantu manusia untuk sampai pada kesempurnaan karena ia mengarahkan dan
membina akal yang memiliki kelebihan-kelebihan tadi. Atas dasar ini semua, Allah menjadikannya khalifah di muka bumi. Ia merupakan makhluk paling
bermoral dengan predikatnya sebagai khalifah tersebut.
178
Dari pandangan Muhammad Abduh tersebut, sebagai kesimpulan deskriptifnya dapat dipahami bahwa akal menjadi keistimewaan manusia sebagai
khalifah-Nya di muka bumi dalam mengelola kehidupan dan lingkungan alam dengan berbagai macam sumber dayanya untuk kepentingan dan sarana beribadah
kepada Allah SWT. Sebagai hamba Allah, manusia mengemban amanat agar ia
177
Al-Manâr , jld. I, hlm. 185. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah:
21, ayat ini mengenai perintah ibadah hanya kepada Allah SWT.
178
Al-Manâr , jld. I, hlm. 260. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah:
30, ayat ini mengenai informasi rencana Allah menjadikan Adam sebagai khalifah di muka bumi kepada malaikat.
127
hanya tunduk, patuh, taat, dan berbakti kepada dan karena Allah, menlenyapkan segala macam syirik dan pertuhanan kepada hawa nafsu, harta benda dunia,
benda-benda alam, makhluk halus, sesama manusia, dan sebagainya. Dengan demikian aktualisasi aktivitas akal ke dalam prilaku pengamalan Islam merupakan
dakwah transformatif rasional. Sebagai khalifah Allah, manusia mengemban amanat pelaksanaan aturan
Allah di muka bumi agar membina kemakmuran, peradaban, dan kebudayaan menurut aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam hidayah
agama yang membimbing akal manusia. Namun demikian, karena manusia memiliki potensi hawâ al-nafs yang berkemampuan untuk tidak taat, maka
sebagai hamba dan khalifah Allah manusia ada yang menentukan pilihannya dengan kezaliman dan kerusakan di muka bumi.
Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, menurut al-Mawardi, jika akal manusia dapat menaklukkan syahwatnya, maka ia akan lebih baik ketimbang
malaikat. Jika syahwatnya yang menaklukkan akalnya, maka ia akan lebih jelek ketimbang binatang. Hal ini sebagaimana terungkap dalam pernyataan al-Mawardi
bahwa, Allah menyusun malaikat dari akal tanpa syahwat, menyusun binatang dari syahwat tanpa akal, dan merakit manusia dari keduanya. Siapa saja yang
akalnya mengatasi syahwatnya, ia akan lebih baik daripada malaikat. Siapa saja yang syahwatnya menguasai akalnya, ia akan lebih buruk daripada binatang.
179
Selain itu, manusia diajarkan al-bayân oleh Allah swt. Sebagai pembeda dengan yang bukan manusia, al-bayân ini sebagaimana diyakini oleh al-Syaukani
ketika menafsirkan Q.S. Al-Rahman:1-4, yaitu sebagai kemampuan berkomunikasi, dan dakwah Islam adalah “komunikaksi Islam”.
180
179
Abu Hasan Ali al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 36.
180
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual:Refleksi Seorang Cendikiawan Muslim Bandung: Mizan, 1991, hlm. 97. Kajian dakwah sebagai “komunikasi Islam” antara lain
dilakukan oleh R. Agus Toha Kuswata, dalam karyanya Komunikasi Islam dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990 126 hlm, dan M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam:Kritik
terhadap Konsep Komunikas Barat, Bandung:Sahifa, 2008, 267 hlm.
128