48
dan taqrir.
28
Kedua, mempelajari metode Sayyid al-Afghani yang melepaskan Muhammad Abduh dari keterkungkungan dengan ungkapan-ungkapan tekstual
dan membiasakannya berpikir progresif mengikuti kondisi umat Islam kontemporer. Ketiga, ia menggabungkan pengetahuannya itu dengan ilmu-ilmu
Barat dengan membaca terjemahan buku-buku Barat. Kemudian ia mempelajari bahasa Prancis sampai ia dapat membaca buku-buku berbahasa Prancis.
29
3. Karya Tulis
Dalam hal menulis, Muhammad Abduh memang tidak mempunyai kecenderungan menulis, bahkan ia berpendapat bahwa kata-kata yang didengar
dengan baik akan lebih berpengaruh ketimbang kata-kata yang dibaca. Argumen dia adalah “bahwa pandangan, gerakan, isyarat, dan logat body language orang
yang berbicara dapat membantu pendengar memahami maksud pembicaraan,” dan dalam pembicaraan itu “memungkinkan pendengar bertanya langsung mengenai
maksud pembicaraan yang kurang jelas. Dalam kontak tertulis, siapa yang bisa bertanya? Pendengar itu dapat memahami 80 maksud pembicara sedangkan
pembaca hanya memahami 20 maksud penulis.”
30
Pandangan Muhammad Abduh mengenai tradisi penuturan lisan di atas mungkin saja benar. Akan tetapi, meskipun berpandangan begitu, Muhammad
Abduh meninggalkan tulisan yang banyak, yang sebagian besar berbentuk suhuf makalah.
Di antara karya tulis Muhammad Abduh adalah 1 Al-Wâridat, karya tulis pertama dalam bidang ilmu kalam atau tawhid dengan metode dan gaya tasawuf;
27
Lihat Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr
, hlm. 126.
28
Matan adalah ungkapan yang menjelaskan inti dan pokok bahasan, syarah adalah
penjelasan matan, hawasyi adalah penjelasan berupa catatan pinggir yang menjelaskan syarah, dan taqrîr
adalah catatan lanjutan untuk menjelaskan hawasyi. Selanjutnya lihat Ibrahim Anis dkk., al- Mu’jam al-Wasîth
Mesir: Dâr al-Ma arif, 1972, hlm. 853.
29
Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam
, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 49.
30
Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini mungkin berlaku bagi masyarakat berbudaya dengar, tetapi bagi masyarakat berbudaya baca perlu diteliti
49
2 Risâlah fi Wahdah al-Wujûd; 3 Târikh Ismail Basya; 4 Falsafah al-Ijtimâ’ wa al-Tarikh
, ditulis ketika Muhammad Abduh mengajar di Dar al-Ulum dan karya ini ternyata hilang; 5 Hâsyiyah ‘Aqâid al-Jalâl al-Dawani fi ilm al-kalâm,
disebarkan oleh Dar Ihya al-Kutub, al-„Arabiyah dan diedit oleh Sulaiman Dunya dalam dua volume dengan judul Al-Syaikh Muhammad ‘Muhammad Abduh Di
antara Para Filosof dan Ahli Kalam pada tahun 1377 H; 6 Syarh Nahj
al-Balaghah , yaitu penjelasan atas buku karya Syarif Ridha mengenai pidato, kata-
kata hikmah, dan surat-surat Ali bin Thalib KAW. yang telah mengalami berkali-kali cetak ulang; 7 Syarh Maqâmat Badi Zaman al-Hamadzani, suatu
buku cetakan; 8 Syarh al-Bahâir al-Nashiriyah tentang manthiq; 9 Nizhâm al-Tarbiyah wa al-Ta’lîm bi Mishr;
10 Risâlah al-Tauhîd, karya tulis Muhammad Abduh terpenting dan paling terkenal, dicetak berulang kali dan juga
diterima dengan baik di kalangan kaum Nasrani sehingga banyak diantara mereka yang mengusulkan agar buku ini diajarkan di sekolah-sekolah mereka setelah
membuang pembahasan tentang kenabian Muhammad. Sejumlah orang lain mendistribusikan sebagian naskah buku ini dan membacanya dengan penuh rasa
kagum. Muhammad Abduh sendiri tidak mengizinkan siapapun untuk memberi syarh
atau hasyiyah atas buku ini. Menurut Rasyid Ridha, larangan ini disebabkan sering terjadinya penjelasan yang justru menyamarkan maksud yang sudah jelas;
11 Taqrîr Mahâkim al-Syar’iyah; 12 Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyah
, dicetak berulang kali; 13 Tafsîr Juz ‘Amma; 14 Tafsîr al- Manâr;
15 al-Kitâb wa al-Qalam; 16 al-Mudabbir al-Insânî wa al-Mudabbir al-‘Aqlî al-Rûhâni;
dan 17 al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah wa al-Da’wah ilâ al-‘Ulûm al- ‘Ashriyyah
.
31
Mengenai karya tulis dalam bentuk artikel yang dipublikasikan melalui suratkabar, telah terjadi kesimpangsiuran antara karya tulis Muhammad Abduh
dan karya tulis Al-Afghani. Kesimpangsiuran ini terjadi misalnya, dalam
31
Lihat Fahd bin Sulaiman Abdurrahman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr,
hlm. 145-146, dan Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam, Beirut: Muassasah al-„Arabiyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1981, hlm. 31-44.
50
pembahasan. tema-tema fanatisme golongan, qadha-qadar, dan pan-Islamisme dalam Al-‘Urwah al-Wutsqa.
32
C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah
Muhammad Abduh meyakini bahwa ishlâhiyyah reformasi adalah upaya menghidupkan ruh dîn Islam sebagai agama dakwah yang dibawa oleh semua nabi
dan rasul Allah, mengandung sejumlah syariat dan adab untuk memperbaiki dan mencari solusi problem yang diahadapi oleh umat mad’u masing-masing pada
zamannya.
33
Dalam kerangka ishlâhiyah itulah Muhammad Abduh meletakkan tujuan pemikiran dan aktivitas dakwahnya,menurutnya bahwa, dia melaksanakan dakwah
dengan tujuan utama, yaitu; pertama, pikiran dari ikatan taklid, memahami agama menurut metode kaum salaf sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan, kembali
kepada sumbernya yang pertama, dan memahami agama dengan pertimbangan akal manusia yang dianugrahkan oleh Allah dalam upaya memelihara sistem
kehidupan dunia manusia menurut hikmah sunnah Allah. Dalam dakwah ini dia berbeda dengan pendapat dua golongan besar yang membentuk umat kita, yaitu
kelompok penganut ilmu-ilmu agama semata di satu sisi, dan di sisi lain, kelompok yang hanya mempelajari kebudayaan modern saat ini; dan kedua,
mengadakan perbaikan atau ishlâh Bahasa Arab yang digunakan dalam pidato resmi kepemerintahan, penyebaran informasi melalui berbagai tulisan,
penerjemahan, dan surat-menyurat. Selain dari kedua hal tersebut yang Muhammad Abduh serukan adalah,
menyerukan sesuatu yang menjadi tonggak kehidupan masyarakat yang mereka akan lemah dan terhina jika tidak memiliki tonggak itu, yakni memposisikan
32
Aboe Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Salaf, Gerakan Salafiyah di Indonesia, Jakarta: Permata, 1970, hlm. 45 dan Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah
al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 145-146.
33
Lihat Al-Manâr jld. I, hlm. 487-489. Ishlâhiyyah reformasi dan tajdîdipembaharuan adalah bagian dari substansi gerakan dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul Allah SWT.
pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat Muhammad Ahmad al-„Adawy, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ
Mesir: Mushthafa al-babi al-Halabi, 1935, hlm. 448-49, dan Abbas al-„Aqqad,
51
perbedaan antara hak pemerintah untuk ditaati dan hak rakyat untuk diperlakukan secara adil. Muhammad Abduh mengaku termasuk di antara mereka yang
mengajak rakyat untuk mengetahui hak-hak mereka untuk berjuang meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah walaupun harus ditaati, ia manusia biasa yang bisa
bersalah dan dikuasai syahwat kecuali jika dinasihati rakyat baik dengan perkataan ataupun perbuatan.
34
Dalam pernyataan tujuan dakwah yang pertama, Muhammad Abduh menginformasikan mengenai metode salaf sebagai metode pemikiran dakwahnya,
metode ini berintikan memahami Alquran sebagai sumber utama dakwah dengan menggunakan akal sebagai anugrah Allah SWT. secara obyektif rasional dalam
mengintegrasikan pemikiran dikotomis yang menjadi satu problem pada zamannya dalam mengkaji ilmu agama dan ilmu-ilmu yang berasal dari Barat
dengan mengacu pada prinsip-prinsip sunnah Allah, yaitu hukum-hukum ciptaan Allah yang diperuntukkan bagi gerak materi dan gerak immateri.
35
Istilah salaf dalam pernyataan tersebut tidak dijelaskan oleh Muhammad Abduh secara langsung, menurut Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, salaf
adalah sebutan bagi cara sikap, cara berpikir dan cara berperilaku generasi sahabat nabi dan pengikut sahabat nabi dalam mengimplementasikan Alquran menurut
contoh sunnah nabi. Metode salaf manhaj salaf dalam garis besarnya memiliki empat macam
kaidah, yaitu: 1 memahami makna nas-nas Alquran dan hadits secara teliti dan berpegang teguh kepada keduanya; 2 menguatkan pemahaman nas Alquran dan
hadits dengan keterangan para sahabat dan para tabi in melalui ijtihad; 3
mengamalkan isi ajaran Alquran menurut contoh sunnah rasul dalam berakidah, berpikir, berbicara, dan berperilaku serta menjauhkan segala sesuatu yang
Multaqi al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah
Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006, hlm. 27.
34
Lihat Thâhir al-Tanahi ed., Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh Mesir: Dâr al- Hilal, tt., hlm. 18-20, dan Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 64.
35
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 140.
52
bertentangan dengan Alquran dan al-sunnah; dan 4 mendakwahkan Alquran dan al-sunnah dengan lisan dan perbuatan nyata.
36
Jika Muhammad Abduh menggunakan metode salafi, maka secara metodologis dalam menjelaskan konsep dakwah menempuh empat macam kaidah
metode salaf tersebut. Kemudian, dalam pernyataan tujuan dakwah yang ke dua, Muhammad
Abduh menginformasikan bahwa inti pemikiran dan aktivitas dakwahnya adalah ishlâh
perbaikan Bahasa Arab sebagai bahasa agama dan ilmu dalam kegiatan pendidikan macam-macam pidato khithâbah, tulisan di media cetak, dan surat-
menyurat. Selain itu, Muhammad Abduh juga menginformasikan pentingnya menegakkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan
pentingnya menasihati para pejabat birokrasi pemerintahan yang melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, Muhammad Abduh
mengajukan konsep bentuk utama kegiatan dakwah menurut urutan metodisnya berupa dakwah bi ahsan al-qaul dakwah melalui perkataan atau dengan bahasa
lisan yang baik dan dakwah bi ahsan al-‘amal dakwah melalui bahasa perbuatan, dan beberapa macam metode pelaksanaannya dalam memperbaiki dan
mencari solusi problem keumatan. Dalam merealisasikan tujuan da’wah ishlâhiyyah
, Muhammad Abduh telah melakukan ishlâhiyyah pendidikan, politik, jurnalistik, hukum dan kemasyarakatan. Berikut secara singkat berturut-turut
dikemukakan aktivitas ishlâhiyyah yang dilakukan Muhammad Abduh.
1. Ishlâhiyyah Pendidikan
Dengan bekal ijazah sarjana yang telah diperoleh, pada penghujung tahun 1290H, dalam bidang pendidikan
37
, Muhammad Abduh dipercaya mengajar mata
36
Selanjutnya lihat Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah
Kairo: Dâr al-Salam, 1993, hlm. 53-56.
37
Pendidikan al-tarbiyyah, menurut Muhammad al-Sayyid Muhammad Yusuf, dalam al- Tamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm
Mesir: Dâr al-Salâm, 1997, hlm. 95, merupakan bagian dari aktivitas dakwah. Ia menulis:
Ia memadukan makna penyampaian, penjelasan, penghimpunan, pembangunan, pendidikan, kaderisasi, perjuangan, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran.