al-Dâ’iyah fî Nafsih
175
menerima keburukan dinamai ighwâ godaan atau khudzlân kehinaan. Hal ini karena setiap makna yang berbeda membutuhkan nama yang berbeda pula.
29
Ketika menafsirkan QS. Al-Syams 91: 9-10, Muhammad Abduh juga mengemukakan pendapatnya bahwa di dalam nafs manusia Allah memberikan
daya akal yang dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang jelek. Selain itu, Allah juga memberikan daya mampu untuk bebas memilih dan
mengambil keputusan mana yang akan diikuti dari dua jalan yang diketahui oleh akal tersebut, yang masing-masing pilihan memiliki risiko, yaitu jika yang dipilih
itu kebaikan, maka keuntungan yang akan diperoleh dan sebaliknya. Proses pemilihan keputusan ini, bagi yang berisiko keuntungan disebut tazkiyah al-nafs
menyucikan jiwa dan bagi yang berisiko kerugian disebut tadsiyah al-nafs mengotori jiwanya. Sedangkan cara perilaku yang ditempuh, bagi yang pertama
melalui ketaatan atas segala perintah, dan menolak serta meninggalkan segala larangan ajaran Islam.
30
Menurut Muhammad Abduh, kebebasan memilih yang dimiliki manusia pemberian Allah SWT yang dapat mengantarkan perjalanan hidupnya kepada
kebahagiaan adalah jika kebebasan memilih itu berjalan dalam kondisi tuntunan syara. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa, bukanlah kebahagiaan manusia itu
terletak pada kebebasan ala binatang melainkan pada kebebasan yang berada dalam ranah syariat. Maka siapa pun yang mengikuti petunjuk Allah, tidak syak
lagi ia akan merasakan kesenangan yang benar-benar baik dan menghadapi dengan kesabaran segala musibah yang menimpanya dan dengan ketenangan
setiap ancaman musibah. Ia tidak merasa takut, khawatir, dan sedih.
31
Mengacu pada penjelasan Muhammad Abduh mengenai sasaran disyariatkannya Islam dan proses terjadinya kehendak, sikap dan perilaku
29
Al-Manâr , jld. I, hlm. 269. Ilhâm adalah
menyampaikan sesuatu ke dalam hati dengan jalan emanasi yang membuat dada menjadi lapang dan tenang, kemudian ia digunakan di sini dengan arti klarifikasi semata.
Lihat al-Shawi, Hâsyiyah al-„allâmah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalâlain, jld. IV, hlm. 322. Bagi Rasyid Ridha, ilham melalui malaikat dan yang dari setan disebut wiswâs bisikan. Lihat Al-
Manâr , jld. I, hlm. 267.
30
Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm, Juz „Amma, hlm. 110-111.
31
Al-Manâr , jld. I, hlm. 286.
176
manusia, begitu pula pendapat Imam Gazali dan Rasyid Ridha yang telah dikemukakan, maka esensi da wah nafsiyah internalisasi Islam adalah proses
memenangkan daya pengaruh ilhâm taqwâ terhadap ilhâm fujûr dengan cara tazkiyah al-nafs
menyucikan jiwa di dalam diri manusia yang berlangsung terus- menerus sepanjang hayat dikandung badan untuk mencapai kebahagiaan dan
ketenangan jiwa. Mengenai lhâm taqwâ dan ilhâm fujûr dijelaskan oleh Muhammad Abduh,
menurutnya bahwa, lhâm fujûr adalah menyampaikan sesuatu yang menghantarkan jiwa pada kerugian dan kebinasaan.
32
Sedangkan Ilhâm taqwâ adalah menyampaikan sesuatu yang memelihara jiwa dari akibat yang buruk.
Selain menggunakan term tazkiyah nufûs, tazkiyah arwâh, dan tazkiyah „aql
, Muhammad Abduh juga menggunakan term-term lainnya untuk menggambarkan fungsi utama disyariatkannya Islam, yaitu: ishlâh al-nufûs
33
memperbaiki jiwa, ishlâh al-qulûb
34
memperbaiki hati, tarbiyah nafs
35
mendidik jiwa, dan tazkiyah al-„aql
36
menyucikan akal. Dakwah nafsiyah diyakini oleh Muhammad Abduh memiliki fungsi
sebagai upaya mencari solusi problem gangguan dan penyakit hati, yaitu antara lain: syirk menyekutukan Allah, nifâq kepercayaan bohong, riyâ motif amal
bukan karena Allah, al-syak dan al-rayb ragu akan kebenaran yang datang dari Allah, al-hazn sedih negatif, al-khauf takut negatif, al-jahl bodoh, al-taqlîd
ikut-ikutan, khiyânah inkar janji, sû al-khuluq jelek budi pekerti, al-ham bingung, dan yang lainnya.
37
Keyakinan mengenai adanya penyakit hati, secara psikologis sama dengan keyakinan Hasan Muhammad al-Syarqawi, menurutnya bahwa, sesuatu yang
dikategorikan sebagai penyakit hati adalah: 1 al-riyâ motif amal bukan karena Allah; 2 al-ghadhab marah; 3 al-ghaflah lupa yang disengaja; 4 al-
32
Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 110-111.
33
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 367-368.
34
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 244.
35
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 254
36
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223.
37
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 154, 155, dan 184.
177
wiswâs keraguan; 5 al-ya su putus asa; 6 al-ghurûr tipu daya; 7 al-„ujb
membanggakan diri; dan 8 al-hiqd dengki.
38
Metode da wah nafsiyah sebagai upaya mencari solusi macam-macam penyakit hati yang paling utama, menurut Muhammad Abduh, antara lain adalah
sebagai berikut: Pertama
, tawhid Allah, meyakini kemahaesaan Allah, yaitu dengan beriman kepada-Nya yang disertai ketundukan dan kepasrahan atas segala
ketentuan hukum yang diciptakan-Nya. Dalam hal ini Muhammad Abduh menyatakan bahwa, tauhid yang berlawanan dengan syirk merupakan suatu
pembebasan manusia dari perbudakan penghambaan kepada setiap manusia dan benda langit dan bumi. Ia menjadikan manusia merdeka, mulia, dan gagah tidak
tunduk secara ketundukan seorang hamba kecuali kepada Dzat yang kepada hukum-hukum-Nya semua alam raya tunduk sesuai dengan tatanan yang
ditegakkan-Nya dalam hukum kausalitas. Maka, tunduklah terhadap hukum- hukum-Nya yang akurat dan syariat-Nya yang adil, diturunkan, dan diikuti.
Ketundukannya ini semata-mata ketundukan terhadap akal dan nalurinya, bukan kepatuhan terhadap kemanusiaan dan sejawatnya. Adapun ketaatannya terhadap
penentu hukum merupakan wujud ketaatan pada syariat yang ia terima bagi dirinya dan terhadap tata aturan yang ia melihat ada kemaslahatan di dalamnya,
baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain. Ia bukan semacam pengkultusan atas kekuasaan yang dimiliki oleh mereka, tidak pula kehinaan dan kerendahan diri di
hadapan sejumlah orang. Jika mereka konsisten dengan syariat tersebut, Dia akan menolongnya. Bila mereka menyimpang, Dia akan mengutus suatu kelompok
guna meluruskan mereka.
39
Lalu Muhammad Abduh beralasan bahwa, keyakinan akan keberadaan Allah SWT yang Maha Esa dan mengesakan-Nya merupakan dasar utama yang
akan melahirkan kesempurnaan dalam menyucikan potensi ruhaniyah yang berupa
38
Lihat Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al-Islâmi Iskandariyah: Muassasah Sabâb al-Jami ah, 1984, hlm. 103-168.
39
Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 149. Bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-52, beberapa ayat ini mengenai syirik sebagai dosa, kedzaliman, kedustaan dan penyebab memperoleh la nat
Allah.
178
akal dan jiwa. Hal ini ditegaskannya bahwa, tazkiyah al-nafs tidak akan berjalan sempurna kecuali dengan tazkiyah akal sedangkan penyucian akal tidak bisa
sempurna tanpa tauhid yang murni.
40
Kedua , tadabbur berpikir mendalam dan berulang-ulang dan tarawâ
berpikir mempertimbangkan secara teliti dalam menyikapi segala obyek pengetahuan sebagai konsekuensi logis dari keyakinan yang tawhîd khâlish. Hal
ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abduh, antara lain, termasuk ke dalam cakupan perjanjian Allah akbar yang Dia kenakan kepada seluruh manusia
sesuai dengan fitrahnya adalah tadabbur berpikir mendalam dan Tarawa berpikir teliti. Ia menimbang segala sesuatu dengan timbangan akal dan
penalaran yang valid bukan dengan timbangan hawa nafsu dan tipu daya.
41
Ketiga , shabar yaitu tabah, tangguh, dan ulet dalam mengendalikan jiwa
disertai rela, pasrah, dan semangat berikhtiar ketika menjalani ketaatan atas segala perintah meninggalkan segala larangan ajaran Islam dan mengatasi berbagai ujian
hidup. Menurut Muhammad Abduh, bahwa, sabar yang hakiki yang dibangun atas dasar penyerahan diri kepada Allah dapat terwujud dengan mengingat janji
Allah SWT adanya balasan yang baik bagi orang-orang yang sabar dalam melakukan kebajikan yang bisa mengikat jiwa dan menghidari tarikan syahwat
yang haram yang merongrongnya. Juga sabar terwujud dengan mengingat bahwa musibah itu perbuatan Allah dan perlakuannya bagi makhluknya, sehingga
wajiblah tunduk kepada-Nya dan berserah-diri atas perintah-Nya. Di antara keajaiban masalah sabar ini adalah bahwa sabar menjaga manusia dari kerugian
manakala ia bersikap baik dalam segala hal sebagaimana diisyaratkan oleh surah al-„Ashr dan dikuatkan dengan ujian. Sudah tak asing pula bahwa „siapa sabar
40
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 223. Kajian mengenai tazkiyah nafs ini, selanjutnya lihat
Muhammad bin Abdul Wahab, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi Riyad: al-Riasah al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991, dan Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa
al-Thabâ i u al-Nafsiyah Saudi Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966, hlm. 31-34.
41
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 290.
179
pasti beruntung. Kita juga bisa memaknai sabar sebagai salah satu kekuatan jiwa yang mampu menata setiap tindakan yang dilakukannya.
42
Shabar sebagai perilaku qalb dalam pandangan Muhammad Abduh di
atas, merupakan proses aktivitas potensi jiwa yang berintikan syariat Islam, tadzakur
ingat dan sadar akan janji Allah SWT yang akan memberikan balasan kemenangan hidup bagi hamba-Nya yang mau dan merealisasikan sabar di dalam
dirinya. Keempat
, menegakkan ruh shalat sebagai inti dari bukti kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah yang menjadi indikasi pembeda antara status kesejatian
seorang Muslim dan bukan muslim, juga sebagai pilar Islam. Mengenai urgensi menegakkan ruh salat ini, Muhammad Abduh menempatkannya sebagai urutan
kedua dalam penyajian pesan dakwah, menurutnya bahwa, setelah berdakwah kepada arah keimanan yang mantap, ia menyeru mereka terhadap amal saleh
dengan cara-cara yang efektif dan diridhai oleh Allah SWT. Mereka memang tersesat dengan berpegang hanya pada benda-benda lahiriah dan berhenti hanya
pada gambar-gambar. Mereka memang sudah melaksanakan salat tetapi mereka belum menegakkan salat, karena menegakkan berarti menunaikan sesuatu secara
sempurna. Dalam hal salat, menegakkan berarti menghadap Allah SWT dengan hati dan konsentrasi di hadapan-Nya, bersikap ikhlas bagi-Nya dalam berdzikir,
berdo a, dan memuji-Nya. Inilah ruh salat yang merupakan tujuan disyariatkannya dan salat tidak disyariatkan sekadar formalitas. Formalitas bentuk ibadah salat itu
berubah-ubah dalam hukum Allah SWT sejalan dengan sunah para nabi-Nya, karena ia merupakan benang merah syariat kenabian. Para nabi tidak mengajarkan
salat yang sama bentuk formalnya, namun ruh tadi tetap tidak berubah. Ruh itu sama dari nabi ke nabi dan tidak pernah dihapus dalam suatu agama pun.
43
Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa perilaku qalbu yang digunakan oleh potensi daya pilih quwwah
42
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 298-299. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah 43-46, ayat-ayat ini mengenai perintah shalat, zakat dan tunduk atas
segala perintah dan larangan melupakan diri dari berbuat kebaikan.
43
Al-Manâr , jld I, hlm. 293. Kajian mengenai ruh salat antara lain dikaji oleh Syaikh
Mushafa Masyhur dalam karyanya al-Hayâh fi Mihrab al-Shalâh, diterjemahkan oleh Abu Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
180
„aqliyah di dalam diri manusia dalam upaya menyucikan ruh, akal, dan nafs,
yaitu: 1 merasakan kehadiran Allah dalam jiwa tawajjuh; 2 meyakini akan menemui Allah khusyu ; 3 ketulusan motivasi segala amal ikhlâsh; 3
mengingat Allah dzikr; 4 berdo a kepada Allah du â; dan 5 memuji Allah tsanâ atas segala anugrah nikmat lahir dan batin yang telah diberikan kepada
dirinya sebagai hamba Allah SWT.
44
Kemudian, Muhammad Abduh juga lebih menekankan lagi bahwa, sasaran utama dari menegakkan ruh salat adalah upaya ishlâh nufûs al-afrâd
memperbaiki jiwa individu agar terwujud suasana ketenangan jiwa, kesejahteraan lahir-batin, dan memperoleh segala kebaikan hidup menurut ajaran
Islam di dunia kini dan di akhirat kelak.
45
Para penulis psikologi Islami modern percaya bahwa hikmah di balik perintah do a, wudlu, salat, saum, tobat, sabar, dan membaca Al-Qurân adalah
bagian dari proses syifâ al-nafs penyembuhan gangguan kejiwaan.
46
Kelima, muhâsabah fî nafsih introspeksi dan evaluasi diri atau muhâsabah nafsiyyah
merupakan proses pemeliharaan dan penjagaan situasi kejiwaan yang berada pada posisi nafs muthmainnah, sebab pengaruh dari internal
dan eksternal diri manusia berupa wiswâs bisikan yang mendorong untuk menyimpang dari situasi stabil baik oleh jin kafir maupun oleh manusia yang
perilakunya didominasi oleh nafs ammârah sebagai pembangkit setan jin kafir. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku hati dan
perilaku ragawi manusia secara individual dan komunal yang akan berakibat baik dan buruk pada berkesinambungan dan tidaknya posisi nafs muthmainnah,
sehingga upaya muhâsabah nafsiyyah menjadi amat penting sebagai bagian dari metode irsyâd nafsi. Oleh karenanya, Muhammad Abduh antara lain menegaskan
44
Bandingkan dengan kajian Majid al-Hilâli, Fal nabda Bi Anfusinâ, Kairo: Dâr al- Thabaah al-Islamiyah,1994, hlm. 10-104.
45
Lihat Al-Manâr, jld I, hlm. 367-369.
46
Lebih lanjut, lihat antara lain Abd al-Rahman al-„Aysawi, al-Islâm wa „Ilâj al-Nafs Al- Akarithah: Dâr al-Fikr, 1986, hlm. 50-52, Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al-
Islâmi , hlm. 169-280, Taufiq „Ulwan, Mu jizah al-Shalah Kairo: Dâr al-Wafa, 1988, hlm. 58-59,
Saleh Bahtiar, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry
Bandung: Mizan, 2007, hlm. 25- 28.
181
bahwa, hendaklah umat menghisab dirinya baik secara individual maupun komunal agar kondisi mereka tidak seperti kondisi masyarakat terdahulu
sebagaimana dikabarkan Al-Qurân, sehingga mereka dihukumi sama dengan masyarakat sebelumnya. Hal ini disebabkan balasan itu diberikan menurut
kegiatan hati dan raga, bukan menurut kesukaan orang-orang atau kelompok dan tidak pula permusuhannya.
47
Muhammad Abduh percaya bahwa salah satu dari cara muhâsabah nafsiyyah
yang paling utama adalah upaya aplikasi perintah dzikir kepada Allah, sebab ia merupakan ruh al-dîn yang mesti mewarnai setiap amal perbuatan nyata.
Menurutnya bahwa, dzikir terpenting yang merupakan ruh agama adalah mengingat Allah SWT. pada setiap kegiatan dari amal-amal yang tadi. Itu
merupakan sunah Al-Qurân yang menyebut penegakan salat dan khusyu di dalamnya itu tiada lain adalah dzikir kepada Allah SWT., berdo a kepada-Nya,
dan pengaruhnya bagi perbaikan jiwa.
48
Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai da wah nafsiyah ini, maka dapat dikonseptualisasikan bahwa da wah nafsiyah sebagai proses internalisasi
Islam pada tingkat intraindividu Muslim yang melibatkan unsur dâ i-mad u dirinya sendiri dengan cara iman yang tauhid, tadabbur-tarawa, shabar, iqâmah
rûh al-shalâh, dan muhâsabah nafsiyyah untuk mewujudkan situasi nafs
muthmainnah berupa kehidupan yang hasanah di dunia kini dan di akhirat
kelak.
49
47
Al-Manâr , jld I, hlm. 297. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-
Baqarah: 44, ayat ini mengenai larangan melupakan diri dari berbuat baik.
48
Al-Manâr , jld II, hlm. 242. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-
Baqarah: 203. Dalam Al-Qurân surah al-Ahzâb 33 ayat 41, perintah dzikir ini diberi keterangan dengan sebanyak-banyaknya. Kajian mengenai muhâsabah nafsiyah ini lebih lanjut lihat Majdi al-
Hilâli, Falnabda bî Anfusinâ Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994, hlm. 53-55, 154-164.
49
Dalam beberapa hal proses internalisasi ini dalam sudut pandang teori komunikasi adalah termasuk komunikasi intraindividu. Kajian lebih lanjut, lihat Larry L. Braker, Communication
New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984, hlm. 103-108 dan B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi
, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Soejono Trimo Bandung: CV. Remaja Karya, 1986, 231-233. Kajian teoritik mengenai intraindividu ini, antara lain dijelaskan
melalui interaksionisme simbolis oleh George Herbert Mead 1934 dan Herbert Blumer 1969, yang percaya bahwa manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan,
bermasyarakat, dan buah pikiran. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Di dalam diri manusia terdapat dualisme esensi yang disebut “I”
182