al-Dâ’iyah fî Nafsih

175 menerima keburukan dinamai ighwâ godaan atau khudzlân kehinaan. Hal ini karena setiap makna yang berbeda membutuhkan nama yang berbeda pula. 29 Ketika menafsirkan QS. Al-Syams 91: 9-10, Muhammad Abduh juga mengemukakan pendapatnya bahwa di dalam nafs manusia Allah memberikan daya akal yang dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang jelek. Selain itu, Allah juga memberikan daya mampu untuk bebas memilih dan mengambil keputusan mana yang akan diikuti dari dua jalan yang diketahui oleh akal tersebut, yang masing-masing pilihan memiliki risiko, yaitu jika yang dipilih itu kebaikan, maka keuntungan yang akan diperoleh dan sebaliknya. Proses pemilihan keputusan ini, bagi yang berisiko keuntungan disebut tazkiyah al-nafs menyucikan jiwa dan bagi yang berisiko kerugian disebut tadsiyah al-nafs mengotori jiwanya. Sedangkan cara perilaku yang ditempuh, bagi yang pertama melalui ketaatan atas segala perintah, dan menolak serta meninggalkan segala larangan ajaran Islam. 30 Menurut Muhammad Abduh, kebebasan memilih yang dimiliki manusia pemberian Allah SWT yang dapat mengantarkan perjalanan hidupnya kepada kebahagiaan adalah jika kebebasan memilih itu berjalan dalam kondisi tuntunan syara. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa, bukanlah kebahagiaan manusia itu terletak pada kebebasan ala binatang melainkan pada kebebasan yang berada dalam ranah syariat. Maka siapa pun yang mengikuti petunjuk Allah, tidak syak lagi ia akan merasakan kesenangan yang benar-benar baik dan menghadapi dengan kesabaran segala musibah yang menimpanya dan dengan ketenangan setiap ancaman musibah. Ia tidak merasa takut, khawatir, dan sedih. 31 Mengacu pada penjelasan Muhammad Abduh mengenai sasaran disyariatkannya Islam dan proses terjadinya kehendak, sikap dan perilaku 29 Al-Manâr , jld. I, hlm. 269. Ilhâm adalah menyampaikan sesuatu ke dalam hati dengan jalan emanasi yang membuat dada menjadi lapang dan tenang, kemudian ia digunakan di sini dengan arti klarifikasi semata. Lihat al-Shawi, Hâsyiyah al-„allâmah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalâlain, jld. IV, hlm. 322. Bagi Rasyid Ridha, ilham melalui malaikat dan yang dari setan disebut wiswâs bisikan. Lihat Al- Manâr , jld. I, hlm. 267. 30 Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm, Juz „Amma, hlm. 110-111. 31 Al-Manâr , jld. I, hlm. 286. 176 manusia, begitu pula pendapat Imam Gazali dan Rasyid Ridha yang telah dikemukakan, maka esensi da wah nafsiyah internalisasi Islam adalah proses memenangkan daya pengaruh ilhâm taqwâ terhadap ilhâm fujûr dengan cara tazkiyah al-nafs menyucikan jiwa di dalam diri manusia yang berlangsung terus- menerus sepanjang hayat dikandung badan untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Mengenai lhâm taqwâ dan ilhâm fujûr dijelaskan oleh Muhammad Abduh, menurutnya bahwa, lhâm fujûr adalah menyampaikan sesuatu yang menghantarkan jiwa pada kerugian dan kebinasaan. 32 Sedangkan Ilhâm taqwâ adalah menyampaikan sesuatu yang memelihara jiwa dari akibat yang buruk. Selain menggunakan term tazkiyah nufûs, tazkiyah arwâh, dan tazkiyah „aql , Muhammad Abduh juga menggunakan term-term lainnya untuk menggambarkan fungsi utama disyariatkannya Islam, yaitu: ishlâh al-nufûs 33 memperbaiki jiwa, ishlâh al-qulûb 34 memperbaiki hati, tarbiyah nafs 35 mendidik jiwa, dan tazkiyah al-„aql 36 menyucikan akal. Dakwah nafsiyah diyakini oleh Muhammad Abduh memiliki fungsi sebagai upaya mencari solusi problem gangguan dan penyakit hati, yaitu antara lain: syirk menyekutukan Allah, nifâq kepercayaan bohong, riyâ motif amal bukan karena Allah, al-syak dan al-rayb ragu akan kebenaran yang datang dari Allah, al-hazn sedih negatif, al-khauf takut negatif, al-jahl bodoh, al-taqlîd ikut-ikutan, khiyânah inkar janji, sû al-khuluq jelek budi pekerti, al-ham bingung, dan yang lainnya. 37 Keyakinan mengenai adanya penyakit hati, secara psikologis sama dengan keyakinan Hasan Muhammad al-Syarqawi, menurutnya bahwa, sesuatu yang dikategorikan sebagai penyakit hati adalah: 1 al-riyâ motif amal bukan karena Allah; 2 al-ghadhab marah; 3 al-ghaflah lupa yang disengaja; 4 al- 32 Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 110-111. 33 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 367-368. 34 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 244. 35 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 254 36 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. 37 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 154, 155, dan 184. 177 wiswâs keraguan; 5 al-ya su putus asa; 6 al-ghurûr tipu daya; 7 al-„ujb membanggakan diri; dan 8 al-hiqd dengki. 38 Metode da wah nafsiyah sebagai upaya mencari solusi macam-macam penyakit hati yang paling utama, menurut Muhammad Abduh, antara lain adalah sebagai berikut: Pertama , tawhid Allah, meyakini kemahaesaan Allah, yaitu dengan beriman kepada-Nya yang disertai ketundukan dan kepasrahan atas segala ketentuan hukum yang diciptakan-Nya. Dalam hal ini Muhammad Abduh menyatakan bahwa, tauhid yang berlawanan dengan syirk merupakan suatu pembebasan manusia dari perbudakan penghambaan kepada setiap manusia dan benda langit dan bumi. Ia menjadikan manusia merdeka, mulia, dan gagah tidak tunduk secara ketundukan seorang hamba kecuali kepada Dzat yang kepada hukum-hukum-Nya semua alam raya tunduk sesuai dengan tatanan yang ditegakkan-Nya dalam hukum kausalitas. Maka, tunduklah terhadap hukum- hukum-Nya yang akurat dan syariat-Nya yang adil, diturunkan, dan diikuti. Ketundukannya ini semata-mata ketundukan terhadap akal dan nalurinya, bukan kepatuhan terhadap kemanusiaan dan sejawatnya. Adapun ketaatannya terhadap penentu hukum merupakan wujud ketaatan pada syariat yang ia terima bagi dirinya dan terhadap tata aturan yang ia melihat ada kemaslahatan di dalamnya, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain. Ia bukan semacam pengkultusan atas kekuasaan yang dimiliki oleh mereka, tidak pula kehinaan dan kerendahan diri di hadapan sejumlah orang. Jika mereka konsisten dengan syariat tersebut, Dia akan menolongnya. Bila mereka menyimpang, Dia akan mengutus suatu kelompok guna meluruskan mereka. 39 Lalu Muhammad Abduh beralasan bahwa, keyakinan akan keberadaan Allah SWT yang Maha Esa dan mengesakan-Nya merupakan dasar utama yang akan melahirkan kesempurnaan dalam menyucikan potensi ruhaniyah yang berupa 38 Lihat Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al-Islâmi Iskandariyah: Muassasah Sabâb al-Jami ah, 1984, hlm. 103-168. 39 Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 149. Bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-52, beberapa ayat ini mengenai syirik sebagai dosa, kedzaliman, kedustaan dan penyebab memperoleh la nat Allah. 178 akal dan jiwa. Hal ini ditegaskannya bahwa, tazkiyah al-nafs tidak akan berjalan sempurna kecuali dengan tazkiyah akal sedangkan penyucian akal tidak bisa sempurna tanpa tauhid yang murni. 40 Kedua , tadabbur berpikir mendalam dan berulang-ulang dan tarawâ berpikir mempertimbangkan secara teliti dalam menyikapi segala obyek pengetahuan sebagai konsekuensi logis dari keyakinan yang tawhîd khâlish. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abduh, antara lain, termasuk ke dalam cakupan perjanjian Allah akbar yang Dia kenakan kepada seluruh manusia sesuai dengan fitrahnya adalah tadabbur berpikir mendalam dan Tarawa berpikir teliti. Ia menimbang segala sesuatu dengan timbangan akal dan penalaran yang valid bukan dengan timbangan hawa nafsu dan tipu daya. 41 Ketiga , shabar yaitu tabah, tangguh, dan ulet dalam mengendalikan jiwa disertai rela, pasrah, dan semangat berikhtiar ketika menjalani ketaatan atas segala perintah meninggalkan segala larangan ajaran Islam dan mengatasi berbagai ujian hidup. Menurut Muhammad Abduh, bahwa, sabar yang hakiki yang dibangun atas dasar penyerahan diri kepada Allah dapat terwujud dengan mengingat janji Allah SWT adanya balasan yang baik bagi orang-orang yang sabar dalam melakukan kebajikan yang bisa mengikat jiwa dan menghidari tarikan syahwat yang haram yang merongrongnya. Juga sabar terwujud dengan mengingat bahwa musibah itu perbuatan Allah dan perlakuannya bagi makhluknya, sehingga wajiblah tunduk kepada-Nya dan berserah-diri atas perintah-Nya. Di antara keajaiban masalah sabar ini adalah bahwa sabar menjaga manusia dari kerugian manakala ia bersikap baik dalam segala hal sebagaimana diisyaratkan oleh surah al-„Ashr dan dikuatkan dengan ujian. Sudah tak asing pula bahwa „siapa sabar 40 Al-Manâr , jld. IV, hlm. 223. Kajian mengenai tazkiyah nafs ini, selanjutnya lihat Muhammad bin Abdul Wahab, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi Riyad: al-Riasah al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991, dan Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa al-Thabâ i u al-Nafsiyah Saudi Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966, hlm. 31-34. 41 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 290. 179 pasti beruntung. Kita juga bisa memaknai sabar sebagai salah satu kekuatan jiwa yang mampu menata setiap tindakan yang dilakukannya. 42 Shabar sebagai perilaku qalb dalam pandangan Muhammad Abduh di atas, merupakan proses aktivitas potensi jiwa yang berintikan syariat Islam, tadzakur ingat dan sadar akan janji Allah SWT yang akan memberikan balasan kemenangan hidup bagi hamba-Nya yang mau dan merealisasikan sabar di dalam dirinya. Keempat , menegakkan ruh shalat sebagai inti dari bukti kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah yang menjadi indikasi pembeda antara status kesejatian seorang Muslim dan bukan muslim, juga sebagai pilar Islam. Mengenai urgensi menegakkan ruh salat ini, Muhammad Abduh menempatkannya sebagai urutan kedua dalam penyajian pesan dakwah, menurutnya bahwa, setelah berdakwah kepada arah keimanan yang mantap, ia menyeru mereka terhadap amal saleh dengan cara-cara yang efektif dan diridhai oleh Allah SWT. Mereka memang tersesat dengan berpegang hanya pada benda-benda lahiriah dan berhenti hanya pada gambar-gambar. Mereka memang sudah melaksanakan salat tetapi mereka belum menegakkan salat, karena menegakkan berarti menunaikan sesuatu secara sempurna. Dalam hal salat, menegakkan berarti menghadap Allah SWT dengan hati dan konsentrasi di hadapan-Nya, bersikap ikhlas bagi-Nya dalam berdzikir, berdo a, dan memuji-Nya. Inilah ruh salat yang merupakan tujuan disyariatkannya dan salat tidak disyariatkan sekadar formalitas. Formalitas bentuk ibadah salat itu berubah-ubah dalam hukum Allah SWT sejalan dengan sunah para nabi-Nya, karena ia merupakan benang merah syariat kenabian. Para nabi tidak mengajarkan salat yang sama bentuk formalnya, namun ruh tadi tetap tidak berubah. Ruh itu sama dari nabi ke nabi dan tidak pernah dihapus dalam suatu agama pun. 43 Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa perilaku qalbu yang digunakan oleh potensi daya pilih quwwah 42 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 298-299. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah 43-46, ayat-ayat ini mengenai perintah shalat, zakat dan tunduk atas segala perintah dan larangan melupakan diri dari berbuat kebaikan. 43 Al-Manâr , jld I, hlm. 293. Kajian mengenai ruh salat antara lain dikaji oleh Syaikh Mushafa Masyhur dalam karyanya al-Hayâh fi Mihrab al-Shalâh, diterjemahkan oleh Abu Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. 180 „aqliyah di dalam diri manusia dalam upaya menyucikan ruh, akal, dan nafs, yaitu: 1 merasakan kehadiran Allah dalam jiwa tawajjuh; 2 meyakini akan menemui Allah khusyu ; 3 ketulusan motivasi segala amal ikhlâsh; 3 mengingat Allah dzikr; 4 berdo a kepada Allah du â; dan 5 memuji Allah tsanâ atas segala anugrah nikmat lahir dan batin yang telah diberikan kepada dirinya sebagai hamba Allah SWT. 44 Kemudian, Muhammad Abduh juga lebih menekankan lagi bahwa, sasaran utama dari menegakkan ruh salat adalah upaya ishlâh nufûs al-afrâd memperbaiki jiwa individu agar terwujud suasana ketenangan jiwa, kesejahteraan lahir-batin, dan memperoleh segala kebaikan hidup menurut ajaran Islam di dunia kini dan di akhirat kelak. 45 Para penulis psikologi Islami modern percaya bahwa hikmah di balik perintah do a, wudlu, salat, saum, tobat, sabar, dan membaca Al-Qurân adalah bagian dari proses syifâ al-nafs penyembuhan gangguan kejiwaan. 46 Kelima, muhâsabah fî nafsih introspeksi dan evaluasi diri atau muhâsabah nafsiyyah merupakan proses pemeliharaan dan penjagaan situasi kejiwaan yang berada pada posisi nafs muthmainnah, sebab pengaruh dari internal dan eksternal diri manusia berupa wiswâs bisikan yang mendorong untuk menyimpang dari situasi stabil baik oleh jin kafir maupun oleh manusia yang perilakunya didominasi oleh nafs ammârah sebagai pembangkit setan jin kafir. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku hati dan perilaku ragawi manusia secara individual dan komunal yang akan berakibat baik dan buruk pada berkesinambungan dan tidaknya posisi nafs muthmainnah, sehingga upaya muhâsabah nafsiyyah menjadi amat penting sebagai bagian dari metode irsyâd nafsi. Oleh karenanya, Muhammad Abduh antara lain menegaskan 44 Bandingkan dengan kajian Majid al-Hilâli, Fal nabda Bi Anfusinâ, Kairo: Dâr al- Thabaah al-Islamiyah,1994, hlm. 10-104. 45 Lihat Al-Manâr, jld I, hlm. 367-369. 46 Lebih lanjut, lihat antara lain Abd al-Rahman al-„Aysawi, al-Islâm wa „Ilâj al-Nafs Al- Akarithah: Dâr al-Fikr, 1986, hlm. 50-52, Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al- Islâmi , hlm. 169-280, Taufiq „Ulwan, Mu jizah al-Shalah Kairo: Dâr al-Wafa, 1988, hlm. 58-59, Saleh Bahtiar, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry Bandung: Mizan, 2007, hlm. 25- 28. 181 bahwa, hendaklah umat menghisab dirinya baik secara individual maupun komunal agar kondisi mereka tidak seperti kondisi masyarakat terdahulu sebagaimana dikabarkan Al-Qurân, sehingga mereka dihukumi sama dengan masyarakat sebelumnya. Hal ini disebabkan balasan itu diberikan menurut kegiatan hati dan raga, bukan menurut kesukaan orang-orang atau kelompok dan tidak pula permusuhannya. 47 Muhammad Abduh percaya bahwa salah satu dari cara muhâsabah nafsiyyah yang paling utama adalah upaya aplikasi perintah dzikir kepada Allah, sebab ia merupakan ruh al-dîn yang mesti mewarnai setiap amal perbuatan nyata. Menurutnya bahwa, dzikir terpenting yang merupakan ruh agama adalah mengingat Allah SWT. pada setiap kegiatan dari amal-amal yang tadi. Itu merupakan sunah Al-Qurân yang menyebut penegakan salat dan khusyu di dalamnya itu tiada lain adalah dzikir kepada Allah SWT., berdo a kepada-Nya, dan pengaruhnya bagi perbaikan jiwa. 48 Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai da wah nafsiyah ini, maka dapat dikonseptualisasikan bahwa da wah nafsiyah sebagai proses internalisasi Islam pada tingkat intraindividu Muslim yang melibatkan unsur dâ i-mad u dirinya sendiri dengan cara iman yang tauhid, tadabbur-tarawa, shabar, iqâmah rûh al-shalâh, dan muhâsabah nafsiyyah untuk mewujudkan situasi nafs muthmainnah berupa kehidupan yang hasanah di dunia kini dan di akhirat kelak. 49 47 Al-Manâr , jld I, hlm. 297. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al- Baqarah: 44, ayat ini mengenai larangan melupakan diri dari berbuat baik. 48 Al-Manâr , jld II, hlm. 242. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al- Baqarah: 203. Dalam Al-Qurân surah al-Ahzâb 33 ayat 41, perintah dzikir ini diberi keterangan dengan sebanyak-banyaknya. Kajian mengenai muhâsabah nafsiyah ini lebih lanjut lihat Majdi al- Hilâli, Falnabda bî Anfusinâ Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994, hlm. 53-55, 154-164. 49 Dalam beberapa hal proses internalisasi ini dalam sudut pandang teori komunikasi adalah termasuk komunikasi intraindividu. Kajian lebih lanjut, lihat Larry L. Braker, Communication New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984, hlm. 103-108 dan B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi , terj. Perspectives on Human Communication, oleh Soejono Trimo Bandung: CV. Remaja Karya, 1986, 231-233. Kajian teoritik mengenai intraindividu ini, antara lain dijelaskan melalui interaksionisme simbolis oleh George Herbert Mead 1934 dan Herbert Blumer 1969, yang percaya bahwa manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, bermasyarakat, dan buah pikiran. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Di dalam diri manusia terdapat dualisme esensi yang disebut “I” 182

2. al-Da’wah al-Fardiyah

Penjelasan Muhammad Abduh yang esensinya dapat dikategorikan kepada al-da wah al-fardiyah ketika menggambarkan isi bentuk al-da wah al-juz iyah al- khâshah ini, menurut Muhammad Abduh adalah dakwah yang berlangsung antarindividu baik di kalangan orang pandai maupun orang yang bodoh, di antara kedua pihak sudah saling mengenal dengan cara: 1 dilâlah al-khayr memberikan petunjuk kepada kebaikan, 2 al-hats „alâ al-khayr memotivasi melakukan kebaikan, 3 al-nahy „an al-syar mencegah dari kejelekan, 4 al- tahdzîr min al-syar memperingatkan agar menghindari kejelekan, 5 al- tawshiyah bi al-haq saling mengingatkan dengan kebenaran, dan 6 al- tawshiyah bi al-shabr saling mengingatkan dengan kesabaran, untuk mewujudkan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi. 50 Shaqr menjelaskan al-da wah al-fardiyah sebagai dakwah fardiyah, yaitu dakwah yang diarahkan kepada satu orang mad u atau satu kelompok kecil orang bukan dalam bentuk komunitas sebagaimana diketahui dan biasanya terjadi secara tidak terencana. Misalnya, pertemuan spontan, ngobrol-ngobrol, diskusi informal kerabat kerja, lingkaran diskusi, dan semacamnya. 51 Term al-da wah al- fardiyah dakwah antarindividu sudah mulai digunakan dalam karya tulis tentang dakwah Islam menurut levelnya, antara lain oleh Abd al-Badi Shaqr. Sedangkan Abd al-Aziz al-Khuly menyebutnya dengan al-wa zh al-dîni pengajaran keagamaan. Pendapat yang sama dikemukakan Sayid Muhammad Nuh 52 dan Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani. 53 Di dalam penjelasan Shaqr di atas, dakwah fardiyah dicirikan oleh beberapa hal, yaitu: dapat berlangsung dalam suasana bertatap-muka antara dâ i- mad u masing-masing satu orang, dapat berlangsung dâ i satu orang dan saya dan “me”aku. Interaksi antara “I” dan “me” inilah di dalam diri self terjadi proses menginternalisasikan segala sesuatu yang berupa stimuli, dan stimuli itu adalah pesan komunikasi itu sendiri. 50 Lihat Al-Manar, jld.IV, hlm. 28. 51 Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs, hlm. 25 dan lihat Muhammad Abd Aziz al- Khuli, Ishlah al-Wa adz al-Dini, Beirut: Dar al-Fikr, 1969 hlm. 8. 52 Lihat al-Sayid Muhammad Nuh, Fiqh Da wah al-Fardiyah fi al-Manhaj al-Islamy, Mesir: Dar al-Wafa, 1991, hlm. 35. 53 Lihat Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani, al-Da wah al-Islamiyah li al-Afrad wa al-Syabaib, Madinah al-Munawarah: Dar al-Zaman, 2008, hlm. 7. 183 mad u nya kelompok kecil fi ah qalîlah, dapat berlangsung dalam suasana pertemuan yang terjadi secara tiba-tiba, yang tidak direncanakan sebelumnya, dapat berlangsung dalam suatu majelis tertentu, pertemuan diskusi, kelompok- kelompok pengkajian dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pandangan Shaqr, dakwah fardiyah terdiri atas dua macam level, ayitu da wah syakhshiyah interaksi antarindividu dâ i-mad u dalam suasana tatap-muka dan da wah fi ah qalîlah dâ i berinteraksi dengan kelompok kecil dalam suasana tatap-muka. 54 Dalam kehidupan antar pribadi dalam kelompok, selalu beragam dalam berbagai hal, misalnya tidak sama kemampuan berusaha, status sosial, ilmu pengetahuan dan kepemilikan harta benda. Oleh sebab itu diperlukan adanya interaksi di antara sesama dalam upaya mewujudkan kemaslahatan bersama. Di sinilah peran dakwah fardiyah hadir sebagai gerakan implementasi Islam. Mengenai pentingnya interaksi antarindividu dan antara individu di dalam kelompok, Muhammad Abduh menegaskan bahwa, Allah memberdayakan manusia dengan anugrahnya berupa ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam rangka mengatasi berbagai hambatan, mengupayakan berbagai kemungkinan, dan Allah sendiri membantu mengatasi sebagian lain. Sebab itu, kita mesti mengupayakan apa yang kita mampu dan mengerahkan kemampuan kita untuk bekerja secara optimal menurut daya dan kekuatan yang kita miliki. Kita juga mesti bekerja sama dan saling membantu satu sama lain untuk mewujudkan hal itu. 55 Selain penegasan di atas, Muhammad Abduh juga meyakini bahwa, manusia hanya bisa memperoleh harta dari orang-orang lain melalui kecerdasan dan kerjanya bersama mereka. Ia tidak bisa kaya kecuali karena mereka dan dari mereka. Jika salah seorang di antara mereka tidak mampu berusaha karena kecelakaan otak dan jiwanya atau karena penyakit pada badannya, orang-orang 54 Baik Muhammad Abduh maupun Shaqr tidak menjelaskan ciri kelompok kecil fi ah qalîlah . Dari segi jumlah, fî ah qalîlah maksimal 20 orang. Lihat Muhammad al-Razi Fakhr al- Din, tafsîr al-Kabîr, jld. III Beirut: Dâr al-Fikr, 1994, hlm. 200. Batasan jumlah fî ah qalîlah ini diajukan al-Razi ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 249. Dan lihat pula David O. Sears, dkk., Psikologi Sosial , jld II, terj. Social Psychology, oleh Michael Adrianto Jakarta: Erlangga, 1991, hlm. 106-109. 55 Al-Manâr , jld. I, hlm. 58. Ini bagian tafsiran QS. Al-Fatihah: 5 dan Muhammad Abduh menghubungkan dengan QS. Al-Maidah 5: 2, ayat ini bagian dari ketentuan ibadah haji dan printah saling tolong mneolong dalam kebaikan dan sebaliknya. 184 lain harus menuntunnya dan membantunya. Ini demi menjaga nilai-nilai sosial yang mengikat kemaslahatan salah seorang melalui kemaslahatan orang lain. 56 Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dikelompokkan kategorisasi macam aktivitas dalam dakwah fardiyah kepada term-term berikut: Pertama , al-wa zh pengajaran yang memperingatkan, yaitu dâ i wâ izh memberikan wejangan ceramah kepada mad u kelompok kecil tentang syariat Islam al-khayr berupa petunjuk solusi atas segala problem yang dihadapinya dengan bahasa lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-dilâlah ilâ al-khayr. Kedua , al-nashîhah memotivasi dan membantu, yaitu dâ i nâshih memotivasi dan membantu mad u individu seorang, dua orang, dan tiga orang dalam mengatasi problem hidup yang dihadapinya dengan bahasa lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-hats „alâ al- khayr . Ketiga , al-tawshiyah imbauan pesan perintah dan larangan, yaitu dâ i mûshî mengimbau kepada mad u individu dan kelompok kecil agar melakukan dan tidak melakukan suatu perbuatan menurut syariat Islam dengan lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-nahy „an al- syar mencegah kejelekan, al-tahdzîr min al-syar menyingkirkan kejelekan, al- tawâshi bi al-haq saling berpesan dengan kebenaran, dan al-tawâshi bi al-shabr saling berpesan dengan kesabaran. 57 Tiga term aktivitas da wah fardiyah di atas diuraikan sebagai berikut:

a. al-Wa’zh

Dari penjelasan Muhammad Abduh diatas, dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa gangguan kejiwaan pada diri individu mad u sebagai manifestasi dari maradh al-qulûb penyakit hati, misalnya sedih, bingung, kebodohan, lemah semangat, putus asa, dan sebagainya, yang memerlukan 56 Al-Manâr , jld. I, hlm. 293. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 43. Dalam pernyataan Muhammad Abduh ini terdapat tiga unsur esensi da wah fardiyah : 1 al awn pertolongan, 2 hifzhan pemeliharaan, dan 3 tarbath ikatan kepentingan. 57 Kajian tiga macam kategori ini, lebih lanjut lihat Al-„Uqaily, al-Thâriq Ilâ al- Jannah, hlm. 174-121. 185 pertolongan dan perbantuan upaya solusinya. Mad u berhak mendapatkannya sebagai kewajiban bagi wâ izh. Penjelasan Muhammad Abduh mengenai al- Wa zh antara lain adalah bahwa, setiap wâ izh hendaknya mengawali wejangannya dengan menghidupkan harga diri dan rasa kehormatan dalam jiwa kliennya agar siap menerima wejangan-wejangan yang akan diberikan. 58 Oleh karena itu, sebagai bagian dari etika bagi wâ izh agar mempengaruhi jika klien mau ûzh untuk bangkit percaya diri dalam mengatasi gangguan- gangguan kejiwaan. Sebab, jika seseorang sudah sadar dan tumbuh harga diri dan percaya dirinya sebagai individu yang berharga dan mulia, maka akan timbul kemauan untuk berusaha menaklukkan dorongan-dorongan hawa nafsu dan syahwat negatif dengan memfungsikan quwah „aqliyah dan quwah ikhtiyâriyah dalam dirinya yang pada gilirannya melahirkan perilaku saleh, baik secara individual maupun secara sosial. Oleh karenanya, lebih lanjut Muhammad Abduh menegaskan bahwa, dari rasa harga diri itu, jiwa akan mendapatkan dorongan kuat yang merupakan keistimewaan jiwa yang mulia mengatasi impul-impul hawa nafsu dan syahwat. Sekali jiwa merasakan kemuliaan dan keluhurannya dan melihat kerendahan yang terkandung dalam berbagai pekerjaan hina, tentu perasaan-perasaan itu—perasaan luhur dan terhormat—enggan mendorongnya kepada kegiatan-kegiatan rendahan. Hal itu merupakan sebagian dari media paling kuat untuk membantu wâ izh mewujudkan tujuannya pada diri orang yang kepadanya wejangan diperuntukkan. 59 Sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh di atas adalah pendapat mengenai al-wa zh yang dimajukan oleh al-Khuly. Menurutnya bahwa, wa zh merupakan perkataan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi jiwa manusia dengan sesuatu yang menarik berupa layatan ta ziyah terhadap orang yang tertimpa musibah, hiburan tasliyah bagi orang yang sedih, keberanian bagi orang yang penakut, kekuatan quwah bagi orang yang lemah, jaminan bagi orang yang 58 Al-Manâr , jld. I, hlm. 302-303. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 47-48, ayat ini mengenai keunggulan bani Israil dan perintah bertakwa. 59 Al-Manâr , jld. I, hlm. 303. 186 putus asa, solusi farj bagi orang yang bermasalah, kekayaan ginâ bagi orang miskin, dan kesabaran shabar bagi orang yang berkecil-hati. 60 Dalam pendapat al-Khuly di atas, bahasa lisan merupakan media dalam melakukan al-wa zh guna menyampaikan syariat Islam yang ditujukan kepada mad u dengan sasaran memberikan solusi problem psikologisnya berupa: 1 bagi mad u yang mendapat musibah diberikan ucapan bela sungkawa ta ziyah, 2 bagi yang sedih diberikan ucapan yang menghibur tasliyah, 3 bagi yang takut diberikan motivasi keberanian syajâ ah, 4 bagi yang lemah diberikan dorongan semangat quwah, 5 bagi yang putus asa diberikan kepercayaan diri amn, 6 bagi yang bingung diberikan jalan keluar farj, 7 bagi yang butuh tapi malu meminta diberikan bantuan untuk mencukupi kebutuhannya ghinâ, dan 8 bagi yang menderita berkecil hati diberikan motivasi kesabaran shabr. Muhammad Abduh memberikan beberapa prinsip aktivitas al-wa zh agar efektif dalam mempengaruhi mad u dalam memperbaiki dan mencari solusi problem psikologis, antara lain, yaitu: 1 ucapan dan perbuatan hendaknya menyentuh dan meluluhkan kekerasan qalbu mad u; 2 memberikan motivasi yang membangkitkan dan menggerakkan perbuatan nyata; 3 memberikan keyakinan bahwa petunjuk hidup yang dapat menghidupkan ruhaniyah adalah Al- Qurân dan sunah nabi Muhammad SAW.; 4 memberikan keyakinan bahwa segala problem psikologis yang dihadapi merupakan ujian dalam kehidupan; 5 Menyampaikan cara bersikap, berbicara, dan berperilaku yang menarik hati di hadapan mad u; dan 6 niat yang ikhlas dalam melaksanakan al-wa zh. 61 Sementara itu, Shaqr memberikan beberapa prinsip dalam pelaksanaan al- wa zh , yaitu hendaknya al-wa zh memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1 wâ izh hendaknya bersikap toleran; 2 wâ izh hendaknya bersikap kasih sayang; 3 wâ izh hendaknya menghargai dan menghormati mad u; 4 wâ izh hendaknya memahami karakteristik mad u; 5 wâ izh hendaknya memperhatikan skala prioritas dalam mencari solusi problem; 6 wâ izh hendaknya mengenalkan 60 Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-dîni, hlm. 8. 61 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 404-405, Al-Manâr, jld. IV, hlm, 142-144. Prinsip-prinsip ini disarikan dari ungkapan Muhammad Abduh dalam penafsiran QS. Al-Baqarah: 232 dan QS. Ali Imran: 138-139, ayat-ayat ini bagian dari fungsi maw idzah.