Al-Hikmah Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar

152 1 al-qiyâs silogisme, 2 al-istiqrâ induksi, dan 3 al-tamtsîl penampilan contoh. Ketiga macam ini menjadi isi dari al-hujjah argumen logis. Pengertian yang kedua adalah iqâmah al-dalîl „ala mâ yalzumu al-mathlûb li itsbâtihi menegakkan dalil atas sesuatu yang memestikan adanya sesuatu yang dikehendaki guna menetapkannya. Ini meliputi tiga cara: 1 tanâqud, 2 „aks mustawi , dan 3 aks al-maqîdh; Kedua, al-hujjah , secara lughawi berarti al-ghalabah mengalahkan. Secara ishtilâhi, hujjah berarti al-dalîl al-dâl „alâ al-mathlûb dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang dikehendaki. Jika keterangan dimaksudkan untuk menunjuk pada penggambaran sesuatu tanpa adanya penetapan sesuatu padanya, disebut ta rîf definisi. Jika ada penetapan pada sesuatu yang ditunjuk disebut tashdîq proposisi. Hujjah ini meliputi tiga macam cara: 1 al-qiyâs, 2 al-istiqrâ , dan 3 al-tamtsîl. Inti penalaran dalam al-qiyâs adalah menetapkan ketentuan umum kepada bagian-bagiannya, istiqrâ menetapkan hukum yang terdapat dalam bagian kepada umum, dan tamtsîl menetapkan bagian kepada bagian yang lain atas adanya titik persamaan. Ketiga, al-burhân , secara lughawi berarti al-dalîl penunjuk, secara ishthilâhi , al-burhân adalah al-dalîl al-qath iy al-murakkab min mqaddimât yaqîniyah penunjuk yang pasti yang terdiri atas premis-premis yang valid dan muqaddamât yaqîniyyah premis-premis yang valid ini meliputi: 1 al-awaliyât, 2 al-musyâhadât, 3 al-mujarrabât, 4 al-hadatsiyât, 5 al-mutawâtirât, dan 6 al-wijdâniyât. Al-burhân ini ada dua macam: 1 al-burhân al-limiyyî, yaitu al-istidlâl min al-„illah ila al-ma lûl mencari dalil dari alasan menuju obyeknya dan 2 al-burhân al-Inayyi, yaitu al-istidlâl min al-ma lûl ilâ al-„illah mencari dalil dari obyek menuju alasan. 247 Muhammad Abduh melontarkan kritikan terhadap para pembaca Al-Qurân yang hanya menekankan pada cara dan keindahan bacaannya. Mereka 247 Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 54-63, Muhammad Nur al-Ibrahimy, „Ilm al-Manthiq Surabaya: Maktabah Sa id bin Nashim Nabhan, tt., hlm. 86-87, Muhammad Sayid al-Jalind dan Rizq al-Hajr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts Kairo: Maktabah al-Zahra, tt., hlm. 107-116, dan Muhammad Anwar al-Badkhasyani, Tashîl al-Manthiq Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988, hlm. 88-89. 153 mengabaikan makna apa yang dibacanya padahal Al-Qurân merupakan petunjuk kehidupan yang pemahaman term-term yang dikandungnya memerlukan penggunaan dilâlah lafzhiyyah, tadhamun, muthâbaqah, dan iltizâm. 248 Tiga macam dilâlah ini merupakan kegiatan penalaran pembentukan konsep tashawwur dan pembentukan keputusan tashdîq. Muhammad Rasyid Ridha sebagai murid Muhammad Abduh meyakini bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW pada zamannya, dirinya sendiri menjadi al-burhân bagi umatnya: pertama, burhân bis îratihi al-„ilmiyyah bukti kebenaran dengan perjalanan dan kegiatan hidupnya dan kedua, burhân fi da watihi al-„ilmiyyah al-syar iyyah bukti kebenaran melalui dakwahnya yang ilmiah dan membawa syariat. Berkenaan dengan yang kedua ini, Nabi Muhammad SAW., menurut Muhammad Abduh, telah memberikan contoh penggunaan al-hujjah dalam lima macam metode, yaitu dengan memberikan argumen rasional dan argumen demonstratif berupa: 1 bayân al-hujaj al- kawniah al-„aqliah menjelaskan argument-argumen kealaman yang rasional; 2 bayân al-syarâi al-„amaliah menjelaskan segala syariat praktis; 3 bayân al- hikmah al-adâbiah menjelaskan hikmah etik; 4 bayân al-siy sah al-hurriyyah menjelaskan politik kemerdekaan; dan 5 bayân al-siyâsah al-ijtima iah menjelaskan politik kemasyarakatan. 249 Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai hakikat hikmah, dapat dipahami bahwa, dakwah rasional merupakan kekhasan pemikiran Muhammad Abduh tentang dakwah, rasionalitas dakwah ini dipandang urgen dalam mempengaruhi media, yang dalam term komunikasi disebut logos, yaitu pendekatan rasional dalam mempengaruhi komunikasi. 250

2. Al-Mau’izhah al-Hasanah

Term al-mau izhah disebut juga dengan term al-wa zh, secara lughawî, al- mau izhah berarti al-nashîhah nasehat, ketulusan, al-dzikr peringatan, dan al- 248 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 74. 249 Lihat Al-Manâr, jld. VI, hlm. 99. Ini merupakan bagian penafsiran Rasyid Ridha atas QS. Al-Nisa 174, ayat ini mengenai kehadiran nabi Muhammad sebagai burhân. 250 Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hlm. 86-87. 154 washiyah wasiat, pesan penting. Dan al-hasanah berarti kebaikan dari al- sayyiah keburukan. Dengan demikian, al-mau izhah al-hasanah berarti nasihat, peringatan, dan pesan yang baik. 251 Muhammad Abduh menjelaskan pengertian term al-wa zh antara lain, yaitu wa zh adalah nasihat dan peringatan akan kebaikan dan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati dan memotivasi untuk beramal. 252 Nasihat dan peringatan dengan kebaikan dan kebenaran yang terkandung dalam Islam agama dakwah, dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan dan bahasa perbuatan. Oleh karenanya, al-„Uqaili mengajukan pendapatnya mengenai pengertian al-mau izhah al-hasanah ini sebagai kata-kata yang baik, yang menggerakkan jiwa dan berkesan dalam perasaan, dan membuat jiwa mau menerima mendengar kebenaran. Ia menerimanya atas izin Allah Yang Mahagagah dan Mahaperkasa. Uqaili memasukkan „dengan izin Allah „azza wa jalla dalam pengertian mau izhah hasanah di atas merujuk pada QS. Al-Ahzâb 33: 46. 253 Muhammad Abduh melontarkan kritiknya bahwa, penggunaan bahasa lisan dan tulisan merupakan esensi mau izhah hasanah banyak dilanggar oleh para dâ i dan muballigh pada zamannya. Nasihat banyak menyinggung perasaan mad u dan saling menjelekkan sehingga jiwa umat semakin jauh dari saling mencintai di antara sesama dan menimbulkan konflik horizontal, retaknya persaudaraan dan perpecahan umat. 254 Oleh karena itu, Muhammad Abduh menyeru agar tuntunan Al-Qurân mengenai penggunaan bahasa dan perbuatan dalam merealisasikan mau izhah hasanah dipatuhi, yaitu: menggunakan tutur-kata yang lemah-lembut, sopan dan santun, bahasa yang sesuai dengan nilai keluhuran bahasa Al-Qurân sebagai kitab dakwah, memuji dan mencaci pada tempatnya, memberikan informasi solusi persoalan kehidupan yang penuh optimisme, memberikan motivasi dan 251 Lihat al-Bayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 258. 252 Al-Manâr , jld. II, hlm. 404. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah 232, ayat ini mengenai peran mawidzah dalam mengatasi konflik keluarga. 253 Ahmad bin „Abd al-Wahâb al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 188. 254 254 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29. 155 membangkitkan semangat menegakkan akidah yang bebas dari belenggu bid ah dan khurafat, bebas dari belenggu taklid, memberi contoh akhlak mulia dan menentang segala intervensi budaya non-Islam yang merusak tatanan hidup umat Islam, menyeru dan memberi contoh menegakkan keadilan, persaudaraan dan memajukan peradaban sesuai tuntunan Al-Qurân menurut contoh sunah rasul dan generasi salaf yang saleh. 255 Muhammad Abduh meyakini bahwa taushiyah merupakan bagian dari prinsip mau izhah hasanah, antara lain menurutnya taushiyah adalah sebagaimana dapat dipahami dari konotasi bahasa dan penggunaannya pada tempo dulu dan sekarang, adalah sesuatu yang anda pesankan kepada orang lain berupa kegiatan pada masa mendatang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu Muhammad Abduh menambahkan penjelasannya bahwa wasiat adalah memberikan pesan dengan nada peringatan kepada orang lain untuk sesuatu yang bisa ia kerjakan. 256 Ketika menafsirkan QS. Al-„Ashr, Muhammad Abduh antara lain mengemukakan esensi utama dari taushiyah adalah perintah berbuat amal saleh dan melarang berbuat amal batil. 257

3. Al-Mujâdalah al-Husnâ

Ada sementara mufasir yang berpendapat bahwa al-mujâdalah al-husnâ tidak termasuk prinsip metode dakwah, dengan alasan gramatikal bahwa kalimat tersebut tidak di athafkan kepada al-hikmah dan al-mau izhah al-hasanah, tetapi merupakan awal kalimat. Muhammad Abduh tidak mengikuti pendapat tersebut. Menurutnya, al-mujâdalah al-husnâ termasuk rpinsip metode dakwah, sebab jidâl merupakan bagian dari fithrah insâniyyah yang diinformasikan oleh Allah SWT. Oleh karenanya, untuk menghadapi tipe mad u yang gemar mengaktualisasikan 255 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 399-400 dan Al-Manâr, jld. V, hlm. 230-231. Lihat pula al- Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 259. 256 Al-Manâr , jld. IV, hlm. 404-405. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al- Nisa 11, ayat ini mengenai washiyah dalam ketentuan warits. 257 Lihat Abduh, Tafsir al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 176. 156 potensi jidâl pada dirinya hendaknya digunakan jalan al-mujâdalah al-husnâ ini. 258 Secara lughawi al-mujâdalah atau al-jidâl, menurut al-Bayânûni, berarti al-munâqasyah , al-munâzharah, al-muhâwarah diskusi dan dialog akademis dan al-ladadu fi al-khushûmah perang argumentasi. Sedangkan secara ishthilâhi, al-jidâl adalah bantahan seseorang terhadap lawan-lawanya mengenai kekeliruan pendapatnya dengan argument atau sejenisnya. 259 Pengertian lughawi dan ishthilâhi tentang al-jidâl ini dijelaskan oleh al- „Uqayli, menurutnya bahwa, jidâl secara etimologis adalah perang argumentasi dan kemampuan untuk melakukannya. Makna generik jidâl adalah kecamuk peperangan. Secara terminologis, jidâl berarti perang kata-kata dalam suasana pertikaian dengan suasana permusuhan yang sengit. 260 Mengingat al-jidâl dalam nash Al-Qurân surah al-Nahl 125 diberi keterangan dengan sifat „yang lebih baik maka al-jidâl ini ada yang tidak baik dan tercela madzmûm, yaitu untuk mencari kemenangan dan menebar permusuhan terhadap lawan jidâlnya. Sedangkan jidâl yang lebih baik dan terpuji al-mamdûh ditujukan untuk mencari kebenaran dan menegakkannya serta menebarkan persaudaraan dan kemitraan. Dalam pengertian inilah, jidâl digunakan sebagai prinsip metode dakwah Islam. Jika jidâl madzmûm mengedepankan sentimen mengabaikan argumen, maka jidâl mamdûh mengedepankan argumen mengabaikan sentimen. Oleh karenanya, kalangan ulama Islam membedakannya dengan menggunakan istilah mudzâkarah diskusi untuk jidâl mamdûh dan mukhâshamah untuk jidâl madzmûm. Selain itu juga digunakan istilah mukâbarah adu kesombongan dan munâza ah percekcokanpertikaian. 261 Munâzharah merupakan aktivitas potensi akal manusia dengan mencurahkan daya upaya dalam memahami, mencari, dan menegakkan kebenaran 258 Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263-264. 259 Lihat al-Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 262. 260 Lihat al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 192. 261 Selanjutnya lihat Abd al-Rasyid al-Jughûry, al-Rasyîdiyyah Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1350H, hlm. 12-17. Selanjutnya disebut al-Rasyîdiyyah. 157 yang bersumber pada nash teks Al-Qurân dan hadits dan konteks yaitu tatanan sunnah Allah hukum alam dalam realitas alam materi dan alam immateri, yang menurut para fuqahâ disebut ijtihâd. Munâzharah digunakan secara proporsional dalam menghadapi mad u „uqalâ yang tidak menolak kebenaran, dan „uqalâ yang menolak kebenaran. 262 Abd al-Rasyid al-Jûngûry w. 1083H mengajukan pemikirannya mengenai etika munâzharah yang ringkasnya yaitu, bagi pelaku munâzharah munâzhir hendaknya menguasai materi yang dimunâzharahkan secara baik dan benar, tidak tergesa-gesa dalam mengemukakan pendapat, menghilangkan sentimen pribadi, berbicara sesuai proporsinya, tidak mencampuradukkan dalîl qath iyyah dengan dalîl zhanniyyah dan menguasai cara-cara berbicara yang baik, benar, dan sopan. Hal-hal ini hendaknya menjadi karakteristik kepribadian munâzhir . Kemudian, etika teknis dalam proses munâzharah hendaknya: 1 tidak terlalu ringkas dalam menyampaikan pendapat; 2 tidak terlalu panjang dalam membahas persoalan; 3 tidak menggunakan istilah-istilah asing bagi lawan bicara; 4 tidak menggunakan term yang ambigue tanpa ada penyerta yang menjadi acuan dalam pemahaman; 5 tidak berbicara di luar konteks pembicaraan; 6 tidak menertawakan lawan bicara dan tidak menggunakan nada suara yang keras, tidak menggunakan ungkapan orang sufahâ; 7 tidak menampilkan perilaku yang menakutkan lawan bicara; 8 tidak mengejek dan merendahkan lawan bicara; 9 meluruskan niat menegakkan kebenaran, menjauhkan sentimen, tidak bermaksud menjatuhkan lawan dalam waktu singkat; 10 memperhatikan kesopanan perfromence pun hendaknya dipelihara. Misalnya, cara duduk hendaknya sesuai dengan tata kesopanan yang dianut bersama, tidak bermunâzharah ketika lapar dan dahaga; dan 11 mengendalikan hawa nafsu, dan jauhkan perilaku emosi dan marah. 263 262 Selanjutnya lihat Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma âlim al- Manhaj al-Islâmi , oleh Saefullah Kamalie Jakarta: Media Dakwah, 1994, hlm. 143-192. 263 Selanjutnya lihat al-Rasyîdiyah, hlm. 107-110, dan kajian lebih sistematis mengenai prosedur munâzharah ini lebih lanjut lihat Muhammad al-Amin al-Syinqithi, Adâb al-Bahtsi wa al-Munâzharah Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt.. 158 Sebagai dâ i pemikir, Muhammad Abduh telah memberikan gambaran implementasi munâzharah yang dapat dikategorikan pada jidâl mahmûd dalam karya tulisnya al-Islâm wa al-Nashrâni fi al-„Ilm wa al-Madaniyyah. 264 Dari paparan dan analisis metodologis perumusan hakikat, dasar hukum, tujuan, dan unsur dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah dikemukakan, dapat dikonseptualisasikan rumusan kesimpulannya secara taksonomis kepada aspek epistimologis, ontologis dan aksiologis bagi pengembangan disiplin ilmu dakwah yaitu: aspek epistimologis dakwah bersumber pada al-Quran, sunnah Rasul, realitas empiris aktivitas dakwah dalam rentang sejarah dan produk ijtihad ilmuwan dakwah yang dirumuskan dengan menggunakan kaidah manthiqiyah sebagai kaidah kerja akal dalam memahami dan mengkonseptualisasikan dakwah sebagai objek kajiannya. Aspek ontologis, hakikat dakwah adalah perilaku rasional berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam sebagai proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat guna memperoleh kehidupan yang hasanah di dunia dan di akhirat serta terbebas dari siksa neraka kehidupan. Kemudian secara taksonomis, hakikat dakwah sebagai bagian dari sesuatu yang ada terdiri dari: a dakwah menurut martabatnya levelnya: level pertama, dakwah universal da wah hâdzihi al-ummah yang dilakukan oleh para nabi dan umatnya yang ditujukan kepada mad u non-Muslim; dan level kedua, dakwah yang berlangsung di lingkungan umat Muslim al-da wah al-„âmmah al- kulliyyah dalam upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, dan b dakwah menurut fungsinya: 1 dakwah sebagai proses implementasi tathbîq ajaran Islam dalam memperbaiki dan mencari solusi problem kehidupan umat; dan 2 dakwah sebagai proses ishlâh reformasi yaitu tajdid pembaruan, dan taghyir perubahan kehidupan ummah, yang sasarannya meliputi: a memperbaiki tata hubungan hidup manusia dengan Allah SWT.; b memperbaiki tata hubungan hidup individu dengan dirinya sendiri; dan c 264 Syekh Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, Penerj. Mahyuddin Shaf dan A. Bakar usman, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.