152
1 al-qiyâs silogisme, 2 al-istiqrâ induksi, dan 3 al-tamtsîl penampilan contoh. Ketiga macam ini menjadi isi dari al-hujjah argumen logis. Pengertian
yang kedua adalah iqâmah al-dalîl „ala mâ yalzumu al-mathlûb li itsbâtihi menegakkan dalil atas sesuatu yang memestikan adanya sesuatu yang
dikehendaki guna menetapkannya. Ini meliputi tiga cara: 1 tanâqud, 2 „aks mustawi
, dan 3 aks al-maqîdh; Kedua, al-hujjah
, secara lughawi berarti al-ghalabah mengalahkan. Secara ishtilâhi, hujjah berarti al-dalîl al-dâl „alâ al-mathlûb dalil yang
menunjukkan pada sesuatu yang dikehendaki. Jika keterangan dimaksudkan untuk menunjuk pada penggambaran sesuatu tanpa adanya penetapan sesuatu
padanya, disebut ta rîf definisi. Jika ada penetapan pada sesuatu yang ditunjuk disebut tashdîq proposisi. Hujjah ini meliputi tiga macam cara: 1 al-qiyâs, 2
al-istiqrâ , dan 3 al-tamtsîl. Inti penalaran dalam al-qiyâs adalah menetapkan
ketentuan umum kepada bagian-bagiannya, istiqrâ menetapkan hukum yang terdapat dalam bagian kepada umum, dan tamtsîl menetapkan bagian kepada
bagian yang lain atas adanya titik persamaan. Ketiga, al-burhân
, secara lughawi berarti al-dalîl penunjuk, secara ishthilâhi
, al-burhân adalah al-dalîl al-qath iy al-murakkab min mqaddimât yaqîniyah
penunjuk yang pasti yang terdiri atas premis-premis yang valid dan muqaddamât yaqîniyyah
premis-premis yang valid ini meliputi: 1 al-awaliyât, 2 al-musyâhadât, 3 al-mujarrabât, 4 al-hadatsiyât, 5 al-mutawâtirât, dan
6 al-wijdâniyât. Al-burhân ini ada dua macam: 1 al-burhân al-limiyyî, yaitu al-istidlâl min al-„illah ila al-ma lûl
mencari dalil dari alasan menuju obyeknya dan 2 al-burhân al-Inayyi, yaitu al-istidlâl min al-ma lûl ilâ al-„illah mencari
dalil dari obyek menuju alasan.
247
Muhammad Abduh melontarkan kritikan terhadap para pembaca Al-Qurân yang hanya menekankan pada cara dan keindahan bacaannya. Mereka
247
Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 54-63, Muhammad Nur al-Ibrahimy, „Ilm al-Manthiq Surabaya: Maktabah Sa id bin Nashim Nabhan,
tt., hlm. 86-87, Muhammad Sayid al-Jalind dan Rizq al-Hajr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts
Kairo: Maktabah al-Zahra, tt., hlm. 107-116, dan Muhammad Anwar al-Badkhasyani, Tashîl al-Manthiq
Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988, hlm. 88-89.
153
mengabaikan makna apa yang dibacanya padahal Al-Qurân merupakan petunjuk kehidupan yang pemahaman term-term yang dikandungnya memerlukan
penggunaan dilâlah lafzhiyyah, tadhamun, muthâbaqah, dan iltizâm.
248
Tiga macam dilâlah ini merupakan kegiatan penalaran pembentukan konsep
tashawwur dan pembentukan keputusan tashdîq. Muhammad Rasyid Ridha sebagai murid Muhammad Abduh meyakini
bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW pada zamannya, dirinya sendiri menjadi al-burhân
bagi umatnya: pertama, burhân bis îratihi al-„ilmiyyah bukti kebenaran dengan perjalanan dan kegiatan hidupnya dan kedua, burhân fi
da watihi al-„ilmiyyah al-syar iyyah bukti kebenaran melalui dakwahnya yang
ilmiah dan membawa syariat. Berkenaan dengan yang kedua ini, Nabi Muhammad SAW., menurut Muhammad Abduh, telah memberikan contoh
penggunaan al-hujjah dalam lima macam metode, yaitu dengan memberikan argumen rasional dan argumen demonstratif berupa: 1 bayân al-hujaj al-
kawniah al-„aqliah menjelaskan argument-argumen kealaman yang rasional; 2
bayân al-syarâi al-„amaliah menjelaskan segala syariat praktis; 3 bayân al-
hikmah al-adâbiah menjelaskan hikmah etik; 4 bayân al-siy sah al-hurriyyah
menjelaskan politik kemerdekaan; dan 5 bayân al-siyâsah al-ijtima iah menjelaskan politik kemasyarakatan.
249
Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai hakikat hikmah, dapat dipahami bahwa, dakwah rasional merupakan kekhasan pemikiran Muhammad
Abduh tentang dakwah, rasionalitas dakwah ini dipandang urgen dalam mempengaruhi media, yang dalam term komunikasi disebut logos, yaitu
pendekatan rasional dalam mempengaruhi komunikasi.
250
2. Al-Mau’izhah al-Hasanah
Term al-mau izhah disebut juga dengan term al-wa zh, secara lughawî, al- mau izhah
berarti al-nashîhah nasehat, ketulusan, al-dzikr peringatan, dan al-
248
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 74.
249
Lihat Al-Manâr, jld. VI, hlm. 99. Ini merupakan bagian penafsiran Rasyid Ridha atas QS. Al-Nisa 174, ayat ini mengenai kehadiran nabi Muhammad sebagai burhân.
250
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hlm. 86-87.
154
washiyah wasiat, pesan penting. Dan al-hasanah berarti kebaikan dari al-
sayyiah keburukan. Dengan demikian, al-mau izhah al-hasanah berarti nasihat,
peringatan, dan pesan yang baik.
251
Muhammad Abduh menjelaskan pengertian term al-wa zh antara lain, yaitu wa zh adalah nasihat dan peringatan akan
kebaikan dan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati dan memotivasi untuk beramal.
252
Nasihat dan peringatan dengan kebaikan dan kebenaran yang terkandung dalam Islam agama dakwah, dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan
maupun tulisan dan bahasa perbuatan. Oleh karenanya, al-„Uqaili mengajukan pendapatnya mengenai pengertian al-mau izhah al-hasanah ini sebagai kata-kata
yang baik, yang menggerakkan jiwa dan berkesan dalam perasaan, dan membuat jiwa mau menerima mendengar kebenaran. Ia menerimanya atas izin Allah Yang
Mahagagah dan Mahaperkasa. Uqaili memasukkan „dengan izin Allah „azza wa jalla dalam pengertian mau izhah hasanah di atas merujuk pada QS. Al-Ahzâb
33: 46.
253
Muhammad Abduh melontarkan kritiknya bahwa, penggunaan bahasa lisan dan tulisan merupakan esensi mau izhah hasanah banyak dilanggar oleh
para dâ i dan muballigh pada zamannya. Nasihat banyak menyinggung perasaan mad u
dan saling menjelekkan sehingga jiwa umat semakin jauh dari saling mencintai di antara sesama dan menimbulkan konflik horizontal, retaknya
persaudaraan dan perpecahan umat.
254
Oleh karena itu, Muhammad Abduh menyeru agar tuntunan Al-Qurân mengenai penggunaan bahasa dan perbuatan dalam merealisasikan mau izhah
hasanah dipatuhi, yaitu: menggunakan tutur-kata yang lemah-lembut, sopan dan
santun, bahasa yang sesuai dengan nilai keluhuran bahasa Al-Qurân sebagai kitab dakwah, memuji dan mencaci pada tempatnya, memberikan informasi solusi
persoalan kehidupan yang penuh optimisme, memberikan motivasi dan
251
Lihat al-Bayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 258.
252
Al-Manâr , jld. II, hlm. 404. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah 232,
ayat ini mengenai peran mawidzah dalam mengatasi konflik keluarga.
253
Ahmad bin „Abd al-Wahâb al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 188.
254 254
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29.
155
membangkitkan semangat menegakkan akidah yang bebas dari belenggu bid ah dan khurafat, bebas dari belenggu taklid, memberi contoh akhlak mulia dan
menentang segala intervensi budaya non-Islam yang merusak tatanan hidup umat Islam, menyeru dan memberi contoh menegakkan keadilan, persaudaraan dan
memajukan peradaban sesuai tuntunan Al-Qurân menurut contoh sunah rasul dan generasi salaf yang saleh.
255
Muhammad Abduh meyakini bahwa taushiyah merupakan bagian dari prinsip mau izhah hasanah, antara lain menurutnya taushiyah adalah sebagaimana
dapat dipahami dari konotasi bahasa dan penggunaannya pada tempo dulu dan sekarang, adalah sesuatu yang anda pesankan kepada orang lain berupa kegiatan
pada masa mendatang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu Muhammad Abduh menambahkan penjelasannya bahwa wasiat adalah
memberikan pesan dengan nada peringatan kepada orang lain untuk sesuatu yang bisa ia kerjakan.
256
Ketika menafsirkan QS. Al-„Ashr, Muhammad Abduh antara lain mengemukakan esensi utama dari taushiyah adalah perintah berbuat amal saleh
dan melarang berbuat amal batil.
257
3. Al-Mujâdalah al-Husnâ
Ada sementara mufasir yang berpendapat bahwa al-mujâdalah al-husnâ tidak termasuk prinsip metode dakwah, dengan alasan gramatikal bahwa kalimat
tersebut tidak di athafkan kepada al-hikmah dan al-mau izhah al-hasanah, tetapi merupakan awal kalimat. Muhammad Abduh tidak mengikuti pendapat tersebut.
Menurutnya, al-mujâdalah al-husnâ termasuk rpinsip metode dakwah, sebab jidâl merupakan bagian dari fithrah insâniyyah yang diinformasikan oleh Allah SWT.
Oleh karenanya, untuk menghadapi tipe mad u yang gemar mengaktualisasikan
255
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 399-400 dan Al-Manâr, jld. V, hlm. 230-231. Lihat pula al- Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 259.
256
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 404-405. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-
Nisa 11, ayat ini mengenai washiyah dalam ketentuan warits.
257
Lihat Abduh, Tafsir al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 176.
156
potensi jidâl pada dirinya hendaknya digunakan jalan al-mujâdalah al-husnâ ini.
258
Secara lughawi al-mujâdalah atau al-jidâl, menurut al-Bayânûni, berarti al-munâqasyah
, al-munâzharah, al-muhâwarah diskusi dan dialog akademis dan al-ladadu fi al-khushûmah perang argumentasi. Sedangkan secara ishthilâhi,
al-jidâl adalah bantahan seseorang terhadap lawan-lawanya mengenai kekeliruan
pendapatnya dengan argument atau sejenisnya.
259
Pengertian lughawi dan ishthilâhi tentang al-jidâl ini dijelaskan oleh al- „Uqayli, menurutnya bahwa, jidâl secara etimologis adalah perang argumentasi
dan kemampuan untuk melakukannya. Makna generik jidâl adalah kecamuk peperangan. Secara terminologis, jidâl berarti perang kata-kata dalam suasana
pertikaian dengan suasana permusuhan yang sengit.
260
Mengingat al-jidâl dalam nash Al-Qurân surah al-Nahl 125 diberi keterangan dengan sifat „yang lebih baik maka al-jidâl ini ada yang tidak baik
dan tercela madzmûm, yaitu untuk mencari kemenangan dan menebar permusuhan terhadap lawan jidâlnya. Sedangkan jidâl yang lebih baik dan terpuji
al-mamdûh ditujukan untuk mencari kebenaran dan menegakkannya serta menebarkan persaudaraan dan kemitraan. Dalam pengertian inilah, jidâl
digunakan sebagai prinsip metode dakwah Islam. Jika jidâl madzmûm mengedepankan sentimen mengabaikan argumen, maka jidâl mamdûh
mengedepankan argumen mengabaikan sentimen. Oleh karenanya, kalangan ulama Islam membedakannya dengan menggunakan istilah mudzâkarah diskusi
untuk jidâl mamdûh dan mukhâshamah untuk jidâl madzmûm. Selain itu juga digunakan istilah mukâbarah adu
kesombongan dan munâza ah percekcokanpertikaian.
261
Munâzharah merupakan aktivitas potensi akal manusia dengan
mencurahkan daya upaya dalam memahami, mencari, dan menegakkan kebenaran
258
Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263-264.
259
Lihat al-Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 262.
260
Lihat al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 192.
261
Selanjutnya lihat Abd al-Rasyid al-Jughûry, al-Rasyîdiyyah Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1350H, hlm. 12-17. Selanjutnya disebut al-Rasyîdiyyah.
157
yang bersumber pada nash teks Al-Qurân dan hadits dan konteks yaitu tatanan sunnah Allah hukum alam dalam realitas alam materi dan alam immateri, yang
menurut para fuqahâ disebut ijtihâd. Munâzharah digunakan secara proporsional dalam menghadapi mad u „uqalâ yang tidak menolak kebenaran, dan „uqalâ yang
menolak kebenaran.
262
Abd al-Rasyid al-Jûngûry w. 1083H mengajukan pemikirannya mengenai etika munâzharah yang ringkasnya yaitu, bagi pelaku munâzharah
munâzhir hendaknya menguasai materi yang dimunâzharahkan secara baik dan benar, tidak tergesa-gesa dalam mengemukakan pendapat, menghilangkan
sentimen pribadi, berbicara sesuai proporsinya, tidak mencampuradukkan dalîl qath iyyah
dengan dalîl zhanniyyah dan menguasai cara-cara berbicara yang baik, benar, dan sopan. Hal-hal ini hendaknya menjadi karakteristik kepribadian
munâzhir . Kemudian, etika teknis dalam proses munâzharah hendaknya: 1 tidak
terlalu ringkas dalam menyampaikan pendapat; 2 tidak terlalu panjang dalam membahas persoalan; 3 tidak menggunakan istilah-istilah asing bagi lawan
bicara; 4 tidak menggunakan term yang ambigue tanpa ada penyerta yang menjadi acuan dalam pemahaman; 5 tidak berbicara di luar konteks
pembicaraan; 6 tidak menertawakan lawan bicara dan tidak menggunakan nada suara yang keras, tidak menggunakan ungkapan orang sufahâ; 7 tidak
menampilkan perilaku yang menakutkan lawan bicara; 8 tidak mengejek dan merendahkan lawan bicara; 9 meluruskan niat menegakkan kebenaran,
menjauhkan sentimen, tidak bermaksud menjatuhkan lawan dalam waktu singkat; 10 memperhatikan kesopanan perfromence pun hendaknya dipelihara. Misalnya,
cara duduk hendaknya sesuai dengan tata kesopanan yang dianut bersama, tidak bermunâzharah ketika lapar dan dahaga; dan 11 mengendalikan hawa nafsu, dan
jauhkan perilaku emosi dan marah.
263
262
Selanjutnya lihat Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma âlim al- Manhaj al-Islâmi
, oleh Saefullah Kamalie Jakarta: Media Dakwah, 1994, hlm. 143-192.
263
Selanjutnya lihat al-Rasyîdiyah, hlm. 107-110, dan kajian lebih sistematis mengenai prosedur munâzharah ini lebih lanjut lihat Muhammad al-Amin al-Syinqithi, Adâb al-Bahtsi wa
al-Munâzharah Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt..
158
Sebagai dâ i pemikir, Muhammad Abduh telah memberikan gambaran implementasi munâzharah yang dapat dikategorikan pada jidâl mahmûd dalam
karya tulisnya al-Islâm wa al-Nashrâni fi al-„Ilm wa al-Madaniyyah.
264
Dari paparan dan analisis metodologis perumusan hakikat, dasar hukum, tujuan, dan unsur dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah dikemukakan,
dapat dikonseptualisasikan rumusan kesimpulannya secara taksonomis kepada aspek epistimologis, ontologis dan aksiologis bagi pengembangan disiplin ilmu
dakwah yaitu: aspek epistimologis dakwah bersumber pada al-Quran, sunnah Rasul, realitas empiris aktivitas dakwah dalam rentang sejarah dan produk ijtihad
ilmuwan dakwah yang dirumuskan dengan menggunakan kaidah manthiqiyah sebagai kaidah kerja akal dalam memahami dan mengkonseptualisasikan dakwah
sebagai objek kajiannya. Aspek ontologis, hakikat dakwah adalah perilaku rasional berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam sebagai
proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat guna memperoleh kehidupan yang hasanah di dunia dan di akhirat serta terbebas dari siksa neraka kehidupan.
Kemudian secara taksonomis, hakikat dakwah sebagai bagian dari sesuatu yang ada terdiri dari: a dakwah menurut martabatnya levelnya: level pertama,
dakwah universal da wah hâdzihi al-ummah yang dilakukan oleh para nabi dan umatnya yang ditujukan kepada mad u non-Muslim; dan level kedua, dakwah
yang berlangsung di lingkungan umat Muslim al-da wah al-„âmmah al- kulliyyah
dalam upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, dan b dakwah menurut fungsinya: 1 dakwah sebagai proses
implementasi tathbîq ajaran Islam dalam memperbaiki dan mencari solusi problem kehidupan umat; dan 2 dakwah sebagai proses ishlâh reformasi yaitu
tajdid pembaruan, dan taghyir perubahan kehidupan ummah, yang sasarannya
meliputi: a memperbaiki tata hubungan hidup manusia dengan Allah SWT.; b memperbaiki tata hubungan hidup individu dengan dirinya sendiri; dan c
264
Syekh Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, Penerj. Mahyuddin Shaf dan A. Bakar usman, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.