Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya Tulis 1. Identitas Diri

45 menyenangi Muhammad Abduh bertani, sehingga tidak lama kemudian ia disuruh kembali belajar oleh ayahnya. Ketika ayahnya memaksa pergi kembali ke Thantha untuk belajar, Muhammad Abduh membelot di tengah jalan dan memilih pergi ke Kanisah Aurin dan bersembunyi di rumah Syaikh Darwisy Khidhr, salah seorang paman ayahnya, penganut jawiyyah sanusiyyah. 22 Ia kemudian belajar pada Syaikh Darwisy Khidhr. Dengan metode mengajarnya, Syaikh Darwisy Khidhr berhasil menanamkan pada diri Muhammad Abduh rasa cinta, ilmu dan upaya mencarinya, sebagai kesenangan yang mengalahkan segala kesenangan lainnya. Setelah tinggal limabelas hari dengan Syaikh Darwisy Khidhr, ia pergi ke Thantha karena khawatir diketahui ayahnya. Kepribadian Syaikh Darwisy Hidr selaku pengikut tasawuf Sanusiyah dijelaskan oleh Mukti Ali bahwa, kepribadian Syaikh lembut yang langka terdapat di Mesir. Ia ahli tasawuf yang bening mata hatinya, lebih luas ilmunya, yang mengetahui masalah-masalah dunia, namun ia menjadi orang yang zuhud, menekuni ilmu dan tidak menekuni kekayaan. Ibadah yang paling baik yang ia lakukan adalah dzikir kepada Allah dengan hatinya dan tidak dengan mulutnya. Juga tidak dengan wirid. Ia bekerja untuk keperluan dunia seperti orang-orang lain. Tetapi dengan halus, lapang dada, dan cenderung untuk kebaikan. Ia adalah orang yang melihat dunia ini sebagai jembatan menuju ke akhirat. Oleh akrena itu, jembatan itu harus dilintasi dengan amal. Dia merasa pedih menyaksikan kealpaan orang, kelaliman, dan ketenggelaman mereka dalam pelbagai perbuatan merusak. Ia iba kepada mereka dan berusaha untuk menyelamatkan mereka dengan perlahan-lahan. Hatinya penuh dengan nur dan itu tampak di air mukanya. Oleh 22 Lihat Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 63. Jawiyyah merupakan sebutan bagi pusat aktivitas sufi. Sanusiyah adalah nama bagi persaudaraan tarekat sufi yang didirikan oleh Syaikh Sayyid Muhammad al-Sanusi w. 1859M di Aljazair. Paham Sanusiyah antara lain anti-taklid buta, keharusan kesatuan dan persatuan umat, mengikuti ijma umat Muslim yang bersumber kepada Alquran dan sunnah nabi, dan perlu adanya keseimbangan basis ekonomi, politik, dan semangat spiritual. Lihat Syaikh Fadhlullah Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. The Elements of Sufism , oleh Tim Forstudia Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003, hlm. 31, dan 170-171. 46 akrena itu, penglihatannya, tindakannya, gerak dan berhentinya merupakan pandangan yang menarik, yang menarik kepada rasa cinta dan hormat. 23 Pada pertengahan Syawwal 1282 H, ia pindah ke al-Azhar untuk belajar kepada para guru besar di sana. Namun ia menyempatkan pulang ke Mahallah Nashr setiap akhir tahun untuk belajar kepada Syaikh Darwisy Khidhr. Saat pulang kampung tersebut, Syaikh Darwisy Khidhr selalu menguji Muhammad Abduh dengan pertanyaan “apa yang kamu pelajari dari Ilmu Manthiq? Ilmu Berhitung? Dasar-dasar Ilmu Ukur?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat Muhammad Abduh selalu berusaha mendalami ilmu-ilmu yang ditanyakan kepada para pakar di Kairo. Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh pamannya, sebagaimana dalam otobiografinya, bahwa Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh kepribadian pamannya itu, dan banyak pengetahuan yang menyadarkan dirinya untuk semangat mencari ilmu dan ia menuliskan kenangannya bahwa, Saya tidak mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang harus dipilih, kecuali Syaikh yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan literalisme menuju kebebasan keilmuan yang sejati kepada Tuhan. Beliau adalah kunci kebahagiaan saya, bila saya memiliki kebahagiaan apapun dalam hidup saya. Ia mengembalikan bagian dari diri saya yang hilang dan membukakan kepada saya apa yang masih tersembunyi di dalam diri saya. 24 Kesibukan belajar ini terus berlangsung hingga tiba Sayid Jamaluddin al-Afghani w. 1897M pada bulan Muharram 1287 H. Ia belajar dari al-Afghani sebagian ilmu pasti, filsafat dan ilmu kalam. Ia juga mengajak orang-orang untuk belajar kepada al-Afghani. Di bawah bimbingan al-Afghani, 25 Muhammad Abduh 23 Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 432-433 dan lihat pula John Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, terj. Islam Continuity and Change in the Modern World, oleh Ajat Sudrajat, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1982 hlm. 143-144. 24 Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 211. 25 Kehidupan Jamaluddin al-Afghani penuh dengan dakwah yang hangat terhadap agama, kepada tauhid, sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisannya dalam al-Radd ‘alâ al-Dahliyyin, al- ‘Urwah al-Wustqâ . Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 323. 47 mempelajari buku-buku penting seperti al-Zawrâ karya Dawani mengenai tasawuf, Syarh al-Qutb ‘ala al-Syriasiyah, al-Mathali, Sullam al-‘UIum fi al-Manthiq, al-Hidayah, al-Isyarat, Himah al-Ain wa Hikmah al-Isyraq fi al-Falsafah, ‘Aqaid al-Jalal al-Dawani fi al-Tauhid, al-Taudhih ma’a al-Talwih fi al-Ushul, al-Jugmini, Tadzkirah al-Thusi fi al-Hai-ah al-Qadimah, dan buku-buku lain mengenai perkembangan modern. 26 Pengaruh al-Afghani terhadap Muhammad Abduh segera tampak pada semangat Muhammad Abduh untuk menulis dan mengarang. Kepada al-Afghani, ia dan kawan-kawan mahasiswa lainnya mempelajari buku-buku mengenai Manthiq dan Ilmu Kalam yang belum pernah mereka pelajari di al-Azhar. Kian hari kelompok ini bertambah banyak dan terkenal di al-Azhar. Kegiatan Muhammad Abduh dan kelompoknya dalam mendalami buku-buku Mutazilah dan para Mutakallimin serta merujuk madzhabnya, membuat cemas Syaikh Muhammad „Alaisy. „Alaisy adalah seorang „alim yang hidup sederhana dan tidak tergoda oleh gemerlap dunia sebagaimana kebanyakan ulama pada zamannya. Ia adalah orang yang ikhlas dan tidak menyukai bid ah yang dianggapnya dapat meruntuhkan agama. Ia menghukumi dosa besar bagi orang yang membaca buku-buku seperti itu. Oleh karena itu, ia mengirim surat untuk berdebat dengan Muhammad Abduh. Perdebatan tersebut berakhir dengan pertengkaran. Menurut satu versi cerita, Muhammad Abduh meninggalkan al-Azhar. Menurut cerita lain, ia tidak meninggalkan al-Azhar melainkan tetap di sana, tetapi ia selalu membawa tongkat dan berkata: “Jika Syaikh datang dengan tongkatnya, akan aku pukul dengan tongkat itu.” 27 Pada tahun 1294 H, Muhammad Abduh berhasil meraih ijazah Alim dari al-Azhar. la menempuh pendidikannya di al-Azhar dengan tiga tahap. Pertama, mempelajari metode al-Azhar yang terkenal dengan kajian matan, syarh, hawasyi, 26 Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al- Tafsîr , hlm. 26. Obyek kajian buku-buku yang disebutkan namanya ini berkaitan dengan disiplin logika, metodologi, dan filsafat. Lihat pula Thâhir al-Thanâhi, Mudzâkirât al-Imâm Muhammad Abduh , Mesir: Dâr al-Hilâl, tt., hlm. 28-35. Macam-macam displin ilmu ini pada gilirannya berpengaruh kepada kerpibadian Muhammad Abduh menjadi seorang rasionalis di kemudian hari. 48 dan taqrir. 28 Kedua, mempelajari metode Sayyid al-Afghani yang melepaskan Muhammad Abduh dari keterkungkungan dengan ungkapan-ungkapan tekstual dan membiasakannya berpikir progresif mengikuti kondisi umat Islam kontemporer. Ketiga, ia menggabungkan pengetahuannya itu dengan ilmu-ilmu Barat dengan membaca terjemahan buku-buku Barat. Kemudian ia mempelajari bahasa Prancis sampai ia dapat membaca buku-buku berbahasa Prancis. 29

3. Karya Tulis

Dalam hal menulis, Muhammad Abduh memang tidak mempunyai kecenderungan menulis, bahkan ia berpendapat bahwa kata-kata yang didengar dengan baik akan lebih berpengaruh ketimbang kata-kata yang dibaca. Argumen dia adalah “bahwa pandangan, gerakan, isyarat, dan logat body language orang yang berbicara dapat membantu pendengar memahami maksud pembicaraan,” dan dalam pembicaraan itu “memungkinkan pendengar bertanya langsung mengenai maksud pembicaraan yang kurang jelas. Dalam kontak tertulis, siapa yang bisa bertanya? Pendengar itu dapat memahami 80 maksud pembicara sedangkan pembaca hanya memahami 20 maksud penulis.” 30 Pandangan Muhammad Abduh mengenai tradisi penuturan lisan di atas mungkin saja benar. Akan tetapi, meskipun berpandangan begitu, Muhammad Abduh meninggalkan tulisan yang banyak, yang sebagian besar berbentuk suhuf makalah. Di antara karya tulis Muhammad Abduh adalah 1 Al-Wâridat, karya tulis pertama dalam bidang ilmu kalam atau tawhid dengan metode dan gaya tasawuf; 27 Lihat Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 126. 28 Matan adalah ungkapan yang menjelaskan inti dan pokok bahasan, syarah adalah penjelasan matan, hawasyi adalah penjelasan berupa catatan pinggir yang menjelaskan syarah, dan taqrîr adalah catatan lanjutan untuk menjelaskan hawasyi. Selanjutnya lihat Ibrahim Anis dkk., al- Mu’jam al-Wasîth Mesir: Dâr al-Ma arif, 1972, hlm. 853. 29 Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam , terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 49. 30 Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini mungkin berlaku bagi masyarakat berbudaya dengar, tetapi bagi masyarakat berbudaya baca perlu diteliti