Karya Tulis Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar

52 bertentangan dengan Alquran dan al-sunnah; dan 4 mendakwahkan Alquran dan al-sunnah dengan lisan dan perbuatan nyata. 36 Jika Muhammad Abduh menggunakan metode salafi, maka secara metodologis dalam menjelaskan konsep dakwah menempuh empat macam kaidah metode salaf tersebut. Kemudian, dalam pernyataan tujuan dakwah yang ke dua, Muhammad Abduh menginformasikan bahwa inti pemikiran dan aktivitas dakwahnya adalah ishlâh perbaikan Bahasa Arab sebagai bahasa agama dan ilmu dalam kegiatan pendidikan macam-macam pidato khithâbah, tulisan di media cetak, dan surat- menyurat. Selain itu, Muhammad Abduh juga menginformasikan pentingnya menegakkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan pentingnya menasihati para pejabat birokrasi pemerintahan yang melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, Muhammad Abduh mengajukan konsep bentuk utama kegiatan dakwah menurut urutan metodisnya berupa dakwah bi ahsan al-qaul dakwah melalui perkataan atau dengan bahasa lisan yang baik dan dakwah bi ahsan al-‘amal dakwah melalui bahasa perbuatan, dan beberapa macam metode pelaksanaannya dalam memperbaiki dan mencari solusi problem keumatan. Dalam merealisasikan tujuan da’wah ishlâhiyyah , Muhammad Abduh telah melakukan ishlâhiyyah pendidikan, politik, jurnalistik, hukum dan kemasyarakatan. Berikut secara singkat berturut-turut dikemukakan aktivitas ishlâhiyyah yang dilakukan Muhammad Abduh.

1. Ishlâhiyyah Pendidikan

Dengan bekal ijazah sarjana yang telah diperoleh, pada penghujung tahun 1290H, dalam bidang pendidikan 37 , Muhammad Abduh dipercaya mengajar mata 36 Selanjutnya lihat Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah Kairo: Dâr al-Salam, 1993, hlm. 53-56. 37 Pendidikan al-tarbiyyah, menurut Muhammad al-Sayyid Muhammad Yusuf, dalam al- Tamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm Mesir: Dâr al-Salâm, 1997, hlm. 95, merupakan bagian dari aktivitas dakwah. Ia menulis: Ia memadukan makna penyampaian, penjelasan, penghimpunan, pembangunan, pendidikan, kaderisasi, perjuangan, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran. 53 kuliah sejarah di Universitas Dar al‘Ulum dan Bahasa Arab di Alsan Khudaiwiyah , dengan tetap mengajar di Universitas Al-Azhar. Di Dar al-‘Ulum, dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan penugasan, ia mengajarkan Muqaddimah Ibn Khaldun dengan tujuan mensosialisasikan pikiran-pikirannya mengenai politik dan kemasyarakatan. Ia menugasi para mahasiswanya untuk menulis sejumlah makalah agar tertanam tradisi kritis dan pembaharuan. Dengan demikian, pikiran-pikiran Muhammad Abduh lebih diterima dan berpengaruh daripada yang lainnya. 38 Namun kegiatan Muhammad Abduh tersebut mendapat gangguan tidak berlangsung lama, karena ia dikucilkan oleh pemerintah atas dasar hubungannya dengan Jamaluddin al-Afghani. Ia diasingkan dan diperintahkan kembali ke kampungnya sampai kemudian turun “amnesti.” Pemerintah dan Muhammad Abduh ditunjuk menjadi ketua redaksi koran resmi Al-Waqâ’i al-Mishriyah. Pada tahun 1300 H 1882 M, Muhammad Abduh dijatuhi hukuman pengasingan atas keterlibatannya dalam gerakan ‘Urabiyah, yaitu gerakan yang dipimpin oleh Urabi Pasya. Ia lalu pergi ke Syria dan tinggal di sana selama pengasingan. Dalam masa itu, ia sempat pergi ke Paris selama sepuluh bulan. Di Paris ia bersama al-Afghani menerbitkan koran Al-‘Urwah al-Wutsqâ. Sekembalinya ke Syria ia di tempat tinggalnya mulai mempelajari Sîrah Nabi dan membaca Tafsîr al-Kabîr karya Fakhr al-Dîn al-Râzi 544H1150M, w. 606H1210M. Akan tetapi ia tidak hanya membaca kitabnya melainkan ia membaca Mushaf untuk kemudian ia tafsirkan. 39 Pada tahun 1303 H la diundang mengajar di pusat pendidikan Sulthaniyah di Beirut. Di sini ia melakukan berbagai perbaikan sistem dan materi pengajaran. Ia menambahkan ilmu tauhid, fiqh mu amalah, sejarah, logika, retorika, dan menulis. Ia menemukan bahwa buku-buku daras kecil tentang tauhid ternyata Dan lihat Abd al-Karim Zaidan, Ushûl al-Da’wah, Cet. 9 Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001, hlm. 442-446. 38 Lihat William Montgomery Watt, Pundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Islamic Fundamentalism and Modernity , oleh Taufiq Adnan Amal, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 107-108. 39 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127. 54 tidak memadai dan bahwa buku-buku besar ternyata berbelit-belit dan sulit dipahami oleh mahasiswa, sementara buku-buku menengah tidak lagi mengikuti semangat zaman. Atas dasar temuan ini, Muhammad Abduh kemudian menyusun Risâlah al-Tauhîd , buku yang dipandang sebagal up-to-date. 40 Ia juga menyadur kedalam Bahasa Arab buku Al-Afghani Al-Radd ‘ala al-Dahriyyîn dan membuat syarh komentar dan pembahasan atas buku Nahj al-Balâghah dan Maqâmât Badi’ al-Zamân al-Hamadzani. 41 Ini hanya sebagian dari kegiatan ilmiah Muhammad Abduh. Adapun upaya perbaikan sistem pendidikan yang digagas Muhammad Abduh yang ia lontarkan di Suriah dan Mesir. Di Suriah ia melontarkan rancangan yang diawali dengan membagi manusia pada tiga lapisan dan menentukan bidang ilmu tertentu bagi masing-masing lapisan. Lapisan pertama terdiri dari para ahli industri, niaga, dan agraria serta orang-orang yang mengikutinya. Buku-buku keagamaan sebagai bahan-ajar bagi lapisan ini mesti disusun dengan orientasi sebagai berikut: 1 buku mengenai ikhtisar aqidah Islam yang disepakati oleh ahli sunnah dengan sedikit membahas perbedaan dan persamaan pendirian antara umat Islam dan Kristen; 2 buku ringkas mengenal halal dan haram dan warning atas bid ah; dan 3 buku sejarah ringkas meliputi sejarah umum nabi, para shahabat, dan para khalifah untuk kemudian dilanjutkan dengan sejarah pemerintahan Utsmaniyah. 42 Lapisan kedua terdiri dari orang-orang yang mengabdikan dirinya pada pemerintah seperti tentara, ketua dan anggota pengadilan, dan para pengurus administrasi. Bagi mereka mesti disusun buku ajar keagamaan sebagai berikut: 1 Buku pengantar keilmuan yang mencakup bagian-bagian penting dalam bidang logika, dasar-dasar penalaran, dan sedikit etika berdebat; 2 buku aqidah yang disusun dengan argumen-rasional dan dalil qath i secara sederhana; 3 buku yang merinci halal-haram dan baik-buruk dengan penjelasan tingkat menengah; dan 4 40 Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960, hlm. 3. 41 Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127. 42 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 128. 55 sejarah agama yang meliputi sirah nabi dan shahabat serta penaklukan-penaklukan oleh umat Islam sampai masa Utsmaniyah. 43 Adapun lapisan ketiga terdiri dari para ulama pakar pendidikan dan bimbingan. Bagi lapisan ketiga ini, penting untuk selalu membekali diri dan meningkatkan wawasan keilmuannya. Dalam hal ini, Muhammad Abduh tidak menyebutkan buku-buku tertentu melainkan dianjurkan agar memilih bidang studi yang dapat diklasifikasi sebagai berikut: 1 bidang tafsir Al-Quran seperti tafsir Al-Kasysyaf, Al-Qumi, Al-Naisaburi, dan para penganut metodenya; 2 bidang Bahasa Arab; 3 bidang Hadits, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan al- Quran dengan cara mengesampingkan hadits-hadits, dha’if; 4 bidang akhlaq dan moralitas, agama, secara detail sebagaimana dilakukan Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din ; 5 bidang Ushul Fiqh, dengan buku terbaik dalam bidang ini adalah Al-Muwaffaqat karya Al-Syathibi; 6 bidang sejarah baik sejarah klasik maupun modern; 7 bidang retorika dan diplomasi; dan 8 bidang ilmu kalam dan theologi secara umum. Lapisan ketiga ini pantas dipimpin oleh Syekh Imam Muhammad Abduh dengan perhatian penuhnya pada aspek administrasi. Para dosen dan peneliti direkrut untuk masuk pada lapisan ini dengan tidak membuka pintu bagi mahasiswa kecuali setelah melalui testing yang ketat. Testing ini difokuskan pada penguasaan bidang-bidang keilmuan di atas dan penelusuran secara seksama sekitar latar belakang hidup yang mencerminkan keistimewaan dalam bidang ilmu dan amal. 44 Mengenai upaya ishlâhiyyah sistem pendidikan di Mesir, dapat dirujuk upaya Muhammad Abduh yang ditujukan kepada Lord Cromer. Ia menjelaskan pentingnya upaya perbaikan sistem pendidikan dan bahwa keperluan pemerintah atas kemaslahatan manusia tidak kalah pentingnya dari kebutuhan pemerintah atas kemaslahatannya sendiri. Penguasa dan rakyat ibarat sesuatu dan alatnya. Jika 43 Lihat Yvonne Haddad, dalam Ali Rahman, Para Perintis Jalan Baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1995 hlm. 57-60, dan Fahd, Manhaj al- Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr , hlm. 128. 44 Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual, terj. Islam and Modernity Transformation, oleh Ahsin Muhammad, Bandung:Pustaka Salman ITB, 1985, hlm. 81-82, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 129. 56 penguasa adalah seorang penulis, rakyat adalah pulpennya. Pulpen tidak mungkin menorehkan tintanya, tanpa penulis dan penulis tidak mungkin menulis tanpa pulpen. Kemudian, Muhammad Abduh menghimbau pemerintah Mesir melakukan perbaikan sistem pendidikan. Ia memandang hal itu tidak akan sulit direalisasikan karena bangsa Mesir adalah bangsa yang secara fitrah penurut, cerdas, dan siap mengikuti kemajuan. Jika penguasa dianalogikan sebagai kepala, rakyat Mesir ibarat tubuh yang patuh pada kehendak kepala. Sekali penguasa memelopori, mereka akan serempak mengikuti. Muhammad Abduh menganjurkan kepada para pengelola lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah agar menjadikan pokok-pokok agama sebagai bagian penting dari kurikulumnya. Pokok-pokok agama ini mesti ditanamkan pada para mahasiswa dengan tidak menyimpang sedikit pun dari prinsip-prinsip agama. Mereka tidak boleh menentang pakar agama secara apriori karena mereka tidak mungkin melakukan sesuatu di luar kapasitas dan otoritasnya. 45 Muhammad Abduh juga mengkritik tentang berbagai lembaga pendidikan pernerintah. Ia menilai bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mempelajari ilmu-ilmu hakikat dan tidak pula menggunakan sistem pendidikan yang benar. Ia mempersamakan situasi ini dengan zaman Ismail, ayah Khedevi Taufiq, ketika orang-orang tidak mau memberi nafkah pada anak-anaknya dan menyuruh mereka melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan negara demi mendapat upah. Adapun masalah pengajaran dan pendidikan untuk menciptakan generasi yang maju ternyata tidak mendapat perhatian. Lembaga-lembaga pendidikan asing menurut Muhammad Abduh memiliki kelemahan adanya perbedaan paham yang tajam antara pengajar dan pelajar. Hal ini membuat pendidikan dan pengajaran tidak efektif, sehingga sedikit sekali orang Mesir yang memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan asing. Mereka terus-menerus menasihati anak-anaknya untuk tidak mengikuti paham para pengajar tersebut agar aqidah mereka terpelihara dari penyimpangan pola pikir dan penyelewengan moralitas. Memang 45 Lihat Abd Allah Muhammad Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi Tafsir al- Quran al-Karîm, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130.