al-Da’wah al-‘Âmmah al-Kulliyyah

166 merupakan implementasi kewajiban menyebarluaskan informasi Islam kepada orang banyak atau khalayak yang melekat dalam karakteristik Islam. 9 Muhammad Abduh mengajukan kritik bahwa pada zamannya banyak khuthabâ para penceramah agama yang menasihati orang lain, tetapi membuat umat menjadi saling bermusuhan, bahkan terpecah belah lantaran mereka menghadirkan materi nasihat yang bersifat saling menjelekkan dan mengklaim dirinya yang benar. Di samping itu menurut Muhammad Abduh, banyak khuthabâ yang mendikotomikan unsur duniawi dan ukhrawi, jika hal ini tidak diperbaiki akan berakibat khusrân al-mubîn kerugian yang nyata. 10 Sebelum Muhammad Abduh al-Mawardi berpendapat bahwa: Khithâbah yang baik adalah jika memenuhi syarat, antara lain; 1 bahasa yang digunakan dapat dipahami oleh audiens dan menyentuh kepentingannya dalam memperoleh perkara yang bermanfaat dan menghindarkan perkara yang madarat; 2 tepat situasi dan kondisi dalam merangkai bahasa lisan; 3 panjang-pendek penyajian ditentukan oleh situasi dan kondisi berlangsungnya khithâbah; dan 4 memilih dan memilah kata-kata yang menarik dan menyentuh pikiran dan perasaan. 11 Selain syarat tersebut, khithâbah yang baik dalam tabligh Islam adalah jika memenuhi etika teknis penggunaan bahasa lisan, antara lain, yaitu: 1 tidak mengungkap pujian yang berlebihan terhadap seseorang; 2 tidak mengungkapkan bahasa yang membangkitkan kebencian dan kecintaan yang berlebihan; 3 mengungkapkan sesuatu dengan prioritas yang sudah dilakukannya oleh diri pembicara; 4 memelihara kefasihan dalam mengungkapkan huruf demi huruf dalam pembicaraannya; 5 menghindari ungkapan yang kotor dan jorok; dan 6 menampilkan contoh-contoh yang relevan dengan topik pembicaraan, dan dapat dicerna oleh akal sehat. 12 9 Kajian mengenai penggunaan media massa modern dalam dakwah lebih lanjut lihat Muhammad Sa îd Mubârak, al-Da wah wa al-Idârah, Madinah al-Munawarah: Maktabah al- Malik Fahd al-Wathaniyah, 2005, hlm. 175-187. 10 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29 dan 384. Mengenai khitâbah al-dîniyyah dan al- ta tsîriyah, lihat „Abd Allah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyah wa al-„ilam al-Dîni, Kairo: al- Hayiah al-Mishriyah al- Âmmah li al-Kitâb, 1978, hlm. 19-31. 11 Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn Beirut: dâr al-Fikr, tt., hlm. 266-267 12 Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, hlm. 268-276. 167 Menurut al-Khuly, macam-macam khithâbah dalam tablîgh Islam adalah, pertama, berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah mahdhah yang meliputi khutbah salat: jum at, idul fitri, idul adha, gerhana matahari, gerhana bulan, dan istisqâ, dan, kedua, berkaitan dengan penyelenggaraan peringatan hari besar bersejarah, forum ilmiah di lembaga-lembaga pendidikan dengan semua tingkatannya. 13 Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa, khithâbah itu ada khithâbah al- diniyah dan khithâbah al-ta tsîriyah. Khithâbah al-diniyah yang paling banyak dilakukan adalah khutbah jum at yang memiliki syarat dan rukun tertentu. Syarat dimaksudkan sebagai sesuatu yang mesti dipenuhi sebelum khithâbah itu dilakukan, sedangkan rukun sesuatu yang mesti ada dan dipenuhi ketika berlangsungya khithâbah. Hal-hal yang termasuk syarat bagi khutbah jum at antara lain sebagai berikut: Pertama, memiliki kesiapan jiwa. Hal ini penting mengingat khutbah jum at merupakan bagian dari rangkaian ibadah mahdhah. Kesiapan jiwa ini berupa kepribadian yang mencintai tugas khutbah, memiliki niat yang ikhlas dan keberanian untuk tampil di hadapan orang banyak; Kedua, memiliki pengetahuan dan pandangan materi khutbah yang luas, hal ini menuntut khatib untuk mempelajari topik-topik yang akan dikhutbahkan. Dan selalu berlatih untuk merakit bahan-bahan khutbah dalam bentuk teks atau catatan-catatan untuk disampaikan dalam khutbah tanpa teks; dan Ketiga, menguasai dan terampil dalam menggunakan bahasa, baik bahasa tutur maupun bahasa tulis. Selain tiga syarat tersebut mengacu juga pada syarat-syarat yang ditentukan oleh pendekatan fikih. Sedangkan yang termasuk rukun khutbah adalah: 1 mengemukakan puji kepada Allah SWT. baik dalam bentuk ungkapan jumlah fi liyah maupun jumlah khabariyah ; 2 menyampaikan shalawat kepada utusan Allah SWT. baik dalam 13 Selanjutnya lihat al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-Dîni, hlm. 19. Mengenai kajian dan contoh khithabah rasul Allah terakhir antara lain dilakukan oleh Muhammad Khalil al-Khathîb dalam karyanya al-Khuthab al-Rasûl, Kairo: Dâr al-Fadhilah, 1983, 322 hlm. 168 bentuk ungkapan jumlah fi liyah maupun jumlah khabariyah; 3 menyampaikan washiat taqwa yang redaksinya bisa langsung mengutip ayat al-Qur ân atau dengan ungkapan yang esensinya diambil dari makan ayat al-Qur ân tentang takwa; 4 membaca salah satu ayat al-Qur ân yang menjadi rujukan topik bahasan dalam khutbah, yang disebut dengan bâdi barâ ah al-istihlal; dan 5 berdo a untuk mukminin dan mukminat. 14 Sementara itu, khutbah jum at menurut strukturnya terdiri dari muqadimah, uraian dan penutup, yang penjelasannya sebagai berikut: Pertama, muqadimah, yang berisikan rukun-rukun khutbah yang sudah dikemukakan di atas. Dalam hal ini, khatib hendaknya mampu menyampaikan dengan bahasa dan nada yang baik dan jelas serta suara yang menunjukkan kewibawaan; Kedua, uraian, yang merupakan isi dari topik khutbah, yang menuntut khatib untuk mampu secara piawai menjelaskan berbagai macam pandangan dan buktibukti disertai dengan dalil, baik naqli maupun aqli. Penguraian ini dapat dilakukan dengan pendekatan deduktif dan induktif secara bergantian. Uraian khutbah tersebut dipandang bagus jika memenuhi ketentuan teknik penguraian sebagai berikut: 1 uraian merupakan kesatuan yang utuh dari kandungan topik khutbah; 2 uraian dikemukakan secara tertib, yaitu antara satu permasalahan dengan masalah yang lain diuraikan secara bersambung dan saling berkait sehingga dapat dicerna secara mudah oleh jama ah; 3 uraian hendaknya memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai macam unsur yang terkandung dalam bagian-bagian materi khutbah; dan 4 menyampaikan bukti- bukti yang logis untuk menguatkan penjelasannya begitu pula memberikan contoh-contoh yng relevan dengan mengambil pelajaran dari kisah al-Qur ân, perjalanan nabi dan rasul, para sahabat dan para ulama, baik salaf maupun khalaf yang saleh. 15 Tablîgh Islam bagi ummah da wah nonmuslim selain khithâbah dan kitâbah juga dapat dilakukan dengan bimbingan, konsultasi, diskusi, dan dialog 14 Abdullah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, Mesir: al-Hay ah al- Mishriyyah al-„Ammah, 1978, hlm. 20. 15 Abdullah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 27-28. 169 yang memenuhi prinsip-prinsip metode mujâdalah yang baik. Etika utama tablîgh terhadap mad u nonmuslim adalah memberikan kebebasan ikhtiar dan tidak ada paksaan, argumen logis, dan bukti empiris karakteristik Islam sebagai agama dakwah hendaknya dikedepankan. Tablîgh Islam ini disebut futûhât penyebaran, perluasan pengikut yaitu menghadirkan Islam ke tengah-tengah komunitas nonmuslim tanpa kekerasan, tanpa paksaan, dan tanpa peperangan, dan muballigh sebaiknya bertempat tinggal di tempat baru yang menjadi medan berlangsungnya futûhât. 16 Muhammad Abduh dalam Risâlah Tawhîd percaya bahwa kehadiran rasul sebagai muballigh membawa dan menyampaikan Islam agama fitrah, yakni tuntuan merealisasikan pengakuan manusia di alam ruh bahwa Allah SWT adalah Tuhan Maha Pencipta yang berhak diibadati, merupakan kebutuhan manusia. Persoalan-persoalaan hakikat perjalanan manusia setelah berpisah dari jasadnya diperlukan penjelasan yang datang dari Maha Pencipta melalui utusan-Nya karena akal manusia tidak dapat memahami hakikat yang sebenarnya tentang kekekalan hidup di akhirat nanti. Ketika akal manusia didominasi oleh pengaruh syahwat dan hawa nafsunya, diperlukan adanya pemberi peringatan dan tuntunan agar kembali kepada fitrahnya. Hal ini menjadi alasan bahwa tablîgh Islam perlu ditujukan kepada semua manusia termasuk yang nonmuslim. 17 Sebelum Muhammad Abduh, al-Shawy berpendapat bahwa kehadiran dakwah Islam adalah membentengi fitrah manusia dari kesesatan, dan menggantikan kesesatan dengan petunjuk kebenaran, akrena fithrah ashliyah manusia adalah ahl al-hudâ bukan ahl al-dhalâlah. Hal ini menurut al-Shawy diisyaratkan dengan ungkapan respon mad u yang positif terhadap Islam dalam bentuk isim dan respon negatif menggunakan bentuk fi il dalam QS. Al-nahl 125. Hal ini menjadi alasan adanya kewajiban tablîgh Islam kepada semua manusia termasuk mad u ummah da wah nonmuslim. 18 16 Selanjutnya lihat Ahmad al-Shawi, Hâsyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsir al-Jalalain, jld. IV, hlm. 359-361. 17 Lihat Muhammad Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, hlm. 90-108. dan kehadiran buku ini bagian dari tabligh bi al-Kitâbah oleh Muhammad Abduh. 18 Lihat al-Shawy, Hâsyiyah al-„Allâmmah al-Shawy „alâ Tafsîr al-Jalalayn, jld. II, hlm. 333. 170

B. al-Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah

Menurut Muhammad Abduh, al-Da wah al-Juziyyah al-Khâshah ini bagian dari level dakwah kedua, yang dapat dipahami sebagai implementasi ajaran Islam pada tingkat diri sendiri intraindividu, antarindividu, dan kelompok kecil di lingkungan ummah ijâbah merupakan esensi dari al-da wah al-khâshah dalam upaya memperbaiki dan mencari solusi ishlâh problem kehidupan mad u yang dihadapinya menurut tingkatan masing-masing, ketika dâ i berinteraksi dengan mad u dalam suasana tatap muka. Kategorisasi dakwah ini meliputi: a al-dâ iyah fî nafsih internalisasi Islam pada tingkat intraindividu, b al-da wah al- fardiyyah. Berikut penguraian masing-masing kategori dakwah dimaksud.

1. al-Dâ’iyah fî Nafsih

Pemikiran Muhammad Abduh yang dapat dipahami memuat penjelasan al-dâ iyah fî nafsih 19 dakwah intrapersonal, yaitu ketika Muhammad Abduh menafsirkan Q.S. Al-Nisâ: 48-49, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah tidak diampuninya dosa syirik, karena sesungguhnya agama tidak disyariatkan kecuali untuk menyucikan jiwa manusia al-tazkiah al-nufus al-nas, menyucikan ruh mereka tathir arwahihim, dan meningkatkan akal mereka tarqiyah „uqulihim . Sementara syirik merupakan puncak kejatuhan akal manusia, pemikiran dan juga jiwanya. Dari kemusyrikan terlahirlah berbagai kehinaan dan kotoran yang merusak manusia pada tingkat individu dan kelompok karena syirk merupakan wujud pengangkatan sejumlah orang atau sebagian makhluk yang lebih rendah dari mereka atau serupa dengan mereka ke tingkat yang mereka mengkultuskannya, tunduk kepadanya, dan merasa rendah dengan anggapan bahwa apa yang dipertuhankannya itu memiliki kekuasaan tinggi di atas hukum alam dengan segala kausalitasnya. Mereka juga menganggap bahwa 19 Ungkapan Muhammad Abduh yang semakna dengan term ini, adalah tahdzib anfus mendidik jiwa dan tazkiah nafs menyucikan jiwa, lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 184, 186, bahkan Muhammad Abduh menegasan urgensi yang semakna dengan al-da iyah fi nafsih ini yaitu “bal lianna al-mursyid al-„am mahalun li qudwah al-awam”, pernyataan ini diungkapkan ketika menghubungkan penafsiran Q.S. Ali-Imran:104 dengan Q.S. al-Maidah: 105 tentang kualitas diri mukmin dalam menghadapi tantangan kehidupannya, lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 30. Problem- problem ini antara lain: syirk, wahn lemah dalam berbagai hal, seperti pemangkiran, etos kerja, al-hazn sedih, hasad dengki dan sebagainya. Teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.4 171 menyenangkan dan menaati tuhan-tuhan sekutu itu juga sama dengan atau bagian dari ketaatan kepada Allah SWT sendiri. Kekeliruan keagamaan inilah apa yang menyebabkan penindasan dan perbudakan oleh para pemimpin agama dan dunia terhadap sejumlah kelompok atau bangsa. Mereka juga bertindak layaknya seorang tuan yang memaksa hamba sahayanya yang hina-dina dalam memperlakukan mereka berkaitan dengan jiwa, harta, kemaslahatan, dan kemanfaatannya. Ia juga mencegahmu dari konsekuensi hal itu berupa moralitas rendah dan keburukan yang merajalela semisal kehinaan, kerendahan, kenistaan, kepalsuan, kebohongan, kemunafikan, dan sebagainya. 20 Kajian mengenai tazkiah al-nufus yang disebut juga dengan tarbiyah al-nufus sebelum Muhammad Abduh telah dikemukakan antara lain oleh Imam al-Ghazali 450-505 H, Ibn Qayim al- Jauziyah 691-751H dan Ibn Rajab al-Hambali 736-795 H. 21 Dari penjelasan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa, interaksi dâ i-mad u pada tingkat intraindividu dalam upaya mengamalkan al- islâm dengan cara-cara yang sesuai petunjuk ajaran untuk memperbaiki dan mencari solusi problem kejiwaannya disebut al-dâ iyah fî nafsih. Dengan demikian dâ i dan mad unya adalah dirinya sendiri, dan dapat disebut sebagai proses internalisasi ajaran Islam oleh individu Muslim. Pemikiran Muhammad Abduh mengenai al-dâ iyah fî nafsih atau al- da wah al-nafsiyah ini lebih banyak disorotinya dalam Al-Manâr ketimbang yang lainnya, sebab menurut Muhammad Abduh, fungsi agama Islam yang banyak diabaikan oleh individu muslim pada zamannya adalah tazkiyah al-nufûs penyucian jiwa, tathhîr al-arwâh penyucian ruh, dan tarqiyah al-„uqûl peningkatan akal. Bagi Muhammad Mâhir Mahmud „Amar menyebutnya dengan irsyâd al- nafs , yakni internalisasi Islam pada tingkat intraindividunya sendiri dan memberi 20 . Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-49, tentang penegasan Allah mengenai syirik menyekutukan Allah dengan yang selain-Nya sebagai dosa besar yang tidak akan diampuni dan penegasan mengenai bagian fungsi ajaran Islam sebagai pensucian diri manusia dari aqidah dan amaliah yang batal. Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 148-149, teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.5 21 Lihat Ahmad Muhammad Kan an, Tazkiah al-Nufus, Beirut: Dar al-Qalam, tt., hlm. 9- 68. 172 perbantuan individu lain agar melakaukan hal sama, yang dikategorikan dalam istilah psikologis sebagai konseling. Hal ini memiliki peranan penting dalam kehidupan individu muslim, sebab di antara fungsi kehadiran agama Islam bagi manusia adalah sebagai upaya menghidupkan hati pemeluknya agar tidak dimatikan oleh dorongan dan dominasi potensi syahwat dan hawa nafsunya. 22 Term al-dâ iyah fî nafsih dapat pula disebut al-da wah al-nafsiyah seperti diajukan oleh Shaqr yang digunakan untuk menunjuk aktivitas internalisasi Islam oleh individu muslim sebagai persyaratan utama bagi dâ i sebelum mendakwahi individu lain. 23 Muhammad Rasyid Ridha menambahkan penjelasan Muhammad Abduh mengenai fungsi Islam yang ruh utamanya adalah tawhid Allah, ketika menafsirkan QS. Ali Imran 18-19. Ridha menyatakan bahwa, demikianlah Allah menasyariatkan agama Islam untuk dua hal pokok: Pertama , menjernihkan ruh dan memurnikan akal dari keyakinan- keyakinan yang keliru atas kekuasaan gaib bagi sejumlah makhluk dan kemampuannya untuk beroperasi di alam raya ini agar tidak tunduk dan menyembah sesamanya atau bahkan yang lebih rendah daripadanya dalam hal kesiapan dan kesempurnaan; Kedua , memperbaiki hati agar memiliki tujuan yang baik dalam setiap kegiatan dan niat tulus karena Allah bukan karena manusia. Bila kedua hal ini terwujud terbebaslah fitrah manusia dari ikatan-ikatan yang merintanginya untuk sampai pada kesempurnaan personal dan sosial. Kedua hal ini merupakan ruh yang hendak dicapai dari kata „islâm . Adapun ibadah-ibadah ritual disyariatkan guna mendidik ruh Islam tersebut pada tingkat moralitas. Oleh sebab itu, dipersyaratkan di sini niat dan keikhlasan. Sekali ruh ini terdidik, mudahlah bagi pemiliknya untuk menunaikan seluruh kewajiban moral dan keadaban yang 22 Lihat Muhammad Mâhir Mahmud „Anwar, Malâmih „Ilm Nafs al-Islâmy Saudi Arabia: Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyah, 1983, hlm. 2-3 dan Musfir bin Sa id al-Zahrani, al-Tawjîh wa al- Irsyâd al-nafsî Mekah: Bahadur Press, 1421H. 23 Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs, hlm. 107-112. 173 menghantarkannya kepada suatu masyarakat madani dan terwujudlah cita-cita kaum bijak. 24 Dari pemikiran Muhammad Abduh dan Ridha di atas, dapat dipahami bahwa, keduanya percaya terdapat beberapa gangguan kesehatan mental dan penyakit kejiwaan individual dan sosial yang diakibatkan dari situasi kejiwaan yang mengindikasikan adanya kemenangan potensi nafs amârah dalam struktur keruhaniannya. Oleh karenanya sasaran utama dakwah nafsiyah merupakan upaya ishlâh perilaku ruh, nafs, dan akal mad u dengan mengimplementasikan Islam pada tingkat intraindividu. Sebab, perilaku lahir merupakan ekspresi dan manifestasi dari perilaku potensi batin. Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, gangguan kesehatan mental dan penyakit kejiwaan individual dan sosial pada intinya bersumber pada perilaku syirk menyekutukan Allah SWT.. solusinya, Muhammad Abduh percaya, hanya dengan tawhid 25 yaitu mengesakan kemahaesaan Allah SWT. Mengenai perilaku lahir manusia merupakan manifestasi dari perilaku potensi batin adalah bagian dari sunnah Allah, dalam hal ini, Muhammad Abduh menegaskan, sesungguhnya apa yang diketahui dari hukum alam berkaitan dengan manusia adalah bahwa keyakinan-keyakinannya dalam relung hatinya memiliki daya dorong kuat terhadap perilaku secara fisikal. Padahal iman tiada lain kecuali keyakinan yang tertanam kuat dalam akal yang mendominasi hati. Tidak ada amal kecuali terlahir dari pemikiran akal atau instink hati. Maka seluruh kegiatan orang beriman pasti mengikuti keimanannya. Ia tidak lepas dari iman atau tidak mau patuh padanya kecuali karena lupa atau tidak mengetahui. 26 Sebelum Muhammad Abduh, Zayn al-Din al-Baghdadi mengemukakan pandangan yang sama, menurutnya bahwa, gerakan fisik mengikuti gerakan hati dan keinginannya. Jika gerakan dan keinginannya hanya karena Allah semata, baiklah jasad dan seluruh pergerakannya. Jika gerakan dan keinginan hati bukan 24 Al-Manâr , jld. III, hlm. 257-258. 25 Tawhid ini juga berlaku dalam kegiatan pengembangan keilmuan dalam Islam sebagai solusi penyakit pandangan dikotomi ilmu. Selanjutnya lihat M. Yunan Yusuf, “Tauhid Ilmu: Solusi untuk Dikotomi,” dalam Hendar Riyadi ed., Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan Bandung: PW. Muhammadiyah dan Nuansa, 2000, hlm. 132-139. 26 Al-Manâr , jld. III, hlm. 250. 174 karena Allah, rusaklah jasad dan seluruh keinginannya sesuai dengan tingkat kerusakan hati. 27 Muhammad Abduh juga percaya bahwa, muncul dan terjadinya kehendak, sikap, dan perilaku manusia bersumber pada dua macam pengaruh internal dalam nafs nya. Hal ini ia nyatakan bahwa, setiap orang, yang berupaya merenungkan dirinya dan menimbang pikiran-pikirannya ketika ia berpikir tentang sesuatu yang mengandung potensi kebenaran dan kebaikan dan juga mengandung potensi kebatilan dan keburukan, akan merasakan bahwa dalam dirinya terdapat suatu konflik batin seolah-olah masalah tersebut sedang menjadi bahan perbahasan suatu majelis musyawarah. Ada pikiran yang diterima ada pula yang ditolak. Ada yang berkata: „Kerjakanlah Yang lain beda lagi: „Jangan dilakukan” Hingga kemudian menanglah salah satu sudut pemikiran dan unggullah salah satu pikiran. Yang satu ini lebih menetap dalam diri kita. Ia kita namai sebagai kekuatan dan pemikiran—pada hakikatnya, ia merupakan suatu makna yang tak terjangkau substansinya dan suatu ruh yang tak terpikirkan hakikatnya—tak terlalu jauh bahwa Allah menamainya malak atau dinamai sebab-sebabnya sebagai malaikat. 28 Rasyid Ridha memberikan komentar atas pandangan Muhammad Abduh di atas, sama dengan Imam Gazali yang sebelum Muhammad Abduh sudah mengemukakan penjelasan penyebab terjadinya kehendak, sikap, dan perilaku manusia bersumber pada kondisi terang dan gelapnya qalb manusia yang disebabkan oleh dua macam pengaruh, menurut Imam Gazali bahwa, terdapat dua sebab atas terang atau gelapnya hati. Sebab yang terbersit dan mendorong ke arah kebaikan disebut malaikat sementara sebab yang terbersit dan mendorong ke arah keburukan disebut setan. Kecenderungan hati yang membuat hati siap menerima ilham kebaikan dinamai taufiq sementara kecenderungan yang membuat hati mau 27 Zayn al-Din al-Baghdadi, Jâmi al-„Ulûm wa al-Hikam Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 66. 28 Al-Manâr , jld. I, hlm. 268. Pandangan Muhammad Abduh ini menggambarkan proses komunikasi intrapersonal yang meyakini adanya stimulus dari internal dan eksternal kejiwaan manusia. Lebih lanjut lihat Larry Barker, Communication, hlm. 113-119. Mengenai terjadinya kehendak ini, lebih lanjut bandingkan dengan Jaudat Said, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi, terj. Al-„Amal: Qudrah wa Irâdah , oleh Luqman Junaedi Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 87- 119. 175 menerima keburukan dinamai ighwâ godaan atau khudzlân kehinaan. Hal ini karena setiap makna yang berbeda membutuhkan nama yang berbeda pula. 29 Ketika menafsirkan QS. Al-Syams 91: 9-10, Muhammad Abduh juga mengemukakan pendapatnya bahwa di dalam nafs manusia Allah memberikan daya akal yang dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang jelek. Selain itu, Allah juga memberikan daya mampu untuk bebas memilih dan mengambil keputusan mana yang akan diikuti dari dua jalan yang diketahui oleh akal tersebut, yang masing-masing pilihan memiliki risiko, yaitu jika yang dipilih itu kebaikan, maka keuntungan yang akan diperoleh dan sebaliknya. Proses pemilihan keputusan ini, bagi yang berisiko keuntungan disebut tazkiyah al-nafs menyucikan jiwa dan bagi yang berisiko kerugian disebut tadsiyah al-nafs mengotori jiwanya. Sedangkan cara perilaku yang ditempuh, bagi yang pertama melalui ketaatan atas segala perintah, dan menolak serta meninggalkan segala larangan ajaran Islam. 30 Menurut Muhammad Abduh, kebebasan memilih yang dimiliki manusia pemberian Allah SWT yang dapat mengantarkan perjalanan hidupnya kepada kebahagiaan adalah jika kebebasan memilih itu berjalan dalam kondisi tuntunan syara. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa, bukanlah kebahagiaan manusia itu terletak pada kebebasan ala binatang melainkan pada kebebasan yang berada dalam ranah syariat. Maka siapa pun yang mengikuti petunjuk Allah, tidak syak lagi ia akan merasakan kesenangan yang benar-benar baik dan menghadapi dengan kesabaran segala musibah yang menimpanya dan dengan ketenangan setiap ancaman musibah. Ia tidak merasa takut, khawatir, dan sedih. 31 Mengacu pada penjelasan Muhammad Abduh mengenai sasaran disyariatkannya Islam dan proses terjadinya kehendak, sikap dan perilaku 29 Al-Manâr , jld. I, hlm. 269. Ilhâm adalah menyampaikan sesuatu ke dalam hati dengan jalan emanasi yang membuat dada menjadi lapang dan tenang, kemudian ia digunakan di sini dengan arti klarifikasi semata. Lihat al-Shawi, Hâsyiyah al-„allâmah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalâlain, jld. IV, hlm. 322. Bagi Rasyid Ridha, ilham melalui malaikat dan yang dari setan disebut wiswâs bisikan. Lihat Al- Manâr , jld. I, hlm. 267. 30 Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm, Juz „Amma, hlm. 110-111. 31 Al-Manâr , jld. I, hlm. 286.