Pandangan Mazhab Hanafi PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MUT’AH

Pendapat Abu Yusuf, al- Syafi’i dan Ahmad bahwa wajib memberikan mut’ah bagi perempuan yang diceraikan suaminya sebelum berlaku persetubuhan yang ditentukan mahar. sama halnya ditetapkan mahar itu di dalam akad atau setelah akad, karena penentuan mahar selepas akad berlaku separuh bila berlaku perceraian sebelum bersetubuh, maka itu juga mahar yang ditentukan selepas akad. 4 Abu Hanifah berpendapat bahwa adalah sunah memberi mut’ah dalam keadaan perceraian ba’da dukhul, dan perceraian qabla al dukhul pada perkawinan yang disebutkan mahar, karena mut’ahnya diwajibkan sebagai ganti daripada separuh mahar. Apabila perempuan berhak mendapat mahar yang ditentukan mahar musamma atau mitsil ba’da dukhul, maka ia tidak perlu lagi mendapat mut’ah. Kesimpulan: Sunah memberikan mut’ah di sisi ulama Hanafi kepada setiap perempuan yang diceraikan kecuali bagi perempuan yang nikah tafwidh. Wajib diberi mut’ah yaitu perempuan yang dinikahkan tanpa mahar dan bercerai qabla dukhul dengan suaminya atau perkawinan yang disebut mahar tetapi sebutannya atau penentuan maharnya fasid atau ditentukan mahar selepas akad.

B. Pandangan Mazhab Maliki

4 Ibid, h.317 Memberikan mut’ah kepada wanita yang dicerai merupakan perbuatan ihsan sesuai dengan kadar kemampuan suami yang menceraikan istrinya apakah dia memiliki harta yang banyak atau sedikit, dan pemberian mut’ah itu hukumnya sunnah. 5 Senada dengan hal tersebut menurut Wahbah Zuhailiy bahwa Mazhab Maliki berpendapat mut’ah adalah sunah bagi semua perempuan yang diceraikan oleh suaminya karena firman Allah SWT:      6 Artinya : kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mutah menurut yang maruf. QS. al-Baqarah : 241 dan juga firman Allah :      Artinya : yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. QS. al-Baqarah : 236 Sesungguhnya Allah SWT. mengikat perintah memberi mut’ah dengan taqwa dan ihsan, sedang perkara wajib tidak terikat dengan kedua sifat itu. Mereka berpendapat bahwa perempuan yang diceraikan oleh suami ada tiga macam yaitu : 5 Abi Qosim Muhammad bin Ahmad Ibn Juza, al-Qowanin al-Fiqhiyyah Cairo : Dar al-Hadis, 2005 h.193 6 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu, .h.318 1. Perempuan yang diceraikan sebelum bercampur dengan suami dan sebelum ditentukan maharnya, maka ia berhak mendapat mut’ah dan tidak berhak mendapat sesuatu pun daripada mahar. 2. Perempuan yang diceraikan qabla al dukhul sebelum bercampur dengan suami dan setelah ditentukan maharnya, maka tidak ada mut’ah baginya. Manakala perempuan yang diceraikan setelah bercampur dengan suami, sama ada sebelum ditentukan mahar ataupun setelah ditentukannya, maka ia berhak mendapat mut’ah. 3. Tidak ada mut’ah bagi perempuan pada setiap perceraian yang dipilih oleh perempuan, seperti isteri kepada orang gila, orang berpenyakit lepra, orang lemah syahwat impoten dan tidak ada mut’ah pada perceraian dengan sebab fasakh, khuluk dan li’an.

C. Pandangan Mazhab Syafi’i

Pendapat Mazhab Syafi’i bertentangan dengan ulama Maliki, menurut Mazhab Syafi’i bahwa mut’ah itu wajib diberikan kepada setiap perempuan yang diceraikan suami, sama halnya perceraian itu qabla al dukhul sebelum bercampur dengan suami ataupun ba’da dukhul setelah bercampur, kecuali bagi perempuan yang bercerai qabla al dukhul sebelum bercampur dengan suaminya dan maharnya telah ditentukan mahar masamma, maka cukup bagi mantan suaminya memberikan setengah daripada maharnya. Oleh karena itu, wajib mut’ah bagi isteri yang diceraikan qabla al dukhul sebelum bercampur meskipun tidak diwajibkan membagi dua mahar, dan wajib juga mut’ah bagi perempuan yang diceraikan suami ba’da dukhul setelah bercampur dan maharnya tidak disebutkan di dalam akad, hal ini mengikut pendapat yang lebih zahir, dan wajib memberikan mut’ah pada setiap perceraian yang bukan disebabkan oleh isteri seperti talak yang berlaku dengan sebab suami seperti suami murtad, meli’an atau memeluk agama Islam. Adapun perempuan yang wajib baginya separuh mahar, maka baginya yang demikian. Manakala perempuan nikah tafwidh dan tidak ditentukan maharnya, maka ia berhak mendapat mut’ah. 7 Secara ringkas, ungkapan kata mereka adalah bermaksud: “bagi perceraian ada mut’ah, kecuali perempuan yang telah ditentukan mahar baginya dan perempuan yang diceraikan sebelum bercampur dengan suami, atau berlaku perceraian dengan sebab perempuan, atau dengan sebab suami memberikan kepemilikan talak kepada isteri kemudian isteri menjatuhkan talaknya, atau suami mati, atau dengan sebab suami meli’an dan impoten dengan sebab istri yang menuntut fasakh .” Dalil mereka dengan firman Allah SWT. :  .....  7 Ibid,.h.318

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

1 68 141

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

1 42 105

Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat Dalam Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

0 20 5

Akibat Hukum Terhadap Putusnya Perkawinan Campuran Antara Warga Asing Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif : Analisa Putusan Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.459/Pdt.G/2006/PAJS

0 15 123

Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1151/Pdt.G/2008/Pajs)

1 17 89

Analisis Yuridis Izin Poligami Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

4 25 87

Perlindungan Hak Anak Dalam Keluarga Poligami (Studi Atas Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan)

0 16 120

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172