Putusan Hakim PEMBERIAN MUT’AH BAGI ISTRI YANG TALAK : SUATU ANALISA
Agama Jakarta Selatan. Selain itu Majelis Hakim telah melakukan upaya perdamaian kepada kedua belah pihak tetapi tidak berhasil.
Dasar hukum yang dipakai oleh Pemohon dalam mengajukan Permohonan talak adalah Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975. Jo Pasal 116 Huruf f Kompilas i Hukum Islam yang berbunyi : “Antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jadi jelaslah, dalam kasus ini suami Pemohon dibenarkan mengajukan permohonan talak kepada istrinya Termohon karena alasan dan persyaratan
yang diajukan dapat diterima dan secara tegas diatur oleh perundang-undangan yang berlaku di Negara kita. Maka pantas jika Majelis hakim mengabulkan
Permohonan Pemohon demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak.
Adapun tuntutan Termohon yang menuntut kepada Pemohon untuk membayar Mut’ah sebesar Rp.50.000.000,- lima puluh juta rupiah menurut
penulis sah-sah saja, akan tetapi yang menjadi dasar pertimbangan Hakim berdasarkan keterangan Hakim yang penulis wawancarai bahwa besaran M
ut’ah harus disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan Pemohon suami
berdasarkan Pasal 160 KHI. Hal senada dinyatakan dalam Surat al-Baqarah 2 ayat 236 :
Artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
”QS. al- Baqarah 2 : 236
Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut’ah
yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya
syarat yang diberikan ayat ini adalah “kepatutan”. Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya pula. Demikian pula menurut ulama Maliki Malikiyah dan Ulama-Ulama Hanbali Hanabilah berpendapat bahwa
mut’ah diperhitungkan berdasarkan keadaan suami dari segi kaya dan miskin, atas orang yang kaya
maka kadar mut’ah disesuaikan dengan keadaannya, dan atas orang yang miskin
kadar mut’ah disesuaikan keadaannya, karena ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 236 yang tersebut di atas secara jelas menyatakan keadaan
mut’ah adalah menurut keadaan suami. Namun demikian tidak berarti seorang suami yang kaya dapat menyatakan dirinya orang yang tidak mampu sehingga
pemberian mut’ah melanggar asas kepatutan.