Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit lalu bersabda kepadanya : “Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.”
Firman Allah SWT dan hadist Rasulullah tersebut di atas menjadi dalil di syariatkanya khuluk dan sahnya terjadinya khuluk antara suami istri.
Walaupun khuluk
dibolehkan dalam
Islam, namun
dalam pelaksanaanya harus ada alasan-alasan yang logis yang menyebabkan
terjadinya khuluk, dalam hal ini adalah bila keduanya sama-sama hawatir tidak dapat melakukan aturan-aturan Allah. Tetapi jika tidak ada alasan
apapun istri meminta cerai dari suami atau disebabkan hawa nafsu atau secara tiba-tiba, maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari
Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda :
26
ٔ
Artinya : “Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda wanita mana saja yang
meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang di benarkan maka di haramkan baginya bau surga
”. HR. Tirmidzi Khuluk itu wajib dilakukan istri karena suami tidak mau memberikan
nafkah atau menggauli istri, sedangkan istri menjadi tersiksa. Khuluk diharamkan jika dengan maksud menyengsarakan istri dan anak-anaknya.
Khuluk di perbolehkan mubah ketika ada keperluan yang membolehkan
26
Abi Muhammad Husain Bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, jilid 5, Darul Kitabul Alamiyah, Beirut, h. 143
istri menempuh jalan ini. Khuluk menjadi makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu, dan menjadi sunnah hukumnya jika dimaksudkan untuk
mencapai kemaslahatan yang lebih memadai keduanya.
27
Mazhab empat mengatakan : khuluk tersebut sah hukumnya, dan berlakulah konsekwensi dan akibat hukum yang dilahirkannya. Kendati
demikian, mereka menyatakan bahwa khuluk makruh hukumnya bila tidak adanya ketidaksukaan istri terhadap suaminya.
28
27
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. h. 224
28
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta, Penerbit Lentera, 2009 Cet. 24, h. 456.
BAB III PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MUT’AH
Dalam kajian Empat Mazhab, Hukum Islam mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat perceraian, diantara
pemenuhan hak tersebut adalah pemberian mut’ah. Empat Mazhab yang dimaksud adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali yang
memberikan batasan mut’ah, kadar dan jenisnya sebagai berikut :
A. Pandangan Mazhab Hanafi
Manurut Imam Hanafi mut’ah wajib bagi orang yang menceraikan
istrinya sebelum bercampur layaknya suami istri. Dan si bekas suami itu juga belum menentukan jumlah mahar selama pernikahannya.
1
Ulama Hanafi berpendapat bahwa mut’ah kadang-kadang wajib dan kadang-kadang sunah. Wajib
mut’ah pada dua jenis talak
2
; 1. Talak bagi wanita mufawwidhah yaitu wanita yang nikah tafwidh
3
sebelum bercampur qabla al dukhul atau disebutkan mahar dalam akad tetapi sebutan
itu fasid, yakni talak yang berlaku sebelum suami isteri bercampur dan
1
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubiy, Bidayah al- Mujtahid Wanihayah al-Muqtashid, Cairo : al-Istiqomah, 1952 Juz II, h. 97
2
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut ; Dar al-Fikr, 1996 Juz VII, h.316
3
Nikah tafwidh adalah pernikahan yang didalam akadnya tidak disebutkan mahar tetapi akadnya sah dan wanita yang menikah tafwidh dinamakan mufawwidhah Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, h.268
36
berkhalwat pada pernikahan yang tidak disebutkan mahar dalam akad dan tidak ditentukan mahar selepas akad, atau perkawinan yang disebutkan mahar
dalam akad tetapi sebutannya fasid. Ini mendapat kata sepakat disisi jumhur selain daripada ulama Maliki karena firman Allah SWT.
…..
Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mutah
pemberian kepada mereka.” QS. al-Baqarah 2 : 236
Ayat itu memerintahkan untuk memberikan mut’ah, dan perintah itu menunjukkan makna wajib, dan diperkuat lagi pada akhir kalimat ayat dengan
firman Allah SWT :
Artinya : “yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.” QS. al-Baqarah : 236 Mut’ah dalam hal ini adalah sebagai ganti separuh mahar. Separuh
mahar adalah wajib dan ganti daripada wajib adalah wajib karena ia mengambil tempat wajib seperti tayamum ganti daripada wudhu.
2. Talak sebelum bercampur dengan isteri pada perkawinan yang tidak disebut mahar, ia hanya ditentukan selepas akad nikah pada pendapat Abu Hanifah dan
Muhammad karena firman Allah SWT.:
....
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mutah…” QS. al-Baqarah : 236
Pada ayat terdahulu surat al-Baqarah ayat 236 ada perintah untuk memberikan mut’ah
Ayat yang pertama mewajibkan memberi mut’ah kepada perempuan
pada semua perceraian yang berlaku sebelum mereka suami isteri melakukan persetubuhan, kemudian ayat itu dikhususkan bagi mereka yang menyebutkan
mahar. Oleh karena itu maka kekal mut’ah perempuan yang diceraikan suami
tanpa disebutkan mahar baginya dalam akad. Dan ayat yang kedua mewajibkan memberi
mut’ah bagi mereka yang tidak ditentukan mahar baginya dan ini bermakna penentuan dalam akad.
Pendapat Abu Yusuf, al- Syafi’i dan Ahmad bahwa wajib memberikan
mut’ah bagi perempuan yang diceraikan suaminya sebelum berlaku persetubuhan yang ditentukan mahar. sama halnya ditetapkan mahar itu di dalam akad atau
setelah akad, karena penentuan mahar selepas akad berlaku separuh bila berlaku perceraian sebelum bersetubuh, maka itu juga mahar yang ditentukan selepas
akad.
4
Abu Hanifah berpendapat bahwa adalah sunah memberi mut’ah dalam
keadaan perceraian ba’da dukhul, dan perceraian qabla al dukhul pada
perkawinan yang disebutkan mahar, karena mut’ahnya diwajibkan sebagai ganti daripada separuh mahar. Apabila perempuan berhak mendapat mahar yang
ditentukan mahar musamma atau mitsil ba’da dukhul, maka ia tidak perlu lagi
mendapat mut’ah.
Kesimpulan: Sunah memberikan mut’ah di sisi ulama Hanafi kepada setiap
perempuan yang diceraikan kecuali bagi perempuan yang nikah tafwidh. Wajib diberi
mut’ah yaitu perempuan yang dinikahkan tanpa mahar dan bercerai qabla dukhul dengan suaminya atau perkawinan yang disebut mahar tetapi sebutannya
atau penentuan maharnya fasid atau ditentukan mahar selepas akad.
B. Pandangan Mazhab Maliki
4
Ibid, h.317