Pandangan Mazhab Syafi’i

Adapun sekiranya telah ditentukan mahar bagi perempuan yang menikah secara tafwidh, maka tidak ada mut’ah baginya karena suami tidak mengambil manfaat farajnya. Oleh karena itu memadai separuh mahar sebagai haknya wanita yang dicerai dihubungkan dengan pengorbanannya tersebab perpisahan.

D. Pandangan Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali pada keseluruhannya sependapat dengan Mazhab Hanafi bahwa mut’ah adalah wajib atas setiap suami yang mendeka atau budak baik Muslim atau kafir dhimmi bagi setiap isteri yang dinikahi dengan nikah tafwidh, ia diceraikan sebelum bercampur dengan suaminya dan sebelum ditentukan maharnya, sebagaimana ayat al- Qur’an: …..  ……  8 Artinya : dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka QS. al- Baqarah : 236 Dan ini tidak bertentangan dengan firman Allah SWT.:      8 Ibid. h.319 Artinya : yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. QS. al-Baqarah 2:236 Oleh karena, menunaikan kewajiban adalah bagian dari ihsan, jadi tidak ada bagi orang yang mentafwidhh perkawinannya melainkan dengan mut’ah. Sunah memberikan mut’ah di sisi ulama Hanbali kepada setiap perempuan yang diceraikan yang bukan nikah tafwidh yang tidak ditentukan maharnya karena firman Allah SWT.         Artinya : kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mutah menurut yang maruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. QS. al-Baqarah : 241 Ini tidak diwajibkan karena Allah S.W.T. mengelompokkan perempuan yang diceraikan oleh suaminya kepada dua bagian. Allah S.W.T. mewajibkan mut’ah bagi perempuan yang tidak ditentukan mahar baginya dan setengah daripada mahar yang telah ditentukan baginya. Ini menunjukkan bahwa tiap-tiap bagian mempunyai hukum yang khusus baginya. Tidak ada mut’ah bagi perempuan yang kematian suami karena nash dalil tidak merangkuminya, mut’ah hanya mengenai perempuan yang diceraikan oleh suaminya. Kewajiban mut’ah gugur pada semua tempat yang digugurkan kesemua mahar seperti perempuan yang murtad dan perempuan yang difasakhkan perkawinan dengan sebab penyusuannya dan sebagainya karena mut’ah menempati setengah dari mahar yang telah ditentukan mahar musamma. Oleh itu, maka ia gugur pada semua tempat yang digugurkan mahar. Wajib bagi perempuan yang nikah tafwidh pada semua tempat yang perempuan berhak mendapat setengah daripada mahar musamma seperti suami murtad. Dan tidak wajib mut’ah pada perpisahan yang menggugurkan mahar musamma seperti perceraian dengan sebab berlainan agama dan fasakh dengan sebab susuan, sekiranya ia datang dari pihak perempuan, karena mut’ah menempati setengah mahar musamma. 9 Perempuan yang wajib baginya setengah daripada maharnya tidak wajib diberi mut’ah sama halnya apakah maharnya ditentukan di dalam akad atau pun tidak, akan tetapi ditentukan selepas akad. Ini sama dengan pendapat jumhur selain daripada Abu Hanifah dan Muhammad sebagaimana yang dijelaskan.

E. Kadar Mut’ah dan Jenisnya.

Kadar mut’ah yang diberikan suami kepada mantan istrinya dijelaskan dalam surat al-Baqarah 2 ayat 236 : 9 Ibid, h.319                Artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. ”QS. al- Baqarah : 236 Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut’ah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah “kepatutan”. Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut”. Dengan pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang mesti diperhatikan dalam pemberian mut’ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas. 10 Artinya, suami yang kaya tidak pantas memberikan mut’ah yang sama jumlahnya dengan suami yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup “cukup” atau apalagi “mewah” dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas 10 Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i wa al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i Beirut : Dar al- Kitab al-Arabiy , 1982 Juz.II,h.304

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

1 68 141

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

1 42 105

Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat Dalam Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

0 20 5

Akibat Hukum Terhadap Putusnya Perkawinan Campuran Antara Warga Asing Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif : Analisa Putusan Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.459/Pdt.G/2006/PAJS

0 15 123

Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1151/Pdt.G/2008/Pajs)

1 17 89

Analisis Yuridis Izin Poligami Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

4 25 87

Perlindungan Hak Anak Dalam Keluarga Poligami (Studi Atas Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan)

0 16 120

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172