Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1151/Pdt.G/2008/Pajs)

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SYAMSUDDIN NIM: 207043200567

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

berupa barang, uang dan lainnya. Mut’ah merupakan konsekwensi yang timbul akibat perceraian yang dilakukan oleh pihak suami.

Problem seputar pemberian mut’ah sering menjadi kasus yang tidak kunjung usai, karena banyak terjadi dari pihak mantan suami lalai memenuhi kewajibannya, akibatnya pihak mantan istri sering kali dirugikan. Kasus yang sering muncul dimasyarakat disebabkan banyaknya istri yang awam tentang hukum akibat perceraian, disamping itu suami cenderung menyepelekan kewajibannya karena menganggap bahwa persoalan telah selesai seiring dengan putusan cerai.

Islam sangat jelas mengatur dan menjembatani hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat perceraian. Para ulama mazhab telah memberikan batasan tentang hukum pemberian mut’ah, kadar dan jenisnya bagi istri yang dicerai oleh suaminya, hal ini untuk memenuhi rasa keadilan dan menghindari tindakan agar suami tidak mudah menjatuhkan talaq.

Putusan nomor :1151/Pdt.G/2008/PAJS adalah Putusan terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan menerapkan alasan perceraian antara suami isteri yang timbul akibat terjadinya perselisihan atau percekcokkan yang terus menerus hingga tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penerapan hukum pembuktian serta akibat hukum dijatuhkan putusan oleh hakim. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun, atau mengklasifikasi, menganalisa serta menginterpretasikannya.


(6)

iv

telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW. manusia pilihan yang membela umatnya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan akademis dalam menyelasaikan Program Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dorongan dan bantuan baik berupa moril, materil, dan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA., Pudek I Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

5. Pimpinan dan Karyawan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang telah memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam penulisam skripsi ini. 6. Pimpinan Perpustakaan Fakultas dan juga Perpustakaan Umum UIN Syarif

Hidayatullah yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan dan mencari bahan rujukan di perpustakaan.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak H. Muslih dan Ibu Hj. Mahwiyah, Tuan Guru H.M. Haris Hakam,SH,MA, dan istri Kakanda Hj. Yeni Triyartini, Sayyid Abdul Mutholib bin Yahya, Kakanda H. Hamdi Rifa’i dan Hj. Cholidah Syafi’i Hadzami yang tak pernah lelah memotivasi dan mendoakan serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Istri tercinta Ely Wuryanti dan anakku tersayang Ahmad Daniel Sya’fie, Makhshush Bil Izzi, dan Syifa Putri Fauziah, Kakak dan Adik-Adik serta Keponakan al-Hafizh Muhammad Yusya, al-Hafizhah Ratu Ghalbia Haibah dan Ratu Etba Humairah atas doa dan dukungannya.

9. Kepada teman seperjuangan di kelas Perbandingan Hukum, M. Amin Elwalad Meuraksa, Fadli Ghazali, Vina Nurmayanti, dan Syarif Hidayatullah, teman di kelas Peradilan Agama, Muhammad Muhiddin, Achmad Charist, Deni Hamdani, Deni Kurniawan, Marlianita, Syarifuddin, Muhammad Arifin, Nurmilasari,


(8)

vi

10. Kepada seluruh rekan-rekan yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kontribusi yang besar dalam penulisan skripsi hingga akhir.

Semoga Allah SWT. memberikan pahala yang berlipat ganda atas apa yang mereka telah berikan kepada penulis.

Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karenanya segala saran dan masukan yang konkrit sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 21 Januari 2014 Penulis


(9)

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... . ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 6

C. Perumusan Masalah ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Kajian Terdahulu ... 8

F. Metode Penelitian... 9

G. Sistematika Penulisan ... . 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUT’AH A. Pengertian Mut’ah ... 14

B. Hukum Pemberian Mut’ah ... 15

C. Tujuan dan Hikmah Pemberian Mut’ah ... 18


(10)

viii

A. Pandangan Mazhab Hanafi ... 36

B. Pandangan Mazhab Maliki ... 39

C. Pandangan Mazhab Syafi’i ... 41

D. Pandangan Mazhab Hanbali ... 44

E. Kadar Mut’ah dan Jenisnya ... 46

BAB IV PEMBERIAN MUT’AH BAGI ISTRI YANG DITALAK : SUATU ANALISA PUTUSAN A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 51

B. Kronologis Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Jakata Selatan Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS ... 61

C. Landasan Yuridis Pemeriksaan Cerai Talak dan Pemberian Mut’ah ... 63

D. Putusan Hakim ... 67

E. Analisis Penulis ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 73

B. Saran- Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkawinan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan, pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan isteri.1

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi2

Landasan filosofis perkawinan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 bab II disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3

Menurut M. Yahya Harahap seperti dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indonesia berpendapat bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

1Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), h.1.

2

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,2006), Cet.

3,h.42.


(12)

bahagia dan kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal :

Pertama : suami istri saling bantu membantu serta saling lengkap-melengkapi.

Kedua : Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dengan saling bantu-membantu. Ketiga : Tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh sebuah keluarga adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.4

Dalam hubungan perkawinan banyak menimbulkan berbagai konsekwensi sebagai dampak adanya perikatan (akad) baru yang terjalin, antara lain terjalinnya ikatan kekeluargaan di antara keduanya, di samping itu hubungan perkawinan juga membuahkan adanya hak-hak baru yang sebelumnya tidak ada, kewajiban-kewajiban baru antara pihak yang satu terhadap yang lainnya, di antara kewajiban–kewajiban itu, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya.

Jika seorang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya dan suami itu telah bersenang-senang kepadanya, sedangkan suami isteri tersebut termasuk orang yang ahlu al-istimta’ dalam perkawinan yang sah maka wajib kepada suami untuk memberikan nafkah dan diserahkan dengan sepantasnya, dan hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir ra:5

4Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,h.51. 5al-Syaikh al-Imam Abiy Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzabadiy al-Syairaziy,


(13)

Artinya :

“Takutlah kamu sekalian kepada Allah dalam memperlakukan wanita karena

kalian telah mengambilnya sebagai amanah Allah dan dihalalkan bagi kalian bercampur kelamin dengan nama Allah (akad nikah) maka mereka berhak atas diri kamu makanan dan pakaian dengan ma’ruf. (HR. Muslim)6

Hadis tersebut disamping menjelaskan bahwa istri adalah amanah Allah di tangan suami, juga kewajiban suami untuk memelihara amanah itu dengan cara memelihara dan memberikan nafkah kepadanya dalam bentuk makanan dan pakaian. 7

Ibnu Hazm seperti dikutip oleh al-Sayyid Sabiq berkata: “suami berhak menafkahi isterinya sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih di buaian atau isteri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau yatim piatu, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami”.8

Tanggung jawab nafkah pada suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi sahnya dan terhadap anak-anak yang dilahirkan si istri, tetapi suamipun

6 Abiy Husein Muslim bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburiy, al-Jami’ al-Shahih, (Semarang : Thoha Putra, tth) Juz.IV, h.41

7 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis

Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 152

8al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, cet.120 (Cairo : Dar al-Fath Lil I’lam al-Arabiyah,2007), II, h,105.


(14)

tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian.9 Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman:







Artinya :

dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. (QS. al-Baqarah (2) ayat 233)

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.10

Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu, Pertama : Terjadinya nusyuz dari pihak istri. Kedua : Terjadinya nusyuz suami terhadap istri. Ketiga ; Terjadinya syiqaq. Keempat : Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah) yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya.

9 Abdul Rahman I, Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, cet.2 (Jakarta : Rineka Cipta, 1996) h,132.

10Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet.2 (Jakarta : Kencana,2007),h, 190.


(15)

Perceraian sebagai sebab putusnya perkawinan adalah suatu institusi yang paling banyak dibahas oleh para ulama, seperti apa yang dikemukakan oleh Sarakhsi, bahwa perceraian itu hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif suami (talak) atau inisiatif istri (khuluk).

Terputusnya perkawinan dalam Islam membawa akibat-akibat tertentu baik kepada mantan suami atau kepada mantan isteri. Akibat hukum terputusnya perkawinan karena talak adalah: Bahwa bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali qabla al dukhul; memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah (menunggu), kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla al dukhul; memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.11 dan memberikan nafkah iddahnya kepada bekas isterinya, kecuali isterinya nusyuz.12

Kewajiban-kewajiban tersebut melekat pada diri suami dan harus dipenuhi oleh suami karena merupakan hak-hak isteri sebagai akibat hukum dari cerai talak, suami tidak boleh mencampakkan istri begitu saja tetapi suami harus memberi nafkah dan tempat tinggal kepada bekas istrinya, sebab terjadinya cerai talak bukan berarti melepaskan kewajiban saja melainkan melepaskan hubungan

11Abdul Rahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2007), h,149 12Ibid, h,149


(16)

seksual, dan tanggung jawab nafkah dalam kasus perceraian itu sesuai dengan firman Allah SWT:































: قاطلا(

) Artinya :

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS.al-Thaalaq: 6)

Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang

“Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian

Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS)”.

B. PEMBATASAN MASALAH

Mengingat luasnya permasalahan yang ada serta untuk menghindari kesalahpahaman bagi para pembaca maka dalam penyusunan skripsi ini penulis


(17)

membatasi pada pendapat empat mazhab tentang pemberian mut’ah bagi wanita yang dicerai atau ditalak oleh suaminya (Studi Kasus Putusan Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS)

C. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan dari pembatasan masalah diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah :

1. Bagaimana Pandangan Empat Mazhab terhadap hak mut’ah istri pasca perceraian

2. Apa dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menetapkan pemberian mut’ah bagi istri yang ditalak oleh suaminya, dan Mazhab Fikih siapa yang cocok dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan?.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari hasil penelitian ini setidaknya dapat ikut andil dalam memperkaya kajian keislaman tentang perceraian, khususnya pemberian mut’ah bagi mantan isteri. Hal ini sangat penting guna meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap adanya nafkah mut’ah bagi wanita yang dicerai oleh suaminya.


(18)

Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan agar hak-hak wanita yang dicerai tidak terabaikan dan diberlakukan sesuai dengan ketentuan syari’at, karena istri yang telah dicerai memerlukan bantuan materil untuk membantunya dalam menghadapi pengaruh negatif dari perceraian. Nafkah mut’ah dapat membantu meringankan persoalan tersebut dan dalam waktu yang sama mencegah orang-orang untuk tidak menjatuhkan talak dengan tergesa-gesa. Dasar dari pensyariatan nafkah mut’ah ini adalah untuk menghibur perasaan istri yang dicerai. Dan menghibur hatinya adalah salah satu bentuk tanggung jawab yang dianjurkan oleh syariat.

E. KAJIAN TERDAHULU

Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi yang secara khusus membahas judul dan masalah yang serupa khusunya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akan tetapi penulis menemukan data yang bercampur dengan bahasan yaitu :

NO NAMA/TAHUN JUDUL SKRIPSI SUBSTANSI PERBEDAAN 1 Adam Alinuddin

2009

Pemberian Nafkah Bagi Istri Yang Dicerai Karena Nusyuz

Pembahasan hanya pada pemberian nafkah iddah terhadap istri nusyuz

Hanya menganalisa putusan perkara


(19)

2 Faisal Rahman 2007

Realisasi

Pemberian Nafkah Istri Dalam Masa Iddah Akibat Perceraian

Mengangkat kewajiban suami untuk memberi nafkah terhadap istri dalam masa iddah akibat perceraian talaq perceraian

dimaksud adalah perceraian (talak) I dan II

Menganalisa putusan perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam kurun waktu 2005-2006

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah gambaran bagaimana penelitian itu akan ditempuh atau dilaksanakan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasi, menganalisa serta menginterpretasikannya.


(20)

a. Data Primer

Sumber data primer adalah data-data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan seperti Arsip tentang Putusan Cerai Nomor : 1151/Pdt.G/2008/PAJS , begitu juga data dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan hasil wawancara.

b. Data Sekunder

Sedangkan sumber data sekunder adalah data-data yang didapatkan dari buku-buku, artikel, dan dokumen yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari putusan pengadilan dalam hal ini yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai perkara cerai talak yang didalamnya memuat putusan pemberian mut’ah, khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No. 1151/Pdt.G/2008/PAJS). Terhadap putusan pengadilan tersebut kemudian dilakukan wawancara pada hakim guna menguatkan pemahaman penulis terhadap materi putusan perkara yang dimaksud. Selain itu juga dengan melakukan studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, buku fikih terutama tentang pendapat empat mazhab terhadap pemberian mut’ah, dan


(21)

sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang terkumpul disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai masalah hak mut’ah setelah perceraian dengan meninjau aturan mengenai pemberian mut’ah dalam Islam, dan aturan dalam hukum positif serta keputusan hakim dalam memutuskan perkara tersebut, selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis.

5. Teknik Penarikan Kesimpulan

Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik menarik kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari pertanyaan yang bersifat umum serta melalui data-data yang diambil baik melalui wawancara, buku-buku, serta dokumen yang penulis dapat poin-poin penting dari data tersebut.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(22)

Adapun buku acuan yang dipakai adalah Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini, maka penulis membuat suatu sistematika penulisan skripsi yang terurai sebagai berikut :

BAB I : Merupakan pendahuluan yang terdiri dari ; latar belakang masalah, pembatasan Masalah, perumusan masalah, manfaat penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas tentang tinjauan umum mengenai mut’ah dan permasalahannya yang terdiri dari empat pokok bahasan yaitu : pengertian mut’ah, dasar hukum pemberian mut’ah, tujuan dan hikmah pemberian mut’ah serta hak istri dalam perkawinan.

BAB III : Membahas pandangan hukum Islam terhadap hak mut’ah dalam kajian empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali.

BAB IV : Merupakan inti dari penelitian dari skripsi ini tentang putusan pemberian mut’ah bagi istri yang ditalak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang terdiri dari Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Kronologis Perkara, Pertimbangan dan Putusan Hakim, dan


(23)

analisa penulis atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tersebut.

BAB V : Merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari dua pokok bahasan, yang membahas mengenai kesimpulan penelitian dan saran-saran penulis tentang persoalan yang dibahas dalam skripsi ini.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MUT’AH A. Pengertian Mut’ah

Secara etimologis, mut’ah )ةعتم( berasal dari kata mata )عتم( diartikan dengan kenikmatan atau kesenangan, dapat pula diartikan dengan ةغلبلا (nafkah yang sepadan,cukupan), دازلا لیلقلا (bekal sedikit) dan juga diartikan dengan عاتم dengan jamak ةعتما (harta benda atau barang-barang). Apabila dikaitkan dengan kata talak, قاطلا ةعتم maka berarti sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai.1 Senada dengan hal itu menurut al-Raghib al-Ashfahaniy mut’ah berarti sesuatu yang diberikan kepada istri yang ditalak agar dapat dimanfaatkannya sejak iddahnya.2 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mut’ah adalah sesuatu (uang, barang dan sebagainya) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.3

Imam Taqiyuddin dalam bukunya Kifayah al-Akhyar mendefinisikan mut’ah yaitu harta benda yang diserahkan suami pada istrinya karena perceraian4

. Adapun menurut Wahbah Zuhailiy mut’ah adalah pakaian atau harta yang

1Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997) Cet. 14, h. 1307

2

al-Raghib al-Ashfahaniy, al-Mufrodat fi Ghorib al-Qur’an, (Makkah, Mazaru Musthafa al-Baz, 1997) Cet.1. Juz.II. h. 595

3

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1998) Cet. 1. h.603

4Taqy al-Din Abi Bakar al-Husainiy, Kifayah al-Akhyar (Beirut : Dar al-Fikr) Juz II, h.67


(25)

diberikan oleh suami karena menceraikan istrinya sebagai tambahan atas mahar atau sebagai pengganti mahar dengan tujuan untuk menghibur diri mantan istrinya. Adapun pengertian mut’ah menurut ulama Syafi’iyyah adalah sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada istrinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya.5

Pemberian mut’ah merupakan kompensasi yang diberikan oleh mantan suami kepada mantan isterinya. Pemberian tersebut manifestasi dari rasa tanggung jawab serta sirnanya rasa kebencian dan permusuhan dalam diri mantan suami. Lebih dari itu pemberian mut’ah merupakan refleksi dari perangai yang terpuji dan sikap yang bijaksana.

B. Hukum Pemberian Mut’ah

Ketentuan tentang mut’ah sebagai implikasi yang muncul akibat perceraian, untuk itu penulis akan memaparkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum pemberian mut’ah.

1. al-Qur’an

a. Q.S. al-Baqarah ayat 236


(26)





















…..



Artinya :

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan

isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. al-Baqarah : 236)

b. Q.S. al-Baqarah ayat 241 :







Artinya :

"kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)

mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."(QS. al-Baqarah : 241)

c. Q.S. al-Ahzab ayat 49


























(27)

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”(QS. al-Ahzab : 49)

Dari ayat di atas dapat dipahami secara umum bahwa seorang suami yang menceraikan istrinya diperintahkan untuk memberikan mut’ah. Adapun tentang wajib dan sunahnya pemberian mut’ah menurut empat mazhab dapat dilihat pada bab III.

2.. Mut’ah dalam Undang – Undang

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dijelaskan bahwa apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.6 Sebagaimana bunyi pasalnya:

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri.”7

6

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,h.255.

7

Marjiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2011) Cet. 3, h.83


(28)

Di samping UU tersebut, KHI juga mengatur masalah mut’ah, diantaranya:

Pasal 149:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib : a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul

Pasal 158:

Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul

b. Perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159:

Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158

Pasal 160:

Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.8

C. Tujuan dan Hikmah Pemberian Mut’ah

Menurut Muhammad Abduh, talak merupakan perbuatan rendah dan kebimbangan, yang sebenarnya suami tidak menginginkannya. Hanya saja terkadang ada sesuatu yang membuatnya harus menceraikan istrinya. Karena itu, ia diharuskan untuk memberikan mut’ah untuk menghilangkan kerendahan tersebut. Dan status mut’ah tersebut seperti saksi yang membersihkan istrinya. Ia


(29)

juga menyadari bahwa talak tersebut timbul dari hatinya karena adanya suatu sebab, bukan disebabkan karena istrinya. Karena Allah mewajibkan agar kita menjaga harga diri kita sesuai dengan kemampuannya, maka Allah menjadikan pemberian tersebut sebagai pengobat sakit hati, agar manusia mau mentolelirnya sehingga dikatakan ; si fulan memberikan fulanah ini dan itu. Sebenarnya ia menceraikan istrinya karena terpaksa, ia menyesali perbuatannya dan mengakui akan keutamaan istrinya, bukan karena ia melihat ada cacat pada istrinya, atau karena adanya sesuatu yang meragukan pada istrinya. Dikatakan bahwa Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali menceraikan salah seorang dari istri-istrinya dengan memberikan sepuluh ribu dirham. Seseorang berkata, pemberian yang sedikit dari kekasih yang menginginkan perpisahan.9

Masih berkaitan dengan pendapat di atas, biasanya sebelum diadakan akad nikah, ada kebiasaan-kebiasaan tertentu yakni saling mengenal satu sama lain dan saling mengunjungi rumah masing-masing. Baru kemudian dilaksanakan peminangan dan disusul dengan akad. Karena itu, jika suami menceraikan istrinya sebelum dukhul, maka manusia pada umumnya akan mengira yang tidak-tidak kepada wanita tersebut, berbeda dengan jika diceraikannya setelah dukhul. Karena pergaulan suami- istri akan mengungkap karakteristik keduanya, maka boleh jadi talak tersebut dikarenakan adanya perbedaan sifat diantara keduanya, dari situlah sebagian ulama mewajibkan bagi suami untuk memberikan mut’ah

9 Abd. al-Adzim Ma’ani dan Ahmad al-Ghundur, Hukum-Hukum dari al-Qur’an dan Hadis


(30)

kepada istrinya yang diceraikan sebelum dukhul dengannya. Jika suami

memberinya mut’ah yang layak, maka prasangka-prasangka buruk tersebut akan

hilang dengan sendirinya.10

Dengan demikian hikmah dari pemberian mut'ah bahwa dengan adanya mut’ah ini, dapat dijadikan sebagai alat bukti kebersihan perempuan tersebut dan sebagai obat penawar dan penahan rasa sakit hati akibat dari perceraian.

D. Hak Istri Dalam Perkawinan

Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya baik berupa materi ataupun non materi, di antaranya:

1. Mendapat mahar

Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib sesuai dengan firman Allah SWT :









…..

Artinya :

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS. al-Nisa : 4)

Dan juga firman Allah SWT .

10Ibid. h.179


(31)







Artinya :

“berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu

kewajiban” (QS. al-Nisa : 24)

Dari al-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah kepada seorang sahabatnya yang ingin menikah sementara sahabat ini tidak memiliki harta:

11

Artinya :

“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu,

walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. al-Bukhari) al-Imam Ibnu Qudamah berkata,

12

Artinya :

Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar

dalam pernikahan.”

Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain

11Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut : Dar al-Fikr, 1995) Juz III. h.255, hadis No.5087

12Syamsuddin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali, al-Mughni, (Cairo : Dar al-Hadis, 2004) Juz IX. h. 448


(32)

mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah mengingatkan:















…..

Artinya :

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang

kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan

yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?” (QS. al-Nisa : 20)

2. Mendapat Perlakuan Yang Patut (Ma’ruf)

Di dalam al-Qur’an Allah SWT. berfirman:











: ءاسنلا(...



)

Artinya :

“dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak

menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(QS. al-Nisa : 19)


(33)

Artinya :

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi)

al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat dalam surat al-Nisa` ayat 19

Artinya :

(Dan bergaullah dengan mereka secara patut) “Yakni perindahlah ucapan

kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama.14 Allah berfirman dalam hal ini:











Artinya

“dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma'ruf.” (QS. al-Baqarah : 228) Rasulullah sendiri telah bersabda:

13al-Hafizh Abi Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Bandung : Diponegoro, tth) Juz 2. h.315 hadis No.1172.

14 Imaduddin Aby Fida Ismail Ibnu Katsir al-Dimasqiy, Tafsir Ibnu Katsir, (Semarang : Thoha Putra,tth) Juz 1, h.466


(34)

Artinya :

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”

Menurut keterangan al-Hafizh Ibnu Katsir : “Termasuk akhlak Nabi, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak „Aisyah Ummul Mukminin berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya. Setiap malam Nabi biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu, hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat „Isya, biasanya beliau masuk

rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna

menyenangkan mereka.”15

3. Mendapat nafkah

Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`an al- Karim dari firman-Nya:

15Ibid,h.466


(35)















Artinya :

“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 233)

Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat dalam surat al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan

kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” 16

Demikian pula firman Allah SWT berkenaan dengan nafkah :







: قاطلا(  ) Artinya :

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan

kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia

memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya..”(QS. al-Thalaq: 7)

16Ibid,h.283


(36)

Ada pula dalilnya dari al-Sunnah, dimana „Aisyah mengabarkan bahwa Hindun bintu „Utbah, istri Abu Sufyan datang mengadu kepada Rasulullah :

17

Artinya :

Dari Aisyah ra. bahwa Hindun binti Utbah berkata :“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Bersabdalah Rasulullah, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan

cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari)

Rasulullah SAW. ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:


(37)

18

Artinya :

“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri) karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. al-Tirmidzi)

Tanggung jawab nafkah pada suami tak hanya sewaktu dia menjadi sahnya dan terhadap anak-anak yang dilahirkan si istri, tetapi suamipun tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian.

al-Qur’an menyebutkan tangggung jawab dalam kasus perceraian itu sebagaimana Firman Allah SWT :


(38)



















.. . :قاطلا(  ) 19 Artinya :

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(QS. al-Thalaq : 6)

Ada beberapa orang egois yang mungkin salah memperlakukan istrinya dan menyengsarakan hidupnya selama masa iddahnya. Setelah menjatuhkan talaq satu. Hal ini terlarang. Suami tetap harus menafkahinya sebagaimana yang dia sediakan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan standar hidup si suami. Dalam situasi ini, masih ada harapan untuk berdamai, dan kalaupun tidak, maka perpisahan itu harus dilakukan secara terhormat. Sedangkan bila istri tengah hamil al-Qur’an al-Karim membebankan tanggung

19 Abdul Rahman I, Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi. h,132.


(39)

jawab tambahan Perceraian sama sekali tidak diperkenankan sampai anak yang dikandungnya lahir. Dengan demikian, dia harus dinafkahi sepatutnya.

Bagi si anak sendiri, maka perawatannya, kesejahteraan serta kediaman bagi ibunya tetap merupkan tanggung jawab sang ayah. Seandainya si ibu tidak dapat menyusui anaknya, atau timbul keadaan sedemikian rupa yang menghalangi ibu dari menyusui anaknya, maka merupakan tanggung jawab ayah untuk menyerahkan anaknya kepada orang lain untuk disusui dengan biaya sendiri. Hal ini jangan sampai menyebabkan ayah mengurangi nafkah yang wajar yang berhak diperoleh oleh si ibu sesuai dengan keadaannya.20

Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:







….

Artinya :

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. al-Thalaq : 7)

4. Mendapat Tempat Untuk Bernaung/Tempat Tinggal


(40)

Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:







: ءاسنلا(



)

Artinya :

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (QS. al-Nisa`: 19)

ِِ

Adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 81 bahwa seorang istri berhak mendapatkan tempat kediaman yang disediakan suaminya,21 bunyi Pasal tersebut adalah :

Pasal 81 :

1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.


(41)

2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. 4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya

serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

5. Hak Melakukan Gugat Cerai (Khuluk)

Di antara perselisihan serta penyakit yang biasa menimpa kehidupan rumah tangga ialah kebencian istri kepada suaminya. Islam telah menetapkan talak sebagai hak mutlak suami dengan syarat tidak melampui batas-batas tertentu yang telah ditetapkan Allah SWT. Akan tetapi dengan waktu yang bersamaan Islampun tidak memaksa seorang istri harus hidup bersama suami yang di bencinya.

Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan khuluk yaitu perceraian yang didasarkan pada harta. Seorang yang membenci suaminya, padahal ia tidak menemukan suatu aib pada diri sang suami selain kebencian


(42)

kepadanya, maka ia di wajibkan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya dan pada saat itu juga suaminya harus menceraikannya.22

Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khuluk sebagaimana Islam memberikan jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak.23

Khuluk menurut istilah ilmu fiqh berarti : menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan istri membayar iwadh (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah itu (suami) dengan menggunakan kata cerai, atau khuluk. Iwadh bisa berupa pengembalian mahar oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh suami dan istri. 24

Sebagai dasar hukum khuluk terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al -Baqarah ayat 229 yang berbunyi :



























Artinya: 22

Butsainah as-Sayyid al-Iraqi. Menyingkap Tabir Perceraian. (Jakarta; Pustaka Al-Sofwa. 2005) Cet. 1, h 199

23

Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor; kencana. 2003) Cet. 1. h. 220 24

Kamal Mukhtar, Asas- Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta, Bulan Bintang 1974) Cet. 1, h. 169


(43)

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang

zalim.” (Q.S; Al-Baqarah/2 : 229)

Sebagai dasar hukum dari hadist sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari, bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syam bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya , sebagai berikut :

.

25

Artinya :

Istri Tsabit Bin Qais datang mengadu kepada Nabi SAW dan berkata : “Ya Rasulullah Tsabit Bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam”. Rasulullah SAW Berkata : “maukah kamu

mengembalikan kebunnya (tsabit)?”. Jamilah menjawab : ya (bersedia).


(44)

Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit lalu bersabda kepadanya :

“Terimalah kebun dan ceraikanlah diasatu kali cerai.”

Firman Allah SWT dan hadist Rasulullah tersebut di atas menjadi dalil di syariatkanya khuluk dan sahnya terjadinya khuluk antara suami istri.

Walaupun khuluk dibolehkan dalam Islam, namun dalam pelaksanaanya harus ada alasan-alasan yang logis yang menyebabkan terjadinya khuluk, dalam hal ini adalah bila keduanya sama-sama hawatir tidak dapat melakukan aturan-aturan Allah. Tetapi jika tidak ada alasan apapun istri meminta cerai dari suami atau disebabkan hawa nafsu atau secara tiba-tiba, maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda : 26

ٔ

Artinya :

“Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang di benarkan maka di haramkan baginya bau surga”. (HR. Tirmidzi)

Khuluk itu wajib dilakukan istri karena suami tidak mau memberikan nafkah atau menggauli istri, sedangkan istri menjadi tersiksa. Khuluk

diharamkan jika dengan maksud menyengsarakan istri dan anak-anaknya.

Khuluk di perbolehkan (mubah) ketika ada keperluan yang membolehkan

26Abi Muhammad Husain Bin Mas’ud

al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, jilid 5, Darul Kitabul Alamiyah, Beirut, h. 143


(45)

istri menempuh jalan ini. Khuluk menjadi makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu, dan menjadi sunnah hukumnya jika dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih memadai keduanya.27

Mazhab empat mengatakan : khuluk tersebut sah hukumnya, dan berlakulah konsekwensi dan akibat hukum yang dilahirkannya. Kendati demikian, mereka menyatakan bahwa khuluk makruh hukumnya bila tidak adanya ketidaksukaan istri terhadap suaminya. 28

27

Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. h. 224 28

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,( Jakarta, Penerbit Lentera, 2009) Cet. 24, h. 456.


(46)

BAB III

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MUT’AH

Dalam kajian Empat Mazhab, Hukum Islam mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak seorang istri akibat perceraian, diantara

pemenuhan hak tersebut adalah pemberian mut’ah. Empat Mazhab yang dimaksud

adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali yang memberikan batasan mut’ah, kadar dan jenisnya sebagai berikut :

A. Pandangan Mazhab Hanafi

Manurut Imam Hanafi mut’ah wajib bagi orang yang menceraikan istrinya sebelum bercampur layaknya suami istri. Dan si bekas suami itu juga belum menentukan jumlah mahar selama pernikahannya. 1

Ulama Hanafi berpendapat bahwa mut’ah kadang-kadang wajib dan kadang-kadang sunah. Wajib mut’ah pada dua jenis talak2;

1. Talak bagi wanita mufawwidhah yaitu wanita yang nikah tafwidh3 sebelum bercampur (qabla al dukhul) atau disebutkan mahar dalam akad tetapi sebutan itu fasid, yakni talak yang berlaku sebelum suami isteri bercampur dan

1Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubiy, Bidayah

al-Mujtahid Wanihayah al-Muqtashid, (Cairo : al-Istiqomah, 1952) Juz II, h. 97

2Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut ; Dar al-Fikr, 1996) Juz VII, h.316 3 Nikah tafwidh adalah pernikahan yang didalam akadnya tidak disebutkan mahar tetapi akadnya sah dan wanita yang menikah tafwidh dinamakan mufawwidhah (Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh

al-Islam wa Adillatuhu, h.268)


(47)

berkhalwat pada pernikahan yang tidak disebutkan mahar dalam akad dan tidak ditentukan mahar selepas akad, atau perkawinan yang disebutkan mahar dalam akad tetapi sebutannya fasid. Ini mendapat kata sepakat disisi jumhur

selain daripada ulama Maliki karena firman Allah SWT.













…..



Artinya :

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan

isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah

(pemberian) kepada mereka.” (QS. al-Baqarah (2) : 236)

Ayat itu memerintahkan untuk memberikan mut’ah, dan perintah itu menunjukkan makna wajib, dan diperkuat lagi pada akhir kalimat ayat dengan firman Allah SWT :





Artinya :

“yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat

kebajikan.” (QS. al-Baqarah : 236)

Mut’ah dalam hal ini adalah sebagai ganti separuh mahar. Separuh mahar adalah wajib dan ganti daripada wajib adalah wajib karena ia mengambil tempat wajib seperti tayamum ganti daripada wudhu.


(48)

2. Talak sebelum bercampur dengan isteri pada perkawinan yang tidak disebut mahar, ia hanya ditentukan selepas akad nikah pada pendapat Abu Hanifah dan Muhammad karena firman Allah SWT.:













....



Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah…” (QS. al-Baqarah : 236)

Pada ayat terdahulu surat al-Baqarah ayat 236 ada perintah untuk memberikan mut’ah 

Ayat yang pertama mewajibkan memberi mut’ah kepada perempuan pada semua perceraian yang berlaku sebelum mereka (suami isteri) melakukan persetubuhan, kemudian ayat itu dikhususkan bagi mereka yang menyebutkan mahar. Oleh karena itu maka kekal mut’ah perempuan yang diceraikan suami tanpa disebutkan mahar baginya dalam akad. Dan ayat yang kedua mewajibkan memberi mut’ah bagi mereka yang tidak ditentukan mahar baginya dan ini bermakna penentuan dalam akad.


(1)

Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga, selain itu Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan para pihak berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan pada ayat (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dan ayat (2) menyatakan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Sedangkan kewajiban membayar Mut’ah sesuai KHI Pasal 149 sub a yang menyatakan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul. Adapun kewajiban membayar nafkah Iddah dan Kiswah sesuai KHI Pasal 149 sub b yang menyatakan bekas suami wajib memberikan nafkah Iddah dan Kiswah. Kewajiban membayar Mut’ah sesuai dengan pendapat Ulama Syafi’i, sedangkan besaran/kadar Mut’ahnya sesuai dengan pendapat Ulama Malikiyah dan Hanabilah. Keseluruhan keputusan Majelis Hakim tidak terlepas dari bukti-bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan, agar tercipta keadilan bagi kedua belah pihak.


(2)

B. Saran-Saran

1. Hendaknya setiap pasangan yang akan menuju ke pelaminan, mempunyai komitmen yang jelas, mengerti dan memahami tujuan dari perkawinan

2. Suami istri hendaknya saling hormat menghormati, menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, karena mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, hal ini harus ditanamkan oleh sepasang suami istri dalam rumah tangga sehingga tidak akan menimbulkan perceraian di kemudian hari.

3. Manakala terjadi kekhilafan dan kelalaian didalam kehidupan berumah tangga, segera mengoreksi diri masing-masing dan mau mengakui kesalahan serta memperbaikinya agar keutuhan hubungan keduanya tetap terjaga. 4. Walaupun hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat bahkan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum hendaknya apa yang dilakukan oleh salah satu pihak maka pihak yang lain harus mengetahuinya.

5. Suami hendaknya mengetahui akibat perbuatan hukum yang harus ditanggungnya dengan menceraikan istrinya, dan seorang istri pun harus mengetahui haknya apabila diceraikan oleh suaminya sehingga tercipta rasa keadilan diantara keduanya.


(3)

6. Nilai-nilai ke-Islaman hendaknya ditanamkan dalam kehidupan berumah tangga sehingga tujuan berumah tangga yaitu membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah akan tercipta.

7. Diharapkan adanya sosialisasi kepada masyarakat baik melalui khutbah jumat, majelis taklim, pertemuan ibu-ibu PKK dan lain-lain, akan pentingnya arti pernikahan serta konsekwensi yang ditimbulkan akibat perceraian.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, Jakarta, Al-Qur’an dan Terjemahnya

Azhari Akmal Taringan, Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI, Cet. -3, Jakarta; Kencana, 2006

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Akademi Pressindo, 2007

Ahmad al-Ghundur, Abd. al-Adzim Ma’ani, Hukum-Hukum dari al-Qur’an dan

Hadis Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at, Cet.1, Jakarta, Pustaka

Firdaus,2003

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nomor. 1151/Pdt.G/2008/PAJS

al-Asfahaniy, al-Raghib, al-Mufrodat Fi Ghorib al-Qur’an, Cet.1, Juz II, Makkah, Mazaru Musthafa al-Baz, 1997

al-Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, 1995

al-Baghawi, Abi Muhammad Husain bin Mas’ud, Syarh al-Sunnah, Jilid V,Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta,UII Press, 2000

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Cet.1, Bogor, Kencana, 2003

al-Husainiy, Taqy al-Din Abi Bakar, Kifayah al-Akhyar, Juz II, Beirut, Dar al-Fikr

Hejazziey, Djawahir, Dkk, Buku Pedomana Penulisan Skripsi, Cet.1, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum, 2007


(5)

Ibnu Katsir, Imaduddin Aby Fida Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, Semarang, Thoha Putra

Ibnu Qudamah, Syamsuddin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, al-Mughniy, Juz IX, Cairo, Dar al-Hadis, 2004

Ibnu Juza, Abi Qasim Muhammad Ibn Ahmad, Qowanin Fiqhiyyah, Dar al-Hadis, 2005

Jawad Mughniyah, Muhammad, Fiqh Lima Mazhab, Cet.24, Jakarta, Lentera, 2009

al-Kasaniy, Abu Bakar bin Mas’ud, Bada’i wa al-Shana’i fi Tartib wa al-Syara’i, Juz II, Beirut, Dar al-Kitab al-Arabiy, 1982

Laporan Tahunan 2009 Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Cet.14, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997

Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet. 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1974

Muttaqien, Dadan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum, Artikel di akses pada 15 Juli 2013 dari

http://yppei.blogspot.com/2009/03/undang-undang-nomor-3-tahun-2006.html

Media Informasi Dan Tranfaransi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. diakses pada tanggal 15 Juli 2013 melalui http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/sejarah.html

al-Naisaburiy, Abiy Husein Muslim bin Hajjaj, Jami al-Shahih, Semarang, Thoha Putra, Juz IV

Prodjohamidjojo, Marjiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.3, Jakarta, Indonesia Legal Center Publishing, 2011


(6)

al-Qurthubiy, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wanihayah al-Muqtashid, Juz II, Cairo, al-Istiqomah, 1952

Rahman I, Abdul, Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Cet. 2, Jakarta, Rineka Cipta, 1996

Stuktur Organisasi Tata Kerja Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Artikel ini di akses pada tanggal 16 Juli 2013 melalui http://www.pa-jakartaselatan.go.id/v2/index.php/tentang-kami/struktur-organisasi.html al-Syairaziy, Abi Ishaq Ibrahim, al-Muhazzab, Semarang, Toha Putra, tth

al-Sayyid al-Iraqi, Butsainah, Menyingkap Tabir Perceraian. Cet. 1, Jakarta ; Pustaka al-Sofwa, 2005

Sabiq, al-Sayid, Fiqh Sunnah, Cet. 120, Juz II, Cairo, Dar al-Fath Lil I’lam al -Arabiyah, 2007

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 2, Jakarta, Kencana, 2007

al-Tirmidzi, al-Hafizh Abi Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, Juz II, Bandung, Diponegoro

Tim Penyusun Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.1, Jakarta, Balai Pustaka, 1998

Usman, Sayed, Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, artikel diakses pada 15 Juli 2013 dari www.pa-jaksel.net.

Zein, Muhammad Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana, 2004

Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa ’Adillatuhu, Juz VII, Beirut, Dar al-Fikr, 1996


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

1 68 141

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

1 42 105

Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat Dalam Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

0 20 5

Akibat Hukum Terhadap Putusnya Perkawinan Campuran Antara Warga Asing Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif : Analisa Putusan Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.459/Pdt.G/2006/PAJS

0 15 123

Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1151/Pdt.G/2008/Pajs)

1 17 89

Analisis Yuridis Izin Poligami Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

4 25 87

Perlindungan Hak Anak Dalam Keluarga Poligami (Studi Atas Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan)

0 16 120

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172