PENDAHULUAN Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1151/Pdt.G/2008/Pajs)

tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian. 9 Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman:          Artinya : dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. QS. al-Baqarah 2 ayat 233 Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. 10 Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu, Pertama : Terjadinya nusyuz dari pihak istri. Kedua : Terjadinya nusyuz suami terhadap istri. Ketiga ; Terjadinya syiqaq. Keempat : Salah satu pihak melakukan perbuatan zina fahisyah yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya. 9 Abdul Rahman I, Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, cet.2 Jakarta : Rineka Cipta, 1996 h,132. 10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet.2 Jakarta : Kencana,2007,h, 190. Perceraian sebagai sebab putusnya perkawinan adalah suatu institusi yang paling banyak dibahas oleh para ulama, seperti apa yang dikemukakan oleh Sarakhsi, bahwa perceraian itu hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif suami talak atau inisiatif istri khuluk. Terputusnya perkawinan dalam Islam membawa akibat-akibat tertentu baik kepada mantan suami atau kepada mantan isteri. Akibat hukum terputusnya perkawinan karena talak adalah: Bahwa bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali qabla al dukhul; memberikan nafkah, maskan tempat tinggal dan kiswah pakaian kepada bekas isteri selama masa iddah menunggu, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla al dukhul; memberikan biaya hadhanah untuk anak- anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. 11 dan memberikan nafkah iddahnya kepada bekas isterinya, kecuali isterinya nusyuz. 12 Kewajiban-kewajiban tersebut melekat pada diri suami dan harus dipenuhi oleh suami karena merupakan hak-hak isteri sebagai akibat hukum dari cerai talak, suami tidak boleh mencampakkan istri begitu saja tetapi suami harus memberi nafkah dan tempat tinggal kepada bekas istrinya, sebab terjadinya cerai talak bukan berarti melepaskan kewajiban saja melainkan melepaskan hubungan 11 Abdul Rahman, Kompilasi Hukum Islam , Jakarta : Akademika Pressindo, 2007, h,149 12 Ibid, h,149 seksual, dan tanggung jawab nafkah dalam kasus perceraian itu sesuai dengan firman Allah SWT:                                     : قاطلا  Artinya : Tempatkanlah mereka para isteri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. dan jika mereka isteri-isteri yang sudah ditalaq itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya. QS.al-Thaalaq : 6 Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 1151Pdt.G2008PAJS”. B. PEMBATASAN MASALAH Mengingat luasnya permasalahan yang ada serta untuk menghindari kesalahpahaman bagi para pembaca maka dalam penyusunan skripsi ini penulis membatasi pada pendapat empat mazhab tentang pemberian mut’ah bagi wanita yang dicerai atau ditalak oleh suaminya Studi Kasus Putusan Nomor : 1151Pdt.G2008PAJS C. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan dari pembatasan masalah diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah : 1. Bagaimana Pandangan Empat Mazhab terhadap hak mut’ah istri pasca perceraian 2. Apa dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menetapkan pemberian mut’ah bagi istri yang ditalak oleh suaminya, dan Mazhab Fikih siapa yang cocok dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan?. D. MANFAAT PENELITIAN Dari hasil penelitian ini setidaknya dapat ikut andil dalam memperkaya kajian keislaman tentang perceraian, khususnya pemberian mut’ah bagi mantan isteri. Hal ini sangat penting guna meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap adanya nafkah mut’ah bagi wanita yang dicerai oleh suaminya. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan agar hak-hak wanita yang dicerai tidak terabaikan dan diberlakukan sesuai dengan ketentuan syari’at, karena istri yang telah dicerai memerlukan bantuan materil untuk membantunya dalam menghad api pengaruh negatif dari perceraian. Nafkah mut’ah dapat membantu meringankan persoalan tersebut dan dalam waktu yang sama mencegah orang- orang untuk tidak menjatuhkan talak dengan tergesa-gesa. Dasar dari pensyariatan nafkah mut’ah ini adalah untuk menghibur perasaan istri yang dicerai. Dan menghibur hatinya adalah salah satu bentuk tanggung jawab yang dianjurkan oleh syariat. E. KAJIAN TERDAHULU Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi yang secara khusus membahas judul dan masalah yang serupa khusunya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akan tetapi penulis menemukan data yang bercampur dengan bahasan yaitu : NO NAMATAHUN JUDUL SKRIPSI SUBSTANSI PERBEDAAN 1 Adam Alinuddin 2009 Pemberian Nafkah Bagi Istri Yang Dicerai Karena Nusyuz Pembahasan hanya pada pemberian nafkah iddah terhadap istri nusyuz Hanya menganalisa putusan perkara No.617Pdt- 92008PAJP 2 Faisal Rahman 2007 Realisasi Pemberian Nafkah Istri Dalam Masa Iddah Akibat Perceraian Mengangkat kewajiban suami untuk memberi nafkah terhadap istri dalam masa iddah akibat perceraian talaq perceraian dimaksud adalah perceraian talak I dan II Menganalisa putusan perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam kurun waktu 2005-2006 F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Metode penelitian adalah gambaran bagaimana penelitian itu akan ditempuh atau dilaksanakan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasi, menganalisa serta menginterpretasikannya. 2. Sumber Data a. Data Primer Sumber data primer adalah data-data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan seperti Arsip tentang Putusan Cerai Nomor : 1151Pdt.G2008PAJS , begitu juga data dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan hasil wawancara. b. Data Sekunder Sedangkan sumber data sekunder adalah data-data yang didapatkan dari buku-buku, artikel, dan dokumen yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari putusan pengadilan dalam hal ini yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai perkara cerai talak yang didalamnya memuat putusan pemberian mut’ah, khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No. 1151Pdt.G2008PAJS. Terhadap putusan pengadilan tersebut kemudian dilakukan wawancara pada hakim guna menguatkan pemahaman penulis terhadap materi putusan perkara yang dimaksud. Selain itu juga dengan melakukan studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, buku fikih terutama tentang pendapat empat mazhab terhadap pemberian mut’ah, dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini. 4. Analisis Data Data yang terkumpul disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai masalah hak mut’ah setelah perceraian dengan meninjau aturan mengenai pemberian mut’ah dalam Islam, dan aturan dalam hukum positif serta keputusan hakim dalam memutuskan perkara tersebut, selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. 5. Teknik Penarikan Kesimpulan Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik menarik kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari pertanyaan yang bersifat umum serta melalui data-data yang diambil baik melalui wawancara, buku-buku, serta dokumen yang penulis dapat poin-poin penting dari data tersebut. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun buku acuan yang dipakai adalah Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. G. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini, maka penulis membuat suatu sistematika penulisan skripsi yang terurai sebagai berikut : BAB I : Merupakan pendahuluan yang terdiri dari ; latar belakang masalah, pembatasan Masalah, perumusan masalah, manfaat penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Membahas tentang tinjauan umum mengenai mut’ah dan permasalahannya yang terdiri dari empat pokok bahasan yaitu : pe ngertian mut’ah, dasar hukum pemberian mut’ah, tujuan dan hikmah pemberian mut’ah serta hak istri dalam perkawinan. BAB III : Membahas pandangan hukum Islam terhadap hak mut’ah dalam kajian empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. BAB IV : Merupakan inti dari penelitian dari skripsi ini tentang putusan pemberian mut’ah bagi istri yang ditalak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang terdiri dari Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Kronologis Perkara, Pertimbangan dan Putusan Hakim, dan analisa penulis atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tersebut. BAB V : Merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari dua pokok bahasan, yang membahas mengenai kesimpulan penelitian dan saran-saran penulis tentang persoalan yang dibahas dalam skripsi ini.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUT’AH

A. Pengertian Mut’ah

Secara etimologis, mut’ah ةعتم berasal dari kata mata عتم diartikan dengan kenikmatan atau kesenangan, dapat pula diartikan dengan ةغلبلا nafkah yang sepadan,cukupan, دازلا لیلقلا bekal sedikit dan juga diartikan dengan عاتم dengan jamak ةعتما harta benda atau barang-barang. Apabila dikaitkan dengan kata talak, قاطلا ةعتم maka berarti sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai. 1 Senada dengan hal itu menurut al-Raghib al- Ashfahaniy mut’ah berarti sesuatu yang diberikan kepada istri yang ditalak agar dapat dimanfaatkannya sejak iddahnya. 2 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mut ’ah adalah sesuatu uang, barang dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup penghibur hati bekas istrinya. 3 Imam Taqiyuddin dalam bukunya Kifayah al-Akhyar mendefinisikan mut’ah yaitu harta benda yang diserahkan suami pada istrinya karena perceraian 4 . Adapun menurut Wahbah Zuhailiy mut’ah adalah pakaian atau harta yang 1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 Cet. 14, h. 1307 2 al-Raghib al-Ashfahaniy, al-Mufrodat fi Ghorib al- Qur’an, Makkah, Mazaru Musthafa al- Baz, 1997 Cet.1. Juz.II. h. 595 3 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1998 Cet. 1. h.603 4 Taqy al-Din Abi Bakar al-Husainiy, Kifayah al-Akhyar Beirut : Dar al-Fikr Juz II, h.67 14 diberikan oleh suami karena menceraikan istrinya sebagai tambahan atas mahar atau sebagai pengganti mahar dengan tujuan untuk menghibur diri mantan istrinya. Adapun pengertian mut’ah menurut ulama Syafi’iyyah adalah sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada istrinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya. 5 Pemberian mut’ah merupakan kompensasi yang diberikan oleh mantan suami kepada mantan isterinya. Pemberian tersebut manifestasi dari rasa tanggung jawab serta sirnanya rasa kebencian dan permusuhan dalam diri mantan suami. Lebih dari itu pemberian mut’ah merupakan refleksi dari perangai yang terpuji dan sikap yang bijaksana.

B. Hukum Pemberian Mut’ah

Ketentuan tentang mut’ah sebagai implikasi yang muncul akibat perceraian, untuk itu penulis akan memaparkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum pemberian mut ’ah. 1. al- Qur’an a. Q.S. al-Baqarah ayat 236 5 Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami Wa’adillatuh, Beirut ; Dar al-Fikr, 1996 Juz VII, h.316                            …..  Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” QS. al-Baqarah : 236 b. Q.S. al-Baqarah ayat 241 :         Artinya : kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mutah menurut yang maruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. QS. al-Baqarah : 241 c. Q.S. al-Ahzab ayat 49                         Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”QS. al-Ahzab : 49 Dari ayat di atas dapat dipahami secara umum bahwa seorang suami yang menceraikan istrinya diperintahkan untuk memberikan mut’ah. Adapun tentang wajib dan sunahnya pemberian mut’ah menurut empat mazhab dapat dilihat pada bab III. 2.. Mut’ah dalam Undang – Undang Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dijelaskan bahwa apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut diantaranya adalah memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan ini dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. 6 Sebagaimana bunyi pasalnya: “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.” 7 6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,h.255. 7 Marjiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2011 Cet. 3, h.83

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/PDT.G/2010/PA Sidoarjo)

1 68 141

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

1 42 105

Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat Dalam Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

0 20 5

Akibat Hukum Terhadap Putusnya Perkawinan Campuran Antara Warga Asing Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif : Analisa Putusan Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.459/Pdt.G/2006/PAJS

0 15 123

Pengakuan Hukum Islam Terhadap Hak Mut’ah Mantan Istri Dalam Kajian Empat Mazhab (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1151/Pdt.G/2008/Pajs)

1 17 89

Analisis Yuridis Izin Poligami Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

4 25 87

Perlindungan Hak Anak Dalam Keluarga Poligami (Studi Atas Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan)

0 16 120

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172