Pandangan Mazhab Hanbali PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MUT’AH
Artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
”QS. al- Baqarah : 236
Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut’ah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak
sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang
diberikan ayat ini adalah “kepatutan”. Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut”. Dengan pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang
mesti diperhatikan dalam pemberian mut’ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas.
10
Artinya, suami yang kaya tidak pantas memberikan mut’ah yang sama jumlahnya dengan
suami yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup “cukup” atau
apalagi “mewah” dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas
10
Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i wa al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i Beirut : Dar al- Kitab al-Arabiy , 1982 Juz.II,h.304
kalau mendapat mu t’ah yang jumlahnya “sedikit”. Sebabnya, seperti dikatakan al-
Kasaniy, karena mut’ah itu sendiri adalah sebagai ganti dari “kemaluannya”. Oleh karena itu, keadan si isterilah yang jadi pedoman dalam penentuan mut’ah itu.
Ketiga, patut atau pantas menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari
terjadinya kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut’ah dengan orang- orang yang berada di sekitarnya.
Ulama Hanafi menetapkan bahwa mut’ah merupakan tiga pakaian: pakaian
wanita yang menutupi pakaian dalamnya, pakaian yang menutupi kepala dan pakaian yang menutup kepala hingga ke kaki milhafah, karena firman Allah
SWT.:
.......
Artinya : “Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan
bagi orang- orang yang berbuat kebajikan.”QS. al-Baqarah : 236
Kata mata’ adalah nama bagi sesuatu yang sepadan menurut„uruf, oleh
karenanya penetapan pakaian-pakaian dipandang dari kaidah syara yaitu kiswah yang wajib bagi wanita pada masa hubungan antara isteri dengan suami,
kemudian pakaian pada masa iddah dan sekurang-kurang pakaian yang biasa
11
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu, h.320
dipakai oleh istri di dalam rumah dan pakaian yang dipakai ketika keluar rumah. Pakaian-pakaian tersebut tidak melebihi daripada setengah mahar mitsilnya
meskipun suami termasuk orang kaya, karena ia adalah sebagai ganti dari maharnya, dan tidak boleh
mut’ah kurang dari lima dirham meskipun suami dari golongan orang miskin.
Dan yang menjadi fatwa pada hal ini bahwa mut’ah itu diibaratkan sebagai nafkah, jika kedua-duanya kaya, maka bagi perempuan
pakaian yang mahal bermutu tinggi. Jika kedua-duanya fakir, maka baginya pakaian yang terendah nilainya. Jika kedudukan kedua-duanya berbeda dari segi
kaya dan fakir, maka baginya pakaian yang sederhana. Ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa sunah mut’ah itu tidak kurang daripada 30 dirham atau sesuatu yang senilai dengannya. Ini adalah serendah-
rendah yang disunahkan, setinggi-tingginya ialah khadim pelayan, dan yang pertengahan sederhana ialah pakaian. Disunatkan
mut’ah itu ialah juga kadarnya sampai separuh daripada mahar mitsil. Seandainya sampai atau lebih
dari separuh dari nilai mahar mitsil hal ini diperbolehkan karena kemutlakan surat al-Baqarah 2 ayat 236.
Seandainya suami isteri bertikai tentang kadar mut’ah, maka qadilah yang
menentukan kadar mut’ah dengan ijtihadnya, berdasarkan apa yang sesuai dengan
kedudukan atau taraf suami isteri sebagaimana pendapat ulama Hanafi dari segi kaya, miskin, keturunannya dan sifatnya.
12
12
Ibid, h,321