Alasan Kebiasaan Syarat Perkawinan

G. Alasan Kebiasaan

Migran suku bangsa Nias dalam merantau mempunyai kebiasaan kalau merantau tidak boleh tangung-tanggung memilih daerah tujuan dan harus daerah yang betul-betul daerah perkotaan yang harus dipilih. Disamping itu daerah tujuan tersebut jangan lagi di bidang pertanian atau yang pernah mereka lakukan di pulau Nias melainkan di bidang informal lainnya seperti tukang becak yang banyak dilakukan perantau suku bangsa Nias di Kota Medan ataupun kerja sebagai buruh pabrik, berdagang ataupun wirausaha lainnya yang bersifat menguntungkan. 3.3. Pandangan Suku Bangsa Nias, Khususnya Suku Bangsa Karo dan Penduduk Setempat Serta Stereotipe Suku Bangsa yang Terwujud di Dalamnya Ada beberapa faktor yang menentukan bentuk hubungan antar suku bangsa dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Salah satu dari faktor tersebut adalah faktor persepsi perception. Persepsi antarsuku bangsa mengambil bentuk konkrit dalam simbol-simbol atau lambang-lambang dan stereotipe generalisasi yang keliru. Simbol atau stereotipe terbentuk dalam pergaulan antar suku bangsa, jadi bukan hasil proses atau arah dan bukan terjadi pada daerah yang terisolir. Persepsi suatu suku bangsa terhadap suku bangsa lain mungkin cocok pada situasi, tetapi mungkin pula bertentangan pada situasi, tetapi mungkin pula bertentangan pada situasi lain, karena kedua manifestasi persepsi ini adalah dasar pembentukan dan operasinya bergerak diantara mitos dan realistis. Salah satu suku bangsa tertentu dapat dikenal dari lambang-lambang, simbol-simbol yang dipergunakannya seperti bentuk rumah, pakaian, warna yang Universitas Sumatera Utara digemari, dialek gaya hidup dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Lambang-lambang itu merupakan trade mark suatu suku bangsa tertentu juga memberikan persepsi tertentu kepada suku bangsa tersebut dan juga sebaliknya. Lambang-lambang yang dimiliki oleh suku bangsa tertentu dapat menjadi sumber prasangka atau stereotipe pada suku bangsa lainnya. Situasi seperti ini bisa terjadi dan berkembang karena seseorang atau anggota suku bangsa tertentu melihat segala aspek kehidupan. Karakter suatu suku bangsa berdasarkan nilai-nilai sosial budaya suku bangsa yang menilai ironisnya, pandangan yang telah diracuni oleh prasangka jelek di dalam hubungan antara suku bangsa dapat menimbulkan terisolasinya suatu suku bangsa tertentu yang selanjutnya dapat berkembang menjadi mitos-mitos yang menakutkan bagi generasi berikutnya. Disamping penjelasan di atas, stereotipe juga dapat menimbulkan kendala-kendala yang sangat berarti terhadap interaksi sosial dalam suatu wilayah administratif. Di sisi lain stereotipe tidak selamanya berdampak negatif terhadap hubungan sosial. Ada kemungkinan yang sangat besar bahwa adanya stereotipe antarsuku bangsa dapat menimbulkan hubungan yang saling menghargai akibat dari usaha saling mewaspadai untuk memperkecil kemungkinan saling menimbulkan ketersinggungan. Di antara pihak-pihak yang mengadakan hubungan sosial. Apabila hubungan ini berlangsung dengan langgeng dapat dipastikan akan ada hubungan sosial antar suku bangsa yang mencapai titik keseimbangan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Tetapi masyarakat demikian akan sulit mencapai suatu masyarakat yang ideal dalam kehidupan Universitas Sumatera Utara sosial karena semakin jauhnya usaha-usaha pembaruan atau integrasi sosial. Selanjutnya, stereotipe dapat juga sebagai alat untuk meningkatkan solidaritas dan loyalitas antara anggota suku bangsa tertentu sebagai akibat stereotipenya terhadap suku bangsa lainnya. Gejala stereotipe selalu ada di setiap masyarakat yang multietnis yang ada di Kelurahan Padang Bulan Selayang I, bahwa stereotipe etnik juga ada. Stereotipe etnik yang ada di kelurahan Ini bukan lahir dengan sendirinya dan berkembang hanya di kelurahan ini melainkan sudah lama sebelumnya stereotipe ini sudah berkembang di daerah-daerah lain. Adanya stereotipe di kelurahan ini merupakan perluasan sejalan dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat. Hal ini sesuai dengan sejarah kelurahan Padang Bulan Selayang I yang merupakan daerah tempat pemukiman perantau-perantau migran dari berbagai etnis yang ada di Sumatera termasuk di Pulau Jawa. Mereka bermukim di kelurahan ini dan tetap mempertahankan identitas suku bangsa masing-masing dan sudah barang tentu juga mempertahankan stereotipe antarsuku bangsa yang telah mereka miliki dari daerah asal atau juga yang mereka temukan setelah berapa lama menetap di kelurahan tersebut. Selain adanya stereotipe juga adanya pandangan minoritas kepada para migran, karena jumlah mereka biasanya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat setempat yang lebih dahulu tinggal dan membentuk sebuah keluarga atau masyarakat. Menurut Theodorson Theodorson 1979:258-259, minoritas minority Groups adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau suku bangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka Universitas Sumatera Utara prejudice atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukkan pada kategori perorangan, daripada kelompok-kelompok. Seringkali juga kepada kelompok mayoritas dalam kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok lebih tepat kategori masyarakat, atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat yang berorientasi pada priamale chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa privileged atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukan kepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat dijadikan obyek prasangka atau diskriminasi. Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok lntergroup prelation . Menurut Theodorson Theodorson 1979:212 pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antarkelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehingga dapat dianggap sebagai masalah sosial social problem. Universitas Sumatera Utara 3.3.1. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Karo Begitu juga dengan Sebaliknya Pandangan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Karo sama seperti suku bangsa yang lainnya pasti memiliki sikap negatif dan positifnya. Sifat yang mereka nilai dari suku bangsa Karo adalah mereka hanya bicara seperlunya dan sebatasnya saja tanpa berbicara panjang. Tidak ramah dalam arti tidak terbuka dengan suku lain selain daripada suku bangsanya sendiri. Suku bangsa Karo juga tidak mengundang suku bangsa Nias ke setiap acara pesta atau setiap acara yang mereka buat begitu juga dengan sebaliknya. Cara berbicaranya hampir sama dengan suku bangsa Batak Toba yaitu keras dan sedikit kasar menurut mereka. Dalam kehidupan sehari-hari suku bangsa Nias juga pernah menyapa suku bangsa Karo, namun hanya sebatas sapaan biasa tanpa ada komunikasi berlanjut setelah sapaan yang mereka salami terhadap suku bangsa Karo. Dalam setiap kejadian dan kebetulan yang membuat suku bangsa Nias, suku bangsa Karo yang ada di daerah Kampung Susuk pasti memakai hukum masa untuk menghukumnya. Setelah dihajar masa sampai babak belur baru diberikan kepada pihak yang berwajib. Dari dampak itulah suku bangsa Nias tidak suka, alasannya karena setelah kejadian tersebut pasti semua suku bangsa Nias yang ada di daerah Kampung Susuk pasti terkena cacian, seakan-akan bila yang membuat kesalahan salah seorang suku bangsa Nias maka semua suku bangsa Nias juga dianggap sama buruk kelakuannya. Pandangan suku bangsa Karo terhadap suku bangsa Nias selama mengenal suku bangsa tersebut tinggal di daerah Kampung Susuk adalah suku Universitas Sumatera Utara bangsa Nias menurutnya pemaksa, suka menjatuhkan dari belakang, sifatnya tertutup, tidak ingin terbuka kecuali dengan sesama suku bangsanya sendiri, suka berkumpul hanya dengan sesama suku bangsanya saja, pendendam, memiliki azas manfaat dalam arti sudah ditolong mengambil kesempatan dalam kesempitan, pemalas dan hanya ingin enaknya saja tanpa memikirkan orang lain sudah senang atau belum, pembunuh, pencuri, bebal tidak bisa dikasi tahu yang benar, selalu berbuat hal yang sama, mempunyai ilmu hitam, tertutup, tidak mau bergaul dengan masyarakat, ingin mau menang sendiri. Dalam hal stereotipe, mungkin suku bangsa Karo mempunyai lebih banyak stereotipe negatif terhadap suku bangsa Nias dibandingkan dengan hal yang positifnya. 3.3.2. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Minangkabau Begitu juga dengan Sebaliknya Pandangan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Minangkabau yang ada di Kampung Susuk adalah, pelit, perhitungan, lebih bersifat keagamaan dalam hal ini keislamaan dan cukup fanatik terhadap agama yang dianutnya. Sedangkan pandangan suku bangsa Nias dalam beradaptasi dengan suku bangsa lainnya khususnya masyarakat suku bangsa Minangkabau yang ada di daerah Kampung Susuk adalah cukup membaur dengan suku bangsa lainnya. Kadang ada sifat mereka yang mau senaknya saja, dalam arti soal kebersihan, karena antara rumah suku bangsa Minangkabau dengan suku bangsa Nias berdekatan jadi menurut suku bangsa Minangkabau merasa suku bangsa Nias seenaknya saja dalam hal kebersihan lingkungan tanpa mempedulikan kebersihan di sekitar tempat tinggalnya. Kalau sudah berkumpul dengan komunitas suku bangsanya tidak Universitas Sumatera Utara menghiraukan suku bangsa lainnya, asyik dengan bahasa maupun cerita yang mereka bicarakan. Dalam berkomunikasi dengan suku bangsa lainnya mereka memakai bahasa Indonesia dan terkadang sedikit-dikit memakai bahasa Karo dalam berkomunikasi dengan suku bangsa Karo. Jika mereka bertemu dengan komunitas mereka, maka akan menggunakan bahasa ibu bahasa daerah Nias. Masih banyak juga suku bangsa Nias yang belum terlalu pandai dalam mempergunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan orang lain. Biasanya yang seperti itu adalah suku bangsa Nias yang baru merantau pertama kali ke Kota Medan. Tetapi biasanya kalau mereka sudah lama tinggal di Kota Medan akan lebih pandai menggunakan bahasa Indonesia. Terkadang bahasa Nias pada saat mereka ketahuan memakainya di depan suku bangsa lainnya sering menjadi bahan tertawaan, sebab gaya dan ucapan bahasa Nias yang terkesan unik dan lucu. 3.3.3. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Batak Toba Begitu juga dengan Sebaliknya Pandangan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Batak selama tinggal di daerah Kampung Susuk adalah jiwanya bersahabat, artinya tidak memilih-milih dalam bergaul, bisa diajak untuk berkompromi, tidak cepat tersinggungan, mudah bergaul, walaupun suaranya yang keras namun hatinya tidak sekeras pemikirannya. Jadi tidak heran bila di daerah Kampung Susuk lebih banyak suku Bangsa Karo yang menikah dengan suku bangsa Nias dibandingkan dengan suku bangsa lainnya. Ini menandakan bahwa mereka memiliki persamaan dan hubungan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bekerja sebagai tukang Universitas Sumatera Utara becak suku bangsa Nias juga lebih sering akrab dan berkumpul dengan suku bangsa Batak dan selebihnya suku bangsa Jawa. Pandangan suku bangsa Batak terhadap suku bangsa Nias adalah tidak cepat tersinggungan, suka melucu, baik, walaupun terkadang tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan ketika berhadapan dengan teman-temannya yang satu suku bangsa. Kebanyakan suku bangsa Nias dalam menarik becak, usia mereka masih muda-muda, namun sudah berkeluarga dan bahkan ada yang sudah memiliki anak juga. Walaupun jiwa mereka masih muda mereka tetap rajin menarik becak demi memenuhi kebutuhan isteri dan anak mereka. 3.3.4. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Jawa Begitu juga dengan Sebaliknya Pandangan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Jawa selama tinggal di daerah tersebut adalah halus, terbuka dengan siapa saja, dalam arti tidak membedakan suku bangsa lain dalam bergaul, baik, cara berbicaranya juga lembut dan tidak membuat orang tersinggung dengan kata-katanya. Sedangkan pandangan suku bangsa Jawa rata-rata terhadap suku bangsa Nias yang ada di Kampung Susuk dari segi positifnya mereka asyik diajak untuk bicara, ramah dan suka menolong, namun ada juga sifat yang negatifnya juga menurut pengakuan suku bangsa Jawa yang sudah mengenal suku bangsa Nias selama menarik becak, antara lain : ”Saya selama menarik becak di daerah kampus USU jika berhadapan dengan suku bangsa Nias sangat kesal sekali, karena mereka kalau sedang membawa sewa suka-sukanya dalam arti mereka tidak mau mengalah, mengapa saya katakan begitu karena, pada saat di jalan dan kebetulan suku bangsa Nias sedang membawa sewa seakan-akan Universitas Sumatera Utara jalanan ini punya dia tanpa memberi kesempatan becak dibelakangnya lewat dan sering juga ugal-ugalan dalam membawa sewa. Selain itu juga mereka mempunyai sifat belagu, dalam arti seakan-akan mereka yang mempunyai wilayah tarikan disini, padahal kalau dipikir-pikir mereka semua di sini pendatang, tetapi gaya kelakuan mereka seakan- akan orang asli yang punya tempat dan sering juga membuat banyak kesal orang disekelilingnya termasuk kalngan sesama tukang becak. Apalagi kalau di pangkalan pintu gerbang 4 empat USU. Memang di sana banyak terdapat tongkrongan becak suku bangsa Nias, dengan adanya wilayahnya mereka jadi suka-sukanya dan merasa ’sok’ hebat apalagi kalau sudah sama komunitasnya. Jika cuma satu orang mereka tidak berani namun bila banyak komunitasnya maka mereka menujukan gaya belagu dan sok berkuasanya. Pokoknya saya tidak suka dengan suku bangsa Nias walaupun sama-sama satu profesi sebagai tukang becak Wawancara, 12 Maret 2010”. 3.4. Hubungan-Hubungan Sosial yang Dijalin Suku Bangsa Nias 3.4.1. Hubungan Sosial Suku Bangsa Nias dengan Suku Bangsa Lainnya yang Ada di Kampung Susuk Hubungan yang dijalin oleh suku bangsa Nias dalam berinteraksi dengan suku bangsa yang lain seperti Toba, Jawa, Simalungun, Tapanuli Selatan, Minangkabau, dan Aceh pasti ada senang dan dukannya. Hubungan sosial suku bangsa Nias dengan suku bangsa lainnya hanya berinteraksi dengan suku bangsa yang dekat jarak rumahnya dengan tempat tinggal mereka. Jika suku bangsa yang jauh jarak rumahnya suku bangsa Nias tidak terlalu terbuka. Sistem hubungan sosial suku bangsa Nias yang ada di daerah Kampung Susuk adalah mereka sebenarnya ingin sekali akrab, namun menurut suku bangsa Nias masyarakat setempat seakan-akan tidak senangtidak terbuka dengan mereka, oleh karena itu suku bangsa Nias tidak terlalu akrab dengan masyarakat setempat, karena mereka sadar terlalu akrab pun tidak terlalu bagus dan ketika ada masalah dan sampai berkelahi bisa-bisa suku bangsa Nias bisa diusir dari wilayah tersebut. Jadi Universitas Sumatera Utara mereka berinteraksi pun jarang, kalaupun ada hanya beberapa orang saja. Selain orang tuanya yang jarang berinteraksi dengan masyarakat setempat, anak-anak mereka juga dilarang untuk berinteraksi terlalu dekat dengan masyarakat setempat dan tidak diizinkan untuk bermain di luar area halaman rumah mereka. Alasan setiap orang tua dalam hal ini suku bangsa Nias adalah untuk menghindari pertengkaran dan konflik yang terjadi. Jika terjadi pertengkaran yang dilakukan antara anak dari suku bangsa Nias dengan anak dari suku bangsa lainnya khususnya masyarakat setempat maka akan berlanjut kepada orang tua dan hal itu yang tidak diinginkan oleh mereka. Suku bangsa Nias sadar keberadaan mereka di daerah Kampung Susuk hanya sebagai penduduk pendatang maka dari itu mereka tidak ingin cari masalah dengan masyarakat setempat. Menurut salah satu informan mengatakan : ”Saya pernah mengalami pertengkaran dengan orang Karo gara- gara masalah anak-anak. Kejadian itu awalnya hanyalah masalah sepele, yaitu adanya kecurangan permaianan anak-anak bermain guli namun karena anak dari orang Karo menangis dan ngadu dengan orang tuanya hingga keluarlah kata-kata yang tidak menyenangkan yang membuat saya menjadi sakit hati. Tapi saya tidak memperpanjangkan masalah itu. Dari kejadian tersebut saya melarang anak saya bermain di luar wilayah rumah kami dan hanya boleh bermain dengan sesama suku kami saja. Rasanya lebih bebas saja dibandingkan suku di luar suku kami. Semenjak kejadian tersebut anak-anak kami tidak bermain di luar. Setelah pulang sekolah jika ingin bermain hanya di lingkungan dekat halaman rumah kami, kebetulan dekat pemukiman rumah disini rata-rata suku bangsa Nias banyak anak-anak, dan bisa mengurangi rasa kesepian anak-anak. Sepanjang sampai hari ini tidak ada keributan yang terjadi, kalaupun ada bisa kami selesaikan secara baik-baik tanpa menimbulkan pertengkaran hebat diantara kami” Wawancara, 15 Januari 2010”. Selain hubungan yang sedikit tertutup dengan suku bangsa lainnya, suku bangsa Nias juga dalam hubungan dengan perangkat lingkungan seperti Kapling Universitas Sumatera Utara Kepala Lingkungan rata-rata tidak bersahabat. Alasan beraneka ragam, menurut pengakuan salah satu informan tentang pengakuannya yang pernah dia alami yaitu: ”Saya benci sekali dengan Kapling Kepala Lingkungan di daerah Kampung Susuk. Setiap ada maslah yang harus diurus oleh Kapling pasti kami selalu tidak dianggap dan merasa dipersulit saja. Contohnya saja dalam pembuatan KTP yang sangat dpersulit. Selain itu juga dalam membuat KK, alasannya harus meminta surat pindah dari pulau Nias yang menandakan kalau yang bersangkutan ingin pindah tempatwilayah, selain itu juga pada saat saya meminta surat pengantar dari Kapling untuk ditujukan kepada pihak sekolah karena kebetulan anak saya mendapat dana BOS dari sekolahnya dan memerlukan surat tersebut. Itu pun dipersulit dan ditambah dengan kata-kata yang kurang menyenangkan seperti: ”Inilah manusia kalau ada masalahnya dan kepentingannya baru cepat-cepat diurus, kalau tidak ada, mana diurus, dipedulikan saja tidak” mulai dari situ saya tidak simpatik terhadap Kapling yang ada di daerah Kampung Susuk. Maka tidak heran kami banyak suku bangsa Nias yang terdaftar di Kelurahan Medan Baru. Karena di sana tidak dipersulit, namun dipermudah Wawancara, 15 Januari 2010”. Dengan banyaknya kendala yang dihadapi suku bangsa Nias maka hubungan sosial yang mereka lakukan terhadap suku bangsa lainnya sedikit tertutup karena banyaknya hambatan-hambatan yang mereka temui. Agar menjaga tidak terjadinya konflik dan salah paham yang dapat merugikan kedua belah pihak maka suku bangsa Nias lebih banyak mengalah dan berusaha menghargai sesama manusia tanpa membedakan latar belakangnya.

3.4.2. Hubungan Sosial Suku Bangsa Nias dengan Sesama Suku Bangsanya

di Kampung Susuk Hubungan keluarga dan masyarakatnya dimulai dari tahap pertetanggaan yang disebut sifani wato. Pertetanggaan ditentukan oleh kedekatan para penduduk Universitas Sumatera Utara