4.2. Adaptasi Suku Bangsa Nias dalam Hal Memperoleh Sumber-Sumber dan Akses dalam Kaitannya dengan Kegiatan Ekonomi
4.2.1. Perolehan Mata Pencaharian Sebagai Tukang Becak
Dalam hal memperoleh sumber-sumber dan kegiatan ekonomi, suku bangsa Nias melakukan adaptasi ekonomi untuk memperoleh penghasilan demi
kelangsungan hidup dan kebutuhannya sehari-hari. Adaptasi yang dilakukan suku bangsa Nias dalam hal ini adalah untuk memperoleh mata pencaharian. Salah satu
bentuk kegiatan ekonomi dalam mata pencahariannya adalah sebagai tukang becak yang dilakukan dengan adanya suatu perjanjian yang disebut dengan
uname law hukum yang tidak bernama. Perjanjian tersebut berisi tentang; jika suku bangsa Nias menarik becak mesin mereka hanya dapat memiliki daerah
tarikan sewanya yaitu: pintu 4 empat gerbang USU, tembok, dan di depan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik FISIP, sedangkan daerah tarikan sewa suku
bangsa Karo seluruh daerah wilayah USU kecuali daerah suku bangsa Nias. Suatu perjanjian yang sangat menarik di antara suku bangsa tersebut
berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki suku bangsa yang mayoritas dengan suku bangsa minoritas dalam hal ini suku bangsa Karo sebagai suku bangsa
mayoritas di daerah Kampung Susuk. Lain halnya bila mereka menyewa becak mesin dari suku bangsa Karo, maka suku bangsa Nias bisa menarik becak dari
mana saja di areal kampus USU, namun bila hanya mempunyai becak sendiri mereka tidak sebebas seperti menyewa becak mesin dari suku bangsa Karo.
Dalam pembayaran suku bangsa Nias menyewa becak suku bangsa Karo, suku bangsa Nias setiap harinya harus membayar sewa becak sebesar Rp. 20.000,- bila
Universitas Sumatera Utara
becaknya berplat hitam dibawanya dan hanya bisa beroperasi di daerah wilayah kampus USU saja, namun bila becaknya berplat kuning, di mana dapat beroperasi
ke luar atau di jalan besar, mereka harus menyetor setiap harinya sebesar Rp. 25.000,-. Semua setoran itu sudah dipotong dari kerusakan becak yang terjadi
dalam satu harinya seperti ban bocor, rantai putus dan lain sebagainya. Dalam hal ini dapat terlihat adanya hukum kekuasaan antara mayoritas terhadap minoritas.
Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang
lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka itu hidup. Oleh karena itu, mereka merasakan adanya tindakan
diskriminasi secara kolektif, mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat dimana mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak
menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka
yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang
rendah termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan- kesempatan pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok mayoritas, yaitu mereka yang menikmati
status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada
dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya 1
Universitas Sumatera Utara
perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; 2 sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas
yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing; 3 adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses
sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan
mengambil sumberdaya-sumberdaya tersebut. Dalam pembahasan tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan minoritas
yang dilihat dalam pertentangannya dengan dominan adalah sebuah pendekatan untuk melihat minoritas dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi
dan perlakukan yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan
yang terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal. Bila dilihat, minoritas dalam kaitan
atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan mereka yang populasinya besar mayoritas dan yang populasinya kecil
minoritas. Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas didiskriminasi, karena besar populasinya belum tentu besar
kekuatannya. Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada
tindakan-tindakan perlakuan yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Dalam hal ini yang
termasuk ke dalam golongan sosial askriptif adalah suku bangsa termasuk
Universitas Sumatera Utara
golongan ras, kebudayaan suku bangsa, dan keyakinan beragama, gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap
mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas asimsilasi adalah pola-pola
kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan
terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik secara kasar
dengan kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lain yang secara sosial dan budaya masuk akal bagi
kepentingan mereka yang dominan. Oleh karena itu, dalam kasus di atas menandakan adanya kekuasaan yang dilakukan oleh suku bangsa Karo sebagai
kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam hal ini suku bangsa Nias.
4.2.2. Perolehan Mata Pencaharian Sebagai Pengumpul Barang Bekas