Lokasi Penelitian Manfaat Penelitian

1.2. Ruang Lingkup Permasalahan dan Lokasi Penelitian 1.2.1. Ruang Lingkup Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola adaptasi sosial ekonomi suku bangsa Nias sebagai salah satu suku bangsa pendatang di Kota Medan, khususnya di Kampung Susuk. Rumusan tersebut diuraikan juga ke dalam 4 empat pertanyaan penelitian, yakni : 1. Apa yang mendasari suku bangsa Nias bermigrasi ke Kota Medan dan memilih bermukim ke daerah Kampung Susuk ? 2. Bagaimana pandangan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Karo, dan begitu juga dengan sebaliknya ? 3. Bagaimana strategi adaptasi sosial yang dikembangkan oleh suku bangsa Nias di Kampung Susuk, khususnya terhadap suku bangsa Karo ? 4. Bagaimana strategi adaptasi ekonomi yang dikembangkan oleh suku bangsa Nias, dalam hal sumber-sumber dan akses dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi sebagai mata pencaharian suku bangsa Nias di Kampung Susuk ? 5. Apa yang dilakukan suku bangsa Nias untuk dapat bertahan hidup di Kampung Susuk, jika terjadi konflik dengan suku bangsa Karo ?

1.2.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Jalan Abdul Hakim atau yang biasa dikenal dengan nama Kampung Susuk Kecamatan Medan Selayang Kelurahan P.B. Selayang-1 Kota-Medan. Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu Universitas Sumatera Utara tempat atau pemukiman suku bangsa Nias di Kota Medan yang berdampingan hidup dengan masyarakat Karo. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pola adaptasi yang dilkukan oleh Suku Bangsa Nias sebagai migran di perkotaan khususunya di Kampung Susuk baik secara sosial maupun ekonomi.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Secara akademis penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuwan dalam kaitannya dengan pola adaptasi sosial ekonomi suku bangsa Nias di perkotaan, khususnya di daerah Kampung Susuk. Secara praktis, dapat memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal membuat berbagai kebijakan tentang masalah migrasi. 1.4. Tinjauan Pustaka Berbagai kajian dan tulisan telah dilakukan tentang fenomena migrasi dan pola adaptasi. Seperti halnya kajian dari Arios 1995 tentang pola migrasi orang Nias yang mengatakan bahwa motivasi migran Nias bermigrasi dan memilih Kota Medan sebagai tujuan dapat digolongkan pada faktor geografis ekologi, faktor ekonomi pekerjaan, faktor sosial, dan faktor budaya, sementara alasan memilih Kota Medan sebagai daerah tujuan adalah adanya faktor keluarga, kebiasaan, dan faktor gengsi. Universitas Sumatera Utara Kesimpulan dari kajiannya adalah setiap individu untuk mencapai kelangsungan hidupnya memerlukan penyesuaian diri secara aktif terhadap lingkungannya baik fisik maupun sosial. Namun demikian, setiap individu dalam menghadapi lingkungannya selalu menghadapi berbagai tantangan. Dalam menghadapi tantangan itu, mereka harus menggunakan pengetahuan budaya yang dimiliki. Salah satu cara untuk mengatasi tantangan tersebut adalah dengan melakukan migrasi ke daerah-daerah yang dapat memberi kehidupan yang lebih baik, daerah tersebut adalah daerah perkotaan. Kota secara geografis adalah suatu jaringan penduduk yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai strata sosial yang heterogen penduduknya cukup besar, orangnya heterogen beragam dan bersifat matrialistis kebendaan. Begitu banyak daya tarik yang ditawarkan di kota yang membuat masyarakat desa bermigrasi ke kota dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih layak, namun itu akan berbahaya apabila seseorang tersebut tidak mempunyai skill keahlian untuk dapat bertahan hidup di kota besar. Lain halnya kajian dari Sianturi 1999 tentang pola adaptasi budaya penduduk asli dan pendatang antara masyarakat Pakpak Dairi dengan Batak Toba yang mengatakan bahwa pada masyarakat Panji Sitinjo adaptasinya sampai saat ini masih membuahkan hubungan sosial yang harmonis dan saling menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari terciptanya akulturasi, asimilasi dan adanya perkawinan campuran antara suku bangsa Pakpak Dairi dan Batak Toba di Panji Sitinjo. Di daerah tersebut mereka juga masih tetap dapat berdampingan hidup tanpa adanya konflik yang menonjol yang dapat membawa kerugian pada Universitas Sumatera Utara masing-masing kelompok suku bangsa. Jadi manusia itu harus dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru, baik itu lingkungan sosial budaya maupun lingkungan fisiknya. Begitu juga dengan kajian Simanjuntak 1992 tentang proses adaptasi sosial budaya suku bangsa Minangkabau di Balige yang mengatakan bahwa suku bangsa Minangkabau akan mengikuti bahasa yang ada di Balige yaitu bahasa Batak. Hal itu dilakukan sebagai upaya adaptasi bahasa di lingkungan yang baru. Namun bila bertemu dengan komunitas 3 suku bangsanya mereka akan menggunakan bahasa Minangkabau. Mereka lebih bebas menggunakan bahasa sendiri dibandingkan dengan bahasa dari kebudayaan yang lain. Dalam bermigrasi suku bangsa Minangkabau mendefinisikan migrasi dengan kata ”merantau” 4 3 Komunitas adalah sebagai suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas Koentjaraningrat, 1986:148. 4 Merantau merupakan sebuah konotasi budaya tersendiri yang khas dari suku bangsa Minangkabau, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa merantau juga di gunakan oleh suku bangsa lain di Indonesia, tetapi yang jelas kata merantau mempunyai enam unsur pokok, diantaranya adalah, meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri untuk jangka waktu yang lama dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau pengalaman, biasanya dengan maksud kembali ke kampung pulang, merantau merupakan lembaga sosial yang telah membudaya dikalangan masyarakat Minangkabau. . Pada umumnya dalam suatu proses adaptasi seseorang individu yang memasuki suatu lingkungan yang baru, maka dengan sendirinya individu tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang dimasukinya. Hal ini dilakukan agar setiap individu atau kelompok mengharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang dimasukinya. Adaptasi ini perlu agar manusia itu dapat bertahan lama di lingkungan yang baru. Universitas Sumatera Utara Dari berbagai kajian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam bermigrasi di tempat yang baru membutuhkan adaptasi dengan lingkungan yang baru tersebut agar dapat diterima oleh masyarakat setempat. Adaptasi yang dilakukan memang sangat sulit jika berbeda kebudayaan, seperti halnya dengan suku bangsa Nias yang mencoba beradaptasi dengan suku bangsa Karo di Kampung Susuk. Perbedaan itu meliputi adat-istiadat, bahasa, maupun segala kebiasaan yang dimiliki dari setiap kebudayaan masing-masing. Adaptasi adalah kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik Simanjuntak, 1992. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Menurut Gerungan 1996:55, adaptasi merupakan suatu proses untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan. Secara luas keseimbangan itu bisa dicapai dengan dua cara. Cara pertama adalah cara pasif, yakni dengan mengubah diri sesuai dengan lingkungan. Proses ini dikenal dengan istilah autoplastis. Ada dua alasan utama orang melakukan adaptasi autoplastis yaitu adanya kesadaran bahwa orang lain atau lingkungan bisa memberi informasi yang bermanfaat dan upaya agar diterima secara sosial sehingga terhindar dari celaan Sears, 1994:80. Cara kedua adalah cara aktif, yakni dengan mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri yang dikenal dengan aloplastis. Universitas Sumatera Utara Lain halnya dengan adaptasi dari segi sosial dalam budaya yang relatif lama membuka kesempatan membangun koloni perkampungan atau pemukiman yang namanya sering didasarkan atas genealogis suku bangsanya seperti: Kampung Melayu, Kampung Cina, Kampung Bali, Kampung Aceh, Kampung Jawa, dan lain-lain. Disamping itu, ada juga nama-nama tempat wilayah menunjukkan identitas suku bangsa seperti Kerkap, Manna, Talo dan lain-lain. Begitu juga dengan nama daerah Kampung Susuk yang diambil dari nama daerah di Tanah Karo yaitu Desa Susuk. Oleh karena itu, suku bangsa Karo bermigrasi ke Kota Medan dan membentuk suatu perkampungan yang diambil dari nama tempat mereka, yaitu Kampung Susuk. Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif 5 , tindakan strategi dan sintensis dari keduanya yang disebut strategi adaptasi 6 5 Perilaku Adaptif adalah adalah tipe perilaku yang digunakan untuk beradaptasi dengan tipe perilaku lain atau situasi tertentu. Perilaku ini ditandai dengan jenis perilaku yang memungkinkan individu untuk mengganti perilaku yang tidak konstruktif menjadi perilaku konstruktif. Perilaku ini bisa berupa perilaku personal maupun perilaku sosial. Menurut . Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono 1985, pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut di atas, pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur- William Heward dalam buku Exceptional Children mendefinisikan perilaku adaptif sebagai keefektifan atau tingkatan dimana individu mencapai standar kemandirian personal dan tanggung-jawab sosial yang diharapkan oleh usia individu tersebut ataupun kelompok sosial. Perilaku adaptasi ini juga mengacu pada penampilan individu tanpa ketidakmampuan dalam memenuhi standar lingkungan. Perilaku adaptif berubah sesuai dengan umur seseorang, standar budaya, dan standar lingkungan. 6 Strategi Adaptasi adalah adalah cara-cara yang dipergunakan pendatang untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan yang positif dari kondisi-kondisi latar belakang lingkungan tujuan Pelly, 1994 a:5. Universitas Sumatera Utara unsur yang sudah menetap dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat-istiadat kebudayaan yang ada. Adaptasi yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa tipe model, diantaranya adalah 1 adaptasi yang dilakukan pendatang terhadap penduduk setempat; 2 adaptasi yang dilakukan penduduk setempat oleh pendatang dan; 3 adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun, di mana masing-masing suku bangsa saling berdiam diri tanpa melakukan adaptasi Sianturi, 1999. Di tinjau dari sisi migran, paling tidak ada tiga fokus dalam beradaptasi di lingkungan baru. Fokus pertama adalah masalah keberlangsungan dalam menghadapi berbagai tantangan serta mendapatkan kesempatan pekerjaan di daerah tujuan. Fokus kedua, corak dan proses penyesuaian diri dalam lingkungan sosial yang serba baru. Fokus ketiga, kemungkinan kelanjutan atau keterputusan hubungan sosio- kultural dan ekonomi dengan daerah asal dan kemungkinan bertahan atau terleburnya identitas kultural lama ke dalam ikatan baru. Proses pada ketiga fokus di atas tidak akan terlepas dari benturan- benturan. Oleh karena itu, sebagai proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Dalam beradaptasi di lingkungan yang baru, tentunya penduduk setempat akan memiliki pandangan terhadap penduduk pendatang yang cenderung bernilai negatif. Berprasangka adalah sikap tidak suka terhadap suatu kelompok atau suku bangsa lain. Prasangka Universitas Sumatera Utara sering disebutkan dengan kata Ethnopaulisme 7 1 unsur kognitif kepercayaan pengetahuan . Dalam prasangka juga terdapat beberapa unsur komponen yang terdiri dari 3 tiga macam, yakni : 2 unsur emosi afektif 3 unsur konatif perilaku tingkah laku Unsur kognitif berisi pengetahuan terhadap kelompok manusia walaupun terkadang salah. Pengetahuan yang salah ini menentukan streotipe etnik terhadap suatu kelompok tertentu dengan kata lain kognitif sering disamakan dengan bentuk stereotipe. Ide-ide stereotipe biasanya tidak ada ilmiahnya atau belum tentu kebenarannya. Secara umum, bahkan stereotipe 8 sering menyebabkan diskriminasi yang bernilai negatif dan dapat merugikan orang lain tentunya. Pembedaan terhadap suatu golongan individu atau perorangan sering muncul di kalangan masyarakat. Contoh dari unsur kognitif adalah stereotipe etnik 9 7 Ethnopaulisme adalah suatu istilah yang kurang menyenangkan yang bernuansa merendahkan kelompok tertentu. 8 Menurut ahli, stereotipe yakni seperangkat penilaian dari kelompok lain dalam hubungannya dengan ingroup dalam situasi terkini Smith, 1999. Stereotipe berasal dari bahasa latin yang berarti stereot yang artinya kaku dan tipos yang artinya kesan. Jadi secara keseluruhan adalah anggapan dari orang lain yang kaku dan seakan-akan tidak berubah. Oleh karena itu, stereotipe adalah suatu kepercayaan yang dilebih-lebihkan keyakinan yang berkaitan dengan suatu kategori manusia atau suatu generalisasi yang berlebihan tentang ciri-ciri suatu kelompok tertentu. 9 Stereotipe etnik adalah seperangkat penilaian dari kelompok etnik tertentu yang berkaitan dengan suatu kategori manusia atau suatu generalisasi yang berlebihan tentang ciri-ciri suatu kelompok etnik tertentu yang membuat simbol-simbol atau kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki etnik tertentu yang bernilai negatif dari etnik lainnya. yang dapat ditujukan kepada suku bangsa yang terdiri dari : 1 suku bangsa Batak Universitas Sumatera Utara distereotipekan sebagai berekor, Batak makan orang; 2 suku bangsa Aceh distereotipekan sebagai pemalas pungo; 3 suku bangsa Minangkabau distereotipekan sebagai orang yang cerdik, penipu, padang pancilok, cirik berandang, kecek padang; 4 Suku bangsa Jawa distereotipekan sebagai orang yang tidak tetap pendiriannya, ‘Jakon’ Jawa kontrak, dan; 5 suku bangsa Tamil distereotipekan sebagai putar keling, keling mabuk. Unsur kedua yaitu unsur emosi afektif yang merujuk pada cara-cara atau individu perasa terhadap kelompok lain. Emosi ini muncul dalam bentuk kebencian, kemarahan ataupun ketakutan terhadap orang yang diprasangka tadi. Contoh dari unsur emosi afektif adalah suku bangsa Batak yang di stereotipekan sebagai suku bangsa yang suka makan orang, sedangkan yang ketiga adalah unsur conatif perilaku tingkah laku suatu prasangka yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku perilaku. Komponen tingkah laku sering dikaitkan dengan jarak hubungan jarak sosial. Contoh dari unsur konatif adalah tidak ingin berteman dengan suku bangsa Batak. Hal tersebut dikarenakan jarak sosial yaitu kedekatan hubungan berdasarkan beberapa faktor seperti: agama, suku bangsa dan lain sebagainya. Contoh positif suku bangsa Minangkabau pandai berdagang, orang Cina pintar, rajin dan tekun sedangkan contoh negatifnya adalah orang Cina suka mengadu domba. Banyak stereotipe yang ditujukan kepada suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk oleh masyarakat setempat, baik yang bernilai positif dan negatif. Pada umumnya suku bangsa Nias sering distereotipekan negatif, antara lain : 1. Kasar, pembuat onar, punya ilmu hitam yang kuat Universitas Sumatera Utara 2. Kebiasaan buruk seperti cepatnya naik darah, tidak berpikir panjang dan suka menang sendiri. 3. Suka melihat temannya jatuh dan bukan saling membantu, bahkan dalam lingkungan keluarga sekalipun. 4. Kebiasaan buruk seperti senangnya menerima gratisan dan sejenisnya, mental yang kurang berwirausaha, pasrah pada keadaan, dan tidak mau maju. 5. Tertutup kepada setiap orang dan tidak mau mendelegasikan, tidak mau berbagi, dan yang ada dalam hati adalah aku, aku dan aku. 6. Iri yang berkelanjutan, kebiasaan yang telah dianggap tradisi yang salah dan terus dilakukan dan terus dipertahankan, sulit menerima perubahan. 7. Merasa menang sendiri, tidak percaya diri, merasa hebat kalau sudah sedang merokok mengganja sekalipun. 8. Keras kepala dan tidak mau diajarin, merasa paling hebat. 9. Ketidakjujuran, suka berbohong dan lain-lain. Ada 3 tiga hal yang membuat stereotipe tetap bertahan masih ada muncul antara lain : 1 Ciri-ciri stereotipe muncul dalam keadaan yang sebenarnya 2 Adanya tekanan dari kelompok dominan yang mewujudkan ide-ide stereotipe yang harus dipatuhi pada kelompok minoritasnya 3 Ide-ide stereotipe diperkuat oleh media massa Sebagian stereotipe seperti itu memang muncul di daerah Kampung Susuk, namun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk bermasyarakat dengan Universitas Sumatera Utara suku bangsa Karo. Stereotipe itu muncul akibat pandangan negatif kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas. Kekuasaan yang dimiliki oleh suku bangsa Karo membuat suku bangsa Nias menjadi bersifat pasif karena menyadari dirinya sebagai masyarakat pendatang. Kekuasaan dianggap secara berbeda oleh Smith dan Beattie dalam mendefinisikan tentang arti kekuasaan dalam Balandier, 1996:44. Menurut MG. Smith kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak secara efektif terhadap orang atau barang, dengan mempergunakan cara-cara yang berkisar dari bujukan persuasi sampai kekerasan. Sedangkan bagi Beattie, kekuasaan adalah kategori khusus dari hubungan-hubungan sosial, yang mengkategori khusus dari hubungan-hubungan sosial, yang memiliki pengertian menimbulkan kendala-kendala bagi pihak-pihak lain. Dari teori di atas jelas bahwa suku bangsa Nias dalam hal ini mencoba untuk masuk ke dalam daerah Kampung Susuk untuk membaur dengan suku bangsa Karo agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui mata pencaharian sebagai tukang becak dan dapat mempunyai tempat tinggal dengan cara mengontrak rumah dari penduduk setempat. Menurut Glazer dan Moynihan juga menjelaskan berbagai konflik antar kelompok etnik terutama yang berkaitan dengan masalah minoritas dan mayoritas, biasa didasarkan atas tuntutan mengenai pergantian prestise penghormatan atau harga diri kehormatan hak-hak penduduk, kekuasaan politik serta akses terhadap peluang ekonomi. Menurut Epstain, cenderung menilai etnisitas sebagai fenomena politik yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kekuasaan diantara kelompok-kelompok etnik dalam memajukan dan mempertahankan kepentingan Universitas Sumatera Utara kolektif mereka 1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menjelaskan pola adaptasi sosial ekonomi masyarakat Nias yang ada di Kota Medan, khususnya di daerah Jalan Abdul Hakim Kampung Susuk. Dalam penelitian ini akan dibagi menjadi dua bagian, yakni: a adaptasi sosial berdasarkan hubungan sosial di bidang keagamaan, gotong-royong, perkawinanadat; b adaptasi ekonomi berdasarkan dengan bagaimana cara suku bangsa Nias memperoleh aksessumber- sumber ekonomi sebagai mata pencahariannya baik sebagai tukang becak, pengumpul barang bekas, dan sebagai pembantu.

1.5.2. Teknik Pengumpulan Data