44
lain termuat ketetapan tentang batas-batas kawasan hutan, yang terpisah jelas dengan kawasan pemukiman dan kawasan pertanian. Penetapan batas yang jelas
tersebut cukup meyakinkan pejabat kehutanan Belanda kala itu tentang cita-cita besar Daendels untuk menjadikan hutan jati di Jawa menuju pengelolaan modern.
Menurut masyarakat Randublatung yang merupakan tempat Samin dan pengikutnya tinggal, leluhur mereka dipaksa membayar pajak pada pemerintah
Hindia Belanda serta dipaksa ikut mblandongan
23
. Kalau mereka menolak, mereka akan didatangi pamong desa dan polisi pemerintah Belanda. Mereka akan
ditangkap dan disiksa juga tanah pertanian mereka dirampas oleh pemerintah Belanda untuk kemudian ditanami pohon jati. Perlakuan pemerintah kolonial
Belanda tersebut mengakibatkan masyarakat mengalami kekurangan makanan. Mereka tidak mempunyai keberanian untuk melawan pemerintah kolonial sebab
mereka belum mempunyai semangat maupun senjata.
C. Arti Penting Hutan bagi Masyarakat Blora
Bagi masyarakat Randublatung, hutan adalah tempat tumbuhnya pohon- pohon seperti jati. Bagi mereka tidak ada larangan untuk mengambil hasilnya jika
membutuhkan. Adapun yang diambil bukan kayu bahan, namun hanya kayu semak-semak. Samin dan pengikutnya sangat berhati-hati dalam bertindak
maupun pemanfaatan hutan dalam kehidupan sehari-hari. Penduduk membuka hutan serta membersihkannya untuk keperluan produksi pertanian, dan terkadang
dijadikan padang rumput yang dapat menarik hewan buruan untuk dimakan.
23
Istilah yang digunakan bagi para kuli penggarap tanah yang merupakan kewajiban kerja bakti kepada bekel, patuh kepada raja. Pekerjaan ini adalah untuk memotong dan mengangkut kayu di
hutan milik raja. Biasanya kayu yang diambil dibutuhkan untuk pembangunan fasilitas masjid, makam, gedung kerajaan, atau rumah baru di kalangan kerajaan.
45
Selain itu, warga kelompok elit memerlukan kayu untuk membuat tempat tinggal, istana kuda, lumbung dan gudang, juga bangunan lainnya.
24
Praktek-praktek kehutanan masyarakat Blora dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa mengambil kayu bakar, kayu perkakas
untuk memperbaiki rumah, menggembalakan sapi dan ternak, lahan tegalan untuk palawija, semua dilakukan dalam kawasan hutan. Hutan menjadi milik bersama
dan siapa saja boleh memanfaatkannya selama belum dibuka atau dirubah keberfungsiannya menjadi lahan pertanian.
Prinsip lemah podho duwe, banyu podho duwe, kayu podho duwe
25
mengisyaratkan tiga kebutuhan dasar bagi Samin beserta pengikutnya di akhir abad XIX dan seterusnya
26
. Tiga kebutuhan dasar tersebut sangat relevan diutarakan oleh Samin apabila dikaitkan dengan tempat lahirnya di Ploso Kediren,
Randublatung serta tempat pertama kali Samin berpidato di tanah lapang. Nilai- nilai ajaran Samin berpusat pada akses hutan dan pertanian. Kebanyakan pengikut
awal Samin adalah petani penggarap yang memiliki banyak lahan. Banyak dari mereka adalah keturunan dari cikal bakal pendiri desa. Samin dan pengikutnya
menghormati tanah dan peran manusia dalam mengolahnya. Mereka berpandangan bahwa peran mereka dalam merubah alam menjadi pangan atau
merubah lahan belukar menjadi tanah terolah, yakni hakekat kehidupan, menyebabkan mereka memiliki status yang setara dengan pihak-pihak yang
mengklaim hak mengatur dan menguasai akses hutan.
27
24
Nancy Lee Peluso, ....,op.cit. hlm. 44.
25
Prinsip yang mengatakan bahwa tanah, air dan kayu adalah milik bersama.
26
Ibid.
27
Nancy Lee Peluso, ....op.cit. 104.
46
Pemanfaatan hutan oleh Samin dan pengikutnya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa mengambil kayu bakar, kayu perkakas
untuk membuat serta memperbaiki rumah, menggembalakan sapi dan ternak, lahan tegalan untuk tanaman palawija. Semuanya dilakukan dalam kawasan
hutan. Hutan menjadi milik bersama dan siapa saja boleh memanfaatkannya. Hutan yang telah diolah menjadi lahan pertanian, hanya dapat diwariskan dan
tidak dapat dijual. Sistem pengetahuan Samin dan pengikutnya terhadap keberadaan hutan
berhubungan langsung dengan cerita pewayangan yang oleh Samin dianggap memiliki keterkaitan dengan tanah Jawa. Dalam pidato Samin di Bapangan jelas
terlihat bahwa Jawa dititipkan Pandawa kepada keturunannya yakni Samin dan pengikutnya
28
. Dalam cerita pewayangan, terdapat pemisahan yang jelas antara hutan dan cerang
29
. Yang menarik , hubungan keduanya bertentangan sekaligus melengkapi. Hutan di satu sisi sebagai tempat yang penuh bahaya, dihuni oleh
bangsa raksasa atau buta pemakan manusia, namun di sisi lain juga sebagai tempat tinggal sang resi tokoh yang penuh dengan kebijaksanaan dan kesaktian.
30
Identifikasi Samin dan pengikutnya sebagai keturunan Pandawa serta keturunan masyarakat Jawa bisa menjadi penunjuk bahwa setiap sistem
pengetahuan kultural Samin dan pengikutnya terhadap hutan tidaklah berbeda dengan leluhurnya.
31
Bahwa interaksi antara Samin dan pengikutnya terhadap hutan memiliki makna kultural tersendiri, yakni sebagai tempat pencarian
28
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm.132-133
29
Cerang yakni tanah lapang atau pemukiman
30
Denys Lombard, Nusa...op.cit. hlm.133.
31
Ibid., hlm.139..
47
kebijaksanaan serta penaklukan terhadap hal-hal yang tidak baik. Pembatasan interaksi antara Samin dan pengikutnya dengan hutan dikemudian hari,
menimbulkan gejolak tersendiri. Bila dilihat dari faktor sosial-ekonomi, banyak peneliti bersepakat bahwa
kemunculan ajaran dan gerakan Samin itu dipicu oleh dua faktor utama. Pertama, kebijakan pemerintah Belanda menjadikan hutan sebagai perusahaan Negara yang
menyebabkan petani sekitar hutan tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan mereka.
32
Faktor pertama inilah yang menjelaskan mengapa gerakan Samin banyak berkembang di daerah-daerah di
sekitar hutan. Kedua, pengenalan sistem perekonomian modern yang menggunakan uang sebagai alat tukar ke seluruh masyarakat pedesaan Jawa tanpa
ada pengecualian, memperparah beban kehidupan petani di pedesaan Jawa.
33
Mayoritas peneliti Samin menyatakan bahwa komunitas Samin adalah komunitas yang tertutup, tidak mau berbaur dengan masyarakat di luar Samin.
34
Eksklusifitas pengikut Samin tidak berarti mencerminkan individualitas dalam pengerjaan lahan pertanian masing-masing. Sama halnya dengan masyarakat Jawa
lainnya, prinsip-prinsip gotong-royong dalam pengerjaan lahan pertanian berlaku dalam sistem masyarakatnya. Gotong-royong petani Jawa disimpulkan oleh James
Scott sebagai bentuk resistensi sekaligus tindakan bertahan hidup atas tekanan
32
Amrih Widodo, Samin in the New Order: The Politic of Encounter and Isolation, Ohio University Press, 1997, hlm.268.
33
A. Pieter E. Korver, The Samin Movement and Millenarism, BKI, dell 129, 1976, hlm.256.
34
Pada tahun 1905 masyarakat pengikut Samin tidak mau lagi menyetor padi ke lumbung desa dan tidak mau membayar pajak, serta menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka di
kandang umum bersama-sama dengan orang-orang desa lainnya yang bukan pengikut Samin. Hal ini sering disimpulkan secara tergesa-gesa untuk menyatakan kebertutupan masyarakat pengikut
Samin dari masyarakat luar pengikut Samin.
48
dari pihak luar. Moral ekonomi petani mengandaikan kolektifitas kebertahanan hidup melalui praktek-praktek seperti bagi hasil dan selamatan yang dilakukan
oleh petani kaya sebagai tanda pembagian rezeki, serta konsep share proverty sebagai bentuk implikasi dari praktek revolusi hijau pada awal abad XX.
35
D. Faktor Ekonomi