Gerakan Tanpa Kekerasan Gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda: perlawanan petani kawasan hutan di Blora (abad XIX-XX).

C. Gerakan Tanpa Kekerasan

Gerakan Samin baik secara panduan ideologis gerakan maupun cara-cara pergerakannya nyaris disandarkan pada pengetahuan lokal tentang konsep kekuasaan tanah Jawa serta mitologi pewayangan warisan tradisi leluhur Jawa melalui pujangga-pujangga keraton. 15 Keyakinan bahwa mereka adalah keturunan Pandawa membuat mereka berusaha menjaga warisan leluhur mereka, yakni Jawa dan seisinya adalah milik mereka dan tidak boleh ada yang menguasai. Keyakinan bahwa mereka adalah keturunan Pandawa dapat dilihat dari Serat Punjer Kawitan. “Gur tameh eling bilih sira kabeh horak sanes turun Pandawa, lan huwis nyipati kabrokalan krandhah Majapahit sakeng kakrage wadya musuh. Mula sakuwit liyen kala nira Puntadewa titip tanah Jawa marang hing Sunan Kalijaga. Hiku maklumat tuwila kanjantaka”. “ Ingatlah bahwa kalian itu tak lain dan tak bukan adalah keturunan Pandawa, yang sudah mengetahui kehancuran keluarga Majapahit yang disebabkan oleh serangan musuh. Maka dari itu sejak peristiwa tersebut, Puntadewa menitipkan tanah Jawa pada Sunan Kalijaga. Itulah yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan”. 16 Atas dasar itulah, Samin mengajak pengikutnya untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah milik orang Jawa. Oleh karena itulah, tarikan pajak tidak dibayarnya. Pohon-pohon jati di hutan ditebang, sebab pohon jati yang ditanam oleh Belanda, juga dianggap miliknya, yaitu warisan Pandawa. Perlawanan yang dilakukan oleh Samin dan pengikutnya memang berbeda dengan perlawanan lain yang terjadi di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan sebagai perlawanan tanpa menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan oleh 15 Salah satu pujangga keraton yang menjadi referensi Samin Surosentiko yakni Ronggowarsito. Lihat Suripan Sadi Hutomo, “Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya” dalam Basis Februari 1985, hlm.63. 16 Suripan Sadi Hutomo, Samin....,op.cit. hlm. 61. Gandhi 1869-1948 di India. Walaupun apa yang dilakukan Samin dan pengikutnya adalah gerakan tanpa kekerasan, namun apa yang mereka lakukan adalah gerakan yang radikal. Gerakan yang mereka lakukan adalah gerakan yang prinsipal dimana mereka tetap pada pendirian untuk tidak membayar pajak, menolak mengandangkan sapi, maupun melawan dengan kata-kata. Semua itu menunjukkan ketidakpatuhan masyarakat terhadap kelompok yang berkuasa saat itu yakni pemerintah Belanda. Dengan demikian ciri tersebut sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi acuan masyarakat Randublatung pada saat itu. Gerakan tanpa kekerasan yang dijalankan Samin dan pengikutnya misalnya pembangkangan melalui kata-kata. Seperti halnya contoh berikut ini: Bulan Desember 1914, dilaporkan oleh wartawan Jawa yang kemudian dimuat dalam De Locomotif Semarang, bahwa Rembang terdapat persidangan kasus pajak. Berikut ini salah satu sesi tanya jawab seorang Patih yang menginterogasi salah satu pengikut Samin dalam persidangan: “Kamu masih berhutang 90 kepada negara” “Saya tidak hutang kepada negara” “Tapi kamu mesti bayar pajak” ”Wong Sikep tidak mengenal pajak” “Apa kamu gila atau pura-pura gila” “Saya tidak gila atau pura-pura gila” “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?” “Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?” “Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup uang, tak mungkin merawat jalan- jalan dengan baik.” “Kalau menurut kami, keadaaan jalan-jalan itu mengganggu kami, kami akan membetulkannya sendiri.” “Jadi kamu tak mau bayar pajak?” “Wong Sikep tak kenal pajak” 17 17 Harry J. Benda, dan Lance Castles,The Samin Movement, Dalam Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde, Vol.125, hlm 225. Setelah proses interogasi di pengadilan berjalan cukup sengit, sang Patih akhirnya memutuskan: “Pengadilan Distrik memerintahkan anda untuk membayar utang anda kepada negara. Jika selama 8 hari, anda tidak membayar, maka harta benda anda akan disita. Pergi ”. Pengikut Samin tersebut pergi. Delapan hari telah berlalu, dan pengikut Samin tersebut tetap tidak mau membayar pajak, akhirnya barang-barangnya disita oleh pemerintah Belanda dan tidak ada perlawanan apapun. Pada tanggal 8 Januari 1914, barang-barang sitaan tersebut dijual dan dilelang oleh pemerintah kolonial. Uangnya hendak diserahkan kembali kepada pengikut Samin tersebut. Namun, pengikut Samin tersebut menolak dengan berkata: “Sepanjang yang saya ketahui, saya tidak pernah menyewakan apapun.” Perdebatan antara salah satu orang Samin dengan Patih tersebut memperlihatkan bentuk pembangkangan melalui kata-kata. Para petani dalam gerakan Samin mempertanyakan mengapa mereka harus membuat jalan-jalan yang mereka tidak lalui. Kalaupun mereka memerlukan jalan atau memperbaiki jalan, maka dengan sendirinya mereka akan membuat atau memperbaikinya sendiri. Para petani juga mempertanyakan mengapa mereka harus membayar pajak. Kalau pemerintah kolonial memerlukan, mereka akan memberikan namun para petani yang mementukan sendiri jumlahnya. 18 Munculnya perlawanan dengan kata-kata bukan tanpa maksud. Selain melawan dengan cara halus, perlawanan dengan kata-kata dapat menunjukkan sikap-sikap kultural dan politik Samin dan pengikutnya. Misalnya untuk 18 Onghokham, “Peranan Rakyat dalam Politik”, dalam Prisma. Agustus 1979 no.9, Jakarta., hlm.43. menyebut matimeninggal, masyarakat akan mengatakan salin sandhang berganti baju. Karena tubuhnya ini hanyalah baju dari roh kita. 19 Hal tersebut dapat dilihat misalnya: 1. Jenengmu sinten mbah? 1.a Jenengku lanang pangaran Samin 2. Mpun pinten taun teng mriki? 2.a Nggih mboten ngetung taune 3. Umure pinten? 3.a Setunggal kangge selawase. 4. Anake pun disekolahake? 4.a Mpun kulo sekolahake dhewek. Sekolah macul. 5. Mbah, sampean kedah suntik ben larane enggal saras 5.a Kula pun gadhah suntikan dhewek. 6. Lembune pinten mbah? 6.a lanang kalih wedok 7. Pinten etunge? 7.a Sekawan. Terjemahan 1. Nama anda siapa? 1.a Nama saya laki-laki, punya sebutan Samin. 2. Sudah berapa lama di sini? 2.a Ya tidak menghitung tahunnya. 3. Umurnya berapa? 3.a Satu untuk selamanya. 4. Anaknya sudah disekolahkan? 4.a Sudah saya sekolahkan sendiri dididik sendiri. Sekolah mencangkul. 5. Mbah, anda harus disuntik periksa dokter biar cepat sembuh. 5.a Sya sudah punya alat suntik sendiri. 6. Sapinya berapa mbah? 6.a Jantan dan betina. 7. Berapa hitungannya? 7a. Empat. Dialog no 1, 2, dan 3 memperlihatkan falsafah kehidupan masyarakat pengikut Samin. Terutama pada jawaban atas pertanyaan umur yang menyatakan 19 Suripan Sadi Hutomo, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin” dalam Basis edisi Januari 1985. “Satu untuk selamanya”. Menurut mereka, umur manusia itu satu. Umur ialah hidup. Hidup ialah roh dan nyawa. 20 Manusia hanya memiliki umur satu. Dan selamanya dibawa. Lahir dan mati. Oleh karena itulah orang yang meninggal disebut salin sandhang. Sementara itu, dalam dialog no 4, 5,6, dan 7 menunjukkan bahasa politik. Bahasa politik ialah bahasa yang berisi politik. Dalam bidang politik, pengikut Samin pernah berurusan dengan pemerintah kolonial. Mereka anti dengan Belanda. Oleh karena itu, apa saja yang berbau Belanda mereka tolak. Menolak dengan cara halus, yakni dengan cara berbahasa yang lazim disebut bahasa Sangkak atau bahasa Sangka.l 21 Misalnya menolak untuk menyekolahkan anaknya dengan perkataan “Saya sudah sekolahkan sendiri dididik sendiri. Sekolah mencangkul”. Kemudian soal permintaan untuk memeriksa kesehatan ke petugas kesehatan pemerintah Belanda, mereka secara halus mengatakan “ Saya sudah punya alat suntik sendiri”. Dalam konteks lain, pembangkangan dengan kata-kata juga digunakan untuk memperlihatkan posisi serta prinsip masyarakat terhadap kehidupan yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial. Misalnya masalah membayar pajak, pelarangan pemanfaatan hutan, serta pemakaian air untuk pertanian. Pemaksaan tata kehidupan bernegara dengan beban pajak tersebut telah bersinggungan dengan tata kehidupan yang dibangun dengan nilai-nilai masyarakat pengikut Samin. Terlebih lagi, keyakinan bahwa tanah Jawa merupakan warisan dari Pandawa yang diwariskan kepada mereka semakin bertentangan dengan 20 Agus Budi Purwanto, Samin....,op.cit, hlm. 85. 21 Ibid., hlm 86. pengakuan dan pemaksaan perluasan areal hutan jati yang diterapkan oleh pemerintah Belanda. 22 Terkait dengan masalah perhutanan, mereka menolak berbicara dengan para pejabat hutan dengan menggunakan bahasa krama Jawa halus. Misalnya beberapa pengikut Samin membaringkan diri di atas tanah mereka ketika ada penataan ulang tanah komunal. Mereka bilang “Kanggo” tanah ini masih saya pakai. Karena penataan ulang tanah komunal pada tahun 1914 berujung pada pengurangan atau bahkan memintakan paksa tanah-tanah tersebut untuk dijadikan hutan jati atau keperluan pemerintah Belanda yang lain. 23 Kekuasaan kolonial dan ketertiban masyarakat kolonial mulai terganggu, hingga berujung pada penangkapan Samin pada tahun 1914. Pada prinsipnya, Samin dan pengikutnya merasa heran, ketika ada sekelompok entitas bernama pemerintah Belanda mengklaim diri sebagai penguasa sekaligus pemilik tanah kehutanan seluas itu, yang di dalamnya termuat segala hal yang diperlukan bagi masyarakat agraris. Peraturan-peraturan kolonial pada abad XIX hingga awal abad XX telah menyasar petani hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Persentuhan petani dengan peraturan kolonial selalu berimplikasi dalam dua hal: pertama jika peraturan tersebut dipatuhi, maka politik pertanian, perkebunan, dan kehutanan dapat berjalan dengan lancar, petani mendapatkan insentif berupa uang tunai, terutama pada masa liberalisasi dimulai. Kedua, jika peraturan kolonial tidak dipatuhi oleh petani, maka politik pertanian, perkebunan, dan kehutanan kolonial tidak dapat 22 Ibid., 23 Agus Budi Purwanto, Samin....op.cit.hlm. 89. berjalan lancar. Sementara itu petani harus menerima konsekuensi berupa sanki- sanksi. Karena itu, tidak melaksanakan peraturan berarti melanggar peraturan. 24

D. Bahasa sebagai Simbol Perlawanan