Gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda: perlawanan petani kawasan hutan di Blora (abad XIX-XX).

(1)

ABSTRAK

GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA

( ABAD XIX-XX)

Oleh: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda di Blora; (2) dinamika gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda; (3) dampak gerakan Samin.

Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu ilmu sosial-ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Munculnya gerakan Samin merupakan akibat dari berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia termasuk di Blora terkait dengan penguasaan hutan. (2) Dinamika gerakan samin menunjukkan perkembangan pengikut yang semakin pesat dan ajaran-ajaran Samin Surosentiko yang merupakan hasil gagasan orisinalnya terhadap permasalahn terkait dengan keselamatan masyarakat Blora. (3) Dampak dari gerakan Samin, pada akhirnya melahirkan komunitas masyarakat yang hingga kini masih menghidupi prinsip Saminisme.


(2)

ABSTRACT

SAMIN MOVEMENT AGAINST DUTCH COLONIALISM: FARMER RESISTANCE OF FOREST AREA IN BLORA

( ABAD XIX-XX)

By: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma

2016

This aims the research is to describe and analyze three main topics, namely: (1) background of Samin movement against Dutch colonialism in Blora; (2) the dynamics of the Samin movement against Dutch colonialism; (3) the impact of Samin movement.

This research used hitsorical factual methods. The stages of this method are: choosing the topics, collecting the sources, verivication, interpretation, and historiography. The approach used is a multidimensional approach, namely social sciences-economic. The type of the writing is descriptive analysis.

The result of this research showed that (1) the emergenc of Samin movement is the result of policies implemented by the Dutch in Indonesia including in Blora related to forest tenure. (2) The dynamics of movement followers Samin shows the development of increasingly rapid and teachings Samin Surosentiko which is the result of the original idea of the problems related to public safety of people in Blora. (3) The impact of the Samin movement eventually led to communities that still support the Saminisme principle.


(3)

(ABAD XIX-XX) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Nurmalitasari NIM : 121314009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA

(ABAD XIX-XX) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Nurmalitasari NIM : 121314009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

ii SKRIPSI

GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA


(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebagai ungkapan kasih, skripsi ini saya persembahkan kepada:  Kepada Allah SWT.

 Kepada orang tua yang saya cintai.

 Kedua kakak saya yang telah mendukung dan memberi semangat.

 Sahabat-sahabat saya, Vega, Cimol, Tiwul, Lingga yang telah memberi semangat dan dukungan agar skripsi ini cepat selesai.

 Pacar saya Gibran yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

 Teman-teman Pendidikan Sejarah angkatan 2012 yang telah berjuang bersama.


(8)

v MOTTO

Masa depan adalah milik mereka yang percaya akan keindahan impian-impian mereka.

( Eleanor Rosevelt)

Hidup adalah sebuah pulau, karangnya harapan, pepohonannya mimpi, bunga-bunganya kesepian, mata airnya semangat. Dan ia di tengah lautan sendiri dan

kesepian. ( Kahlil Gibran)

Janganlah berdoa untuk hidup yang mudah, tetapi berdoalah untuk menjadi manusia yang tangguh.

( John F. Kennedy)

In order to succeed, we must believe that we can. (Michael Korda)


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah saya sebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 20 Juni 2016 Penulis


(10)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma

Nama : Nurmalitasari

Nomor Mahasiswa : 121314009

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA

( ABAD XIX-XX)

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada), dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkannya dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 20 Juni 2016 Yang menyatakan


(11)

viii ABSTRAK

GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA

( ABAD XIX-XX)

Oleh: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda di Blora; (2) dinamika gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda; (3) dampak gerakan Samin.

Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu ilmu sosial-ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Munculnya gerakan Samin merupakan akibat dari berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia termasuk di Blora terkait dengan penguasaan hutan. (2) Dinamika gerakan samin menunjukkan perkembangan pengikut yang semakin pesat dan ajaran-ajaran Samin Surosentiko yang merupakan hasil gagasan orisinalnya terhadap permasalahn terkait dengan keselamatan masyarakat Blora. (3) Dampak dari gerakan Samin, pada akhirnya melahirkan komunitas masyarakat yang hingga kini masih menghidupi prinsip Saminisme.


(12)

ix ABSTRACT

SAMIN MOVEMENT AGAINST DUTCH COLONIALISM: FARMER RESISTANCE OF FOREST AREA IN BLORA

( ABAD XIX-XX)

By: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma

2016

This aims the research is to describe and analyze three main topics, namely: (1) background of Samin movement against Dutch colonialism in Blora; (2) the dynamics of the Samin movement against Dutch colonialism; (3) the impact of Samin movement.

This research used hitsorical factual methods. The stages of this method are: choosing the topics, collecting the sources, verivication, interpretation, and historiography. The approach used is a multidimensional approach, namely social sciences-economic. The type of the writing is descriptive analysis.

The result of this research showed that (1) the emergenc of Samin movement is the result of policies implemented by the Dutch in Indonesia including in Blora related to forest tenure. (2) The dynamics of movement followers Samin shows the development of increasingly rapid and teachings Samin Surosentiko which is the result of the original idea of the problems related to public safety of people in Blora. (3) The impact of the Samin movement eventually led to communities that still support the Saminisme principle.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gerakan Samin Melawan Kolonialisme Belanda: Perlawanan Petani Kawasan Hutan Di Blora ( Abad XIX-XX)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah sabar

membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran, serta masukan selama penyusunan skripsi.

4. Drs, Y.R. Subakti, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada penulis selama proses studi.

5. Seluruh dosen dan sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.


(14)

xi

6. Kedua orang tua penulis yang telah banyak memberi dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

7. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2012 yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta insiprasi dalam menyelesaikan skripsi.

8. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang turut membantu penulis menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.

Yogyakarta, 20 Juni 2016 Penulis


(15)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... . ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

HALAMAN MOTTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN. ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Landasan Teori ... 13

G. Metodologi Penelitian ... 29

H. Sistematika Penulisan ... 33

BAB II LATAR BELAKANG GERAKAN SAMIN ... 35

A. Penguasaan Hutan oleh Belanda di Jawa ... 35


(16)

xiii

C. Arti Penting Hutan bagi Masyarakat Blora ... 44

D. Faktor Ekonomi ... 48

BAB III DINAMIKA GERAKAN SAMIN ... 52

A. Muncul dan Berkembangnya Gerakan Samin... 52

B. Samin dan Ajaran Ketuhanan... ... ... 56

C. Gerakan Tanpa Kekerasan ... 59

D. Bahasa sebagai Simbol Perlawanan ... 65

BAB IV DAMPAK GERAKAN SAMIN ... 69

A. Munculnya Masyarakat Samin ... 69

B. Identitas Diri Masyarakat Samin ... 72

C. Moral Ekonomi Masyarakat Samin ... 74

BAB V KESIMPULAN ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(17)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Peta Persebaran Gerakan Samin ... 84 Lampiran 2 : Perangkat Pembelajaran ... 85


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gerakan Samin muncul akibat semakin beratnya beban masyarakat akibat kekuasaan pemerintah Belanda ketika berkuasa di Randublatung, kabupaten Blora. Pihak kolonial berusaha menggali sumber daya alam sebanyak-banyaknya di daerah jajahan. Aktivitas yang demikian ini memunculkan kesengsaraan rakyat. Terjadinya berbagai penderitaan memunculkan gerakan protes masyarakat, termasuk di daerah Blora.

Di daerah Blora, protes rakyat dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang ingin mempertahankan kawasan hutan jati yang telah menjadi sendi kehidupan mereka. Memburuknya keadaan ekonomi masyarakat semakin mempercepat terjadinya aksi protes. Salah satu gerakan protes yang pernah terjadi di Blora adalah Gerakan Samin, sebuah gerakan protes petani yang anggotanya terdiri dari petani kaya maupun petani miskin.

Perlawanan petani di Blora ini muncul seiring dengan menguatnya hegemoni1 kekuasaan Pemerintah Belanda terhadap kehidupan rakyat. Dalam kasus Blora, pemberlakuan pajak atas tanah serta alih fungsi hutan dari hutan rakyat menjadi hutan negara telah mempersempit akses petani terhadap hutan.

1 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2000, hlm. 62.

Kebudayaan dikonstruksikan beragam aliran yang mencakup idiologi dan bentuk kultural. Namun demikian, terdapat unsur makna yang dipandang sebagai induk dan bersifat dominan. Proses penciptaan, peneguhan, dan reproduksi makna dan praktik otoritatif disebut hegemoni. Hegemoni berarti situasi di mana suatu blok historis kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuasaan dengan persetujuan.


(19)

Seorang tokoh yang berperan penting dalam perlawanan petani Blora adalah Samin Surosentiko yang pada waktu itu merupakan pemimpin gerakan. Ia dilahirkan pada tahun 1859 di desa Ploso, Kediren, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.2 Ayahnya bernama Raden Surowijoyo. Nama asli Samin sendiri adalah Raden Kohar, kemudian diubah menjadi Samin. Nama Samin dipilih karena lebih bernafaskan kerakyatan.3

Gerakan Samin secara historis muncul pada tahun 1889, ketika Samin mulai menentang kolonialisme Belanda di kabupaten Blora. Ia mampu mengumpulkan masa untuk sama-sama melakukan perlawanan. Samin mengawali perlawanannya dalam bentuk tanpa kekerasan. Sebuah konsep penolakan terhadap praktek Belanda dan kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda pada abad ke-19 di Kabupaten Blora.

Sebagai gerakan yang cukup besar, gerakan ini tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah yang digunakan untuk perluasan hutan jati. Ketika intervensi Belanda di dalam kehidupan desa menjadi langsung dan intensif pada akhir abad ke-19, gagasan perlwanan dengan bayangan gagasan millenarian nampak jelas. Van der Kroef mengkatagorikan gerakan Samin di antara lima gagasan mileniarisme.4 Kategori

2

Andrik Purwasito, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger Yogyakarta, LKIS, 2003, hlm.18.

-Titi Mumfangati dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora,

Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004, hlm.22. 3 Andrik Purwasito, Agama....op.cit,hlm.18.

4 Gagasan Milenari adalah harapan akan datangnya pemimpin yang adil serta sebuah sistem

kenegaraan yang adil yang dapat membuat ketentraman serta kemakmuran. Kelima kategori gagasan milenarian menurut van der Kroef adalah; (1) ramalan-ramalan Jayabaya, (2) Paswara Bali, (3) kompleks Erucakra-Ratu Adil-Mahdi, (4) gerakan Samin dan Samat, (5) aliran-aliran mesianik di Indonesia yang sudah merdeka.


(20)

khusus atas gerakan Samin dimungkinkan karena perlawanan Samin dan pengikutnya memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh perlawanan yang lain. Tempat kelahiran Samin yakni di desa Ploso Kadiren, Randublatung, Blora memang merupakan penghasil kayu jati terbaik di Jawa. Struktur tanah yang berkapur dan kering menyebabkan tanah di Blora dan beberapa wilayah di seputar Karesidenan Rembang sangat cocok bagi jenis tanaman ini. Pada tahun 1920, proporsi luasan tanah yang dikuasai negara di kabupaten Blora mencapai 40% dari total wilayah kabupaten tersebut. Ini merupakan proporsi paling tinggi bagi setiap kabupaten di Jawa kala itu.5

Pada tahun 1903-1905 pengikut Samin berjumlah 772 orang yang tersebar di 34 desa di Kabupaten Blora. Pada waktu itu pula, Samin sebagai pemimpinnya sudah dapat menggerakkan anggotanya untuk bertindak melawan pemerintah kolonial atau pengawas desa dengan cara mengasingkan diri dan tidak tunduk pada aturan desa terutama dalam membayar pajak.6

Pada tahun 1907, pengikut Samin mencapai 5000 orang dan kekuatan mereka dianggap membahayakan pemerintah. Terlebih lagi, mereka akan membangun kekuatan untuk memberontak.7 Rumor tentang akan adanya pemberontakan Samin dan pengikutnya dihembuskan oleh Controleur.8 Pada

5

Harry J. Benda dan Lance Castles, The Samin Movement. Dalam Bijdragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, 1969, hlm. 221.

6

Ibid, hlm. 19. 7

Ibid, hlm. 20.

8

Controleur merupakan pejabat terendah dari korps pangreh praja Eropa. Jabatan kewilayahan

yang dipegang orang Eropa adalah Gubernur Jendral, Gubernur, asisten Residen, dan Controleur. Tugas dari Controleur adalah membantu Asisten Residen untuk mengawasi para Bupati serta memberikan laporan pengawasan kewilayahann ya tersebut kepada Asisten Residen untuk disampaikan kepada Residen. Lihat Hanis Nurcholis. 2007. Teori dan Praktik, Pemerintahan dan


(21)

tahun itu pula Samin dinobatkan oleh pengikunya sebagai ratu adil dengan gelar Prabu Panembahan Surya Alam.9

Didengar kabar pada 1 Maret 1907 pengikut Samin akan mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Karena kabar ini, kontrolir Belanda melakukan penangkapan atas sejumlah pengikut Samin yang pada saat itu sedang mengadakan selametan salah satu keluarga di Kedungtuban. Selametan kerabat ini dianggap jika orang-orang Samin sedang melakukan persiapan perlawanan kepada kolonial Belanda. Saat itu Samin sendiri sedang berada di Rembang. Ketika tertangkap, Samin beserta delapan pengikutnya diinterogasi dan diasingkan ke Sumatera.10

Pada tahun 1911 sampai 1914, ajaran Samin meluas ke wilayah Grobogan dan Pati. Mereka menyosialisasikan gerakan dengan tidak membayar pajak bahkan melakukan aksi kekerasan melawan aparat kolonial Belanda, termasuk polisi dan lurah. Periode ini dianggap sebagai periode puncak gerakan Samin atau disebut geger Samin.11

Pada tahun 1916, pengikut Samin meluas ke wilayah Kudus. Ini diawali dengan kegagalan penyebaran ajaran itu di Tuban. Perluasan ajaran Samin terus berlangsung yang ditandai dengan kepemimpinan Pak Engkrek di wilayah

9

Ibid., hlm.19.

10Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah,Yogyakarta,

2004, hlm.23.

11 Geger Samin terjadi karena Belanda menaikkan pajak yang semakin mencekik masyarakat. Di

Grobogan, pengikut Samin tidak mau lagi menghormati Pamong Desa dan pemerintah kolonial Belanda.


(22)

Grobogan dan Mbah Engkrek di wilayah Blora. 12 Sejarah dari perjuangan oleh Mbah Engkrek inilah yang sampai sekarang masih menyisakan tradisi ajarannya.

Setelah Samin ditangkap serta meninggal di Padang pada 1914, perlawanan masyarakat tidak berhenti. Pengikut maupun kerabat dekatnya meneruskan perlawan di beberapa daerah sekaligus menyebarkan ajaran Samin. Di Randublatung seorang bernama Samat telah menggantikan Samin dan mengumumkan datangnya dua Ratu Adil sekaligus, yang satu dari timur dan yang lain dari barat.

Dalam perkembangannya, ajaran Samin mulai meluas dan berkembang hingga mampu menciptakan sebuah komunitas masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai masyarakat Samin. Sebuah komunitas masyarakat yang sering menjadi cemoohan orang-orang di sekitarnya karena keluguan dan kepolosannya. Terlepas dari anggapan banyak orang, masyarakat Samin adalah komunitas masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan moral kehidupan yang lebih baik.

Penelitian ini mencoba menguraikan hubungan antara Samin dan pengikutnya dengan hutan jati di Jawa abad XIX. Hubungan tersebut terutama antara penduduk dengan pengelola hutan jati saat itu yakni pemerintah kolonial Belanda. Dalam konteks sumber daya hutan, muncul berbagai peraturan hutan jati oleh pemerintah Belanda. Samin memiliki dua prinsip pemerintahan hutan yakni kelestarian serta dapat dimanfaatkan semua orang. Hipotesis awal dari penelitian ini adalah penerapan dari prinsip-prinsip Samin atas pengelolaan

12 Ibid., hlm.19.


(23)

sumber daya alam yang terganggu oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah kolonial Belanda, sehingga muncul adanya perlawanan petani pengikut Samin.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja latar belakang munculnya gerakan Samin dalam melawan kolonialisme Belanda di wilayah Blora?

2. Bagaimana dinamika gerakan Samin dalam melawan kolonialisme Belanda di wilayah Blora?

3. Apa dampak yang ditimbulkan dari gerakan Samin dalam melawan kolonialisme Belanda di wilayah Blora dan sekitarnya?

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan masalah yang dikemukakan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Menjelaskan latar belakang munculnya Gerakan Samin melawan pemerintah kolonial Belanda.

2. Mendeskripsikan dinamika Gerakan Samin pada masa kolonial Belanda. 3. Menjelaskan dampak yang ditimbulkan dari Gerakan Samin beserta


(24)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Membantu civitas akademika lainnya untuk melihat perjuangan masyarakat kecil di Indonesia yang selama kurun waktu belakangan masih kurang produktif. Perjuangan Samin dan pengikutnya sendiri masih dapat kita jumpai hingga saat ini.

2. Bagi Dunia Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Memberikan sumbangan dalam menganalisa gerakan masyarakat bawah dalam menentang praktek kolonialisme di daerah mereka.

3. Bagi penulis

Membantu penulis memahami bagaimana Samin dan pengikutnya memperjuangkan hidupnya di bawah tekanan kolonial hingga mampu eksis hingga sekarang.

4. Bagi Masyarakat Luas

Memperluas pengetahuan tentang dinamika rakyat kecil di Blora pada masa pemerintah kolonial Belanda. Selama ini sejarah orang-orang kecil jarang dibahas dalam buku-buku sejarah sekolah.

E. Tinjauan Pustaka

Sebagai suatu ilmu yang mempelajari masa lalu umat manusia, studi sejarah menggunakan rekam peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah yang akan ditelitinya. Rekaman peristiwa masa lalu berupa buku dan media cetak


(25)

lainnya, digunakan dalam penulisan skripsi ini. Dikarenakan keterbatasan pengetahuan dalam menemukan sumber primer, maka sumber yang digunakan dalam penulisan ini adalah sumber sekunder, yaitu sumber yang berasal dari tangan kedua.

Beberapa buku yang digunakan antara lain Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasa Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa13 karya Nancy Lee Peluso. Buku ini memberikan gambaran seputar politik kehutanan serta sikap resistensi masyarakat sekitar hutan dalam menanggapi perkembangan model penguasaan dan pengelolaan hutan jati di Jawa. Menurut Nancy, nilai-nilai masyarakat Samin berpusat pada akses hutan pertanian. Kebanyakan petani pengikut Samin adalah petani penggarap yang memiliki lahan. Banyak dari mereka adalah keturunan dari cikal bakal atau pendiri desa dan pembuka hutan.14

Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris15 karya Denys Lombard. Pada masa kerajaan sebelum kedatangan VOC tidak berarti belum ada peraturan perlindungan hutan. Pada masa pemerintahan Sultan Agung di kerajaan Mataram telah terdapat sejumlah cagar alam untuk melindungi buruannya dari pembabatan hutan. Menurut Lombard, pembabatan hutan dilakukan hanya jika diperlukan perluasan pemukiman dan lahan pertanian, itu saja masih kecil luasannya. Lazimnya, cagar alam hanya untuk hutan rimba, bukan hutan yang sering digunakan penduduk untuk mendukung kehidupan agrarisnya.

13 Nancy Lee Peluso,Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasa Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa,Jakarta,KOPHALINDO,2006.

14

Ibid., hlm.124.

15 Dennys Lombard,,Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan kerajaan-kerajaan Konsentris,Jakarta:


(26)

Denys Lombard menambahkan, sistem pengetahuan Samin dan pengikutnya terhadap keberadaan hutan berhubungan langsung dengan cerita pewayangan yang dianggap memiliki keterkaitan dengan tanah Jawa. Dalam cerita pewayangan , terdapat pemisahan yang jelas antara hutan dan cerang yakni tanah lapang atau pemukiman. Hutan, di satu sisi merupakan tempat yang penuh bahaya, dihuni oleh bangsa raksasa atau buta pemakan manusia. Namun di sisi lain hutan juga sebagai tempat tinggal sang resi yaitu tokoh yang penuh dengan kebajikan dan kesaktian.

Buku Sistem Tanam Paksa di Jawa16 karangan Robert van Niel, menguraikan bagaimana pemerintah menerapkan sistem kolonial di Jawa pada abad ke-19. Buku ini menjelaskan tentang kajian sosial dan ekonomi modern yang dipraktikkan negara kolonial yang hidup berdampingan dengan sistem ekonomi tradisional. Kajian sosial dan ekonomi abad ke-19 menunjukkan bahwa ekonomi subsistensi17 mengalami gangguan yang serius akibat praktik-politik kolonial. Menurut pengarang, gerakan-gerakan protes petani di Jawa abad ke-19 mau tidak mau harus dikembalikan pada praktik kolonial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa18 karya Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan

16

Robert van Niel, 2003, Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta, LP3ES. Umumnya tanah-tanah yang diperluas menjadi milik individu ini merupakan tanah-tanah yang selama masa awal Tanam Paksa tidak dikenakan beban sewa tanah atau dapat dikatakan merupakan tanah simpanan. Tanah ini kemudian diperluas menjadi milik individu karena tuntutan untuk peningkatan produksi Tanam Paksa

17 Suatu masyarakat primitif yang kegiatannya sangat terbatas dan setiap rumah tangga.

18 Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta,Yayasan Obor Indonesia, 1994.


(27)

Wiradi menjelaskan tentang ekonomi desa di Jawa terkait dengan tanah sebagai sarana utama gerak ekonomi. Tanah sebagai sarana produksi pertanian memiliki pengaturan-pengaturan dalam pola penguasaannya. Secara umum pola penguasaan tanah di Jawa abad XIX dapat digolongkan menjadi dua yakni tanah individual (tanah pribadi) dan komunal (tanah milik bersama).

Buku karangan James. C. Scott dengan judul Perlawanan Kaum Tani19, mencatat bahwa buruh tani yang masih berakar pada dusun menganut ikatan guyub dimana daya swakarsa perorangan atau kolektif mampu mempertahankan ketahanan mereka. Keterlibatan buruh tani di luar dusun umumnya tidak terlepas dari perantaraan patron baru. Gotong royong petani Jawa disimpulkan oleh Scott sebagai bentuk resistensi sekaligus tindakan bertahan hidup atas tekanan dari pihak luar. Moral ekonomi petani mengandaikan kolektifitas kebertahanan hidup melalui praktek-praktek seperti sistem bagi hasil dan selamatan yang dilakukan oleh petani kaya sebagai tanda pembagian rezeki.

Pemberontakan Petani Banten menjadi sumber penulisan yang dipakai selanjutnya. Tesis karya Sartono Kartodirdjo20 ini menjelaskan dinamika protes petani di Banten sebagai reaksi atas kolonisasi yang pernah terjadi. Tujuan pertama studi ini adalah membahas aspek-aspek dari gerakan sosial yang melibatkan lapisan-lapisan luas rakyat biasa di Indonesia. Studi kasus mengenai gerakan-gerakan sosial ini tidak hanya bertujuan menyampaikan informasi faktual mengenai pemberontakan petani di Banten pada 1888, melainkan juga dimaksudkan sebagai sumbangsih kepada usaha-usaha untuk menjelaskan proses

19

James. C. Scott, Perlawanan Kaum Tani, Yayasan Obor Indonesia,1993. 20


(28)

sosial umumnya di Indonesia pada abad XIX. Menurut Sartono, pemahaman mengenai hakikat gerakan-gerakan sosial di masa lampau sering kali dapat diterapkan kepada studi mengenai gerakan-gerakan di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Potret kehidupan petani Indonesia merupakan sebuah kajian yang menarik dari masa ke masa. Banyak penulis maupun peneliti mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan dinamika kehidupan petani. Syahrul Kirom dalam tesisnya berjudul Ajaran Moral Masyarakat Samin dalam Perspektif Etika: Relevansinya Bagi Pengembangan Bangsa21 memberikan suatu analisa mengenai dinamika kehidupan petani Samin dalam melawan kolonialisme Belanda dan juga dampak dari ajaran Samin Surosentiko bagi masyarakat Blora. Syahrul mengatakan, masyarakat Samin merupakan salah satu komunitas tertentu yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Masyarakat Samin yang ada di Jawa merupakan warisan dari nilai-nilai luhur budaya Nusantara.

Buku Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger22 karya Dr.Andrik Purwasito, DEA, menjelaskan tentang komunitas masyarakat Samin dan Tengger. Kedua komunitas ini menurut Andrik merupakan potret masyarakat yang memiliki semangat revolusioner. Apa yang dilakukan masyarakat Samin pada mulanya merupakan sebuah perlawanan terhadap penguasa Belanda yang dianggapnya telah menginjak-injak martabat

21

Syahrul Kirom, Ajaran Moral Masyarakat Samin dalam Perspektif Etika:Relevansinya Bagi

Pengembangan Bangsa,Yogyakarta,Universitas Gadjah Mada,2011, hlm.9.

22

Andrik Purwasito, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan


(29)

kemanusiaan. Masyarakat Samin melawan dengan joke-joke dan perilaku yang sangat cerdas. Mereka sangat kuat memegang identitas dan kemandiriannya.

Suripan Sadi Hutomo dalam studinya tentang Samin dan Ajaran-ajarannya23 menjelaskan mengenai ajaran-ajaran Samin. Temuan Suripan ini sangat penting untuk melihat beberapa segi seputar nilai-nilai kehidupan masyarakat Samin. Selain itu, temuan Suripan yang sangat penting adalah lima kitab yang disebut Jamuskalimasada yang berisi ajaran-ajaran Samin Surosentiko perihal konsep ketuhanan, etika kehidupan, etika politik, dan lain-lain.

Menurut Suripan, kaitan antara Samin dan kehutanan tidaklah sesederhana bentuk-bentuk reaksi sosial yang lain sebagai tanggapan atas penetrasi kolonial. Penetrasi yang begitu kuat dalam bidang ekonomi namun tidak menyinggung sistem sosial masyarakat, kemungkinan tidak menimbulkan reaksi sosial berupa perlawanan. Tergganggunya sistem-sistem sosial yang terdapat di kalangan masyarakat justru yang memicu munculnya perlawanan Samin.

Skripsi karya Agus Budi Purwanto dengan judul Samin dan Kehutanan Abad XIX24, menguraikan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Samin dan pengikutnya dalam melestarikan hutan jati. Skripsi ini juga menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat Samin pada abad ke-19 dimana masyarakatnya masih menjunjung nilai-nilai spiritual. Menurut Agus, dalam hubungannya dengan hutan, Samin dan pengikutnya memiliki sistem pengetahuan yang pada intinya menyatakan bahwa tanah Jawa termasuk di dalamnya ciptaan Tuhan yang dititipkan Pandawa kepada orang Jawa sekaligus Samin dan pengikutnya. Ciptaan

23

Suripan Sadi Hutomo, Samin dan Ajaran-ajarannya, Semarang,Citra Almamater,1996,. 24

Agus Budi Purwanto, 2011, Samin dan Kehutanan Abad XIX, Yogyakarta: Perpustakaan Sanata Dharma.


(30)

Tuhan tersebut tidak boleh dikuasai atas pemanfaatannya. Terganggunya kepercayaan masyarakat pengikut Samin atas dominasi hutan jati oleh Belanda yang pada akhirnya memunculkan perlawanan dalam rangka melestarikan hutan jati di kabupaten Blora.

F. Landasan Teori

Penggunaan landasan teori dalam penelitian ilmu-ilmu sosial menjadi hal penting dalam mendekati sebuah pokok persoalan. Realitas sosial sehari-hari memiliki ragam yang tidak terhitung sekaligus berserakan antara satu dengan lainnya. Penggunaan teori-teori sosial dalam penelitian sejarah masih sangat relevan diajukan. Teori-teori sosial menuntut peneliti sejarah untuk berfikir teoritis historis dalam menemukan genealogi fakta sejarah dan menunjukkan gerak sejarah seperti apa yang terjadi. Menjelaskan fenomena gerakan Samin abad XIX-XX dengan menggunakan teori sosial dimungkinkan tidak hanya dalam konteks tersebut di atas, namun juga dalam usaha penyusunan sejarah gerakan Samin yang lebih memperhatikan gerak sejarah dari dalam.

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai dasar landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah petani, kehutanan, kolonialisme, dan gerakan petani.

1. Petani

Petani adalah orang yang bergerak di bidang pertanian dengan cara melakukan pengolahan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman. Tujuan bertani adalah memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk


(31)

digunakan sendiri ataupun dijual kepada orang lain. Menurut Mubyarto, petani merupakan komponen terpenting dalam membicarakan politik pertanian. Dua komponen terpenting adalah petani dan pemerintahan. Di satu pihak ada petani penggarap dan pengelola tanah, di lain pihak ada pemerintahan yang mengatur dan mengusahakan suasana dan iklim segar agar pertanian dapat berkembang dan terus-menerus mengalami kemajuan.25 Sedangkan menurut Thomas Stamford Raffles dalam karyanya History of Java, politik pertanian adalah prinsip untuk mendorong rakyat di Jawa dalam mengolah dan memperbaiki tanah, dengan merangsang minat mereka pada hasil yang dapat diperoleh dari pekerjaan itu, hanya dapat diharapkan bila ada perubahan mendasar dari keseluruhan sistem pemilikan dan penguasaan tanah. 26

Menurut Mubyarto dalam karyanya yang berjudul Pengantar Ekonomi Pertanian, pertanian dalam arti luas meliputi pertanian rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit, perkebunan (termasuk di dalamnya perkebunan rakyat dan perkebunan besar), kehutanan, dan perikanan. Fokus perhatian berhubungan dengan seluruh kegiatan ekonomis yang berorientasi pada perkebunan dalam sejarah ekonomi Indonesia.27

Menurut Gilarso, ilmu ekonomi mempelajari persoalan-persoalan yang berhubungan dengan usaha manusia untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidupnya.28 Gilarso menyebutkan dalam usaha untuk mencari nafkah

25 Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan,

1983, hlm. 17. 26

Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, London, John Murray, 1877, edisi kedua, 1830, hlm.170.

27

Mubyarto,op.cit., hlm.16. 28


(32)

dan memenuhi kebutuhan sangat luas meliputi konsumsi dan produksi, perdagangan, uang dan pasar, ekspor, impor, pajak, investasi.29

Terdapat perbedaan status sosial antara penguasa dan kaum tani pada masa kolonial. Di sisi lain, kekuasaan politik dan ekonomi dipegang oleh penguasa kolonial. Kebijakan-kebijakan produk kolonial seperti sistem tanam paksa dan land rent,30 semakin menempatkan posisi petani pada lapisan terbawah yang tidak memiliki akses apapun untuk memperbaiki nasibnya.31

Keadaan yang semakin buruk, ternyata belum cukup untuk membuat petani melawan dan memberontak. Sifat yang terbiasa hidup dalam kesusahan membuat mereka tertempa untuk dapat mempergunakan berbagai cara untuk mempertahankan tingkat subsistensi mereka.32 Eksploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas terus meningkat, pada akhirnya menyebabkan kemerosotan ekonomi bagi kehidupan petani di Indonesia.

Nasib petani yang memprihatinkan tersebut merupakan produk dari sistem sosial dan politik yang telah hidup dalam masyarakat. Sisa-sisa konsep pandangan feodalisme masih terasa pengaruhnya dalam kehidupan masyarakatnya. Petani meskipun sebagai motor kehidupan dari suatu masyarakat agraris, namun peranan mereka dalam sejarah belum banyak diketahui orang. Hal ini didasarkan oleh

29

Ibid, hlm. 18

30 Sistem sewa tanah dan wajib pajak yang harus diberikan kepada pemerintah kolonial. 31

Desi Rahmawati, Gerakan Petani dalam Konteks Masyarakat Sipil, 2003, hlm.332. Dalam jurnal Ilmu sosial dan politik volume 6, Nomor 3 bulan Maret 2003.

32

Mochamad Fadjrin, Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan dan Kelangsungannya, Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2011, hlm10.


(33)

pemikiran yang bersifat konvensional dimana petani dilihat sebagai sumber energi yang tidak memiliki hak untuk berperan dalam sejarah.33

2. Kehutanan

Hutan sebagai salah satu komunitas biologi memberikan kontribusi besar bagi kehidupan. Selain sebagai tempat tinggal berbagai flora dan fauna, hutan juga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sebagai sebuah ekosistem, hutan terbentuk oleh beberapa komponen yang tidak dapat terpisahkan satu dan lainnya. Hutan oleh beberapa ahli didefinisikan sebagai berikut:

Menurut Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999, hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.34

Sedangkan menurut Arifin Arief, hutan merupakan kumpulan tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di pemukiman tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis.35

Helms berpendapat jika hutan adalah sebuah ekosistem yang bercirikan oleh penutupan pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, sering kali terdiri dari tegakan-tegakan yang beraneka ragam sifat, seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, dan proses-proses yang berhubungan. Hutan mencakup pula bentuk

33

A. Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalisme,Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005, hlm. 144.

34 Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167.


(34)

khusus, seperti hutan industri, hutan milik non industri, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung, dan hutan kota.36

Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan berupa hasil alam. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat kawasan hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, lateks, maupun obat-obatan. Keberadaan hutan yang selama ini menjadi paru-paru dunia diharapkan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Sebagai sebuah ekosistem, hutan berperan sebagai penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup binatang dan tanaman, juga sebagai pencegah pemanasan global. Bahkan hutan merupakan sumber daya alam yang diharapkan sebagai leading sector37 bagi pembangunan. Hutan yang diharapkan dapat membantu perekonomian sebuah negara mempunyai fungsi yaitu:

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 pasal 638 menyebutkan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi yakni fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Pertama, Fungsi Konservasi yakni hutan dicadangkan untuk keperluan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Sebagai fungsi konservatif, hutan dibagi menjadi dua golongan yakni kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kedua pengertian fungsi hutan ini sama-sama memiliki fungsi pengawetan keanekaragaman satwa, tumbuhan dan ekosistemnya.

Kedua, Fungsi Lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan yang mengatur tata air,

36 www.academia.edu/8201808/HUTAN.

37 Sektor potensial yang dapat berperan sebagai penggerak bagi sektor lainnya.

38


(35)

pencegah banjir, pengendalian erosi, pencegah intrusi air laut39, dan pemelihara kesuburan tanah.40 Hutan lindung mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

Ketiga, Fungsi Produksi yaitu hutan dimaksudkan untuk produksi kayu dan hasil hutan lainnya untuk mendukung perekonomian negara dan masyarakat. Hasil utama dari hutan produksi adalah berupa kayu sedangkan hasil hutan lainnya disebut hasil hutan nirkayu yang meliputi rotan, bambu, rumput, tumbuhan obat, biji, kulit kayu, daun, lateks, resin, dan zat ekstrasif lainnya. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Manfaat langsung yang dapat diperoleh adalah kayu serta hasil hutan lainnya. Sedangkan manfaat tidak langsung adalah hutan sebagai pengaturan tata air, rekreasi pendidikan, sumber udara yang bersih, mencegah banjir dan lainnya.

Rimbawan41 berusaha menggolongkan hutan sesuai dengan ketampakan khas masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan manusia mengenali hutan secara tepat. Berdasarkan proses terjadinya, hutan dibedakan menjadi dua yakni hutan asli (primer) dan hutan buatan (sekunder) . Hutan asli adalah hutan yang terjadi secara alami dan belum terkena campur tangan manusia. Hutan rimba

39

Intrusi air laut adalah menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya. Hal ini bisa disebabkan oleh pemompaan yang berlebihan, kekuatan air tanah ke laut, serta fluktuasi air tanah di daerah pantai.

40

Arifin Arif, Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm.14.

41 Rimbawan merupakan seseorang yang mempunyai profesi pengelolaan hutan atau orang yang

sering memainkan peran dalam pengelolaan hutan ke arah kelestarian.rimbawan juga dapat dikatakan sebagai pengawas kekayaan negara yang berupa sumber daya alam.


(36)

adalah jenis hutan asli. Sedangkan hutan buatan adalah hutan yang pernah ditebang dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Hutan ini dapat tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau karena kerusakan yang cukup luas.42Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder terlihat lebih pendek dan kecil.

Sedangkan berdasarkan status kepemilikannya, hutan dibagi menjadi hutan negara dan hutan rakyat. Hutan negara merujuk pada hutan yang statusnya dimiliki oleh negara. Hutan ini berada di atas tanah negara yang tidak dibebani hak atas tanah. Segala bentuk penguasaan dan pengelolaan harus seijin negara.43 Sedangkan hutan rakyat adalah hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat. Kebanyakan berada di atas tanah milik rakyat. Hutan rakyat kini telah banyak yang dikelola dengan orientasi komersil yaitu untuk pemenuhan kebutuhan pasar komoditas.44 Dulunya sekitar tahun 1980an, kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten yaitu untuk memenuhi kebutuhan petani sendiri.

Dalam sejarah Indonesia, hutan telah banyak mengalami perubahan terutama dalam hal kepemilikan. Hutan yang awalnya merupakan hutan rakyat, lambat laun beralih fungsi menjadi hutan milik negara. Selama ini model penguasaan hutan yang dilakukan oleh negara telah membawa pengaruh dalam pola kebijakan pengelolaannya. Ini berarti bahwa keberadaan sumber daya alam tersebut diharapkan mampu menunjang arah dan tujuan yang ditetapkan dalam setiap perencanaan pembangunan di Indonesia.

Jika menengok sekilas tentang sejarah penguasaan sumber daya hutan di Jawa, maka pengelolaan hutan di Jawa merupakan pengelolaan hutan tertua di

42Indrayanto., op.cit,hlm.56.

43 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. 44 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hutan


(37)

Indonesia. Dimulai ketika VOC 45 berlabuh di Indonesia pada 1602, hutan di Jawa mulai dimanfaatkan untuk tujuan perdagangan. Pohon jati pada abad ke-15 sangat melimpah dan VOC melihat hal ini sebagai sumber penghasilan yang potensial bagi mereka.46 Terlihat mulai adanya motivasi ekonomi dari pihak kolonial Belanda.

Pada tahun 1808 didirikan Boschwezen (jawatan kehutanan) yang merupakan cikal bakal lahirnya Perum Perhutani milik pemerintah Indonesia saat ini. Jawatan kehutanan banyak didirikan di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam perkembangannya, jawatan kehutanan dirubah statusnya menjadi Perusahaan Negara Perhutani mulai tahun 1963.47 Namun sejak 1972 dirubah lagi menjadi Perum Perhutani dan wilayah kelolanya diperluas hingga Jawa Barat.

Sistem yang digunakan oleh Perum Perhutani pada saat itu hingga menjelang Orde Baru berakhir, adalah kebijakan yang menguntungkan Perum Perhutani sendiri. Perum Pehutani mencoba menginisiasikan program Prosperity Approach.48 Program ini kemudian disempurnakan menjadi PMDH (Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan). Kebijakan pengelolaan hutan yang demikian membawa implikasi bagi masyarakat desa kawasan hutan. Masyarakat hutan hanya menjadi penonton saja atas segala kekayaan hutan yang ada di sekitarnya.

45

Verenigdee Oost Indische Compagnie yang merupakan persekutuan dagang asal Belanda yang memonopoli perdagangan di Asia.

46 Sulistyaningsih, Perlawanan Petani Hutan: Studi Atas Resistensi Berbasis Pengetahuan Lokal,

Yogyakarta: Kreasi Wacana,2013,hlm.3.

47

Sulistianingsih., op.cit.hlm.4.

48 Program kesejahteraan masyarakat dengan kegiatan subsidi saprotan dan saran air bersih,

program Mantri-Lurah. Program ini dimulai oleh Perum Perhutani pada 1972 dengan perubahan pengelolaan dari pendekatan keamanan ke pendekatan kesejahteraan.


(38)

Model penguasaan sumber daya hutan sebelum reformasi adalah model penguasaan yang sangat sentralistik dan konvensional. Semua rencana yang menyangkut tentang kebijakan kehutanan dibuat oleh Perum Perhutani Pusat di Jakarta.49 Kebijakan ini diambil tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal. Pada model konservatif, biasanya pesanggem50 hanya menggarap lahan selama 2-3 tahun dan sesudahnya mereka harus meninggalkan lahan garapannya. Kondisi ini dirasa tidak adil dengan jerih payah yang telah dilakukan mereka baik tenaga, waktu, dan uang.

Menurut Bachtiar51, model pengelolaan hutan yang konvensional dan sentralistik menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, perlakuan Perum Perhutani, baik secara individual maupun institusional, kepada masyarakat banyak menimbulkan konflik antara masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani. Perlawanan dan pembangkangan dilancarkan oleh masyarakat dengan berbagai cara baik secara sembunyi-sembunyi maupun terbuka. Kedua, maraknya penebangan liar dan penebangan resmi yang dilakukan di hutan Jawa menimbulkan deforestasi yang memprihatinkan. Ketiga, dari sisi kenegaraan hayati, berbagai jenis binatang liar dan tumbuhan yang pernah menjadi ciri khas Pulau Jawa mulai sulit ditemukan, bahkan beberapa telah punah seperti harimau.

3. Kolonialisme

Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya dan seringkali untuk mencari

49 Sulistianingsih., op.cit.hlm 11. 50

Petani yang menggarap sebagian lahan di kawasan hutan selepas tebang dengan ditanami padi atau aneka palawija.

51 Irfan Bachtiar, Hutan Jawa Menjemput Ajal, makalah dalam semiloka Temu inisiatif DPRD


(39)

dominasi ekonomi dan sumber daya.52 Kolonialisme juga dapat dikatakan sebagai sebuah sistem yang digunakan negara dalam rangka menjalankan politik pendudukan atau jajahan terhadap negara lain.

Berbicara mengenai masa kolonialisme Belanda, masalah yang seringkali menjadi pembahasan pokok dalam setiap kajian sejarah adalah masalah ekonomi. Khusus di Jawa, kolonialisme ekonomi Belanda lebih menekankan pada sektor pertanian. Pemerintah kolonial membidik tanah Jawa sebagai lahan yang subur bagi usaha-usahanya dalam memperoleh keuntungan ekonomi. Seperti diketahui, pemerintah kolonial Belanda melihat tanah jajahan di Jawa memiliki potensi ekonomi yang luar biasa menguntungkan, dalam artian Jawa memiliki sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan.

Seperti telah diketahui, sejak kongsi dagang Belanda yaitu VOC, menancapkan kekuasaannya di Nusantara tahun 1602, arah dan tujuan Belanda telah nampak jelas yaitu mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Bahkan ketika kongsi ini harus dibubarkan pada tahun 1798 dan diambil alih oleh pemerintah Belanda sendiri, tujuan penjajahan tetap berlanjut.53

Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan ekonomi telah menjadi suatu pola utama bagi setiap periode penjajahan di berbagai belahan dunia. Penjajahan berbasis ekonomi akan memberikan dampak tersendiri bagi wilayah yang dijajahnya. Dari segi positif mungkin dampak penjajahan akan menghasilkan suatu penemuan baru. Di Indonesia terlihat jika dampak kolonialisme lebih kepada dampak negatif. Jika dilihat dari konteks historisnya, kecenderungan

52

http://irman.edi.blogspot/com/kolonialisme.

53 Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid V, Jakarta, PN.Balai Pustaka.


(40)

keuntungan sepihak tetap dimiliki oleh pihak penjajah, sedangkan yang menjadi korban adalah masyarakat pribumi.54

Bagi Indonesia sendiri, masa kolonialisme dapat dikatakan sebagai masa tersulit. Kondisi sosial dan ekonomi pada masa 1800-an mengalami ketidakstabilan yang cukup hebat akibat adanya sistem kolonial yang cenderung memaksa55. Kondisi masyarakat Jawa tidak semakin baik tetapi semakin miskin dan mengalami pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah demi mencapai keuntungan ekonomi tersebut. Masyarakat Jawa hanya sekedar dimanfaatkan sebagai sumber penyedia tenaga kerja murah serta memiliki tanah sangat potensial. 56

4. Gerakan Petani

Gerakan petani merupakan suatu bentuk perlawanan yang sengaja dilakukan oleh sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya perubahan dalam pola interaksi atau keadilan untuk petani di dalam masyarakat.57 Gerakan tersebut memiliki ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu, (1) gerakan sosial merupakan satu bentuk perilaku kolektif, (2) senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau mempertahankan sebuah kondisi, (3) tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan, (4) merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, (5) lahir dari kondisi masyarakat

54 Ibidem.

55

Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, op.cit, hlm.5.

56 Ibid.

57 Sadikin, 2005, Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial.Yayasan Akatiga,


(41)

yang berkonflik, (6) aktivitas dan gerakannya terus menurus.58 Kemunculan gerakan ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan kenyataan hidup sehari-hari. Kelompok masyarakat menginginkan tatanan hidup yang baru dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir.

Sepanjang abad 19 sampai awal abad 20, dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, sejarah Indonesia ditandai dengan meledaknya gejolak atau protes sosial di kalangan pribumi. Kesemuanya ini dapat dimaklumi sebagai akibat konflik yang terjadi antara rakyat dan pemerintah kolonial.59 Gerakan sosial yang terjadi juga dilakukan oleh para petani untuk menentang pemerintah kolonial. Sartono dalam bukunya Ratu Adil menjelaskan bahwa ada beberapa gerakan petani. Macam-macam gerakan tersebut adalah:

a. Gerakan Millenarianisme

Gerakan millenarianisme merupakan gerakan yang didasarkan pada keyakinan (ramalan) akan datangnya suatu abad keemasan. Ketidakadilan akan diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan. Gerakan millenarianisme tentang kebahagiaan dan perdamaian dipercaya akan ditandai dengan bencana alam, dekadensi moral, dan kemelaratan di kalangan masyarakat. Gerakan millenarianisme merupakan gerakan petani yang mengharapkan kehidupan lebih baik pada masa akan datang. Mereka yakin gerakannya akan berhasil, perdamaian dan kebahagiaan sempurna akan tercipta. Gerakan millenaristis kaum tani ini tidak dapat dipisahkan dari pikiran keagamaan tradisional yang masih memainkan

58 Kasmanto Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi,Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, hlm.47.


(42)

peranan penting dalam politik pedesaan.60 Gerakan-gerakan millenaristis tradisional tumbuh subur bersama dengan gerakan sekuler modern dan gerakan-gerakan keagamaan.

Gerakan-gerakan itu pada dasarnya dapat dianggap sebagai dinamika intern masyarakat lokal atau regional dan merupakan sejarah mikro yang sering menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial.61 Masyarakat lokal mengalami berbagai macam tekanan dari luar. Pandangan millenarian telah menimbulkan dorongan di dalam gerakan rakyat untuk memberontak dan kadang-kadang orang mencari perlindungan fisik dari kejadian-kejadian yang merupakan bencana besar.62

Ideologi milleniarian mengandung unsur-unsur keakhiratan yang merupakan faktor yang mempercepat gerakan perlawanan. Peralihan dari situasi yang ada dibayangkan berlangsung secara radikal dan revolusioner.63 Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat selamat dari bencana alam dianjurkan supaya mematuhi petunjuk pemimpin dalam melakukan kegiatan perlawanan. Dari sini kemudian muncul seorang pemimpin yang dianggap sebagai Mesias atau sering disebut sebagai Ratu Adil.

b. Gerakan Mesianisme

Gerakan mesianisme merupakan gerakan rakyat yang timbul atas kepercayaan bahwa seseorang tokoh yang akan datang untuk membebaskan orang dari segala penderitaan. Studi tentang gerakan-gerakan keagamaan selama zaman

60

Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta, Sinar Harapan, hlm. 84.

61 Ibid. hlm.12.

62

Ibid. hlm.15. 63 Ibid.,hlm.16.


(43)

kolonial dapat memanfaatkan sumber-sumber materi yang cukup dan diperoleh dari para pejabat kolonial yang diserahi tugas untuk mengurus pergolakan-pergolakan yang ada. Gerakan-gerakan bercorak Ratu Adil merupakan ancaman potensial bagi rezim kolonial. Gerakan Ratu Adil di Jawa, walaupun kelihatannya semata-mata bersifat keagamaan dan tidak berbau politik, pada praktiknya dipandang sebagai provokasi berbahaya terhadap pemerintah yang ada.64

Ratu Adil secara sederhana diartikan sebagai pemimpin yang menjadi pemegang kekuasaan serta melaksanakan kekuasaannya secara adil. Ratu Adil merupakan manusia terpilih yang memiliki hubungan khusus dengan Tuhan, sehingga sosoknya dianggap memiliki sifat bijaksana, taat ibadah, dan mampu membawa rakyat keluar dari penderitaan.

Gerakan Ratu Adil sebagai gerakan sosial menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku. Gerakan ini ditandai oleh kejengkelan moral untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak istimewa. Radikalisme menjadi suatu bagian dari Gerakan Ratu Adil yang bersifat revolusioner. Keanggotaan gerakan sosial seperti itu terbatas pada strata sosial rendah, kaum tertindas, dan orang-orang kurang mampu.65

Kebudayaan tradisional Jawa diliputi oleh suatu keyakinan yang kuat akan hal-hal gaib. Kehidupan manusia berwujud di dalam suatu yang saling berkaitan dengan waktu dan ruang kudus.66 Kaum petani dengan sangat mudah dipengaruhi oleh kepercayaan akan kekuatan gaib dan ramalan-ramalan tentang Ratu Adil. Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapapt selamat dari bencana alam

64 Sartono Kartodirdjo, Ratu,...op.cit.,hlm. 11. 65 Ibid.,hlm. 38.

66


(44)

dianjurkan supaya mematuhu petunjuk pemimpin gerakan dalam melakukan pemberontakan. Ketidakberdayaan politik membuatnya tertarik akan unsur-unsur kekuatan gaib.

c. Gerakan Nativisme

Gerakan nativisme merupakan gerakan petani yang menginginkan bangkitnya kejayaan hidup yang sesuai dengan alam lingkungannya dimasa lampau dengan dipimpin oleh raja yang adil dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Gerakan ini menginginkan tampilnya pribumi sebagai penguasa adil seperti yang terjadi sebelum masa penjajahan. Para nativis mengharapkan secara khusus dengan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana orang kulit putih akan terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka akan digulingkan.67

Gerakan-gerakan sosial kepribumian kerap kali menyatakan keinginan untuk menghidupkan kembali keadaan prajajahan dengan memproklamasikan kembalinya sebuah kerajaan kuno. Kepribumian menambahkan suatu unsur politik yang kuat terhadap pernyataan kepercayaan Ratu Adil dengan menghubungkan kemerosotan martabat, khususnya dengan kekuasaan asing dan pembantu-pembantunya serta kepada korupsi nilai-nilai dan patokan tradisional yang diakibatkannya.68

Terdapat karakteristik umum dari perbedaan-perbedaan gerakan protes yang terjadi di Jawa abad ke-19. Ekspresi perlawanan para petani pedesaan itu terhadap otoritas kolonial memiliki akar kuat dalam masyarakat tradisional. Kehadiran kolonial Belanda dianggap merusak tatanan nilai yang telah ada dalam

67 Ibid.

68


(45)

masyarakat tradisional mereka. Kehadiran kuasa kolonialisme di pedesaan Jawa telah membawa perubahan sosial yang tak tertahankan, serta meningkatkan potensi konflik.69

Penolakan radikal secara ideologis terjadi atas segala perubahan yang dibawa modernitas kolonial lewat perambahan lahan-lahan yang menjadi sumber kehidupan petani. Baik dilakukan secara sistematik atau paksaan, perubahan-perubahan itu telah menaikkan posisi ide-ide keagamaan, magis, dan ritual-ritual gaib dalam masyarakat petani pedesaan yang akhirnya bermuara pada gerakan-gerakan protes.70 Semuanya itu bagi masyarakat pedesaan Jawa merupakan suatu perlawanan terhadap pengaruh asing.

Perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Bentuk perlawanan yang dilakukan tidak sampai pada tahap pembangkangan secara terbuka dengan melakukan pemberontakan secara fisik dan dilakukan secara kolektif. Bentuk perlawanan ini antara lain dengan mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat di belakang, membakar, dan melakukan sabotase. Bentuk perlawanan ini sedikit sekali yang membutuhkan koordinasi atau perencanaan, dan secara cerdas menghindari setiap konfrontasi simbolis langsung dengan pihak-pihak penguasa.71

Karena nasibnya hampir selalu kalah, maka pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Pertarungan yang sabar dan diam-diam, dilakukan dengan tekad kuat oleh masyarakat desa

69 Sartono Kartodirdjo,Protest Movements in Rural Java: A Study Of Agrarian Unrests in The Nineteenth and Twentieth Centuries, Oxford University Press, 1973 ,hlm.186.

70 Ibid., hlm.187.

71

James C Scott, Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah, Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum


(46)

selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil. Para petani pedesaan biasanya melakukan perlawanan pada malam hari dan dilakukan secara diam-diam. Perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk mengubah dominasi secara langsung,72 namun yang menjadi titik pijakan dari perlawanan ialah bagaimana untuk tetap bisa bertahan hidup.

Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarakat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian. Pada masa kolonial dikenalkan tanah partikelir73 sebagai hasil penjualan oleh Belanda.74 Di tanah-tanah milik swasta itu, pemilik memperoleh hak untuk menarik pajak dari para petani. Hal tersebut tentu memberatkan para petani hingga akhirnya menimbulkan gejolak. Perlawanan yang munculpun banyak dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal, baik ulama ataupun bangsawan lokal.

G. Metodologi Penelitian

Sebagai sebuah studi sejarah, penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dalam konteks penulisan ini adalah proses menganalisa secara rekaman dan peninggalan masa lalu. Tulisan ini merupakan sebuah kajian pustaka, sehingga metode yang akan dilakukan dalam penulisan ini adalah

72

Ibid, hlm.2.

73 Tanah partikelir adalah tanah yang dimiliki orang-orang swasta Belanda dan orang pribumi yang

mendapat hadiah tanah karena dianggap telah berjasa kepada pemerintah Belanda. 74


(47)

mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik primer maupun sekunder. Akan tetapi, karena keterbatasan dalam menemukan dan menggunakan sumber primer, maka penulisan ini lebih banyak menggunakan sumber sekunder dan tersier.

Secara metodologis, penelitian ini mendasarkan diri pada tahapan penelitian sejarah secara umum. Menurut Kuntowijoyo75, penelitian sejarah mempunyai lima tahapan, yakni: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verivikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi berupa analisis dan sintesis, dan yang terakhir adalah penulisan atau historiografi.

1. Pemilihan Topik

Pemilihan topik merupakan langkah pertama dalam penulisan sejarah. Sebagaimana dengan hal tersebut, topik penelitian ini adalah “Gerakan Samin Melawan Kolonialisme Belanda: Perlawanan Petani Kawasan Hutan di Blora Abad XIX-XX”. Perkembangan sektor pertanian tradisional sangat menarik untuk dibahas. Sektor ini mengalami perubahan seiring dengan kedatangan bangsa Barat yang memanfaatkan hasil-hasil pertanian untuk memenuhi permintaan pasar Eropa.

Topik yang dipilih memiliki nilai perjuangan tentang dinamika masyarakat kecil yang tetap mempertahankan resistensi mereka di bawah tekanan para penguasa. Perjuangan mereka pada akhirnya mampu menciptakan sebuah masyarakat yang dapat hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.


(48)

2. Heuristik atau Pengumpulan Sumber

Setelah topik ditentukan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan sumber-sumber sejarah (heuristik). Karena penelitian ini merupakan penelitian pustaka, maka data-data diperoleh dari laporan-laporan penelitian tentang gerakan Samin dan tentang politik kehutanan kolonial. Laporan-laporan tersebut terdapat dalam buku, jurnal-jurnal, maupun artikel di internet. Karena keterbatasan sumber di perpustakaan Sanata Dharma, maka penulis juga mencari sumber-sumber terkait di perpustakaan lain.

3. Verifikasi atau Kritik Sumber.

Verifikasi atau kritik sumber merupakan tahap penelitian setelah pengumpulan data. Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan obyektivitas suatu kejadian.76 Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verivikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber tersebut. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.77

Kritik eksternal adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui keaslian sumber.78 Kritik ini dilaukan dengan cara meneliti bahan yang digunakan, sifat bahan, gaya penulisan, bahasa tulisan, dan jenis huruf yang digunakan, apakah membuktikan sumber yang didapat asli atau tidak. Sedangkan ktirik internal ditujukan terhadap isi dari sumber sejarah. Apakah isi dari sumber yang dipakai

76 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Graha Ilmu,2010, hlm.35. 77 Ibid.,hlm. 103.


(49)

dapat dipercaya atau tidak. Untuk itu yang harus dilakukan adalah dengan membandingkan kesaksian antar berbagai sumber. Sumber yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku-buku yang membahas tentang gerakan Samin dan ajaran yang dihasilkannya. Teknik yang dilakukan peneliti adalah studi teks yang didukung dengan studi pustaka. Sehingga data yang dipergunakan dalam penulisan adalah berupa sumber tertulis. Sumber tertulis yang digunakan adalah tulisan dari para peneliti lain yang juga pernah meneliti tentang gerakan Samin di Blora. Selain sebagai sumber penulisan, teks tersebut juga untuk membandingkan penelitian terkait gerakan Samin yang telah ada sebelumnya, dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Selain itu, penulisan ini juga menggunakan majalah yang pernah memuat tulisan terkait gerakan Samin. Data yang diperoleh dibandingkan dengan data lain yang berkaitan dengan topik dalam penelitian ini.

4. Interpretasi

Interpretasi data juga sering disebut penafsiran data. Interpretasi data harus berdasarkan argumen yang memiliki landasan yang relevan. Terdapat dua macam interpretasi yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan). Fakta-fakta yang diperoleh melalui sumber kemudian diinterpretasikan menjadi rangkaian peristiwa yang dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian interpretasi data menjadi kuat karena berdasarkan data yang relevan.

Pendekatan sosial-ekonomi dipakai dalam memahami Gerakan Samin dan pengikutnya serta dampaknya bagi masyarakat sekitar. Pendekatan sosial-ekonomi dipilih karena tujuan pokok dari kolonialisme Belanda adalah eksploitasi


(50)

ekonomi negara jajahan. Dari permasalahan ekonomi tersebut kemudian ditarik ke dalam permasalahan sosial masyarakat.

5. Historiografi atau Penulisan Sejarah

Tahap terakhir yang dilakukan adalah penulisan. Penulisan ini berdasarkan data-data yang diperoleh dari sumber-sumber yang digunakan. Dalam penulisan, penulis harus memperhatikan penyusunan cerita yang berurutan, penyusunan berbagai kejadian sesuai urutan waktu, hal yang berhubungan dengan sebab akibat dari suatu peristiwa, daya pikir untuk menciptakan sesuatu yang ada di pikirannya berdasarkan pengalaman

H. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Berupa pendahuluan memuat latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II Membahas latar belakang Gerakan Samin dan pengikutnya dalam melawan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19. Praktek kolonialisme Belanda di Blora merupakan faktor munculnya gerakan ini.

Bab III Membahas dinamika Gerakan Samin dan pengikutnya sebagai bentuk perlawanan masyarakat yang terkena dampak dari intervensi Belanda di wilayah Blora.


(51)

Bab IV Berisi dampak yang muncul dari gerakan Samin dan pengikutnya melawan pemerintah kolonial Belanda.

Bab V Menyajikan kesimpulan yang berisi pernyataan penulis mengenai hasil penelitian sekaligus jawaban atas permasalahan yang ada pada pendahuluan.


(52)

35 BAB II

LATAR BELAKANG GERAKAN SAMIN

A. Penguasaan Hutan oleh Belanda di Jawa

Eksploitasi hutan di Jawa dimulai pada masa VOC abad ke-17 yakni ketika VOC membidik pulau Jawa sebagai sumber penghasilan yang potensial. Pada tahun 17431, ketika kerajaan Mataram mulai melepaskan daerahnya di wilayah pantai utara dan timur Jawa (Rembang, Pekalongan, Weleri, dan Jepara), hutan diambil alih oleh pihak penguasa. VOC mendapat hak-hak hutan dari raja Jawa termasuk hasil hutan berupa getah,damar, dan rotan. VOC dan kerajaan Mataram juga melakukan sejumlah perjanjian, salah satunya adalah perjanjian antara Jacobus Courper dan susuhan Amangkurat I yang akan mengijinkan VOC untuk membuat pusat pembuatan kapal di Rembang. Dalam perjanjian tersebut juga diterangkan bahwa VOC memperoleh sejumlah hak atas tenaga kerja guna menebang kayu. Perjanjian biasanya disertai dengan pengiriman hadiah-hadiah untuk penguasa kerajaan berupa barang-barang dari Eropa misalnya kain renda, bahan sandang, air mawar, dan barang mewah lainnya.2 Sebagai kongsi dagang, VOC mengeksploitasi hutan secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkannya.

Menjelang akhir abad ke-18, kekuatan VOC di Jawa mulai menurun. Kondisi keuangan VOC mengalami masalah akibat korupsi yang merajalela dan akhirnya mengalami kebangkrutan. Pada tahun 1816 pemerintah Belanda

1 Hasanu Simon, Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm.54. 2 Nancy Lee Peluso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Di Jawa, KOPHALINDO, 2006, Hlm.53.


(53)

36

mengambil alih kekuasaan VOC di Jawa. Pemrintah Belanda mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya adalah yang dilakukan oleh gubernur Jendral Vand der Capellen. Ia mengeluarkan kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan hasil tanah mereka secara bebas, tetapi tetap dengan kewajiban untuk membayar sewa tanah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Eropa dalam usaha proses produksi komoditi ekspor. Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk memperlancar setoran sewa dari petani. Namun kebijakan ini tidak dapat bertahan lama karena pengeluaran keuangan pemerintah Belanda dengan skala besar untuk biaya Perang Jawa tahun 1825-1830 serta merosotnya harga komoditi ekspor di pasaran Eropa.

Keinginan pemerintah Belanda untuk menguasai pulau Jawa tetap menjadi tujuan mereka. Mereka melihat bahwa pulau Jawa memiliki potensi sumber daya alam dan manusia yang dapat dimanfaatkan. Salah satu daerah yang dilirik oleh pemerintah Belanda adalah kabupaten Blora yang kaya akan hasil hutan berupa kayu jati. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan kayu jati di daerah jajahannya untuk pembuatan kapal serta arsitektur. Mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kayu jati yang berlimpah, termasuk diantaranya dengan penebangan hutan milik rakyat, maupun perampasan secara paksa. Terkait potensi kayu jati di Jawa serta pengurangan luasan hutan akibat eksploitasi VOC, Dirk van Hogendrop (pegawai VOC) abad ke-18 yang dikutip Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan bahwa:

“...hutan di Jawa memiliki kayu jati yang cukup banyak untuk bahan kapal-kapal yang bagus yang dalam waktu singkat, seperti kapal-kapal dagang yang sangat mereka butuhkan ... Mereka ini memperoleh kayu jati tanpa harus susah payah...Hal itu mudah dibayangkan bagaimana


(54)

37

ketamakan dari para lintah darat dalam memanfaatkan hutan dan berusaha mengambil semuanya apa yang ada di hutan. Meskipun demikian, hutan di Jawa itu tidak akan habis-habisnya jika hutan dipelihara dan dirawat

dengan baik...”3

Sebelum VOC datang di Jawa, penguasaan hutan masih berada di bawah raja-raja Jawa, dan penebangan kayu dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan keraton. Pada waktu itu kayu jati belum diusahakan untuk diperdagangkan atau dikembangkan untuk industri perkapalan dalam skala besar. Di Jawa sebelum kedatangan VOC, banyak pemukiman penduduk di dalam dan sekitar hutan jauh dari kendali sehari-hari yang efektif oleh istana raja.4 Hal ini terutama berlaku bagi pemukiman di luar pusat wilayah istana yang tidak terhubung dengan tanah hak milik kerajaan atau kawasan keagamaan.5

Klaim raja Jawa atas kepemilikan tanah tidaklah sama dengan konsepsi Eropa tentang hak milik pada masa itu. Meskipun dalam teorinya semua tanah termasuk hutan merupakan milik raja, namun dalam kenyataanya penduduk bebas mengambil dan memanfaatkan hutan. 6 Terlebih lagi, pada waktu itu belum ada pegawai kerajaan yang khusus mengawasi hutan.

Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi serius, sehingga mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu dari hutan. Karena itu, ketika pemerintah kolonial Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur

3

Nancy Lee Peluso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat:Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di

Jawa, KOPHALINDO, 2006,hlm. 63. 4 Ibid,hlm. 4.

5

Wilayah-wilayah pusat di dalam ranah kekuasaan Mataram di Jawa disebut Negaragung. Wilayah-wilayah luarnya disebut Pasisiran , wilayah luar negara disebut Mancanegara

6 Warto, Blandong: Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang Abad ke-19, Pustaka


(55)

38

Jendral di Hindia Belanda, tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan adalah merehabilitasi kawasan hutan.7

Agar Daendels dapat melaksanakan amanat itu dengan baik, maka sebelum berangkat ke Jawa, dia ditugaskan untuk belajar ke Jerman guna mencari tahu bagaimana membangun hutan tanaman yang baik. Pada abad ke-17, Jerman sudah dikenal di seluruh Eropa sebagai negara yang paling berhasil membangun hutan tanaman monokultur yang dikenal sebagai timber management.8

Sepulang belajar dari Jerman, Daendels menuju Jawa dan memulai babak baru dalam pengelolaan hutan Jawa meniru model pengelolaan hutan monokultur di Jerman.9 Pada tanggal 28 Mei 1808, Daendels mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa yang memuat prinsip sebagai berikut:

1. Pemangkuan hutan sebagai domein Negara dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan Negara.

2. Penarikan pemangkuan hutan dari kekuasaan Residen dan dari juridiksi wewenang Mahkamah Peradilan yang ada yakni Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan).

3. Penyerahan pemangkuan hutan kepada dinas khusus di bawah Gubernur Jenderal, yang dilengkapi dengan wewenang administratif dan keuangan serta wewenang menghukum pidana.

4. Areal hutan pemerintah tidak boleh dilanggar, dan perusahaan dengan eksploitasi secara persil dijamin keberadaannya, dengan kewajiban melakukan reforestasi dan pembudidayaan lapangan tebangan.

5. Semua kegiatan teknis dilakukan rakyat desa, dan mereka yang bekerja diberikan upah kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

6. Kayu-kayu yang ditebang pertama-tama harus digunakan untuk memenuhi keperluan Negara, dan kemudian baru untuk memenuhi kepentingan perusahaan swasta.

7

Ibid., hlm.38.

8 Suatu proses pengelolaan lahan hutan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga secara

berkesinambungan dapat terus menerus memberikan produksi dan jasa serta bisa menimbukan efek lingkungan dan sosial yang tidak diinginkan. Pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dimana pengelolaan hutan lestari bertujuan untuk kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

9 Hasanu Simon, Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta, Pustaka


(56)

39

7. Rakyart desa diberikan ijin penebangan kayu menurut peraturan yang berlaku. 10

Dasar-dasar pengelolaan kehutanan ilmiah yang diletakkan Daendels di hutan Jawa bertumpu pada tiga hal yaitu penguasaan tanah, spesies, dan tenaga kerja.11 Pertama, terkait dengan penguasaan tanah, pernyataan bahwa semua hutan adalah ranah negara sebagaimana prinsip pertama di atas memiliki konsekuensi pada penghapusan seluruh eksploitasi hutan oleh swasta, dan negara tentu saja akan memonopoli perdagangan serta pengangkutan kayu. Hal ini berarti bahwa seluruh penyewaan desa dan hutan yang kayu jatinya akan ditebang untuk pengusaha swasta dibatalkan.

Kedua, terkait dengan spesies, kelestarian produksi kayu jati harus diusahakan jika Belanda menginginkan keuntungan berkesinambungan dari hutan jati. Dalam usaha tersebut, ia bahkan meminta Inspektur Jenderal bawahannya untuk bersumpah “tidak akan berkomplot diam-diam dengan pedagang kayu, menghadiahi mereka kayu, atau ia sendiri mencuri kayu”.12

Daendels juga menunjuk seorang pengawas hutan untuk mengawasi pembalakan, penanaman kembali, pengumpulan benih jati, dan pengupasan melingkar kulit batang pohon. Pengawas hutan harus bertanggungjawab terhadap segala kegiatan eksploitasi dan keamanan hutan, serta diperintahkan agar hutan yang telah ditebang segera ditanami bibit jati baru. Dalam setahun, Jawatan Kehutanan harus menanam sedikitnya 100.000 bibit jati.13 Secara umum dalam usaha mengelola spesies utama dalam hutan yakni kayu jati, Daendels

10

I Nyoman Nurjana., op.cit., hlm.67-68.

11

Nancy Lee Peluso,....op.cit, hlm. 93.

12Ibid,hlm.68.


(57)

40

menyerahkan urusan tersebut pada lembaga kehutanan yang dibentuknya yakni Jawatan Kehutanan atau Boschwezen. Sementara itu, Boschganger merupakan bawahan dari Jawatan Kehutanan.

Ketiga, terkait dengan penguasaan tenaga kerja. Sistem kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan kehutanan waktu itu dinamakan Blandongdiensten, dari kata dasar blandong yang berarti penebang pohon. Sebenarnya, jauh sebelum masa pemerintahan Daendels, blandong sudah lama ada. Tugasnya tetaplah sama yakni buruh tebang. Para penebang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak orang dan pajak tanah. Orang blandong menerima upah berupa tanah sawah bebas pajak.14

Daendels berusaha melakukan perbaikan nasib orang blandong dengan menghapus pajak kayu dan penyerahan wajib lainnya yang dituntut dari para bupati. Daendels biasanya mengambil tenaga kerja kehutanan dari desa-desa di dalam hutan. Selain itu, mereka juga mendapatkan gaji sekitar 1,5 kilogram beras setiap harinya dan sedikit garam.15

Upaya Daendels untuk melaksanakan reforestasi dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidak dapat berlanjut dan mencapai hasil optimal. Hal ini dikarenakan keterbatasan tenaga kerja kehutanan, keterbatasan pengetahuan dan teknologi kehutanan yang dikuasai petugas-petugas Jawatan Kehutanan.

14 Warto. op.cit., hlm.68. 15 Ibid., hlm 68.


(1)

Lembar Observasi Kompetensi Ketrampilan (Diskusi)

No. Nama

Mengkomu nikasikan (1-4) Mendengar kan (1-4) Berargum entasi (1-4) Berkontri busi (1-4) Jumlah Skor

1. Angga Pratama 3 4 4 4 15

2. 3. 4.

Keterangan Tabel

a. Berdiskusi : Mengacu pada ketrampilan mengolah fakta dan menalar yakni membandingkan fakta yang telah diolahnya dengan konsep yang ada sehingga dapat ditarik kesimpulan dan atau ditemukannya sebuah prinsip penting. Ketrampilan berdiskusi meliputi ketrampilan mengkomunikasikan, mendengarkan, ketrampilan berargumentasi, dan ketrampilan berkontribusi.

b. Ketrampilan mengkomunikasikan adalah kemampuan siswa untuk mengungkapkan atau menyampaikan ide atau gagasan dengan bahasa lisan yang efektif.

c. Ketrampilan mendengarkan dipahami sebagai kemampuan siswa untuk tidak menyela, memotong, atau menginterupsi pembicaraan seseorang ketika sedang mengungkapkan gagasannya.

d. Kemampuan berargumentasi menunjukkan kemampuan siswa dalam mengemukakan argumentasi logis ketika ada pihak lain yang bertanya atau mempertanyakan gagasannya.

e. Kemampuan berkontribusi dimaksudkan sebagai kemampuan siswa memberikan gagasabn-gagasan yang mendukung atau mengarah ke penarikan kesimpulan termasuk di dalamnya menghargai perbedaan pendapat.


(2)

LAMPIRAN 4 D

PETUNJUK PPENGHITUNGAN SKOR KOMPETENSI KETRAMPILAN (DISKUSI)

1. Rumus Penghitungan Skor Akhir

Skor Akhir = Jumlah Perolehan Skor : 4

2. Kategori Skor Ketrampilan (diskusi) peserta didik didasarkan pada Permendikbud No. 81A tahun 2013 yaitu:

Sangat Baik (SB) : Apabila memperoleh skor akhir 3,33< skor akhir ≤ 4,00 Baik (B) : Apabila memperoleh skor akhir 2,33 < skor akhir ≤ 3,33 Cukup (C) : Apabila memperoleh skor akhir 1,33 < skor akhir ≤ 2,33 Kurang (K) : Apabila memperoleh skor akhir. Skor akhir ≤ 1,33


(3)

LAMPIRAN 4 E

INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KETRAMPILAN (PRESENTASI)

A. Petunjuk Umum

1. Instrumen penilaian kompetensi ketrampilan ini berupa Lembar Observasi. 2. Instrumen ini diisi oleh guru yang mengajar peserta didik yang dinilai. B. Petunjuk Pengisian

Berdasarkan pengamatan Anda selama dua minggu terakhir, nilailah sikap setiap peserta didik Anda dengan memberi skor 4,3, 2, atau 1 pada Lembar Observasi dengan ketentuan sebagai berikut:

4- apabila selalu melakukan perilaku yang diamati. 3-apabila sering melakukan perilaku yang diamati.

2- apabila kadang-kadang melakukan perilaku yang diamati. 1- apabila tidak pernah melakukan perilaku yang diamati.. C. Lembar Observasi

LEMBAR OBSERVASI KOMPETENSI KETRAMPILAN (PRESENTASI)

Kelas :

Semester :

Tahun Pelajaran : Periode Pengamatan :

Butir Nilai : Menulis sejarah tentang gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda di Blora abad XIX-XX.

Indikator Sikap` : Contoh: Melaporkan dan berdiskusi latar belakang gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda di Blora abad XIX-XX.


(4)

No. Nama

Kemampuan Presentasi

(1-4)

Kemampuan Bertanya

(1-4)

Kemampuan

Menjawab(1-4)

Jumlah Skor

1. Angga Pratama 3 4 4 11

2. 3. 4.

Keterangan Tabel

a. presentasi menunjuk pada kemampuan peserta didik untuk menyajikan hasil temuanya mulai dari kegiatan mengamati, menanya, mencoba, dan mengasosiasi sampai pada kesimpulan. Presentasi terdiri dari 3 aspek penilaian yakni ketrampilan menjelaskan/presentasi, memvisualisasikan, dan merespon atau memberi tanggapan.

b. ketrampilan bertanya berkaitan dengan kemampuan peserta didik untuk mengungkapkan pertanyaan seunik mungkin, semenarik mungkin, atau sekreatif mungkin.

c. ketrampilan menjawab adalah kemampuan peserta didik menyampikan tanggapan atas pertanyaan, bertahan, sanggahan dari pihak lain secara empirik.


(5)

LAMPIRAN 4 F

PETUNJUK PPENGHITUNGAN SKOR KOMPETENSI KETRAMPILAN (PRESENTASI)

1. Rumus Penghitungan Skor Akhir

Skor Akhir = Jumlah Perolehan Skor : 3

2. Kategori Skor Ketrampilan (diskusi) peserta didik didasarkan pada Permendikbud No. 81A tahun 2013 yaitu:

Sangat Baik (SB) : Apabila memperoleh skor akhir 3,33 < skor akhir ≤ 4,00 Baik (B) : Apabila memperoleh skor akhir 2,33 < skor akhir ≤ 3,33 Cukup (C) : Apabila memperoleh skor akhir 1,33 < skor akhir ≤ 2,33 Kurang (K) : Apabila memperoleh skor akhir. Skor akhir ≤ 1,33


(6)

LAMPIRAN 4 G

PETUNJUK PPENGHITUNGAN SKOR KOMPETENSI KETRAMPILAN 1. Rumus Penghitungan Skor Akhir

Skor Akhir = (Jumlah Perolehan Skor + Skor Penilaian Diskusi + Skor Penilaian Presentasi) : 3

2. Kategori Skor Kompetensi Ketrampilan peserta didik didasarkan pada Permendikbud No. 81A tahun 2013 yaitu:

Sangat Baik (SB) : Apabila memperoleh skor akhir 3,33 < skor akhir ≤ 4,00 Baik (B) : Apabila memperoleh skor akhir 2,33 < skor akhir ≤ 3,33 Cukup (C) : Apabila memperoleh skor akhir 1,33 < skor akhir ≤ 2,33 Kurang (K) : Apabila memperoleh skor akhir. Skor akhir ≤ 1,33