berjalan lancar. Sementara itu petani harus menerima konsekuensi berupa sanki- sanksi. Karena itu, tidak melaksanakan peraturan berarti melanggar peraturan.
24
D. Bahasa sebagai Simbol Perlawanan
Samin Surosentiko menganjurkan kepada pengikutnya untuk tidak tunduk pada Belanda. Hal tersebut dapat terlihat dari semangat yang dikandung dalam
ajarannya yang terdapat dalam serat Punjer Kawitan yang menekankan pengertian bahwa bumi Jawa adalah warisan Pandawa.
25
Dengan demikian, tidak ada hak bagi Belanda untuk memerintah dan memungut penghasilan dari orang-orang
Jawa.Pada prinsipnya ada empat pokok yang menjadi penolakan terhadap pemerintah Belanda, yaitu: 1 penolakan membayar pajak, 2 penolakan
memperbaiki jalan, 3 penolakan jaga malam, 4 penolakan kerja paksa.
26
Ujaran yang terkenal berkaitan dengan tindakan penolakan terhadap Belanda adalah sebagai berikut:
“Dhek jaman Londo niku njaluk pajek mboten trimo sak legane nggih mboten diwenehi, bebas mboten seneng. Ndandani ratan nggih bebas, nek
gelem wes dibebasake. Kenek jaga ya ono, nyang jaga omahe dewe.
Nyengkah ing negara telung tahun dikenek kerja paksa”. Pada jaman Penjajahan Belanda, kalau dipungut pajak akan diberi
seikhlasnya, kalau tidak mau malah tidak akan dibayar, terserah kalau Belanda tidak suka. Memperbaiki jalan juga tidak usah. Tidak perlu juga
jaga malam, lebih baik jaga rumahnya sendiri. Menolak kerja paksa selama tiga tahun.
27
Dalam ujaran tersebut terlihat jika Samin dan pengikutnya tidak patuh terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Mereka lebih senang
24
Onghokham, Peranan...., op.cit., hlm.43.
25
Bagi orang Jawa, wayang tidak hanya sekedar produk seni. Tetapi lebih jauh dan intens pemahaman dan pemaknaannya. Wayang adalah ikon budaya Jawa yang mengandung ajaran dan
perlambang. Bahkan tidak jarang, wayang dianggap sebagai pusaka dan menjadi sumber rujukan perilaku yang menempati kedudukan tertinggi dalam kehidupan manusia.
26
Andrik Purwasito, Agama dan Tradisional: Potret Kearifan Hiudp Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta, LKIS, 2003, hlm. 51.
27
Ibid., hlm.52.
jika pajak yang harus diberikan kepada pemerintah Belanda diberikan secara ikhlas dan mereka sendiri yang menentukan jumlahnya. Mereka menjunjung
tinggi nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka sebagai keturunan Pandawa. Mereka juga menolak kerja paksa karena hal tersebut hanya menguntungkan bagi
pemerintah Belanda. Mereka lebih suka mengerjakan apa yang memang menjadi pekerjaan mereka, yaitu sebagai petani.
Masyarakat Blora yang bukan pengikut Samin, menganggap jika Samin dan pengikutnya merupakan orang yang jujur dan konsisten memegang teguh
prinsip hidupnya. Pada dasarnya sikap yang diperlihatkan adalah sebagai wujud halus perlawanan terhadap Belanda.
28
Mereka menggunakan metode perlawanan nonfisik seperti itu karena mereka tidak mampu menghadapi Belanda. Maka,
perlawanan dimodifikasi ke dalam bentuk sikap dan penggunaan bahasa yang dibuat sedemikian dalam aktivitas perilaku kehidupan.
Perlawanan Samin dan pengikutnya yang bersifat kultural tersebut, di mana tidak menunjukkan secara terbuka perlawanan fisiknya, tetapi semua
perilaku, sikap, dan ucapan yang terungkap mencerminkan penolakan terhadap Belanda di Jawa. Semangat dan gaya perlawanan yang demikian ini dapat
disejajarkan dengan model perlawanan Ahimsa-nya Mahatma Gandhi.
29
28
Syahrul Kirom, Ajaran Moral Masyarakat Samin Dalam Perspektif Etika, Yogyakarta, Perpustakaan Gadjah Mada, 2011, hlm. 6.
29
Seperti diketahui bahwa Gandhi memimpun gerakan perlwanan terhadap kolonialisme Inggris di India dengan menggunakan pendekatan humanisme-kultural melalui seruannya untuk melakukan
gerakan Swadesi, yaitu gerakan boikot produk Inggris. Ia menganjurkan orang India untuk menggunakan produk sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ahimsa adalah semangat
tidak memancing gerakan represif dan pembersihan dari koloniolis, dan Satyagraha yang merupakan komitmen moral terhadap perjuangan pembebasan kolonialisme berdasarkan cinta
sesama dan cinta tanah air. Ajaran Gandhi tersebut disosialisasikan dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat India serta dilaksanakan dengan penuh disiplin dan konsisten, sehingga
membuat Inggris berlaku akomodatif dan responsif terhadap kepentingan masyarakat India.
Samin dan pengikutnya dalam menggunakan bahasa khususnya bahasa Jawa memiliki gaya sendiri. Gaya bahasa tersebut berkaitan dengan sikap dan
pilihan hidup Samin dan pengikutnya, yaitu sikap dan pilihan hidup dalam menentang pemerintah Belanda. Untuk berbicara dengan pihak Belanda, mereka
menggunakan bahasa Jawa ngoko. Gaya berbahasa tesebut merupakan ekspresi perlawanan tetapi tidak
mengingkari sifat dan sikap jujur. Mereka berpendapat semua harta dan kekayaan adalah milik pribadi sehingga tidak perlu dipajaki dalam konteks setor pajak
kepada pemerintah Belanda. Sehingga, mereka selalu mencari cara agar dapat membayar pajak sekecil mungkin. Dengan demikian, mereka selalu memberi
jawaban dengan keterangan yang mengesankan jika harta milik mereka hanya sedikit. Seperti terlihat dalam contoh berikut:
“ Berapa sapimu?” “ Dua”
30
Padahal kenyataanya sapi mereka banyak. Mereka merasa tidak berbohong sebab yang dimaksud dengan jawaban “dua” adalah ternak mereka terdiri dari dua
jenis, yakni jantan dan betina. Mereka juga tidak mengenal tingkat bahasa Jawa, seperti Jawa Kromo, Jawa Madya, dan Jawa Ngoko. Semuanya dianggap sama.
Manusia hidup memiliki kedudukan dan tingkatan yang sederajat.
31
Dalam pergaulan sehari-hari dengan siapa saja, mereka menyebut yang lain sebagai sedulur. Walaupun terhadap priyayi bangsawan sekalipun. Karena
itulah dalam pergaulan dengan sesama saudara, mereka menggunakan bahasa
30
Andrik Purwasito, Agama...., op.cit. hlm.53.
31
Ibid.
Jawa Ngoko namun dengan sikap tetap menghormati. Hal ini menunjukkan kesamaan derajat yang kental.
69
BAB IV DAMPAK GERAKAN SAMIN
A. Munculnya Masyarakat Samin