dianjurkan supaya mematuhu petunjuk pemimpin gerakan dalam melakukan pemberontakan. Ketidakberdayaan politik membuatnya tertarik akan unsur-unsur
kekuatan gaib.
c. Gerakan Nativisme
Gerakan nativisme merupakan gerakan petani yang menginginkan bangkitnya kejayaan hidup yang sesuai dengan alam lingkungannya dimasa
lampau dengan dipimpin oleh raja yang adil dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Gerakan ini menginginkan tampilnya pribumi sebagai penguasa adil
seperti yang terjadi sebelum masa penjajahan. Para nativis mengharapkan secara khusus dengan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana orang kulit
putih akan terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka akan digulingkan.
67
Gerakan-gerakan sosial kepribumian kerap kali menyatakan keinginan untuk menghidupkan kembali keadaan prajajahan dengan memproklamasikan
kembalinya sebuah kerajaan kuno. Kepribumian menambahkan suatu unsur politik yang kuat terhadap pernyataan kepercayaan Ratu Adil dengan
menghubungkan kemerosotan martabat, khususnya dengan kekuasaan asing dan pembantu-pembantunya serta kepada korupsi nilai-nilai dan patokan tradisional
yang diakibatkannya.
68
Terdapat karakteristik umum dari perbedaan-perbedaan gerakan protes yang terjadi di Jawa abad ke-19. Ekspresi perlawanan para petani pedesaan itu
terhadap otoritas kolonial memiliki akar kuat dalam masyarakat tradisional. Kehadiran kolonial Belanda dianggap merusak tatanan nilai yang telah ada dalam
67
Ibid.
68
Ibid.,hlm. 61.
masyarakat tradisional mereka. Kehadiran kuasa kolonialisme di pedesaan Jawa telah membawa perubahan sosial yang tak tertahankan, serta meningkatkan
potensi konflik.
69
Penolakan radikal secara ideologis terjadi atas segala perubahan yang dibawa modernitas kolonial lewat perambahan lahan-lahan yang menjadi sumber
kehidupan petani. Baik dilakukan secara sistematik atau paksaan, perubahan- perubahan itu telah menaikkan posisi ide-ide keagamaan, magis, dan ritual-ritual
gaib dalam masyarakat petani pedesaan yang akhirnya bermuara pada gerakan- gerakan protes.
70
Semuanya itu bagi masyarakat pedesaan Jawa merupakan suatu perlawanan terhadap pengaruh asing.
Perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Bentuk perlawanan yang dilakukan
tidak sampai pada tahap pembangkangan secara terbuka dengan melakukan pemberontakan secara fisik dan dilakukan secara kolektif. Bentuk perlawanan ini
antara lain dengan mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat di belakang, membakar, dan melakukan sabotase. Bentuk perlawanan ini sedikit
sekali yang membutuhkan koordinasi atau perencanaan, dan secara cerdas menghindari setiap konfrontasi simbolis langsung dengan pihak-pihak penguasa.
71
Karena nasibnya hampir selalu kalah, maka pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Pertarungan
yang sabar dan diam-diam, dilakukan dengan tekad kuat oleh masyarakat desa
69
Sartono Kartodirdjo,Protest Movements in Rural Java: A Study Of Agrarian Unrests in The Nineteenth and Twentieth Centuries, Oxford University Press, 1973 ,hlm.186.
70
Ibid., hlm.187.
71
James C Scott, Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah, Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani. Jakarta,Yayasan Obor Indonesia, 2000, hlm. 40.
selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil. Para petani pedesaan biasanya melakukan perlawanan pada malam hari dan dilakukan secara
diam-diam. Perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk mengubah dominasi secara langsung,
72
namun yang menjadi titik pijakan dari perlawanan ialah bagaimana untuk tetap bisa bertahan hidup.
Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarakat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan
tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat
menghasilkan komoditas hasil pertanian. Pada masa kolonial dikenalkan tanah partikelir
73
sebagai hasil penjualan oleh Belanda.
74
Di tanah-tanah milik swasta itu, pemilik memperoleh hak untuk menarik pajak dari para petani. Hal tersebut
tentu memberatkan para petani hingga akhirnya menimbulkan gejolak. Perlawanan yang munculpun banyak dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal, baik ulama
ataupun bangsawan lokal.
G. Metodologi Penelitian