Sistematika Penulisan Penguasaan Hutan oleh Belanda di Jawa

ekonomi negara jajahan. Dari permasalahan ekonomi tersebut kemudian ditarik ke dalam permasalahan sosial masyarakat. 5. Historiografi atau Penulisan Sejarah Tahap terakhir yang dilakukan adalah penulisan. Penulisan ini berdasarkan data-data yang diperoleh dari sumber-sumber yang digunakan. Dalam penulisan, penulis harus memperhatikan penyusunan cerita yang berurutan, penyusunan berbagai kejadian sesuai urutan waktu, hal yang berhubungan dengan sebab akibat dari suatu peristiwa, daya pikir untuk menciptakan sesuatu yang ada di pikirannya berdasarkan pengalaman

H. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Berupa pendahuluan memuat latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II Membahas latar belakang Gerakan Samin dan pengikutnya dalam melawan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19. Praktek kolonialisme Belanda di Blora merupakan faktor munculnya gerakan ini. Bab III Membahas dinamika Gerakan Samin dan pengikutnya sebagai bentuk perlawanan masyarakat yang terkena dampak dari intervensi Belanda di wilayah Blora. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bab IV Berisi dampak yang muncul dari gerakan Samin dan pengikutnya melawan pemerintah kolonial Belanda. Bab V Menyajikan kesimpulan yang berisi pernyataan penulis mengenai hasil penelitian sekaligus jawaban atas permasalahan yang ada pada pendahuluan. 35 BAB II LATAR BELAKANG GERAKAN SAMIN

A. Penguasaan Hutan oleh Belanda di Jawa

Eksploitasi hutan di Jawa dimulai pada masa VOC abad ke-17 yakni ketika VOC membidik pulau Jawa sebagai sumber penghasilan yang potensial. Pada tahun 1743 1 , ketika kerajaan Mataram mulai melepaskan daerahnya di wilayah pantai utara dan timur Jawa Rembang, Pekalongan, Weleri, dan Jepara, hutan diambil alih oleh pihak penguasa. VOC mendapat hak-hak hutan dari raja Jawa termasuk hasil hutan berupa getah,damar, dan rotan. VOC dan kerajaan Mataram juga melakukan sejumlah perjanjian, salah satunya adalah perjanjian antara Jacobus Courper dan susuhan Amangkurat I yang akan mengijinkan VOC untuk membuat pusat pembuatan kapal di Rembang. Dalam perjanjian tersebut juga diterangkan bahwa VOC memperoleh sejumlah hak atas tenaga kerja guna menebang kayu. Perjanjian biasanya disertai dengan pengiriman hadiah-hadiah untuk penguasa kerajaan berupa barang-barang dari Eropa misalnya kain renda, bahan sandang, air mawar, dan barang mewah lainnya. 2 Sebagai kongsi dagang, VOC mengeksploitasi hutan secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkannya. Menjelang akhir abad ke-18, kekuatan VOC di Jawa mulai menurun. Kondisi keuangan VOC mengalami masalah akibat korupsi yang merajalela dan akhirnya mengalami kebangkrutan. Pada tahun 1816 pemerintah Belanda 1 Hasanu Simon, Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm.54. 2 Nancy Lee Peluso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Di Jawa, KOPHALINDO, 2006, Hlm.53. 36 mengambil alih kekuasaan VOC di Jawa. Pemrintah Belanda mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya adalah yang dilakukan oleh gubernur Jendral Vand der Capellen. Ia mengeluarkan kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan hasil tanah mereka secara bebas, tetapi tetap dengan kewajiban untuk membayar sewa tanah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Eropa dalam usaha proses produksi komoditi ekspor. Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk memperlancar setoran sewa dari petani. Namun kebijakan ini tidak dapat bertahan lama karena pengeluaran keuangan pemerintah Belanda dengan skala besar untuk biaya Perang Jawa tahun 1825-1830 serta merosotnya harga komoditi ekspor di pasaran Eropa. Keinginan pemerintah Belanda untuk menguasai pulau Jawa tetap menjadi tujuan mereka. Mereka melihat bahwa pulau Jawa memiliki potensi sumber daya alam dan manusia yang dapat dimanfaatkan. Salah satu daerah yang dilirik oleh pemerintah Belanda adalah kabupaten Blora yang kaya akan hasil hutan berupa kayu jati. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan kayu jati di daerah jajahannya untuk pembuatan kapal serta arsitektur. Mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kayu jati yang berlimpah, termasuk diantaranya dengan penebangan hutan milik rakyat, maupun perampasan secara paksa. Terkait potensi kayu jati di Jawa serta pengurangan luasan hutan akibat eksploitasi VOC, Dirk van Hogendrop pegawai VOC abad ke-18 yang dikutip Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan bahwa: “...hutan di Jawa memiliki kayu jati yang cukup banyak untuk bahan kapal-kapal yang bagus yang dalam waktu singkat, seperti kapal-kapal dagang yang sangat mereka butuhkan ... Mereka ini memperoleh kayu jati tanpa harus susah payah...Hal itu mudah dibayangkan bagaimana PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 ketamakan dari para lintah darat dalam memanfaatkan hutan dan berusaha mengambil semuanya apa yang ada di hutan. Meskipun demikian, hutan di Jawa itu tidak akan habis-habisnya jika hutan dipelihara dan dirawat dengan baik...” 3 Sebelum VOC datang di Jawa, penguasaan hutan masih berada di bawah raja-raja Jawa, dan penebangan kayu dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan keraton. Pada waktu itu kayu jati belum diusahakan untuk diperdagangkan atau dikembangkan untuk industri perkapalan dalam skala besar. Di Jawa sebelum kedatangan VOC, banyak pemukiman penduduk di dalam dan sekitar hutan jauh dari kendali sehari-hari yang efektif oleh istana raja. 4 Hal ini terutama berlaku bagi pemukiman di luar pusat wilayah istana yang tidak terhubung dengan tanah hak milik kerajaan atau kawasan keagamaan. 5 Klaim raja Jawa atas kepemilikan tanah tidaklah sama dengan konsepsi Eropa tentang hak milik pada masa itu. Meskipun dalam teorinya semua tanah termasuk hutan merupakan milik raja, namun dalam kenyataanya penduduk bebas mengambil dan memanfaatkan hutan. 6 Terlebih lagi, pada waktu itu belum ada pegawai kerajaan yang khusus mengawasi hutan. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi serius, sehingga mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu dari hutan. Karena itu, ketika pemerintah kolonial Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur 3 Nancy Lee Peluso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat:Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa, KOPHALINDO, 2006,hlm. 63. 4 Ibid,hlm. 4. 5 Wilayah-wilayah pusat di dalam ranah kekuasaan Mataram di Jawa disebut Negaragung. Wilayah-wilayah luarnya disebut Pasisiran , wilayah luar negara disebut Mancanegara 6 Warto, Blandong: Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang Abad ke-19, Pustaka Cakra,Surakarta, 2001, hlm.87. 38 Jendral di Hindia Belanda, tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan adalah merehabilitasi kawasan hutan. 7 Agar Daendels dapat melaksanakan amanat itu dengan baik, maka sebelum berangkat ke Jawa, dia ditugaskan untuk belajar ke Jerman guna mencari tahu bagaimana membangun hutan tanaman yang baik. Pada abad ke-17, Jerman sudah dikenal di seluruh Eropa sebagai negara yang paling berhasil membangun hutan tanaman monokultur yang dikenal sebagai timber management. 8 Sepulang belajar dari Jerman, Daendels menuju Jawa dan memulai babak baru dalam pengelolaan hutan Jawa meniru model pengelolaan hutan monokultur di Jerman. 9 Pada tanggal 28 Mei 1808, Daendels mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa yang memuat prinsip sebagai berikut: 1. Pemangkuan hutan sebagai domein Negara dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan Negara. 2. Penarikan pemangkuan hutan dari kekuasaan Residen dan dari juridiksi wewenang Mahkamah Peradilan yang ada yakni Dienst van het Boschwezen Jawatan Kehutanan. 3. Penyerahan pemangkuan hutan kepada dinas khusus di bawah Gubernur Jenderal, yang dilengkapi dengan wewenang administratif dan keuangan serta wewenang menghukum pidana. 4. Areal hutan pemerintah tidak boleh dilanggar, dan perusahaan dengan eksploitasi secara persil dijamin keberadaannya, dengan kewajiban melakukan reforestasi dan pembudidayaan lapangan tebangan. 5. Semua kegiatan teknis dilakukan rakyat desa, dan mereka yang bekerja diberikan upah kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 6. Kayu-kayu yang ditebang pertama-tama harus digunakan untuk memenuhi keperluan Negara, dan kemudian baru untuk memenuhi kepentingan perusahaan swasta. 7 Ibid., hlm.38. 8 Suatu proses pengelolaan lahan hutan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga secara berkesinambungan dapat terus menerus memberikan produksi dan jasa serta bisa menimbukan efek lingkungan dan sosial yang tidak diinginkan. Pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dimana pengelolaan hutan lestari bertujuan untuk kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan. 9 Hasanu Simon, Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2004, hlm. 33. 39 7. Rakyart desa diberikan ijin penebangan kayu menurut peraturan yang berlaku. 10 Dasar-dasar pengelolaan kehutanan ilmiah yang diletakkan Daendels di hutan Jawa bertumpu pada tiga hal yaitu penguasaan tanah, spesies, dan tenaga kerja. 11 Pertama, terkait dengan penguasaan tanah, pernyataan bahwa semua hutan adalah ranah negara sebagaimana prinsip pertama di atas memiliki konsekuensi pada penghapusan seluruh eksploitasi hutan oleh swasta, dan negara tentu saja akan memonopoli perdagangan serta pengangkutan kayu. Hal ini berarti bahwa seluruh penyewaan desa dan hutan yang kayu jatinya akan ditebang untuk pengusaha swasta dibatalkan. Kedua, terkait dengan spesies, kelestarian produksi kayu jati harus diusahakan jika Belanda menginginkan keuntungan berkesinambungan dari hutan jati. Dalam usaha tersebut, ia bahkan meminta Inspektur Jenderal bawahannya untuk bersumpah “tidak akan berkomplot diam-diam dengan pedagang kayu, menghadiahi mereka kayu, atau ia sendiri mencuri kayu ”. 12 Daendels juga menunjuk seorang pengawas hutan untuk mengawasi pembalakan, penanaman kembali, pengumpulan benih jati, dan pengupasan melingkar kulit batang pohon. Pengawas hutan harus bertanggungjawab terhadap segala kegiatan eksploitasi dan keamanan hutan, serta diperintahkan agar hutan yang telah ditebang segera ditanami bibit jati baru. Dalam setahun, Jawatan Kehutanan harus menanam sedikitnya 100.000 bibit jati. 13 Secara umum dalam usaha mengelola spesies utama dalam hutan yakni kayu jati, Daendels 10 I Nyoman Nurjana., op.cit., hlm.67-68. 11 Nancy Lee Peluso,....op.cit, hlm. 93. 12 Ibid,hlm.68. 13 Warto. op.cit., hlm.76. 40 menyerahkan urusan tersebut pada lembaga kehutanan yang dibentuknya yakni Jawatan Kehutanan atau Boschwezen. Sementara itu, Boschganger merupakan bawahan dari Jawatan Kehutanan. Ketiga, terkait dengan penguasaan tenaga kerja. Sistem kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan kehutanan waktu itu dinamakan Blandongdiensten, dari kata dasar blandong yang berarti penebang pohon. Sebenarnya, jauh sebelum masa pemerintahan Daendels, blandong sudah lama ada. Tugasnya tetaplah sama yakni buruh tebang. Para penebang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak orang dan pajak tanah. Orang blandong menerima upah berupa tanah sawah bebas pajak. 14 Daendels berusaha melakukan perbaikan nasib orang blandong dengan menghapus pajak kayu dan penyerahan wajib lainnya yang dituntut dari para bupati. Daendels biasanya mengambil tenaga kerja kehutanan dari desa-desa di dalam hutan. Selain itu, mereka juga mendapatkan gaji sekitar 1,5 kilogram beras setiap harinya dan sedikit garam. 15 Upaya Daendels untuk melaksanakan reforestasi dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidak dapat berlanjut dan mencapai hasil optimal. Hal ini dikarenakan keterbatasan tenaga kerja kehutanan, keterbatasan pengetahuan dan teknologi kehutanan yang dikuasai petugas-petugas Jawatan Kehutanan. 14 Warto. op.cit., hlm.68. 15 Ibid., hlm 68. 41

B. Hukum Pengelolaan Hutan Pada Masa Kolonial Belanda