69
BAB IV DAMPAK GERAKAN SAMIN
A. Munculnya Masyarakat Samin
Gerakan Samin pada akhirnya mampu menciptakan sebuah komunitas masyarakat baru di kabupaten Blora yang dikenal dengan masyarakat Samin.
Masyarakat Samin sering dilihat sebagai sebuah komunitas berbasis tradisi yang muncul sebagai akibat dari adanya sebuah ketokohan kharismatik. Ialah Samin
Surosentiko yang pada tahun 1889 mulai menyebarkan ajarannya dalam Serat Jamus Kalimasada kepada orang-orang di wilayah Bojonegoro dan Blora. Ajaran
ini pada intinya adalah ajakan untuk menjalani hidup dengan sederhana, sekaligus juga merupakan wujud dari sikap Samin yang mengajak masyarakat di sekitarnya
untuk tidak tunduk terhadap pemerintah kolonial pada masa itu karena telah merugikan dan menindas kaum pribumi dengan kenaikan pajak dan penguasaan
kawan hutan. Ajaran Samin sebenarnya mencakup berbagai pranata hidup, diantaranya
menyangkut dasar-dasar kebajikan, kebijaksanaan, tata pergaulan, ketuhanan, tradisi perkawinan, hingga tentang prinsip kemandirian negara. Ajaran ini
kemudian melembaga, dan pada perkembangannya menyebar ke daerah Pati, Kudus, Brebes, dan Lamongan.
1
Masyarakat Samin kemudian menyebut diri sebagai Sedulur Sikep
2
, yang tetap melestarikan ajaran samin dengan prinsip
1
Ahmad Sahal, Terjerat dalam Rumah Kaca: Masih Meyakinkankah Nasionalisme?, dalam Jurnal Kalam Edisi 3. Jakarta: Yayasan Kalam, 1994, hlm. 6
2
Sekelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Samin.
kesederhanaan dan sikap pembangkangan terhadap pemerintah dengan kebiasaan tidak mengikuti sejumlah aturan yang dibuat oleh pemerintah
.
Hingga saat ini, masyarakat Samin masih berdiam di wilayah Pati dan Blora dengan tradisi yang terus dilestarikannya. Hal ini menyebabkan muncul
semacam stereotip dari msyarakat bahwa warga Samin adalah sekumpulan masyarakat terbelakang, lugu, dan tidak lebih dari sebuah masyarakat tradisional
yang bersikap puritan.
3
Kebiasaan masyarakat Samin ditandai oleh sikap dan perilaku tidak mengikuti adat-istiadat desa atau masyarakat yang mereka tempati.
Hal semacam ini diawali oleh Samin dan pengikutnya terdahulu dalam menentang pemerintah kolonial. Oleh sebab itu, pengaruh dari tindakan Samin dulu dilakukan
juga oleh masyarakat setelahnya. Dalam hal kekerabatan masyarakat, Samin memiliki persamaan dengan
kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke
atas setelah Kakek atau Nenek. Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan
melestarikan hubungan kekerabatan, masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun
tempat tinggalnya jauh.
4
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat
3
Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, 2004, Yogyakarta: Jarahnitra, hlm.22.
4
Sutamat Arybowo, Orang Samin dan Pandangan Hidupnya, Kompas edisi kamis, 10 Mei 2007, hlm.36.
dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan
,
kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang
tamu yang cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di
luar di samping rumah. Namun disisi lain, adanya konsep sedulur, kemudian mempengaruhi pada terhalangnya pembentukan ruang pribadi atau eksklusif.
5
Sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi peninggalan Samin, persebarannyapun juga semakin meluas. Persebaran dimulai di wilayah kelahiran
Samin, yakni di desa Ploso kecamatan Randublatung. Karena pengikutnya semakin bertambah, Samin mencari tempat yang lebih luas, yakni di desa
Bapangan kecamatan Menden.
6
Selanjutnya meluas hingga daerah Sambong, Jiken, Blora, Tunjungan Ngawen, Todanan, Kunduran, Bangreja, dan Doplang.
Persebaran masyarakat Samin membawa konsekuensi makin merasa bersatu yang diikat oleh ikatan persaudaraan, dan orang Samin menyebutnya
seduluran.
7
Di samping itu, mereka juga terikat oleh persamaan adat-istiadat yang wajib mereka laksanakan. Misalnya adat-istiadat perkawinan dan kematian,
tidak boleh berdagang, tidak boleh menerima sumbangan, dan ajaran tolong menolong yang semuanya disosialisasikan sendiri oleh Samin Surosentiko.
Pada akhirnya masyarakat Samin menjadi bagian dari budaya Indonesia yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Sebagai bagian dari budaya Indoensia,
5
Ibid.
6
Ibid., hlm. 32.
7
Ibid., hlm.33.
mereka telah memiliki pandangan hidup mereka sendiri. Ajaran moral yang berisi wejangan, khotbah, dan peraturan dimaksudkan agar masyarakat menjalankan
kehidupan mereka dengan lebih baik. Walaupun Samin memiliki ajaran sendiri namun sejak kemerdekaan RI,
orang Samin sudah merasa menjadi bagian dari negara Indonesia. Tidak ada perbedaan dengan warga negara yang lain. Menjadi jelas kiranya jika Indonesia
semakin kaya akan budaya.
B. Identitas Diri Masyarakat Samin