41
B. Hukum Pengelolaan Hutan Pada Masa Kolonial Belanda
Peraturan hukum mengenai pengelolaan hutan Jati di Jawa dan Madura untuk pertama kali dikeluarkan pada tahun 1865, dan dinamakan Boschordonantie
voor Java en Madoera 1865 Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865, dan kemudian disusul dengan peraturan agraria yang disebut
Domeinverklaring 1870, mengklaim bahwa setiap hutan yang tidak dapat dibuktikan adanya atas hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah.
16
Untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi modern, maka pada tahun 1873 Jawatan Kehutanan
membentuk organisasi teritorial kehutanan. Berdasarkan Staatsblad No.25 maka kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13 Daerah Hutan yang masing-masing
mempunyai luas 70.000 sampai 80.000 hektar untuk daerah hutan di kawasan hutan non jati.
17
Ketiga belas daerah hutan tersebut adalah: Karesidenan Banten dan Kabupaten Cianjur, Karesidenan Priangan, Kerawang, dan Cirebon, Karesidenan
Tegal dan Pekalongan, Karesidenan Jepara. Kabupaten Rembang dan Blora, Karesidenan Surabaya, Madura, dan Pasuruan, Karesidenan Probolinggo, Besuki,
dan Banyuwangi, Karesidenan Kediri, Karesidenan Madiun, Kabupaten Ngawi, dan Karesidenan Surakarta.
18
Berdasarkan Staatsblad No. 2 Tahun 1855 ditegaskan bahwa Gubernur Jenderal harus memberi perhatian dan memfokuskan tugasnya pada pengelolaan
16
I Nyoman Nurjana, op.cit., hlm 38.
17
Ibid., hlm.39.
18
Ibid
42
hutan jati, dan kawasan hutan jati yang belum diserahkan pengelolaannya kepada pihak lain dijaga dan dipelihara dengan baik. Karena itu, pengelolaan hutan pada
tahun-tahun selanjutnya cenderung lebih difokuskan pada kegiatan reforestasi dalam kawasan hutan jati; pertama karena kayu jati mempunyai nilai ekonomis
tinggi dibandingkan dengan kayu non jati; dan kedua karena industri-industri kapal kayu hanya menggunakan kayu jati sebagai bahan baku utamanya.
Selanjutnya, pada tahun 1890 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Perusahaan Hutan Jati untuk mengintensifkan pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura.
19
Pengalaman-pengalaman menunjukkan bahwa peraturan kehutanan tahun 1865 mengandung banyak kekurangan. Keluhan terutama muncul mengenai
pembatasan penyediaan kayu bagi penduduk pribumi yang digunakan untuk membangun rumah, membuat kapal, perkakas, kayu bakar, dan sebagainya. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap larangan- larangan yang tidak ditetapkan sanksinya, sehingga hutan jati menjadi sasaran
hebat pencurian kayu. Untuk menjawab ancaman ini akhirnya dilakukan penyempurnaan dengan
dikeluarkan Reglemen hutan tahun 1874 dan berlaku mulai 1 Mei 1875. Prinsip- prinsip utama dari peraturan ini adalah sebagai berikut:
1. Hutan dibagi menjadi hutan jati dan kayu hutan.
2. Hutan jati berada di bawah pengelolaan teratur, dan berlaku juga di
sebagian hutan kayu liar. 3.
Eksploitasi hutan dilakukan seperti yang ditentukan dalam peraturan 1865, melalui pengusaha swasta dengan dua cara: pertama, dengan
wewenang bebas atas kayu oleh penguasaha dengan pembayaran yang telah disepakati; kedua, dengan penyetoran kayu kepada pemerintah
dengan sejumlah pembayaran tertentu kepada pihak swasta sebagai
19
I Nyoman Nurjana, op.cit., hlm.40.
43
upah penebangan, penyaradan, dan pengangkutan yang dihitung per m
3
.
20
Perbaikan-perbaikan manajemen pengusahaan hutan jati di Jawa terus dilakukan. Pada tahun 1897 muncul kembali Reglemen kehutanan baru
menggantikan Reglemen 1874. Dalam aturan baru ini disusun suatu rencana pengelolaan hutan meliputi:
1. Perencanaan perusahaan sementara.
2. Rencana perusahaan tetap, rencana penjarangan, rencana tanaman,
teresan, dan rencana penebangan. 3.
Kewajiban Direktur Departemen Dalam Negeri memberi instruksi penebangan oleh pemerintah sendiri.
21
Setelah reglemen ini berlangsung beberapa tahun, dirasa telah terjadi eksploitasi hutan berlebihan, karena rencana pengelolaan banyak ditolak oleh
pengontrak kayu, yang sebelumnya mendapatkan untung besar. Di sisi lain pencurian kayu semakin meningkat, bahkan melibatkan aparat desa. Hal ini
diperparah lagi oleh adanya krisis perdagangan kayu. Peraturan-peraturan tentang pertanahan yang berhubungan erat dengan
kehutanan adalah Undang-Undang Agraria tahun 1870. Dalam undang-undang tersebut termuat Domein Verklaring yang mengklaim bahwa tanah hutan yang
tidak dibebani hak menjadi domain Negara.
22
Dalam Domein Verklaring antara
20
Reglemen tahun 1874 terutama ditujukan pada hutan di luar wilayah Vortenlanden. Karena pada wilayah Vortenlanden, kewenangan pemerintah terbatas. Lebih lengkapnya lihat Desak Made Oka
Purnawati, Hutan Jati Madiun: Silvikultur di Karesidenan Madiun 1830-1913, Semarang, Intra Pustaka Utama, 2004, hlm.48-49.
21
I Nyoman Nurjana, op.cit., hlm.39.
22
Nancy Lee Peluso, op.cit., hlm 74.
44
lain termuat ketetapan tentang batas-batas kawasan hutan, yang terpisah jelas dengan kawasan pemukiman dan kawasan pertanian. Penetapan batas yang jelas
tersebut cukup meyakinkan pejabat kehutanan Belanda kala itu tentang cita-cita besar Daendels untuk menjadikan hutan jati di Jawa menuju pengelolaan modern.
Menurut masyarakat Randublatung yang merupakan tempat Samin dan pengikutnya tinggal, leluhur mereka dipaksa membayar pajak pada pemerintah
Hindia Belanda serta dipaksa ikut mblandongan
23
. Kalau mereka menolak, mereka akan didatangi pamong desa dan polisi pemerintah Belanda. Mereka akan
ditangkap dan disiksa juga tanah pertanian mereka dirampas oleh pemerintah Belanda untuk kemudian ditanami pohon jati. Perlakuan pemerintah kolonial
Belanda tersebut mengakibatkan masyarakat mengalami kekurangan makanan. Mereka tidak mempunyai keberanian untuk melawan pemerintah kolonial sebab
mereka belum mempunyai semangat maupun senjata.
C. Arti Penting Hutan bagi Masyarakat Blora