Berdasarkan sertifikat tersebut, eksekusi dapat dilaksanakan. Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan eksekusi, akan melakukan sita eksekusi terhadap tanah
yang dibebani haktanggungan itu, yang selanjutnya setelah dilakukan peneguran terhadap debitur dan ia tetap tidak mau melunasi hutangnya dalam waktu 8 hari, akan disusul
dengan pengumuman lelang secara dua kali berturut-turut di surat kabar yang terbit di kota itu, untuk kemudian disusul dengan pelelangan.
53
Hasil penjualan lelang tanah tersebut, akan dipergunakan untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur, setelah sebelumnya dibayar biaya eksekusi. Sisa lelang apabila
ada, akan dikembalikan kepada debitur. Proses semacam ini akan berjalan cepat, sehingga kreditur dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menerima uangnya kembali.
Bahkan, apabila kreditur berkedudukan sebagai pemegang hak tanggungan pertama, berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, kreditur dapat menjual tanah tersebut atas
kekuasaan sendiri, melalui Kantor Lelang Negara dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tanah itu.
5. Kedudukan bank sebagai kreditur yang preferen.
Pada umumnya sebidang tanah hanya dibebani oleh satu hak tanggungan, namun dapat terjadi, bahwa sebidang tanah dibebani dengan beberapa hak tanggungan. Urutan
kedudukan para pemegangnya ditentukan oleh tanggal pendaftarannya di Kantor Pertanahan dengan ketentuan, bahwa hak tanggungan yang didaftarkan pada hari yang
sama, kedudukannya ditentukan oleh tanggal pembuatan akta pembebanan hak tanggungan oleh PPAT, lihat Pasal 5 ayat 3 UU Hak Tanggungan.
53
Darwin Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung , PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 179
Universitas Sumatera Utara
Dengan diberlakukannya ketentuan mengenai hak tanggungan secara nasional ini, keseragaman dalam pembebanan jaminan kiranya dapat tercipta dan terjaga, dengan
demikian sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang paling besar dapat terlindungi dalam menyalurkan dananya kepada masyarakat.
B. Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan dengan Objek Tanah
1. Dua pandangan tentang Hak Tanggungan
Berkembangnya hak tanggungan ini selaras dengan tuntutan kemajuan hukum masyarakat dalam menjamin hak atas tanah tanah. Artinya pada saat-saat menghangatnya
dibicarakan tentang perkembangan ekonomi bangsa, tentu bila kemajuan ekonomi ini dikehendaki berkembang, maka hak tanggungan sangat dibutuhkan sebagai bagian tak
terpisahkan dalam memenuhi modal dengan benda tak bergerak sebagai agunannya. Karena dengan adanya jaminan maka fasilitas dan menambah modal usaha kerja bagi
usaha kecil khususnya akan mudah diperoleh dengan kredit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 : Dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
54
Oleh karena itulah usaha untuk mengamankan lembaga jaminan ini berkembang sesuai dengan harapan masing-masing pihak perlulah adanya ketentuan-ketentuan hak
tanggungan yang tegas, mandiri dan konsisten yang dapat mengukur terutama hak tanggungan bila tanah diaktifkan sebagi jaminan yang akan dimasukkan dalam lalu lintas
perdagangan. Hak tanggungan atas tanah ini sudah sering dikemukakan dalam lembaga pertemuan-pertemuan ilmiah baik yang bersifat nasional maupun bersifat lokal. Akan
54
Lihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Universitas Sumatera Utara
tetapi bila dua konsepsi dan atau sistem yang diangkatkan berbeda pandangan dan didiskusikan dalam suatu forum tentu kita dapat menimbang-nimbang dengan alasan
ilmiah, agar apa yang dikemukakan dapat diterapkan penggunaannya dalam praktek kehidupan sehari-hari, baik di perusahaan yang terlibat langsung dalam pemberian kredit
dengan jaminan hak atas tanah pada khususnya. Hak tanggungan atas tanah ini menjelaskan dengan tegas bahwa hak atas tanahlah
yang dijadikan objek jaminan tersebut. Akan tetapi karena hak atas tanah tersebut merupakan atau tunduk pada hukum benda yang dahulu diatur dalam buku II KUH
Perdata, maka dijumpailah sebagian ahli menyebut bahwa hukum jaminan ini harus diatur dan dilindungi oleh hukum perdata itu sendiri sehingga kalaupun berkembang
harus dikembangkan dalam lingkup hukum perdata juga. Di samping itu yang namanya tanah dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria tentunya tidak bisa dipungkiri
kalau objek jaminan yang berupa tanah harus pula di kembangkan menurut ketentuan yang disebutkan dalam hukum agraria itu sendiri.
55
Kemudian kondisi hukum jaminan sejak diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 bukan saja mempengaruhi hukum jaminan yang
pernah dikenal dan berlaku di Indonesia, namun di samping itu juga akan ikut terpengaruh bagaimana dunia ekonomi luar ingin menanamkan investasinya khususnya
yang berkaitan dengan dunia industri yang mengivestasikan modalnya berhubungan dengan hak-hak atas tanah, sebagaimana kebiasaan dalam menjaminkan hak atas tanah
yang sering disebut mortgages baik atas tanah landleaseholds maupun atas tanah yang disebut freeholds.
55
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 55.
Universitas Sumatera Utara
Memang hak jaminan yang pernah dikenal dalam KUH Perdata Buku II BW sejak lahirnya UUPA UU No. 5 Tahun 1960 telah mengalami penafsiran dalam
pemberlakuannya. Di samping itu disebut berlakunya jalan terus tidak dicabut oleh Undang-Undang Pokok Agraria untuk objek tertentu. Tetapi jika berlaku sebagai yang
sifatnya sementara artinya berlakunya hukum jaminan yang disebut dalam BW Hipotheek dan Gadai masih berlaku tapi disesuaikan dengan kondisi UUPA, sementara
dalam UUPA ketentuan-ketentuan hukum jaminan dinyatakan secara tegas yang diatur oleh hukum tanah baik objeknya maupun subjek dari hukum jaminan itu sendiri.
Sungguhpun objek dan subjeknya hanya terbatas pada ketentuan atas tanah tertentu sebagaimana tersebut, namun dengan ketegasan apa yang disebut dalam Pasal 51 dan 57
UUPA harus ditafsirkan bahwa hak tanggungan ini masih dualisme, bahkan sampai pada tahun 1996 masih disebut pluralisme dengan adanya Undang-Undang Rumah Susun,
yaitu UU No. 16 Tahun 1992, yang secara parsial ada menyinggung tentang hukum jaminan hipotheek, Credit Verband dan Fiducia.
56
Kondisi ini tentu sangat berpengaruh besar terhadap keberadaan Undang-Undang Hak Tanggungan itu sendiri yang hingga
sekarang pandangan akan eksistensi dan kondisi undang-undang ini tetap mendasari uraian yang dikemukakan oleh para ahli-ahli hukum tersebut.
Permasalahan yang banyak dihadapi oleh pihak bank sering terungkap masih berkisar pada surat kuasa membebankan hak tanggungan, pengikatan tanah yang belum
bersertifikat, pengikatan hak-hak atas bangunan yang dinilai dapat diikat dengan hak tanggungan dan eksekusi hak tanggungan bila sampai ke pengadilan. Memang di dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan, kalau saja disimak secara baik, apa yang jadi
56
Boedi Harsono, Masalah Hipotek dan Creditverband, Yogyakarta, Kertas Kerja Pada Seminar Hipotik dan Lembaga Jaminan Lainnya di Yogyakarta, 1977, hal. 83-84
Universitas Sumatera Utara
permasalahan tersebut sudah cukup mengatur, namun oleh Mariam Darus undang-undang ini masih dinilai sebagai undang-undang yang keluar dari sistem “Di dalam pengaturan
hukum jaminan dengan kegiatan-kegiatannya itu terdapat tumpang tindih, sehingga tidak harmonis, misalnya saja soal istilah”, pendapat ini memang beralasan karena hukum
jaminan itu mengandung aspek-aspek keperdataan. Permasalahan hukum keperdataan harus taat asas dan benar kita ikuti, karena tanah yang dijadikan sebagai objeknya adalah
merupakan benda yang masih diatur dalam KUH Perdata. Menurut Mariam Darus Badrulzaman :
Seyogyanya sebelum Undang-Undang Hak Tanggungan disusun terlebih dahulu disusun Undang-Undang Hak Milik, undang-undang hak jaminan baru diikat
dengan undang-undang hak tanggungan satu-satunya jaminan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, karena fidusia masih berlaku untuk
undang-undang perumahan dan pemukiman, disini asas konsistensi tidak diperhatikan.
57
Boleh jadi memang seperti ini, namun di samping itu juga tidak boleh dilupakan
bahwa undang-undang atau peraturan yang baru akan dapat mengenyampingkan peraturan lama dan peraturan umum akan selalu dikesampingkan oleh pengaturan khusus,
sehingga asas ini juga harus dapat diterima manakala dianggap peraturan tersebut sudah menyimpang dari sistem perundang-undangan.
Menurut A.P. Parlindungan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan ini UU No. 4 Tahun 1996 bahwa :
Peraturan diakuinya apa yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan suatu kemajuan karena selama 35 tahun kondisi hukum jaminan
berada dalam situasi yang tidak menentu. Sebab ada sudah beberapa undang- undang yang sudah menyebut tentang hipotek dan fidusia seperti disebut dalam
undang-undang rumah susun, undang-undang perumahan dan pemukiman serta adanya beberapa peraturan pemerintah yang secara administratif mengatur
57
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1988, hal. 77-85.
Universitas Sumatera Utara
prosedur pengikatan tanah yang dijadikan objek hak tanggungan PP Nomor 10 Tahun 1961 telah dicabut dengan PPNomor 24 Tahun 1997.
58
Akibat adanya undang-undang ini, maka dalam sikap dan pandangan yang
uniform dari hak tanggungan tersebut harus diakui biarpun secara tertulis tidak tersebut
namun harus dianggap terhapus dan tidak berlaku lagi. Sebagai konsekuensi logis bila produk hukum yang ada sebelum berlakunya
undang-undang hak tanggungan ini masih dianggap ada, maka kekacauan yang pernah ada itu akan tidak berakhir dan kiranya hal ini tidak mungkin akan menciptakan suasana
yang sangat menguntungkan dalam dunia perdagangan. Dengan bersikap tegas dan konsekuen atas berbagai peraturan yang bertentangan dengan undang-undang hak
tanggungan sebagai suatu aturan yang tidak berlaku lagi maka berarti sudah tercipta suatu tertib hukum.
2. Pemberi dan Penerima Hak Tanggungan