Pendidikan dan Proses Penyempurnaan Diri
17
mencapai tingkat kesadaran kemanusiaan tertinggi. Kebanyakan manusia terjatuh atau hanya sampai pada tingkatan basyar, di mana kepuasan
kehidupannya hanya diukur seberapa banyak ia mampu memenuhi kebutuhan biologisnya.
Pada tataran ini perlu membicarakan suatu potensi ruhani yang dalam kamus Islam disebut fitrah. Fitrah dapat dikatakan sebagai unsur dominan yang
sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia dalam menjalankan seluruh fungsi kemanusiaannya. Kemampuan manusia menjalankan fungsinya sebagai
hamba dan khalifah Allah banyak dipengaruhi oleh potensi fitrah ini. Sebaliknya, pengingkaran terhadap potensi ini akan mengakibatkan manusia
jatuh pada kualitas yang paling buruk 95:5; 7:179, atau paling tidak hanya sampai pada kualitas basyar.
Sepanjang pengertian umum, fitrah sering difahami sebagai potensi yang bercorak keagamaan. Pengertian ini ditarik dari firman Allah salah surat al-
Rum31:30-31.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan
bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.
Hadapkanlah wajahmu kepada agama
din dengan lurus hanif, fitrah Allah yang dengannya la menciptakan manusia atas fitrah itu. Tak ada perubahan dalam
penciptaan Allah Itu adalah agama yang benar, tetapi kebanyakan manusia tidak. menyadari.
Potensi keagamaan yang ada secara alami fitrah majbullah itulah yang menyebabkan manusia berkeinginan suci dan secara kodrati condong
kepada kebaikan dan kebenaran hanif. Pencarian kebenaran secara murni dan tulus dan pemihakan kepada yang benar dan baik dengan sendirinya
menghasilkan sikap menghormati kebaikan dan kebenaran. Dengan begitu, sikap keberagamaan yang hantf akan memberikan kebahagiaan sejati. Sabda
Nabi, Sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al-hanajiyat al-samhah, yaitu
18
semangat mencari kebenaran dengan lapang dada, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
24
Jika fitrah mengarahkan manusia melakukan pencarian kebenaran, maka pemancar keinginan kepada kebaikan, kebenaran, keadilan, kesucian, dan kasih
sayang dipandu oleh hati nurani. Hati nurani dhamir, geweten, a concience adalah bentuk nyata dari kesadaran moral dalam kehidupan praktis manusia.
Al-Quran menyebut hati nurani dengan suatu kesadaran moral manusia al- nafs al-laumamah
seperti dalam ayat, Aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesal
75:2. Penyebutan al-nafsal-lawwamah sebagai obyek sumpah oleh al- Quran menunjukkan kesangat- pentingan arti kata ini bagi manusia. Sebab
kesadaran moral adalah aspek asasi bagi kehidupan manusia dan kemanusiaannya. la mengenai seluruh jiwa dan menyangkut kehidupan
manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, al-nafs al-lawwamah tidak hanya sekedar kesadaran moral yang dengannya mengerti dan menghukumi baik dan
buruk dan menyadari kedudukan, hak dan kewajiban, melainkan
—seperti dinyatakan Yusuf Ali
— juga bisa dibandingkan dengan dan diangggap sebagai hati nurani, yakni potensi batin manusia yang mencegah, menghentikan, dan
menyesali perbuatannya yang bersifat dosa dan immoral. Ibarat pedang bermata dua, fitrah merupakan esensi yang membentuk manusia dan secara
esensial membedakannya dengan makhluk lain. Dan dengan memenuhi tuntutan hati nurani seseorang berada dalam fltrahnya dan menjadi manusia
sejati. Namun, secara fungsional yang membuat manusia berkedudukan lebih tinggi dari makhluk lain adalah karena memiliki kemampuan mengantisipasi
dan memformat fenomena yang ada melalui fitrahnya dan kerangka nilai yang diserapnya untuk menciptakan kebudayaan. Karena itu, kemanusiaan manusia
atau supremasi manusia ditentukan sejauhmana ia kerja, amal shaleh dengan mendayagunakan segenap potensi yang dimiliki untuk menciptakan
kebudayaan yang berkualitas ahsanu amalan, bukan karena status formalnya sebagai khaltfatu Allah fil al-ardh.
Jabatan sebagai khalifah memang tinggi dan mulia. Akan tetapi, ketinggian dan kemuliaan manusia bukan karena jabatan formalnya, melainkan fungsi dan
kontribusinya bagi penciptaan kebudayaan. Inilah yang dimaksud bahwa peran-peran nyata khalifah berada di tataran eksistensial, di latar sejarah yang
dibuktikan dengan kerja-kerja kemanusiaan —dalam bentuknya— berupa
kebudayaan. Kalau konsep kebudayaan ini dihubungkan dengan misi kerasulan Muhammad saw. yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia serta
ide moral Islam rahmatan li al- alamin, maka ada ekuivalen antara orang yang berakhlak dengan orang yang berbudaya. Orang yang berakhlak mulia adalah
orang yang mampu mendayagunakan potensi yang dimiliki dan memiliki
24
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Al Husna Dzikra, 1995, h. 48
19
komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan sehingga mampu melahirkan kebudayaan. Sebaliknya, orang yang berbudaya adalah orang yang berakhlak
mulia, minimal saat menciptakan kebudayaan. Berkaitan dengan hubungan antara akhlak dan kebudayaan ini dapat dikemukakan sabda Nabi saw
Barangsiapa berkreasi, berkarya baik niscaya akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengikutinya. Sebaliknya, barangsiapa berbuat onar dan kerusakan niscaya
akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya
HR Ibn Majah. Berdasarkan uraian di atas, fitrah pada dasarnya bersifat universal dan
dimiliki oleh semua manusia. Segala yang dilakukan manusia pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi tuntutan fitrahnya. Di satu sisi tuntutan manusia
sebagai hamba Allah yang senantiasa terikat oleh sesuatu yang transenden yang menguasai dirinya, Allah swt. Ini yang disebut fitrah munazzalah atau din
agama. D sisi lain, dalam kapasitas manusia sebagai khalifah Allah, fitrah dalam pengertiannya yang luas senantiasa terkait dengan pemihakan dan
upaya-upaya menuju pencapaian nilai-nilai kemanusiaan universal seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, kesucian, dan kasih sayang sesama. Jadi,
keterikatan manusia pada hal-hal yang bersifat universal nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan itulah yang mengokohkan fungsi kemanusiaannya di muka
bumi baik sebagai hamba maupun khalifah Allah.
BAB III:
20
LANDASAN-LANDASAN PENDIDIKAN A.
Landasan Normatif
Pendidikan mempunyai content yang mulia, sebagai suprastruktur ilmu maka pendidikan pun merupakan suatu fasilitas yang mulia. Oleh karena itu
sudah seharusnya pendidikan mempunyai kedudukan sesuai dengan martabatnya. Pendidikan tidak bisa dipertahankan apa adanya, tetapi untuk
dikembangkan mencapai derajat kemuliaannya, sehingga pendidikan secara maksimal dapat mengembangkan dan mengakselerasi intelektualitas dan
spiritualitas manusia didiknya.
Pendidikan sebagai media pembelajaran manusia untuk mengangkat derajatnya Almujadalah:11 dan mengerjakan sesuatu dengan memiliki
ilmunya Alisra: 36.
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: Berlapang- lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Mencari ilmu dikatakan jihad seperti pendapat Muadz bin Jabal berkata,
Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah tanda takut kepada Allah, mencarinya ibadah, mengingat-ingatnya tasbih, pembahasannya
jihad, mengajarkannya bagi yang belum tahu shadaqah, menyumbangkannya bagi yang berhak adalah taqarrub kepada Allah. Ilmu dalam agama Islam
sangat tinggi kedudukannya, oleh karena itu kaidah keilmuan membutuhkan suatu sistem yang memberi kontribusi pada peradaban dimana manusia hidup.
Janganlah kalian mengerjakan sesuatu yang kalian tidak memiliki ilmunya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, kesemuanya akan ditanya
tentangnya . Q.S. Alisra: 36.
21
Mencari ilmu Ngaji adalah wajib bagi setiap orang Islam, dan orang yang meletakkan memberikan ilmu kepada yang bukan ahlinya, bagaikan mengalungi
babi dengan mutiara, berlian, dan emas . H.R. Ibnu Majah.
Mencari ilmu dikatakan jihad seperti pendapat Muadz bin Jabal berkata, Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah tanda takut
kepada Allah, mencarinya ibadah, mengingat-ingatnya tasbih, pembahasannya jihad, mengajarkannya bagi yang belum tahu shadaqah, menyumbangkannya
bagi yang berhak adalah taqarrub kepada Allah. Ilmu dalam agama Islam sangat tinggi kedudukannya, oleh karena itu kaidah keilmuan membutuhkan
suatu sistem yang memberi kontribusi pada peradaban dimana manusia hidup.