KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI BANGUN DATAR SISWA KELAS III SD NEGERI RANDUGUNTING 3 KOTA TEGAL

(1)

i

KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE

MAKE A MATCH

TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

PADA MATERI BANGUN DATAR SISWA KELAS III

SD NEGERI RANDUGUNTING 3 KOTA TEGAL

Skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan JurusanPendidikan Guru Sekolah Dasar

oleh

Rismadiani Kurnia 1401409143

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013


(2)

ii

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain baik sebagian atau keseluruhannya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Tegal, 2013


(3)

iii

Skripsi ini disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang Panitia Ujian Skripsi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Di : Tegal Tanggal : 10 Juli 2013

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Yuli Witanto, M.Pd. 19640717 198803 1 002

Drs. Teguh Supriyanto, M.Pd. 19611018 198803 1 002

Mengetahui,

Koordinator PGSD UPP Tegal

Drs. Akhmad Junaedi, M.Pd. 19630923 198703 1 001


(4)

iv

Skripsi dengan judul Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match terhadap Peningkatan Hasil Belajar Matematika pada Materi Bangun Datar Siswa Kelas III SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal oleh Rismadiani Kurnia 1401409143, telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi FIP UNNES pada tanggal 22 Juli 2013.

PANITIA UJIAN Ketua

Drs. Hardjono, M.Pd. 19510801 197903 1 007

Sekretaris

Drs. Akhmad Junaedi, M.Pd. 19630923 198703 1 001

Penguji Utama

Dra. Noening Andrijati, M.Pd 19680610 199303 2 002 Penguji Anggota 1

Drs. Teguh Supriyanto, M.Pd. 19611018 198803 1 002

Penguji Anggota 2

Drs. Yuli Witanto, M.Pd. 19640717 198803 1 002


(5)

v Motto

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”.

(Q.S. Ar-Rahman: 13) Don’t make mistake of thinking you know me.

(Dastan-Prince of Persia) Orang-orang bisa tidak adil, tapi Tuhan pasti adil.

(Hyun Gi Jun-Lie to Me)

Persembahan

Untuk Bapak, Ibu, dan adikku yang telah menyayangi dan selalu mendoakan yang terbaik bagi peneliti.


(6)

vi

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match terhadap Hasil Belajar Matematika pada Materi Bangun Datar Siswa Kelas III SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal. Dalam melaksanakan kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi, peneliti banyak mendapatkan bimbingan, dukungan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin kepada peneliti untuk menuntut ilmu di UNNES.

2. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin kepada peneliti untuk menuntut ilmu di UNNES.

3. Dra. Hartati, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin penelitian kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.

4. Drs. Akhmad Junaedi, M.Pd., Koordinator PGSD UPP Tegal yang telah memberikan ijin penelitian kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian. 5. Drs. Yuli Witanto, M.Pd., dosen pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, pengarahan, saran, dan motivasi kepada peneliti yang bermanfaat kepada peneliti dalam penyusunan skripsi.

6. Drs. Teguh Supriyanto, M.Pd., dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dan motivasi kepada peneliti dalam penyusunan skripsi.

7. Maesari, S.Pd, Kepala SD Negeri Randugunting 3 yang telah memberikan ijin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.


(7)

vii

ijin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.

9. Tri Wiyanti, S. Pd, guru pengampu kelas III SD Negeri Randugunting 3 yang telah memberikan waktu dan bimbingannya kepada peneliti dalam melaksanakan penelitian.

10. Siti Arifah, S.Pd, guru pengampu kelas III SD Negeri Randugunting 1 yang telah memberikan waktu dan bimbingannya kepada peneliti dalam melaksanakan penelitian.

11. Staf guru, karyawan, dan siswa SD Negeri Negeri Randugunting 1 dan 3 yang telah bersedia bekerjasama dalam penelitian ini.

12. Bapak dan Ibu yang telah memberikan segalanya kepada peneliti sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

13. Sahabat-sahabatku yang telah memberikan dukungannya. 14. Rekan-rekan mahasiswa PGSD UPP Tegal angkatan 2009.

Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca, sehingga dapat dijadikan referensi bagi guru atau insan-insan yang mempunyai perhatian di bidang pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak bangsa.

Tegal, 10 Juli 2013


(8)

viii

Kurnia, Rismadiani. 2013. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match terhadap Peningkatan Hasil Belajar Matematika pada Materi Bangun Datar Siswa Kelas III SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal. Skripsi, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: I. Drs. Yuli Witanto, M.Pd, II. Drs. Teguh Supriyanto, M.Pd.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Kooperatif, Make A Match, dan Hasil Belajar. Matematika merupakan mata pelajaran yang objeknya abstrak, sehingga dalam pembelajarannya diperlukan suatu model pembelajaran yang membuat siswa paham akan konsep yang sedang diajarkan dan lebih berpartisipasi aktif di dalam proses pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yaitu model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Rumusan masalah penelitian ini yaitu “apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas III SD pada materi Bangun Datar antara yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan yang menerapkan konvensional?”.  Tujuan penelitian untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional pada pembelajaran Matematika.

Populasi dalam penelitian sebanyak 75 siswa kelas III SD Negeri Randugunting 1 dan 3. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu propotionate stratified random sampling, dan diperoleh anggota sampel yang representatif sebanyak 63 siswa yang terdiri dari 33 SD Negeri Randugunting 3 yang dijadikan sebagai kelas eksperimen dan 30 siswa SD Negeri Randugunting 1 sebagai kelas kontrol. Data awal penelitian menggunakan nilai UTS siswa kelas III semester 2 dan diperoleh rata-rata nilai kelas eksperimen yaitu sebesar 80,61, sedangkan kelas kontrol sebesar 82,36. Setelah kelompok eksperimen diberikan model kooperatiftipe make a match dan kelompok kontrol diberi model pembelajaran konvensional, kedua kelompok diberikan tes akhir pada materi Bangun Datar dan diperoleh rata-rata nilai hasil belajar kelas eksperimen sebesar 81,27, sedangkan kelas kontrol hanya 73,73. Data hasil penghitungan dengan menggunakan rumus independent samples t test melalui program SPSS versi 20, menunjukkan bahwa model kooperatif tipe make a match efektif dan signifikan terhadap hasil belajar siswa. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe make a match terhadap peningkatan hasil belajar ditandai dengan nilai hasil thitung > ttabel (2,153 > 2,000) dan 0,035 < 0,05.

Dari hasil penelitian, diharapkan guru dapat menerapkan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Bagi siswa, sebaiknya lebih menggali pengetahuan dan aktif berkomunikasi dengan temannya. Bagi sekolah, perlu mengambil kebijakan yang mendukung pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dengan menyediakan fasilitas berupa buku-buku sebagai referensi dan berbagai media pembelajaran yang mendukung pembelajaran.


(9)

ix

Halaman

Judul ... i

Pernyataan Keaslian Tulisan ... ii

Persetujuan Pembimbing ... iii

Pengesahan ... iv

Motto dan Persembahan ... v

Prakata ... vi

Abstrak ... viii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Lampiran ... xiv

Bab 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Pembatasan Masalah ... 6

1.4 Perumusan Masalah ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.5.1 Tujuan Umum ... 6

1.5.2 Tujuan Khusus ... 7

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.6.2 Manfaat Praktis ... 7

2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ... 8

2.1.1 Hakikat Belajar ... 8

2.1.2 Hakikat Pembelajaran ... 9


(10)

x

2.1.5 Teori Belajar Matematika ... 12

2.1.5.1 Teori Belajar Bruner ... 12

2.1.5.2 Teori Belajar Dienes ... 14

2.1.5.3 Teori Belajar Van Hiele ... 16

2.1.6 Materi Geometri di Kelas III Sekolah Dasar ... 19

2.1.6.1 Jenis dan Besar Sudut ... 19

2.1.6.2 Sudut sebagai Jarak Putar ... 20

2.1.6.3 Sifat-sifat Bangun Datar ... 20

2.1.6.3.1 Segitiga ... 20

2.1.6.3.2 Persegi ... 21

2.1.6.3.3 Persegi Panjang ... 22

2.1.7 Karakteristik Siswa Sekolah Dasar ... 22

2.1.8 Model Pembelajaran ... 23

2.1.9 Model Pembelajaran Kooperatif ... 24

2.1.10 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match ... 27

2.1.11 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match 29 2.2 Penelitian yang Relevan ... 30

2.3 Kerangka Berpikir ... 32

2.4 Hipotesis ... 34

2.4.1 Hipotesis Operasional ... 34

2.4.2 Hipotesis Statistik ... 34

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel ... 35

3.1.1 Populasi ... 35

3.1.2 Sampel ... 35

3.2 Desain Penelitian ... 36

3.3 Variabel Penelitian ... 37

3.3.1 Variabel Bebas ... 38

3.3.2 Variabel Terikat ... 38


(11)

xi

3.4.2 Tes ... 38

3.4.3 Observasi ... 39

3.5 Instrumen Penelitian ... 39

3.5.1 Lembar Observasi ... 40

3.5.2 Dokumentasi ... 40

3.5.3 RPP ... 40

3.5.4 Soal-soal Tes ... 41

3.5.4.1 Validitas ... 41

3.5.4.2 Reliabilitas ... 42

3.5.4.3 Indeks Kesukaran Soal ... 42

3.5.4.4 Daya Pembeda Butir Soal ... 43

3.6 Deskripsi Data ... 45

3.7 Metode Analisis Data ... 45

3.7.1 Uji Prasyarat Analisis ... 45

3.7.2 Uji Hipotesis Akhir ... 47

3.8 Prosedur Penelitian ... 48

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data ... 50

4.2 Uji Prasyarat Instrumen ... 51

4.2.1 Uji Validitas ... 51

4.2.2 Uji Reliabilitas ... 52

4.2.3 Analisis Tingkat Kesukaran ... 53

4.2.4 Analisis Daya Pembeda Soal ... 54

4.2.5 Uji Kesamaan Rata-rata ... 55

4.3 Hasil Penelitian ... 57

4.4 Uji Prasyarat Analisis ... 57

4.4.1 Uji Normalitas Data ... 58

4.4.2 Uji Homogenitas Data ... 59

4.4.3 Pengujian Hipotesis (Uji t) ... 60


(12)

xii

5.1 Simpulan ... 66

5.2 Saran ... 67

Daftar Lampiran ... 69


(13)

xiii

Tabel Halaman

2.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif ... 27

3.1 Klasifikasi Indeks Kesukaran Soal ... 43

3.2 Klasifikasi Daya Pembeda Soal ... 44

3.3 Prosedur Penelitian Eksperimen ... 49

4.1 Deskripsi Data Hasil Belajar Siswa ... 50

4.2 Hasil Uji Reliabilitas Bentuk Soal Uraian ... 53

4.3 Analisis Tingkat Kesukaran Soal Bentuk Pilihan Ganda ... 54

4.4 Analisis Tingkat Kesukaran Soal Bentuk Uraian ... 54

4.5 Daya Pembeda Soal Bentuk Pilihan Ganda ... 54

4.6 Daya Pembeda Soal Bentuk Uraian ... 55

4.7 Distribusi Frekuensi Nilai UTS Kelas Eksperimen ... 56

4.8 Distribusi Frekuensi Nilai UTS Kelas Kontrol ... 56

4.9 Hasil Uji Kesamaan Rata-rata ... 57

4.10 Distribusi Frekuensi Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen ... 58

4.11 Distribusi Frekuensi Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol ... 58

4.12 Hasil Uji Normalitas Data Kelas Eksperimen ... 59

4.13 Hasil Uji Normalitas Data Kelas Kontrol ... 59

4.14 Hasil Uji Homogenitas Data ... 59


(14)

xiv

Lampiran Halaman

1. Daftar Populasi Siswa Kelas Eksperimen ... 69

2. Daftar Populasi Siswa Kelas Kontrol ... 70

3. Daftar Sampel Siswa Kelas Eksperimen ... 71

4. Daftar Sampel Siswa Kelas Kontrol ... 72

5. Lembar Observasi Aktivitas Guru pada Kelas Eksperimen ... 73

6. Silabus Matematika Kelas III SD ... 76

7. Silabus Pengembangan Matematika ... 77

8. Kisi-kisi Soal Uji Coba Matematika ... 79

9. Proses Validasi ... 82

10. Daftar Nilai UTS Siswa Kelas Eksperimen ... 100

11. Daftar Nilai UTS Siswa Kelas Kontrol ... 101

12. Input Data Nilai Hasil Uji Coba Soal Bentuk Pilihan Ganda ... 102

13. Out Put Validitas Nilai Hasil Uji Coba Soal Bentuk Pilihan Ganda ... 103

14. Out Put Reliabilitas Nilai Hasil Uji Coba Soal Bentuk Pilihan Ganda ... 107

15. Input Data Nilai Hasil Uji Coba Soal Bentuk Uraian ... 108

16. Out Put Validitas Data Nilai Hasil Uji Coba Soal Bentuk Uraian ... 109

17. Out Put Reliabilitas Data Nilai Hasil Uji Coba Soal Bentuk Uraian ... 110

18. Analisis Tingkat Kesukaran Soal Bentuk Pilihan Ganda ... 111

19. Analisis Tingkat Kesukaran Soal Bentuk Uraian ... 112

20. Analisis Daya Pembeda Soal Bentuk Pilihan Ganda ... 113

21. Analisis Daya Pembeda Soal Bentuk Uraian ... 114

22. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Eksperimen 1 ... 115

23. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Eksperimen 2 ... 127

24. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Eksperimen 3 ... 140

25. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kontrol 1 ... 152

26. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kontrol 2 ... 161

27. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kontrol 3 ... 171


(15)

xv

30. Daftar Nilai Tes Akhir Kelas Kontrol ... 189 31. Hasil Uji Normalitas ... 190 32. Hasil Uji Homogenitas dan Uji t ... 191 33. Hasil Penghitungan Manual Uji T Nilai Tes Akhir dengan Pihak Kanan ... 192 34. Dokumentasi ... 194


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Berdasarkan naskah lampiran peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 mengenai standar isi, disebutkan bahwa pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut, pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam di dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Permendiknas 2006: 1).

Sistem Pendidikan Nasional merupakan integrasi dari komponen-komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Di dalamnya terdapat segala sesuatu yang mengatur proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Hakikat pendidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 yaitu:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif


(17)

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.

Usaha-usaha tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk jalur pendidikan. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Kegiatan pendidikan jalur formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Berdasarkan Bab IV Pasal 6 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 mata pelajaran yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Keterampilan, dan Muatan Lokal.

Di dalam naskah lampiran peraturan Menteri Pendidikan Nasional (2006: 416) ditegaskan bahwa mata pelajaran Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan


(18)

menciptakan teknologi di masa depan, diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari Sekolah Dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Pada proses pembelajarannya, siswa masih kurang bisa menyesuaikan diri pada kondisi pembelajaran yang cenderung bersifat kaku dan didominasi oleh guru. Oleh karena itu, seorang guru harus lebih kreatif dan inovatif dalam membelajarkan Matematika kepada siswa, misalnya dalam menggunakan permainan atau games dan media pembejaran. Permainan merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan dunia anak-anak. Mereka memiliki ketertarikan yang tinggi akan hal tersebut. Melalui permainan, siswa akan terbawa dalam suasana yang menyenangkan sambil mempelajari suatu materi. Siswa tidak akan merasa terbebani dalam belajar ketika pembelajaran yang dirancang guru disesuaikan dengan karakteristik perkembangan mereka.

Namun pada kenyataannya, pembelajaran di SD pada umumnya masih menerapkan model pembelajaran konvensional. Bernero (2000) dalam Hillen dan Leigh (2006: 4) mengungkapkan pendapat mengenai pembelajaran konvensional melalui pernyataan berikut ini “Traditional teaching in math classrooms has focused on ‘teacher talks–students listen’. Learning in this manner tends to be very passive and memory-based, making low cognition demands on learners”. Pendapat Bernero tersebut dapat diartikan bahwa pembelajaran Matematika yang menggunakan model


(19)

konvensional terfokus pada guru yang berbicara dan siswa yang mendengarkan. Pembelajaran seperti ini cenderung sangat pasif dan bersifat hafalan, serta membuat rendahnya perkembangan kognisi siswa. Akibatnya, Matematika dianggap sebagai salah satu mata pelajaran di SD yang sulit, minat siswa rendah, dan capaian hasil belajar siswa kurang maksimal, termasuk hasil belajar siswa pada materi Bangun Datar.

Berdasarkan Permendiknas (2006: 417), ruang lingkup mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) Bilangan; (2) Geometri dan pengukuran; dan (3) Pengolahan data. Pembelajaran Geometri di kelas III SD bertujuan untuk menanamkan konsep Bangun Datar. Untuk membantu siswa memahami konsep tersebut, guru membutuhkan media dan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan mereka.

Pengamatan dan wawancara yang peneliti lakukan dengan guru kelas III SD Negeri Randugunting 3, pada 8 Januari 2013, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran Geometri, guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini menyebabkan ada beberapa siswa yang nilainya belum melampaui Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM yang ditetapkan untuk mata pelajaran Matematika yaitu 68. Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan materi serta karakteristik perkembangan siswa, sehingga siswa dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan dan berpartsipasi aktif dalam proses pembelajarannya.

Masalah di atas dapat diatasi dengan menerapkan model pembelajaran yang lebih tepat. Penggunaan model pembelajaran harus disesuaikan dengan materi dan karakteristik siswa. Model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mereka yang senang bermain salah satunya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Selain itu, model pembelajaran kooperatif tipe make a match juga sesuai


(20)

untuk semua tipe gaya belajar siswa, yaitu tipe belajar visual, auditorial, dan kinestetik.

Model pembelajaran kooperatif tipe make a match dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Model pembelajaran kooperatif tipe make a match (membuat pasangan) memiliki keunggulan, yaitu melalui model ini siswa dapat mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan (Rusman 2011: 223).

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional pada pembelajaran Matematika materi Bangun Datar, dengan judul “Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match terhadap PeningkatanHasil Belajar Matematika pada Materi Bangun Datar Siswa Kelas III Sekolah Dasar Negeri Randugunting 3 Kota Tegal”.

1.2

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dia atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

(1) Pembelajaran masih berpusat pada guru, sehingga siswa kurang berperan aktif dalam pembelajaran.

(2) Model pembelajaran Matematika di SD masih menggunakan model pembelajaran konvensional, sehingga menyebabkan siswa bosan.

(3) Penggunaan model pembelajaran konvensional yang tidak dikombinasikan dengan metode lain yang lebih inovatif, menyebabkan nilai Matematika siswa tidak maksimal.


(21)

(4) Guru kurang kreatif dalam menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa dan materi Bangun Datar, sehingga siswa pasif dalam mengikuti pembelajaran dan hal ini juga berdampak negatif terhadap hasil belajar siswa.

(5) Guru belum menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match pada pembelajaran matematika materi Bangun Datar.

1.3

Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitimembatasipermasalahan sebagai berikut:

(1) Variabel yang akan diteliti yaitu model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan hasil belajar siswa pada materi Bangun Datar.

(2) Peneliti memfokuskan penelitian pada keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe make a match terhadap hasil belajar siswa SD kelas III pada materi Bangun Datar.

1.4

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang dapat diambil yaitu:

Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas III SD pada materi Bangun Datar antara yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan yang menerapkan konvensional?

1.5

Tujuan Penelitian

Di dalam setiap penelitian tentu ada tujuan yang hendak dicapai. Terdapat dua tujuan di dalam penelitian ini, yaitu tujuan umum dan khusus.


(22)

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum diadakannya penelitian ini untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional pada pembelajaran Matematika.

1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil belajar siswa kelas III SD antara yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan yang menerapkan konvensional pada pembelajaran Matematika materi Bangun Datar.

1.6

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu: 1.6.1 Manfaat Teoritis

(1) Meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran Matematika khususnya pada materi Bangun Datar.

(2) Memberikan informasi bagi guru mengenai pembelajaran kooperatif tipe make a match.

(3) Membantu sekolah mencapai tujuan pendidikan institusional. 1.6.2 Manfaat Praktis

(1) Meningkatnya hasil belajar siswa kelas III SD khususnya mata pelajaran Matematika materi Bangun Datar.

(2) Memotivasi guru untuk melakukan pembelajaran inovatif.

(3) Memotivasi sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang mengikutsertakan keterlibatan siswa.


(23)

8

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Landasan teori berasal dari dua kata, yaitu kata “landasan” yang berarti dasar atau tumpuan (KBI 2008: 808) dan “teori” yang berarti (1) pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi; (2) penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi; (3) asas dan hukum umum yg menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan; (4) pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu (KBI 2008: 1501). Teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan yang membantu peneliti menyusun penelitian yaitu hakikat belajar, hakikat pembelajaran, hasil belajar, hakikat Matematika sekolah dasar, teori belajar Matematika, materi Geometri di kelas III sekolah dasar, karakteristik siswa sekolah dasar, model pembelajaran, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran kooperatif tipe make a match, dan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe make a match.

2.1.1 Hakikat Belajar

Cronbach (t.t) dalam Suprijono (2012: 2) berpendapat bahwa learning is shown by a change in behavior as a result of experience, yang berarti belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Pendapat lain dikemukakan oleh Winkel (1989) dalam Kurnia dkk. (2007: 1.3) yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses kegiatan mental pada diri seseorang yang berlangsung dalam


(24)

interaksi aktif individu dengan lingkungannya, sehingga menghasilkan perubahan yang relatif menetap dalam kemampuan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hamalik (2008: 27) mengemukakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.

Jadi, belajar pada hakikatnya merupakan salah satu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku yang relatif menetap dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang diperoleh melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar terjadi secara sadar, bersifat kontinu, relatif menetap, serta mempunyai tujuan terarah pada kemajuan yang progresif.

2.1.2 Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari (Suprijono 2012: 13). Menurut Corey (1986) dalam Ruminiati (2007: 1.14), pembelajaran adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang dikelola secara disengaja untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu, sehingga dalam kondisi-kondisi khusus akan menghasilkan respons terhadap situasi tertentu juga. Nurani (2003) dalam Ruminiati (2007: 1.14) mengemukakan bahwa konsep pembelajaran merupakan sistem lingkungan yang dapat menciptakan proses belajar pada diri siswa selaku siswa dan guru sebagai pendidik, dengan didukung oleh seperangkat kelengkapan, sehingga terjadi pembelajaran. Pendapat lain dikemukakan oleh Rusman (2011: 144) yang mengemukakan bahwa pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa, baik interaksi secara langsung maupun tidak langsung.


(25)

Jadi, pembelajaran selalu melibatkan guru dan siswa. Semua kegiatan yang dilakukan oleh guru semata-mata diarahkan untuk membantu siswa mempelajari materi tertentu. Peran guru dalam pembelajaran juga diungkapkan oleh Dykstra dalam pernyataan berikut ini “the role of the teacher is not to steer the learning process, but rather to create a rich learning environment” (2006: 15). Dykstra menyatakan bahwa peran guru bukan untuk mengendalikan pembelajaran, lebih jauh lagi yaitu menciptakan suasana pembelajaran yang baik.

Untuk dapat membantu siswa dengan baik, guru harus merencanakan pembelajaran secara matang, dan mengetahui latar belakang serta kemampuan dasar siswa. Latar belakang siswa yang dimaksud di sini yaitu latar belakang ekonomi, asal sekolah, orang tua, dan keberadaan siswa di kelas. Pembelajaran yang dipersiapkan secara matang akan memberi dampak positif terhadap hasil belajar siswa.

2.1.3 Hasil Belajar

Menurut Suprijono (2012: 5), hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Bloom (1956) dalam Poerwanti dkk. (2008: 1.23) memberikan penjelasan bahwa hasil belajar mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

(1) Ranah Kognitif

Dalam hubungannya dengan satuan pelajaran, ranah kognitif memegang tempat utama, terutama dalam tujuan pembelajaran di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menegah Atas. Jenjang ranah kognitif yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.


(26)

(2) Ranah Afektif

Ranah afektif diartikan sebagai internalisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu menjadi sadar tentang nilai yang diterima, kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah lakunya. Jenjang kemampuan dalam ranah afektif yakni menerima, menjawab, menilai, dan organisasi.

(3) Ranah Psikomotor

Ranah psikomotor berkaitan dengan gerakan tubuh atau bagian-bagiannya mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Kata operasional untuk aspek psikomotor harus menunjuk pada aktualisasi kata-kata yang dapat diamati, yaitu muscular or motor skill, manipulations of materials or objects, neuromuscular coordination.

2.1.4 Hakikat Matematika Sekolah Dasar

Ibrahim dan Suparni (2012: 35) berpendapat bahwa Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, dan mempunyai peran penting dalam memajukan daya pikir manusia. Oleh karena itu, matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga matematika perlu dikenalkan kepada siswa sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-kanak.

Tujuan mata pelajaran Matematika termaktub dalam Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 sebagai berikut:

Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien,


(27)

dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006, ruang lingkup mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek Bilangan, Geometri dan Pengukuran, serta Pengolahan data. Salah satu aspek Geometri yang diajarkan pada siswa di kelas III SD yaitu materi Bangun Datar. Sebenarnya, pengenalan berbagai bentuk bangun datar bukan merupakan topik yang terlalu sulit untuk diajarkan, hanya saja, selama ini guru sering kali kurang memerhatikan batasan-batasan sejauh mana materi yang perlu diberikan kepada siswa.

Matematika merupakan ilmu yang cara bernalarnya abstrak, tetapi harus diberikan kepada siswa SD yang cara berpikirnya masih pada tahap operasi konkret. Oleh karena itu, guru perlu berhati-hati dalam mengajarkan konsep-konsep matematika tersebut. Siswa SD belum mampu berpikir abstrak, berpikirnya harus dikaitkan dengan gambar-gambar ataupun benda-benda konkret yang ada di sekitar mereka.

2.1.5 Teori Belajar Matematika

2.1.5.1Teori Belajar Bruner

Berdasarkan teori ini, manusia adalah pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Menurut Bruner (t.t) dalam Aisyah dkk. (2007: 1.5), belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang


(28)

terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik objek. Jadi, siswa haruslah terlibat aktif agar dapat mengenal konsep dan struktur yang sedang dibicarakan, siswa akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Bruner memaparkan tiga tahapan penyajian pengetahuan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik yang dikenal dengan teori belajar Bruner.

(1) Tahap Enaktif

Pada tahap ini, siswa belajar sesuatu pengetahuan secara aktif. Siswa belajar dengan menggunakan benda-benda konkret. Siswa akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.

(2) Tahap Ikonik

Dalam tahap ini, kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal di mana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan siswa. Rangkaian gambar-gambar atau grafik tersebut berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.

(3) Tahap Simbolik

Pada tahap ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, yaitu simbol-simbol-simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal, lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.


(29)

Bruner (t.t) dalam Aisyah dkk. (2007: 1.20) memaparkan bahwa terdapat beberapa langkah dalam penerapan teori belajarnya. Langkah-langkah yang dimaksud yaitu sebagai berikut:

(1) Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep yang hendak diajarkan. Misalnya: guru hendak mengajarkan bentuk bangun datar segiempat. Untuk contoh, guru memberikan bangun datar persegi dan persegi panjang, sedangkan segitiga, segilima, dan lingkaran mewakili bangun yang bukan merupakan contoh dari segiempat.

(2) Bantu siswa untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada siswa seperti berikut ini: ”Apakah nama bentuk ubin yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?”.

(3) Berikan satu pertanyaan dan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya: “Jelaskan ciri-ciri bangun ubin tersebut!”.

(4) Ajak dan beri semangat siswa agar mereka berani mengemukakan pendapatnya. Guru dapat menggunakan pertanyaan yang dapat memandu siswa untuk berpikir dan mencari jawaban yang benar sehingga akan tercipta pembelajaran yang efektif.

2.1.5.2Teori Belajar Dienes

Teori belajar Dienes menekankan pada tahapan permainan. Dienes (1992) dalam (Aisyah dkk. 2007: 2.8) memaparkan tahap-tahap belajar, yaitu permainan bebas, menggunakan aturan, kesamaan sifat, representasi, simbolisasi, dan formalisasi.


(30)

(1) Permainan Bebas

Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Siswa diberi kebebasan untuk mengatur dan memanipulasi benda benda. Selama permainan, pengetahuan siswa akan muncul. Dalam tahap ini, siswa mulai membentuk struktur mental dan sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari.

(2) Permainan yang Menggunakan Aturan

Dalam permainan yang menggunakan aturan, siswa sudah mulai meneliti pola-pola serta keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu, tetapi tidak terdapat dalam

konsep yang lainnya. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang

diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman yang dapat diperoleh dari permainan.

(3) Permainan Kesamaan Sifat

Dalam permainan kesamaan sifat, siswa akan mencari kesamaan sifat dari objek yang mereka amati. Siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.


(31)

(4) Permainan Representasi

Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya.

(5) Permainan dengan Simbolisasi

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.

(6) Permainan dengan Formalisasi

Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini, siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut.

2.1.5.3 Teori Belajar Van Hiele

Van Hiele adalah seorang pengajar matematika yang telah mengadakan penelitian di lapangan. Penelitian yang dilakukan Van Hiele memunculkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele (1998) dalam Aisyah dkk. (2007: 4.2) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri, yaitu pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan.

(1) Tahap Pengenalan

Pada tahap pengenalan, siswa hanya mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi, dan bangun-bangun geometri


(32)

lainnya. Siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya.

(2) Tahap Analisis

Pada tahap analisis, siswa sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, namun belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dan bangun geometri lainnya. (3) Tahap Pengurutan

Pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi. Pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dan bangun geometri lainnya. Pada umumnya, siswa SD hanya mampu mencapai tahap ini.

(4) Tahap Deduksi

Pada tahap ini, siswa sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus.

(5) Tahap Keakuratan

Siswa sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahapan ini memerlukan cara berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, hanya sedikit sekali siswa yang sampai pada tahap berpikir ini.

Selain memaparkan tahapan pemahaman geometri, Van Hiele (1998) dalam Aisyah dkk. (2007: 4.10) juga memaparkan fase-fase pada pembelajaran geometri. Van Hiele mengemukakan pendapatnya bahwa dalam pembelajaran geometri terdapat 5 fase yang dilalui oleh siswa.


(33)

(1) Fase Informasi

Pada awal tingkat ini, guru dan siswa melaksanakan tanya jawab dan kegiatan mengenai objek-objek yang dipelajari. Tujuan dari kegiatan ini yaitu: (1) Guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas dan (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.

(2) Fase Orientasi

Setelah melewati tahap informasi, siswa akan memasuki tahap orientasi. Pada tahap ini, siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang telah disiapkan guru.

(3) Fase Penjelasan

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diamati. Untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan secukupnya.

(4) Fase Orientasi Bebas

Pada tahap orienrasi bebas, siswa akan mencoba untuk memperoleh pengalaman sendiri dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

(5) Fase Integrasi

Pada fase ini, siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Pada akhir fase ini, siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya.


(34)

2.1.6 Materi Geometri di Kelas III Sekolah Dasar

Materi Geometri, khususnya materi Bangun Datar merupakan salah satu materi di kelas III semester 2. Materi Bangun Datar termasuk dalam standar kompetensi memahami unsur dan sifat-sifat bangun datar sederhana. Alokasi waktu yang disediakan untuk mengajar materi Bangun Datar yaitu 8 jam pelajaran. Berikut ini merupakan rangkuman materi Bangun Datar yang menc akup Jenis dan Besar Sudut, Sudut sebagai Jarak Putar, serta Sifat-sifat Bangun Datar.

2.1.6.1 Jenis dan Besar Sudut

Sudut

C

A B

Kaki sudut

Kaki sudut Titik sudut

Sudut Siku-siku Sudut Tumpul Sudut Lancip Gambar 2.1 Bagian-bagian Sudut


(35)

2.1.6.2 Sudut sebagai Jarak Putar

2.1.6.3 Sifat-sifat Bangun Datar

2.1.6.3.1Segitiga

Untuk dapat mengetahui dan menanamkan pemahaman siswa tentang konsep segitiga, guru dapat menempuh langkah-langkah berikut ini:

(1) Menyediakan beberapa gambar bangun datar sederhana. a

b  b

b

b b 

Gambar 2.3 Sudut sebagai Jarak Putar


(36)

(2) Menyuruh siswa untuk menyebutkan benda-benda di sekeliling mereka yang berbentuk segitiga.

(3) Selanjutnya, menyuruh siswa untuk memilih benda-benda yang termasuk segitiga di antara bangun datar yang telah disediakan.

(Heruman 2008: 97). 2.1.6.3.2 Persegi

Sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun persegi yaitu: (1)Mempunyai empat sisi yang sama panjang. (2)Mempunyai empat sudut siku-siku.

Untuk menanamkan pemahaman siswa tentang konsep persegi, guru dapat menempuh langkah-langkah berikut ini:

(1) Menyediakan kertas berwarna.

(2) Bila kertas tersebut tidak berbentuk persegi, maka guru bersama dengan siswa melipat kertas secara diagonal, menghimpitkan sisinya, kemudian mengguntingnya.

(3) Menanyakan kepada siswa mengenai bangun tersebut dan memberitahu bahwa bangun tersebut bernama persegi.

(4) Memberikan waktu kepada siswa untuk menganalisis bangun persegi yang dipegangnya.


(37)

(5) Menyimpulkan ciri-ciri persegi bersama siswa. (Heruman 2008: 88)

2.1.6.3.3Persegi Panjang

Sifat-sifat bangun persegi panjang yaitu:

(1) Mempunyai dua pasang sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar.

(2) Mempunyai empat sudut siku-siku.

Untuk menanamkan pemahaman siswa tentang konsep persegi panjang, guru dapat menempuh langkah-langkah berikut ini:

(1) Menugasi siswa untuk membawa 2 lembar kertas.

(2) Mengingatkan siswa tentang sifat-sifat persegi sebelum mengajarkan sifat-sifat persegi panjang.

(3) Menugasi mereka untuk menganalisis kertas yang berbentuk persegi panjang tersebut.

(Heruman 2008: 92).

2.1.7 Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Masa usia sekolah dasar (6-12 tahun) merupakan tahap perkembangan yang paling penting dan bahkan sangat fundamental bagi kesuksesan di tahap


(38)

perkembangan yang selanjutnya (Sumantri dan Permana 2001: 10). Basset, Jacka, dan Logan (1983) dalam Sumantri dan Permana (2001: 11) memaparkan beberapa karakteristik umum yang dimiliki siswa SD, yaitu:

(1) Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi serta tertarik dengan dunia sekitar yang mengelilingi mereka.

(2) Senang bermain dan bergembira riang. (3) Senang bereksplorasi dan bereksperimen. (4) Terdorong untuk berprestasi.

(5) Belajar secara efektif ketika puas dengan situasi yang terjadi.

(6) Belajar dengan cara bekerja, mengamati, berinisiatif, dan mengajar teman-temannya.

2.1.8 Model Pembelajaran

Arends (1997) dalam Suprijono (2012: 46) mengemukakan bahwa model pembelajaran mengacu kepada pendekatan yang digunakan, termasuk di dalamnya, tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolalaan kelas. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar (Suprijono 2012: 47). Pendapat lain dikemukakan oleh Joyce dan Weil (1980) dalam Rusman (2011: 133) bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.


(39)

Pengertian model pembelajaran di atas, mengasumsikan bahwa guru terikat erat dengan model pembelajaran. Melalui model pembelajaran, guru dapat membantu siswa mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide. Rusman (2011: 136) mengemukakan ciri-ciri model pembelajaran sebagai berikut:

(1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar para ahli tertentu. (2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu.

(3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.

(4) Memiliki langkah pembelajaran, prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung.

(5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.

(6) Membuat persiapan mengajar dengan model pembelajaran yang dipilihnya.

2.1.9 Model Pembelajaran Kooperatif

Pada umumnya, masyarakat menilai bahwa pembelajaran kooperatif sama dengan belajar kelompok. Padahal, pembelajaran kooperatif yang sesungguhnya bukan sekedar kegiatan pembelajaran yang mengelompokkan siswa ke dalam kelompok kecil kemudian menyuruh mereka untuk belajar bersama.

Menurut Suprijono (2012: 54), pembelajaran kooperatif merupakan konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk yang dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Pembelajaran kooperatif berbeda dengan belajar kelompok. Model pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif apabila pembelajaran itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Memudahkan


(40)

siswa belajar dan (2) Pengetahuan, nilai, serta keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai (Suprijono 2012: 58).

Lie (2010:31) menyatakan bahwa terdapat 5 ciri-ciri khusus pembelajaran kooperatif, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok.

(1) Saling ketergantungan positif

Setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masing-masing tugasnya. Kerja sama merupakan kunci dari keberhasilan pembelajaran kooperatif. Kerja sama akan berhasil jika masing-masing anggota berkontribusi terhadap pekerjaannya.

(2) Tanggung jawab perseorangan

Sebelum pembelajaran kooperatif diadakan, perlu diadakan persiapan dan pembagian tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjunya dalam kelompok bisa dilaksanakan.

(3) Tatap muka

Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan ini akan memberikan siswa untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua siswa. Hasil pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil pemikiran dari satu kepala. Lebih jauh lagi, hasil kerja sama ini jauh lebih besar daripada jumlah hasil masing-masing anggota. Inti dari sinergi yaitu menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing anggota. Sinergi


(41)

sangat dibutuhkan karena pada dasarnya, setiap anggota kelompok memiliki latar belakang pengalaman, keluarga, sosial, dan ekonomi yang berbeda antara satu dan lainnya. Sinergi tidak dapat terbentuk dalam waktu yang singkat. Melalui kegiatan tatap muka ini, siswa akan mengenal satu sama lain dan belajar untuk menerima kelebihan serta kekurangan teman saru kelompoknya.

(4) Komunikasi antar anggota

Unsur komunikasi menghendaki agar siswa dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi. Perlu disadari bahwa tidak semua siswa mempunyai keahlian dalam mendengarkan dan berbicara. Sebelum memberikan tugas kepada siswa dalam kelompok, guru perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengungkapkan gagasan. Keterampilan berkomunikasi dakam kelompok juga membutuhkan proses yang panjang. (5) Evaluasi proses kelompok

Guru perlu membuat jadwal waktu khusus untuk mengevaluasi proses dan hasil kerja sama kelompok. Hasil penilaian tersebut dapat dijadikan sebagai tolok ukur, agar pada kesempatan selanjutnya mereka bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

Selanjutnya, Trianto (2010: 66) menyatakan terdapat enam tahap dalam pembelajaran kooperatif. Enam tahap pembelajaran kooperatif tersebut disajikan pada tabel 2.1


(42)

Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Fase Tingkah Laku Guru

Fase-1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase-2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase-3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Fase-4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase-5 Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang yang telah dipelajari atau

masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase-6

Memberikan Penghargaan

Guru mencari cara-cara materi untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

2.1.10 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Model pembelajaran kooperatif tipe make a match (membuat pasangan) dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Teknik ini mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Keunggulan teknik ini yaitu siswa mencari pasangan sambil belajar mencari konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Model pembelajaran kooperatif tipe make a match sesuai dengan gaya belajar apapun yang dimiliki oleh siswa (Rusman 2011: 223). Hamruni (2012:


(43)

157) mengemukakan beberapa gaya belajar yang dimiliki oleh siswa, yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik.

(1) Gaya Belajar Visual

Siswa yang memiliki gaya belajar visual memiliki ciri-ciri berikut: (1) Rapi dan teratur; (2) Berbicara dengan cepat; (3) Teliti; (4) Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar; (5) Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis; dan (6) Lebih suka membaca daripada dibacakan.

(2) Gaya Belajar Auditorial

Siswa yang memiliki gaya belajar auditorial memiliki ciri-ciri berikut: (1) Berbicara pada diri sendiri saat bekerja; (2) Menggerakkan bibir mereka ketika membaca; (3) Pandai bercerita; (4) Pembicara yang fasih; dan (5) Suka berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar.

(3) Gaya Belajar Kinestetik

Siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik memiliki ciri-ciri berikut: (1) Menanggapi perhatian fisik; (2) Mencari perhatian dengan cara menyentuh orang; (3) Selalu berorientasi pada fisik dan banyak sekali bergerak; (4) Belajar melalui memanipulasi dan praktik; (5) Tidak dapat duduk dan diam dalam waktu lama; dan (6) Menyukai permainan yang menyibukkan.

Berdasarkan penjelasan mengenai macam-macam gaya belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe make a match sesuai dengan gaya belajar apapun yang dimiliki oleh siswa, karena dalam prosesnya siswa akan


(44)

terlibat dalam permainan menyenangkan yang melibatkan penglihatan, pendengaran, serta gerak tubuh mereka.

2.1.11 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Hal yang perlu dipersiapkan dalam pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match yaitu kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut yaitu kartu pertanyaan dan jawaban. Kartu jawaban merupakan kartu yang berisi jawaban dari pertanyaan yang ada di kartu pertanyaan. Menurut Suprijono (2012: 94), jika kartu telah disiapkan, maka langkah make a match berikutnya yaitu:

(1) Guru membagi kelas menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok pembawa kartu pertanyaan. Kelompok kedua merupakan kelompok yang membawa kartu jawaban dan Kelompok ketiga sebagai kelompok penilai.

(2) Atur posisi perkelompok hingga membuat huruf U untuk ketiga kelompok tersebut dengan kelompok pertama dan kedua saling berhadapan.

(3) Guru memberi tanda, misalnya dengan membunyikan peluit atau tepukan, agar kelompok pertama dan kedua bergerak saling mencari pasangan jawaban yang cocok.

(4) Berikan waktu pada kelompok pertama dan kedua untuk mendiskusikan isi dari kartu yang mereka bawa.

(5) Hasil diskusi ditandai oleh terbentuknya pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu pertanyaan dan kartu jawaban.


(45)

(6) Pasangan-pasangan tersebut wajib memberikan pertanyaan dan jawaban yang dibawanya kepada kelompok penilai.

(7) Penilai menilai jawaban pasangan-pasangan yang terbentuk dari diskusi. (8) Pelaksanaan make a match dapat diulangi hingga semua siswa dalam

kelas mengalami berada dalam ketiga kelompok di atas dengan perannya masing-masing.

2.2

Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian relevan tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match, di antaranya yaitu:

(1) Penelitian yang berjudul “Keefektifan Penerapan Model Make A Match pada Pembelajaran Matematika Kelas V Materi Geometri di Sekolah Dasar Negeri 1 Purbalingga Kidul Kabupaten Purbalingga” yang dilakukan oleh Wendi Nugraha pada tahun 2012. Rata-rata persentase aktivitas belajar siswa yang menerapkan model make a match sebesar 88,45, sedangkan rata-rata persentase aktivitas belajar siswa yang menerapkan model konvensional sebesar 75,42. Hal ini membuktikan aktivitas belajar di kelas yang menerapkan model make a match lebih baik daripada kelas yang menggunakan model konvensional.

(2) Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Satyawati, mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2009. Penelitian tersebut berjudul “Upaya Meningkatkan Minat Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis Bantul dengan Model Cooperative Learning Tipe Make a Match”. Berdasarkan hasil


(46)

observasi, minat belajar matematika siswa setelah siklus I 63,3% dan setelah siklus II naik menjadi 81,4%. Berdasarkan hasil angket, minat belajar siswa sebelum tindakan, setelah siklus I dan setelah siklus II berturut-turut 59,3%, 61,5%, dan 67,8%. Meningkatnya minat belajar matematika siswa berdampak pada hasil tes prestasi siswa, yang ditunjukkan dengan meningkatnya rata-rata hasil tes prestasi siswa dari 75,6 pada siklus I menjadi 78,2 pada siklus II. Hal ini membuktikan bahwa model pembelajaran cooperative learning tipe make a match dapat meningkatkan minat belajar Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis Bantul.

(3) Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Jayanti, mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Negeri Semarang pada tahun 2012. Penelitian tersebut berjudul “Keefektifan Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A Match terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar IPS Materi Perkembangan Teknologi Kelas IV SD Negeri Pekiringan 02 Kabupaten Tegal”. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor aktivitas belajar siswa kelas ekperimen pada pertemuan pertama sebesar 79,61 dan pertemuan kedua sebesar 85,27 dengan kriteria penilaian sangat tinggi. Rata-rata skor aktivitas belajar siswa kelas kontrol pada pertemuan pertama sebesar 70,65 dan pertemuan kedua sebesar 74,86 dengan kriteria penilaian sangat tinggi. Hasil belajar siswa diperoleh rata-rata nilai kelas eksperimen sebesar 74,76, sedangkan kelas kontrol sebesar 62,83.Jadi, model pembelajaran kooperatif tipe make a match terbukti efektif meningkatkan aktivitas


(47)

dan hasil belajar IPS siswa kelas IV SD Negeri Pekiringan 02 Kabupaten Tegal.

Dari beberapa hasil penelitian yang telah disebutkan, terdapat perbedaan dan persamaan dengan apa yang akan peneliti lakukan. Perbedaannya terletak pada jenis penelitian yang digunakan yaitu pada mata pelajaran Matematika menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan yang peneliti lakukan yaitu jenis penelitian eksperimen, serta perbedaan pada materi dan mata pelajarannya yaitu IPS. Persamaannya terletak pada model pembelajaran yang digunakan yaitu model pembelajaran kooperatif teknik make a match.

Hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan dapat menjadi rujukan dalam meneliti apakah model pembelajaran kooperatif tipe make a match efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas III pada pembelajaran Matematika materi Bangun Datar SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal.

2.3

Kerangka Berpikir

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa di sekolah. Isi pelajaran Matematika itu sendiri berupa objek mental yang bersifat abstrak, sedangkan pada umumnya perkembangan kognitif siswa sekolah dasar baru mencapai tahap operasional konkret. dalam pembelajaran Geometri, guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional. Bernero (2000) dalam Hillen dan Leigh (2006: 4) mengungkapkan pendapat mengenai pembelajaran konvensional melalui pernyataan “traditional teaching in math classrooms has focused on ‘teacher talks–students listen’, learning in this manner tends to be very passive and memory-based, making low cognition demands on learners”. Pendapat


(48)

Bernero tersebut dapat diartikan bahwa pembelajaran Matematika yang menggunakan model konvensional terfokus pada guru yang berbicara dan siswa yang mendengarkan. Pembelajaran seperti ini cenderung sangat pasif dan bersifat hafalan, serta membuat rendahnya perkembangan kognisi siswa. Oleh karena itu, guru perlu menggunakan media atau model pembelajaran yang mempermudah mereka untuk memahami setiap materi Matematika yang diajarkan di sekolah.

Geometri membahas mengenai logika keruangan atau pemahaman ruang. Pembelajaran Geometri di kelas III SD bertujuan untuk menanamkan konsep Bangun Datar. Untuk membantu siswa memahami konsep tersebut, guru membutuhkan media dan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mereka.

Ada berbagai cara yang bisa dilakukan oleh guru untuk menyampaikan materi Geometri. Tentunya, cara yang ditempuh harus sesuai dengan materi serta perkembangan siswa yang akan menerima materi tersebut. Model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran berbasis sosial, di mana siswa dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok kecil, sedangkan guru bertugas sebagai pemimpin atau pemberi arahan saja. Model pembelajaran tersebut mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, karena siswa akan mempelajari suatu konsep dengan cara bermain mencari pasangannya.

Tentu saja, kegiatan pembelajaran ini diharapkan dapat menjadikan siswa mengalami perubahan tingkah laku sebagai wujud adanya proses belajar. Untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran oleh siswa terhadap materi ini, guru perlu melakukan evaluasi.


(49)

2.4

Hipotesis

Hipotesis penelitian berfungsi memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah atau research questions (Sukardi, 2008: 42).

2.4.1 Hipotesis Operasional

Hipotesis operasional yang diajukan yaitu:

Ho : Tidak terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas III antara yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan yang menerapkan model pembelajaran konvensional.

Ha : Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas III antara yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make match dan yang menerapkan model pembelajaran konvensional.

2.4.2 Hipotesis Statistik Ho: µ1=

µ

2

Ha: µ1≠

µ

                 


(50)

35

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1

Populasi dan Sampel

3.1.1 Populasi

Menurut Sugiyono (2011: 119), populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi pada penelitian ini yaitu siswa kelas III di SD Negeri Randugunting 1 dan 3 yang berjumlah 75 siswa. Rincian siswa kelas III sebagai berikut:

(1) Kelas III SD Negeri Randugunting 1 sebanyak 36 siswa. (2) Kelas III SD Negeri Randugunting 3 sebanyak 39 siswa.

Alasan penentuan populasi tersebut yaitu karena kedua sekolah tersebut memiliki karakteristik sebanding dan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Karakteristik sekolah yang dimaksud yaitu: (1) Siswa yang memiliki kondisi dan karakteristik yang relatif sama, yaitu berasal dari daerah dan tempat tinggal yang sama, yang berdekatan dengan sekolah; (2) Kondisi guru yang mempunyai klasifikasi yang sama, yaitu guru dengan kualifikasi S-1; dan (3) Kurikulum dan materi pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan standar yang berlaku. Di samping itu, kedua sekolah tersebut juga memiliki tingkat akreditasi yang sama, yaitu A.

3.1.2 Sampel

Menurut Sugiyono (2011: 120), sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh sebuah populasi. Sukardi (2008: 58) menyatakan


(51)

bahwa pemilihan teknik pengambilan sampel dengan probability sampling sangat dianjurkan, karena prinsip objektivitas antara peneliti dan yang diteliti masih dapat dijamin. Cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling, yaitu cara pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono 2011: 82). Berdasarkan tabel Krecjie dengan α = 5% dan jumlah populasi 75 siswa, diambil sampel sebanyak 63 siswa. Berdasarkan banyak siswa masing-masing kelas, sampel dalam penelitian ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Sampel tiap kelas = x jumlah sampel

Berdasarkan penghitungan dengan rumus di atas, rincian siswa kelas eksperimen dan kontrol sebagai berikut:

(1) Kelas eksperimen sebanyak 33 siswa. (2) Kelas kontrol sebanyak 30 siswa.

3.2

Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu quasi experimental design. Quasi experimental design merupakan pengembangan dari true eksperimental design (eksperimen yang betul-betul) yang sulit dilaksanakan. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen (Sugiyono 2011: 116). Bentuk quasi experimental design yang digunakan oleh peneliti yaitu nonequivalent control group design yang diterapkan pada kelas eksperimen dan kelas kontroldengan paradigma sebagai berikut:

Jumlah siswa Jumlah populasi


(52)

Diagram 3.1 Paradigma Nonequivalent Control Group Design

Keterangan:

O1 dan O3 adalah kondisi siswa sebelum diberi perlakuan

O2 adalah kondisi siswa setelah diberi perlakuan

O4 adalah kondisi siswa yang tidak diberi perlakuan

(Sugiyono 2011)

Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang masing-masing dipilih secara acak. Kelas III SD Negeri Randugunting 3 sebagai kelompok eksperimen (O1) diberi

perlakuan X (pembelajaran Matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match) dan kelas III SD Negeri Randugunting 1 (O3) sebagai

kelompok kontrol tidak diberi perlakuan X ( pembelajaran menggunakan model konvensional). Kelompok O3 (kelompok kontrol) tidak diberi perlakuan (menerapkan

model pembelajaran konvensional). Kedua kelompok diberi tes awal untuk mengetahui keadaan awal dari kedua kelompok tersebut. Setelah kelompok eksperimen diberi perlakuan, kemudian kedua kelompok tersebut diberi tes akhir untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang telah diberikan. Hasil dari tes akhir pada kelompok kontrol digunakan sebagai pembanding bagi dampak perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen. Pengaruh rmodel pembelajaran kooperatif tipe make a match bisa dikaji secara empiris dengan penghitungan (O2 - O1) - (O4 - O3).

3.3

Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2011: 63), variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, sehingga diperoleh

O1 X O2


(53)

informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

3.3.1 Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono 2011: 64). Variabel bebas pada penelitian ini yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match.

3.3.2 Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono 2011: 64). Variabel terikat pada penelitian ini yaitu hasil belajar Matematika materi Bangun Datar siswa kelas III SD.

3.4

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dokumentasi, tes, dan observasi.

3.4.1 Dokumentasi

Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data langsung dari tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan, peraturan-peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, film dokumenter, dan data penelitian yang relevan (Riduwan 2012: 77). Dokumentasi digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh nama-nama siswa dan data kemampuan awal siswa yang didapat melalui daftar nilai Matematika Ulangan Tengah Semester (UTS) semester genap tahun ajaran 2012/ 2013.

3.4.2 Tes

Dalam penelitian ini, prosedur tes yang digunakan yaitu tes awal dan akhir. Tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar Matematika siswa kelas III SD pada materi


(54)

Bangun Datar. Tes awal dilakukan sebelum pembelajaran dimulai. Hasil tes awal digunakan sebagai pedoman bagi peneliti untuk mengetahui kemampuan awal siswa kelas eksperimen dan kontrol sebelum diberi perlakuan. Tes akhir dilakukan setelah peneliti memberi perlakuan. Hasil tes akhir digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa setelah diberi perlakuan.

3.4.3 Observasi

Dalam penelitian kuantitatif, observasi lebih sering digunakan sebagai instrumen pelengkap bagi instrumen lainnya. Observasi akan dilaksanakan ketika pembelajaran sedang berlangsung. Ada beberapa alat bantu observasi, yaitu: (1) buku catatan; (2) check list; (3) kamera; dan (4) film (Sukardi 2008: 78). Pengamatan dalam penelitian ini akan dilakukan oleh guru kelas III SD dengan menggunakan lembar observasi. Lembar pengamatan tersebut dibuat oleh peneliti. Pengamatan dilakukan untuk mengamati keefektifan penerapan model pembelajaran make a match pada mata pelajaran Matematika materi Bangun Datar. Selain itu, pengamatan juga dilakukan untuk mengamati seberapa tepat peneliti dalam menerapkan model pembelajaran make a match pada mata pelajaran Matematika materi Bangun Datar.

3.5

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Dalam penelitian ini, variabel yang hendak diukur yaitu hasil belajar siswa. Hasil belajar yang diukur dengan tes hasil belajar dapat mengacu pada hasil pengajaran secara keseluruhan pada akhir penyelenggaraan atau pada kurun waktu tertentu (Poerwanti dkk. 2008: 4.7). Beberapa instrumen yang diperlukan


(55)

dalam penelitian ini di antaranya yaitu silabus kelas III SD, lembar observasi, dokumentasi, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan soal-soal tes.

3.5.1 Lembar Observasi

Instrumen yang digunakan dalam observasi yaitu lembar observasi. Pengamat akan memberikan penilaian sesuai dengan deskriptor yang tersedia. Pengamat akan memberikan penilaian sesuai dengan deskriptor yang tersedia. Adapun lembar observasi dan deskriptor pedoman observasi dalam pembelajaran dapat dilihat pada lampiran 5.

3.5.2 Dokumentasi

Instrumen dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu daftar nama siswa dan nilai ujian tengah semester (UTS) semester genap yang digunakan sebagai data kemampuan awal siswa untuk menentukan terpenuhi tidaknya persyaratan penelitian eksperimen. Di samping itu, peneliti juga mengambil foto dan video untuk mendokumentasikan kegiatan pembelajaran.

3.5.3 RPP

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dibuat sebelum melakukan pembelajaran di kelas eksperimen dan kontrol. RPP dibuat dengan mengembangkan silabus pada materi Bangun Datar. Alokasi waktu yang disediakan untuk materi ini yaitu 8 jam pelajaran. Peneliti membuat dua macam RPP yang berbeda. RPP yang digunakan pada kelas eksperimen merupakan RPP yang menggunakan model pembelajaran make a match, sedangkan RPP yang digunakan pada kelas kontrol menggunakan model konvensional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 22, 23, dan 24 untuk RPP kelas eksperimen pertemuan pertama, kedua, dan ketiga,


(56)

sedangkan lampiran 25, 26, dan 27 untuk RPP kelas kontrol pertemuan pertama, kedua, dan ketiga.

3.5.4 Soal-soal Tes

Pada penelitian ini, instrumen untuk mengukur hasil belajar siswa berupa soal tes akhir yang diujikan di akhir kegiatan pembelajaran. Bentuk dari instrumen ini berupa 20 soal pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban dan 2 soal uraian. Sebelum soal-soal tes digunakan untuk mengukur hasil belajar, terlebih dahulu soal tersebut diujicobakan kepada siswa kelas IV SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal. Banyak butir soal yang diperlukan dalam penelitian ini sebetulnya hanya 22 butir soal, namun karena soal harus diujicobakan terlebih dahulu, maka dari satu kisi-kisi dibuat dua paket soal paralel yang setara baik dalam tingkat kesukaran soal maupun materinya. Banyak butir soal dengan dibuatnya dua paket soal menjadi 44.Untuk lebih jelasnya, kisi-kisi dan soal-soal tes dapat dilihat pada lampiran 8. Selanjutnya, langkah-langkah yang ditempuh dalam pengujian instrumen yaitu sebagai berikut:

3.5.4.1Validitas

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid memiliki validitas yang rendah (Arikunto 2010: 211). Terdapat beberapa validitas instrumen dalam penelitian ini. Validitas instrumen dalam penelitian ini yaitu:

(1) Validitas Logis

Validitas logis adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil penalaran. Pengujian validitas logis dilakukan dengan cara menilai


(57)

kesesuaian butir-butir soal dengan kisi-kisi soal yang telah dibuat sebelumnya. Proses pengujian validitas logis melibatkan tiga penilai ahli, yaitu Drs. Yuli Witanto, M.Pd sebagai dosen pembimbing I, Drs. Teguh Supriyanto, M.Pd sebagai dosen pembimbing II dan Siti Arifah, S.Pd sebagai guru Matematika kelas III SD Negeri Randugunting 1. (2) Validitas Empirik

Validitas empirik adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil pengalaman. Sebuah instrumen penelitian dikatakan memiliki validitas empirik, apabila sudah teruji dari pengalaman (Arikunto 2010: 66). Untuk mengetahui validitas item soal digunakan rumus korelasi product moment. Uji validitas pada penelitian ini menggunakan pearson correlation pada program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20.

3.5.4.2Reliabilitas

Reliabilitas berarti konsistensi atau keajegan. Suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel, ketika tes yang dibuat mempunyai hasil yang konsisten dalam mengukur variabel yang hendak diukur (Sukardi 2008: 127). Pengujian reliabilitas soal tes bentuk pilihan ganda menggunakan formula KR-21, sedangkan soal tes bentuk uraian menggunakan uji Cronbach’s Alpha. Reliabilitas instrumen penelitian ini dihitung menggunakan program aplikasi SPSS versi 20.

3.5.4.3Indeks Kesukaran Soal

Menurut Arikunto (2010: 207), soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya


(58)

suatu soal disebut difficulty index. Untuk menghitung indeks kesukaran soal pilihan ganda peneliti menggunakan rumus:

Keterangan:

P = indeks kesukaran

B = banyaknya peserta didik yang menjawab soal itu dengan betul JS = jumlah seluruh siswa peserta tes

(Arikunto 2010: 208)

Tabel 3.1 Klasifikasi Indeks Kesukaran Soal No. Indeks Kesukaran Soal Kategori

1 0,00 - 0,30 Soal sukar

2 0,31 - 0,70 Soal sedang

3 0,71 - 1,00 Soal mudah

Arikunto (2010: 225)

Untuk menghitung indeks kesukaran soal uraian peneliti menggunakan rumus: IF =

Keterangan:

IF = (Item Facility) indeks tingkat kesulitan yang dicari Sh = Jumlah skor betul kelompok tinggi

Sl = Jumlah skor betul kelompok rendah

N = Jumlah subjek kelompok tinggi atau rendah (27,5%) Skormax = Skor maksimal suatu bentuk soal

Skormin = Skor minimal suatu bentuk soal

(Nurgiyantoro 2001: 147) Sh + Sl – (2N x Skormin)


(59)

3.5.4.4Daya Pembeda Butir Soal

Arikunto (2010: 211) berpendapat bahwa daya pembeda soal adalah kemampuan sebuah soal untuk membedakan siswa yang pintar dengan yang bodoh. Soal yang baik yaitu soal yang dapat dijawab benar oleh siswa-siswa yang pintar saja. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut dengan indeks diskriminasi, disingkat D. Untuk menghitung daya pembeda soal bentuk pilihan ganda, peneliti menggunakan rumus:

Keterangan:

J = jumlah peserta tes

JA = banyaknya peserta kelompok atas

JB = banyaknya peserta kelompok bawah

BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar

BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar

PA = = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar

PB = = proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar

(Arikunto 2010: 213).

Tabel 3.2 Klasifikasi Daya Pembeda Soal

No. Daya Pembeda Soal Kategori

1 0,00 – 0,20 Jelek

2 0,21 – 0,40 Cukup

3 0,41 – 0,70 Baik

4 0,71 – 1,00 Sangat baik


(60)

Jika daya pembeda soal bernilai negatif, berarti soal tersebut tidak baik. Butir soal yang mempunyai nilai daya pembeda soal negatif sebaiknya tidak dipakai. Selanjutnya, daya pembeda butir soal uraian dihitung menggunakan rumus: ID =

Keterangan:

ID = (Item Discrimination) indeks daya pembeda yang dicari Sh = Jumlah skor betul kelompok tinggi

Sl = Jumlah skor betul kelompok rendah

N = Jumlah subjek kelompok tinggi atau rendah (27,5%) Skormax = Skor maksimal suatu bentuk soal

Skormin = Skor minimal suatu bentuk soal

(Nurgiyantoro 2001: 147)

3.6

Deskripsi Data

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen. Data yang diamati dalam penelitian ini yaitu data kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (Sugiyono 2011: 6). Data kuantitatif berupa data nilai hasil belajar siswa baik di kelas kontrol maupun di kelas eksperimen.

3.7

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini antara lain yaitu uji prasyarat analisis yang terdiri atas uji normalitas dan homogenitas serta uji hipotesis

Sh - Sl


(61)

akhir. Keterangan lengkap mengenai metode analisis data dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

3.7.1 Uji Prasyarat Analisis

Uji prasyarat analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan homogenitas.

(1) Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah nilai tes akhir memiliki sebaran yang normal atau tidak. Uji normalitas terhadap nilai tes akhir ini dilakukan menggunakan uji Liliefors pada taraf signifikan 5%. Pengolahan data diolah menggunakan program SPSS versi 20. Pengolahan data dalam SPSS versi 20 yang menggunakan uji Liliefors dilakukan dengan cara melihat nilai pada kolom Kolmogorof-Smirnov. Data dapat dikatakan normal apabila nilai yang ditunjukkan pada kolom nilai Kolmogorof-Smirnov lebih besar daripada 0,05. Hipotesis yang diuji yaitu:

Ho = Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Ha = Sampel berasal dari pupolasi yang berdistribusi tidak normal.

(2) Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh homogen atau tidak. Uji homogenitas yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu dengan uji Levene dengan pengambilan keputusan dan penarikan simpulan diambil pada taraf signifikan 5%. Uji homogenitas ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS


(62)

versi 20. Jika signifikansinya lebih besar daripada 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa variansnya sama (homogen), namun jika signifikansinya kurang dari 0,05, maka variansnya berbeda (tidak homogen). Hipotesis yang diajukan dalam uji homogenitas penelitian ini yaitu:

Ho = Varians kedua kelas sampel homogen.

Ha = Varians kedua kelas sampel tidak homogen.

3.7.2 Uji Hipotesis Akhir

Setelah melakukan uji homogenitas, langkah senlajutnya yaitu menguji hipotesis akhir. Uji hipotesis akhir dilakukan untuk mengetahui simpulan penelitian. Jika data hasil belajar siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi normal, maka uji hipotesisnya menggunakan uji statistik independent sample t tes. Rumusan t-test yang digunakan untuk menguji hipotesis sebagai berikut:

Keterangan:

= rata-rata nilai kelompok kontrol = rata-rata nilai kelompok eksperimen = simpangan baku kelompok kontrol = simpangan baku kelompok eksperimen

= varians kelompok kontrol = varians kelompok eksperimen = korelasi antara dua kelompok


(63)

(Sugiyono 2010: 121)

Jika data yang diperoleh berdistribusi tidak normal, maka analisis akhir menggunakan uji nonparametris yaitu dengan uji U Mann Whitney. Guna uji ini untuk menguji kemampuan generalisasi (signifikansi hasil penelitian yang berupa perbandingan keadaan variabel dari dua rata-rata sampel).

Terdapat dua rumus yang digunakan untuk pengujian menggunakan uji U Mann Whitney. Harga U yang lebih kecil digunakan untuk pengujian dan dibandingkan dengan U tabel. Kedua rumus tersebut yaitu sebagai berikut:

Rumus 1 : U1 = n1 n2 +

(

)

1 1

1 2

1 R n

n

− +

Rumus 2 : U2 = n1 n2 + 2

(

2

)

2

2 1

R n

n

− +

Keterangan :

n1 : jumlah sampel 1

n2 : jumlah sampel 2

U1 : jumlah peringkat 1

U2 : jumlah peringkat 2

R1 : jumlah ranking pada sampel n1

R1 : jumlah ranking pada sampel n2

(Sugiyono 2010: 61)

Peneliti menggunakan SPSS versi 20 untuk menguji hipotesis akhir. Ketentuan yang dijadikan pedoman yaitu jika thitung

<

ttabel atau nilai signifikansi > 0,05, maka


(64)

3.8

Prosedur Penelitian

Dalam sebuah penelitian selalu dibutuhkan prosedur atau langkah-langkah tertentu yang disusun secara sistematis supaya penelitian berjalan dengan teratur dan terstruktur. Prosedur penelitian ini disajikan pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Prosedur Penelitian Eksperimen No.

Kriteria Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol 1. Tempat Penelitian Sekolah Dasar Negeri

Randugunting 3

Sekolah Dasar Negeri Randugunting 1

a. Alamat Jl. Merak no. 15

Randugunting,

Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal.

Jl. Merpati no. 148 Randugunting,

Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal.

b. Akreditasi A A

2. Kelas III III

Populasi 39 siswa 36 siswa

Sampel 33 siswa 30 siswa

3. Kemampuan Awal Menggunakan uji kesamaan rata-rata.

Menggunakan uji kesamaan rata-rata.

a. Data Nilai UTS Semester

Genap tahun ajaran 2012/2013.

Nilai UTS Semester Genap tahun ajaran 2012/2013.

b. Mata Pelajaran Matematika Matematika

c. Kelas III III

4. Perlakuan Model pembelajaran

kooperatif tipe make a match.

Model pembelajaran konvensional.

5. Pelaksanaan Pembelajaran a. Pertemuan I

1) Hari 2) Tanggal 3) Waktu 4) RPP

Selasa

16 April 2013 08.15 – 10.10 Terlampir

Senin

15 April 2013 09.15 – 10.35 Terlampir b. Pertemuan II

1) Hari 2) Tanggal 3) Waktu

Senin

22 April 2013 08.15 – 10.10

Rabu

17 April 2013 09.15 – 10.35


(1)

t =

t =

t =

t =

t = 2,22

Hasil penghitungan secara manual diperoleh nilai thitung sebesar 2,22,

sedangkan untuk menentukan ttabel yaitu dengan mencari nilai signifikasi pada tabel t

dengan = 0,05, sehingga diperoleh nilai ttabel sebesar 2,00. Berdasarkan Karena

thitung > ttabel (2,22 > 2,00), maka Ho ditolak. Jadi, rata-rata nilai hasil belajar siswa

kelas III yang pembelajarannya menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match lebih baik daripada yang menerapkan model konvensional.


(2)

Lampiran 34

DOKUMENTASI

1. KELAS EKSPERIMEN

Guru mempersiapkan kondisi fisik dan psikis siwa Guru memaparkan materi menggunakan media

Siswa mendiskusikan jawaban atau pertanyaan dari kartu yang mereka bawa

Guru dan kelompok penilai mencocokkan kartu


(3)

2. KELAS KONTROL

   

               

Guru mempersiapkan kondisi fisik dan psikis siwa Guru memaparkan materi menggunakan media

Siswa mengerjakan soal evaluasi


(4)

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi.2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

________________. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

________________. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Dykstra, Toon. (2006). High Perfomance and Success in Education in Flemish

Belgium and the Netherlands. Available at http://findpdf.net/reader/High-Performance-and-Success-in-Education-in-Flemish-Belgium.html [accessed 1/15/13].

Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamruni. 2012. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani.

Heruman. 2008. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Pustaka Rosdakarya.

Hillen, Karen dan Leigh, NE. (2006). Discourse and Cooperative Learning in the Math Classroom. Available at http://findpdf.net/reader/Discourse-and-Cooperative-Learning-in-the-Math-Classroom.html [accessed 1/15/13]. Huda, Miftahul. 2012. Model Pembelajaran Kooperatif Metode, Teknik, Struktur,

dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ibrahim dan Suparni. 2012. Pembelajaran Matematika, Teori, dan Aplikasinya. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press.

Jayanti, Dwi Esti. 2012. Keefektifan Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A Match terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar IPS Materi Perkembangan Teknologi Kelas IV SD Negeri Pekiringan 02 Kabupaten Tegal. Skripsi Universitas Negeri Semarang.

Kurnia, I. dkk. 2007. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.


(5)

Nugraha, Wendi. 2012. Keefektifan Penerapan Model Make A Match pada Pembelajaran Matematika Kelas V Materi Geometri di Sekolah Dasar Negeri 1 Purbalingga Kidul Kabupaten Purbalingga. Skripsi Universitas Negeri Semarang.

Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta

Nyimas Aisyah, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22. 2006. Badan Standar Nasional

Pendidikan.

Poerwanti, dkk. 2008. Asesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Priyatno, Duwi. 2010. Paham Analisa Statistik dengan SPSS. Yogyakarta: MediaKom.

Riduwan. 2012. Belajar Mudah Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Ruminiati. 2007. Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Satyawati, Ratna. 2009. Upaya Meningkatkan Minat Belajar Matematika Siswa

Kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis Bantul dengan Model Cooperative Learning Tipe Make a Match. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

_______. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Kombinasi. Bandung: Alfabeta. _______. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumantri, Mulyani dan Johar Permana. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Maulana.

Suprijono, Agus. 2012. Model Pembelajaran Kooperatif Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Dewan Perwakilan Rakyat.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Adaptasi Makhluk Hidup

0 11 215

Pengaruh model pembelajaran kooperatif metode make A match terhadap pemahaman konsep matematika siswa

4 18 201

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap Prestasi Belajar Sosiologi dalam Pokok Bahasan Pengendalian Sosial

0 26 151

Efektivitas pembelajaran kooperatif model make a match dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS: penelitian tindakan kelas di SMP Islam Al-Syukro Ciputat

0 21 119

Pengaruh kombinasi model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT) dengan make a match terhadap hasil belajar biologi siswa

2 8 199

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PKn MATERI BANGGA SEBAGAI BANGSA INDONESIA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH SISWA KELAS III SD NEGERI KEMANDUNGAN 3 KOTA TEGAL

2 10 210

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SUMBER DAYA ALAM MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MAKE A MATCH PADA KELAS III SD NEGERI KEMANDUNGAN 3 TEGAL

0 6 290

Keefektifan Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A Match terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar IPS Materi Perkembangan Teknologi Kelas IV SD Negeri Pekiringan 02 Kabupaten Tegal.

0 0 217

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH DALAM MENINGKATKAN MINAT DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS III SD NEGERI 3 PALAR, KLATEN.

0 0 237

Peningkatan Hasil Belajar Matematika dengan Model Kooperatif Tipe Make a Match

0 0 7