Identifikasi Masalah Pembatasan Masalah Perumusan Masalah Penelitian yang Relevan

5 untuk semua tipe gaya belajar siswa, yaitu tipe belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Model pembelajaran kooperatif tipe make a match dikembangkan oleh Lorna Curran 1994. Model pembelajaran kooperatif tipe make a match membuat pasangan memiliki keunggulan, yaitu melalui model ini siswa dapat mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan Rusman 2011: 223. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional pada pembelajaran Matematika materi Bangun Datar, dengan judul “Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match terhadap Peningkatan Hasil Belajar Matematika pada Materi Bangun Datar Siswa Kelas III Sekolah Dasar Negeri Randugunting 3 Kota Tegal”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dia atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1 Pembelajaran masih berpusat pada guru, sehingga siswa kurang berperan aktif dalam pembelajaran. 2 Model pembelajaran Matematika di SD masih menggunakan model pembelajaran konvensional, sehingga menyebabkan siswa bosan. 3 Penggunaan model pembelajaran konvensional yang tidak dikombinasikan dengan metode lain yang lebih inovatif, menyebabkan nilai Matematika siswa tidak maksimal. 6 4 Guru kurang kreatif dalam menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa dan materi Bangun Datar, sehingga siswa pasif dalam mengikuti pembelajaran dan hal ini juga berdampak negatif terhadap hasil belajar siswa. 5 Guru belum menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match pada pembelajaran matematika materi Bangun Datar.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitimembatasipermasalahan sebagai berikut: 1 Variabel yang akan diteliti yaitu model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan hasil belajar siswa pada materi Bangun Datar. 2 Peneliti memfokuskan penelitian pada keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe make a match terhadap hasil belajar siswa SD kelas III pada materi Bangun Datar.

1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang dapat diambil yaitu: Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas III SD pada materi Bangun Datar antara yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan yang menerapkan konvensional?

1.5 Tujuan Penelitian

Di dalam setiap penelitian tentu ada tujuan yang hendak dicapai. Terdapat dua tujuan di dalam penelitian ini, yaitu tujuan umum dan khusus. 7

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum diadakannya penelitian ini untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional pada pembelajaran Matematika.

1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil belajar siswa kelas III SD antara yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan yang menerapkan konvensional pada pembelajaran Matematika materi Bangun Datar.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:

1.6.1 Manfaat Teoritis

1 Meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran Matematika khususnya pada materi Bangun Datar. 2 Memberikan informasi bagi guru mengenai pembelajaran kooperatif tipe make a match . 3 Membantu sekolah mencapai tujuan pendidikan institusional.

1.6.2 Manfaat Praktis

1 Meningkatnya hasil belajar siswa kelas III SD khususnya mata pelajaran Matematika materi Bangun Datar. 2 Memotivasi guru untuk melakukan pembelajaran inovatif. 3 Memotivasi sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang mengikutsertakan keterlibatan siswa. 8 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Landasan teori berasal dari dua kata, yaitu kata “landasan” yang berarti dasar atau tumpuan KBI 2008: 808 dan “teori” yang berarti 1 pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi; 2 penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi; 3 asas dan hukum umum yg menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan; 4 pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu KBI 2008: 1501. Teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan yang membantu peneliti menyusun penelitian yaitu hakikat belajar, hakikat pembelajaran, hasil belajar, hakikat Matematika sekolah dasar, teori belajar Matematika, materi Geometri di kelas III sekolah dasar, karakteristik siswa sekolah dasar, model pembelajaran, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran kooperatif tipe make a match , dan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe make a match . 2.1.1 Hakikat Belajar Cronbach t.t dalam Suprijono 2012: 2 berpendapat bahwa learning is shown by a change in behavior as a result of experience , yang berarti belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Pendapat lain dikemukakan oleh Winkel 1989 dalam Kurnia dkk. 2007: 1.3 yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses kegiatan mental pada diri seseorang yang berlangsung dalam 9 interaksi aktif individu dengan lingkungannya, sehingga menghasilkan perubahan yang relatif menetap dalam kemampuan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hamalik 2008: 27 mengemukakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Jadi, belajar pada hakikatnya merupakan salah satu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku yang relatif menetap dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang diperoleh melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar terjadi secara sadar, bersifat kontinu, relatif menetap, serta mempunyai tujuan terarah pada kemajuan yang progresif.

2.1.2 Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari Suprijono 2012: 13. Menurut Corey 1986 dalam Ruminiati 2007: 1.14, pembelajaran adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang dikelola secara disengaja untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu, sehingga dalam kondisi-kondisi khusus akan menghasilkan respons terhadap situasi tertentu juga. Nurani 2003 dalam Ruminiati 2007: 1.14 mengemukakan bahwa konsep pembelajaran merupakan sistem lingkungan yang dapat menciptakan proses belajar pada diri siswa selaku siswa dan guru sebagai pendidik, dengan didukung oleh seperangkat kelengkapan, sehingga terjadi pembelajaran. Pendapat lain dikemukakan oleh Rusman 2011: 144 yang mengemukakan bahwa pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa, baik interaksi secara langsung maupun tidak langsung. 10 Jadi, pembelajaran selalu melibatkan guru dan siswa. Semua kegiatan yang dilakukan oleh guru semata-mata diarahkan untuk membantu siswa mempelajari materi tertentu. Peran guru dalam pembelajaran juga diungkapkan oleh Dykstra dalam pernyataan berikut ini “the role of the teacher is not to steer the learning process, but rather to create a rich learning environment” 2006: 15. Dykstra menyatakan bahwa peran guru bukan untuk mengendalikan pembelajaran, lebih jauh lagi yaitu menciptakan suasana pembelajaran yang baik. Untuk dapat membantu siswa dengan baik, guru harus merencanakan pembelajaran secara matang, dan mengetahui latar belakang serta kemampuan dasar siswa. Latar belakang siswa yang dimaksud di sini yaitu latar belakang ekonomi, asal sekolah, orang tua, dan keberadaan siswa di kelas. Pembelajaran yang dipersiapkan secara matang akan memberi dampak positif terhadap hasil belajar siswa.

2.1.3 Hasil Belajar

Menurut Suprijono 2012: 5, hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai- nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Bloom 1956 dalam Poerwanti dkk. 2008: 1.23 memberikan penjelasan bahwa hasil belajar mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. 1 Ranah Kognitif Dalam hubungannya dengan satuan pelajaran, ranah kognitif memegang tempat utama, terutama dalam tujuan pembelajaran di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menegah Atas. Jenjang ranah kognitif yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. 11 2 Ranah Afektif Ranah afektif diartikan sebagai internalisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu menjadi sadar tentang nilai yang diterima, kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah lakunya. Jenjang kemampuan dalam ranah afektif yakni menerima, menjawab, menilai, dan organisasi. 3 Ranah Psikomotor Ranah psikomotor berkaitan dengan gerakan tubuh atau bagian-bagiannya mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Kata operasional untuk aspek psikomotor harus menunjuk pada aktualisasi kata-kata yang dapat diamati, yaitu muscular or motor skill , manipulations of materials or objects, neuromuscular coordination.

2.1.4 Hakikat Matematika Sekolah Dasar

Ibrahim dan Suparni 2012: 35 berpendapat bahwa Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, dan mempunyai peran penting dalam memajukan daya pikir manusia. Oleh karena itu, matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IPTEK, sehingga matematika perlu dikenalkan kepada siswa sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-kanak. Tujuan mata pelajaran Matematika termaktub dalam Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 sebagai berikut: Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, 12 dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2 Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3 Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4 Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5 Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006, ruang lingkup mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SDMI meliputi aspek Bilangan, Geometri dan Pengukuran, serta Pengolahan data. Salah satu aspek Geometri yang diajarkan pada siswa di kelas III SD yaitu materi Bangun Datar. Sebenarnya, pengenalan berbagai bentuk bangun datar bukan merupakan topik yang terlalu sulit untuk diajarkan, hanya saja, selama ini guru sering kali kurang memerhatikan batasan-batasan sejauh mana materi yang perlu diberikan kepada siswa. Matematika merupakan ilmu yang cara bernalarnya abstrak, tetapi harus diberikan kepada siswa SD yang cara berpikirnya masih pada tahap operasi konkret. Oleh karena itu, guru perlu berhati-hati dalam mengajarkan konsep-konsep matematika tersebut. Siswa SD belum mampu berpikir abstrak, berpikirnya harus dikaitkan dengan gambar-gambar ataupun benda-benda konkret yang ada di sekitar mereka.

2.1.5 Teori Belajar Matematika

2.1.5.1 Teori Belajar Bruner

Berdasarkan teori ini, manusia adalah pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Menurut Bruner t.t dalam Aisyah dkk. 2007: 1.5, belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang 13 terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep- konsep dan struktur-struktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik objek. Jadi, siswa haruslah terlibat aktif agar dapat mengenal konsep dan struktur yang sedang dibicarakan, siswa akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Bruner memaparkan tiga tahapan penyajian pengetahuan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik yang dikenal dengan teori belajar Bruner. 1 Tahap Enaktif Pada tahap ini, siswa belajar sesuatu pengetahuan secara aktif. Siswa belajar dengan menggunakan benda-benda konkret. Siswa akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu. 2 Tahap Ikonik Dalam tahap ini, kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal di mana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar- gambar atau grafik yang dilakukan siswa. Rangkaian gambar atau grafik tersebut berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. 3 Tahap Simbolik Pada tahap ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol- simbol abstrak, yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal, lambang-lambang matematika, maupun lambang- lambang abstrak yang lain. 14 Bruner t.t dalam Aisyah dkk. 2007: 1.20 memaparkan bahwa terdapat beberapa langkah dalam penerapan teori belajarnya. Langkah-langkah yang dimaksud yaitu sebagai berikut: 1 Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep yang hendak diajarkan. Misalnya: guru hendak mengajarkan bentuk bangun datar segiempat. Untuk contoh, guru memberikan bangun datar persegi dan persegi panjang, sedangkan segitiga, segilima, dan lingkaran mewakili bangun yang bukan merupakan contoh dari segiempat. 2 Bantu siswa untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada siswa seperti berikut ini: ”Apakah nama bentuk ubin yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?”. 3 Berikan satu pertanyaan dan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya: “Jelaskan ciri-ciri bangun ubin tersebut”. 4 Ajak dan beri semangat siswa agar mereka berani mengemukakan pendapatnya. Guru dapat menggunakan pertanyaan yang dapat memandu siswa untuk berpikir dan mencari jawaban yang benar sehingga akan tercipta pembelajaran yang efektif.

2.1.5.2 Teori Belajar Dienes

Teori belajar Dienes menekankan pada tahapan permainan. Dienes 1992 dalam Aisyah dkk. 2007: 2.8 memaparkan tahap-tahap belajar, yaitu permainan bebas, menggunakan aturan, kesamaan sifat, representasi, simbolisasi, dan formalisasi. 15 1 Permainan Bebas Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Siswa diberi kebebasan untuk mengatur dan memanipulasi benda benda. Selama permainan, pengetahuan siswa akan muncul. Dalam tahap ini, siswa mulai membentuk struktur mental dan sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. 2 Permainan yang Menggunakan Aturan Dalam permainan yang menggunakan aturan, siswa sudah mulai meneliti pola-pola serta keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu, tetapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman yang dapat diperoleh dari permainan. 3 Permainan Kesamaan Sifat Dalam permainan kesamaan sifat, siswa akan mencari kesamaan sifat dari objek yang mereka amati. Siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. 16 4 Permainan Representasi Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu s etelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya. 5 Permainan dengan Simbolisasi Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. 6 Permainan dengan Formalisasi Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini, siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut.

2.1.5.3 Teori Belajar Van Hiele

Van Hiele adalah seorang pengajar matematika yang telah mengadakan penelitian di lapangan. Penelitian yang dilakukan Van Hiele memunculkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele 1998 dalam Aisyah dkk. 2007: 4.2 menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri, yaitu pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan. 1 Tahap Pengenalan Pada tahap pengenalan, siswa hanya mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi, dan bangun-bangun geometri 17 lainnya. Siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya. 2 Tahap Analisis Pada tahap analisis, siswa sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, namun belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dan bangun geometri lainnya. 3 Tahap Pengurutan Pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi. Pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dan bangun geometri lainnya. Pada umumnya, siswa SD hanya mampu mencapai tahap ini. 4 Tahap Deduksi Pada tahap ini, siswa sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. 5 Tahap Keakuratan Siswa sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahapan ini memerlukan cara berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, hanya sedikit sekali siswa yang sampai pada tahap berpikir ini. Selain memaparkan tahapan pemahaman geometri, Van Hiele 1998 dalam Aisyah dkk. 2007: 4.10 juga memaparkan fase-fase pada pembelajaran geometri. Van Hiele mengemukakan pendapatnya bahwa dalam pembelajaran geometri terdapat 5 fase yang dilalui oleh siswa. 18 1 Fase Informasi Pada awal tingkat ini, guru dan siswa melaksanakan tanya jawab dan kegiatan mengenai objek-objek yang dipelajari. Tujuan dari kegiatan ini yaitu: 1 Guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas dan 2 guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil. 2 Fase Orientasi Setelah melewati tahap informasi, siswa akan memasuki tahap orientasi. Pada tahap ini, siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang telah disiapkan guru. 3 Fase Penjelasan Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diamati. Untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan secukupnya. 4 Fase Orientasi Bebas Pada tahap orienrasi bebas, siswa akan mencoba untuk memperoleh pengalaman sendiri dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. 5 Fase Integrasi Pada fase ini, siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Pada akhir fase ini, siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya. 19

2.1.6 Materi Geometri di Kelas III Sekolah Dasar

Materi Geometri, khususnya materi Bangun Datar merupakan salah satu materi di kelas III semester 2. Materi Bangun Datar termasuk dalam standar kompetensi memahami unsur dan sifat-sifat bangun datar sederhana. Alokasi waktu yang disediakan untuk mengajar materi Bangun Datar yaitu 8 jam pelajaran. Berikut ini merupakan rangkuman materi Bangun Datar yang menc akup Jenis dan Besar Sudut, Sudut sebagai Jarak Putar, serta Sifat-sifat Bangun Datar.

2.1.6.1 Jenis dan Besar Sudut

Sudut C A B Kaki sudut Kaki sudut Titik sudut Sudut Siku-siku Sudut Tumpul Sudut Lancip Gambar 2.1 Bagian-bagian Sudut Gambar 2.2 Jenis-jenis Sudut 20

2.1.6.2 Sudut sebagai Jarak Putar

2.1.6.3 Sifat-sifat Bangun Datar

2.1.6.3.1 Segitiga Untuk dapat mengetahui dan menanamkan pemahaman siswa tentang konsep segitiga, guru dapat menempuh langkah-langkah berikut ini: 1 Menyediakan beberapa gambar bangun datar sederhana. a b b b b b Gambar 2.3 Sudut sebagai Jarak Putar Gambar 2.4 Jenis-jenis Segitiga 21 2 Menyuruh siswa untuk menyebutkan benda-benda di sekeliling mereka yang berbentuk segitiga. 3 Selanjutnya, menyuruh siswa untuk memilih benda-benda yang termasuk segitiga di antara bangun datar yang telah disediakan. Heruman 2008: 97. 2.1.6.3.2 Persegi Sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun persegi yaitu: 1 Mempunyai empat sisi yang sama panjang. 2 Mempunyai empat sudut siku-siku. Untuk menanamkan pemahaman siswa tentang konsep persegi, guru dapat menempuh langkah-langkah berikut ini: 1 Menyediakan kertas berwarna. 2 Bila kertas tersebut tidak berbentuk persegi, maka guru bersama dengan siswa melipat kertas secara diagonal, menghimpitkan sisinya, kemudian mengguntingnya. 3 Menanyakan kepada siswa mengenai bangun tersebut dan memberitahu bahwa bangun tersebut bernama persegi. 4 Memberikan waktu kepada siswa untuk menganalisis bangun persegi yang dipegangnya. Gambar 2.5 Persegi 22 5 Menyimpulkan ciri-ciri persegi bersama siswa. Heruman 2008: 88 2.1.6.3.3 Persegi Panjang Sifat-sifat bangun persegi panjang yaitu: 1 Mempunyai dua pasang sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar. 2 Mempunyai empat sudut siku-siku. Untuk menanamkan pemahaman siswa tentang konsep persegi panjang, guru dapat menempuh langkah-langkah berikut ini: 1 Menugasi siswa untuk membawa 2 lembar kertas. 2 Mengingatkan siswa tentang sifat-sifat persegi sebelum mengajarkan sifat-sifat persegi panjang. 3 Menugasi mereka untuk menganalisis kertas yang berbentuk persegi panjang tersebut. Heruman 2008: 92.

2.1.7 Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Masa usia sekolah dasar 6-12 tahun merupakan tahap perkembangan yang paling penting dan bahkan sangat fundamental bagi kesuksesan di tahap Gambar 2.6 Persegi Panjang 23 perkembangan yang selanjutnya Sumantri dan Permana 2001: 10. Basset, Jacka, dan Logan 1983 dalam Sumantri dan Permana 2001: 11 memaparkan beberapa karakteristik umum yang dimiliki siswa SD, yaitu: 1 Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi serta tertarik dengan dunia sekitar yang mengelilingi mereka. 2 Senang bermain dan bergembira riang. 3 Senang bereksplorasi dan bereksperimen. 4 Terdorong untuk berprestasi. 5 Belajar secara efektif ketika puas dengan situasi yang terjadi. 6 Belajar dengan cara bekerja, mengamati, berinisiatif, dan mengajar teman-temannya.

2.1.8 Model Pembelajaran

Arends 1997 dalam Suprijono 2012: 46 mengemukakan bahwa model pembelajaran mengacu kepada pendekatan yang digunakan, termasuk di dalamnya, tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolalaan kelas. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar Suprijono 2012: 47. Pendapat lain dikemukakan oleh Joyce dan Weil 1980 dalam Rusman 2011: 133 bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum rencana pembelajaran jangka panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. 24 Pengertian model pembelajaran di atas, mengasumsikan bahwa guru terikat erat dengan model pembelajaran. Melalui model pembelajaran, guru dapat membantu siswa mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide. Rusman 2011: 136 mengemukakan ciri-ciri model pembelajaran sebagai berikut: 1 Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar para ahli tertentu. 2 Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu. 3 Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. 4 Memiliki langkah pembelajaran, prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung. 5 Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. 6 Membuat persiapan mengajar dengan model pembelajaran yang dipilihnya.

2.1.9 Model Pembelajaran Kooperatif

Pada umumnya, masyarakat menilai bahwa pembelajaran kooperatif sama dengan belajar kelompok. Padahal, pembelajaran kooperatif yang sesungguhnya bukan sekedar kegiatan pembelajaran yang mengelompokkan siswa ke dalam kelompok kecil kemudian menyuruh mereka untuk belajar bersama. Menurut Suprijono 2012: 54, pembelajaran kooperatif merupakan konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk yang dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Pembelajaran kooperatif berbeda dengan belajar kelompok. Model pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif apabila pembelajaran itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1 Memudahkan 25 siswa belajar dan 2 Pengetahuan, nilai, serta keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai Suprijono 2012: 58. Lie 2010:31 menyatakan bahwa terdapat 5 ciri-ciri khusus pembelajaran kooperatif, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok. 1 Saling ketergantungan positif Setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masing-masing tugasnya. Kerja sama merupakan kunci dari keberhasilan pembelajaran kooperatif. Kerja sama akan berhasil jika masing-masing anggota berkontribusi terhadap pekerjaannya. 2 Tanggung jawab perseorangan Sebelum pembelajaran kooperatif diadakan, perlu diadakan persiapan dan pembagian tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjunya dalam kelompok bisa dilaksanakan. 3 Tatap muka Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan ini akan memberikan siswa untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua siswa. Hasil pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil pemikiran dari satu kepala. Lebih jauh lagi, hasil kerja sama ini jauh lebih besar daripada jumlah hasil masing-masing anggota. Inti dari sinergi yaitu menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing anggota. Sinergi 26 sangat dibutuhkan karena pada dasarnya, setiap anggota kelompok memiliki latar belakang pengalaman, keluarga, sosial, dan ekonomi yang berbeda antara satu dan lainnya. Sinergi tidak dapat terbentuk dalam waktu yang singkat. Melalui kegiatan tatap muka ini, siswa akan mengenal satu sama lain dan belajar untuk menerima kelebihan serta kekurangan teman saru kelompoknya. 4 Komunikasi antar anggota Unsur komunikasi menghendaki agar siswa dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi. Perlu disadari bahwa tidak semua siswa mempunyai keahlian dalam mendengarkan dan berbicara. Sebelum memberikan tugas kepada siswa dalam kelompok, guru perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengungkapkan gagasan. Keterampilan berkomunikasi dakam kelompok juga membutuhkan proses yang panjang. 5 Evaluasi proses kelompok Guru perlu membuat jadwal waktu khusus untuk mengevaluasi proses dan hasil kerja sama kelompok. Hasil penilaian tersebut dapat dijadikan sebagai tolok ukur, agar pada kesempatan selanjutnya mereka bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Selanjutnya, Trianto 2010: 66 menyatakan terdapat enam tahap dalam pembelajaran kooperatif. Enam tahap pembelajaran kooperatif tersebut disajikan pada tabel 2.1 27 Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Fase Tingkah Laku Guru Fase-1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Fase-2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Fase-3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok- kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Fase-5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase-6 Memberikan Penghargaan Guru mencari cara-cara materi untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

2.1.10 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Model pembelajaran kooperatif tipe make a match membuat pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran 1994. Teknik ini mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Keunggulan teknik ini yaitu siswa mencari pasangan sambil belajar mencari konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Model pembelajaran kooperatif tipe make a match sesuai dengan gaya belajar apapun yang dimiliki oleh siswa Rusman 2011: 223. Hamruni 2012: 28 157 mengemukakan beberapa gaya belajar yang dimiliki oleh siswa, yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. 1 Gaya Belajar Visual Siswa yang memiliki gaya belajar visual memiliki ciri-ciri berikut: 1 Rapi dan teratur; 2 Berbicara dengan cepat; 3 Teliti; 4 Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar; 5 Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis; dan 6 Lebih suka membaca daripada dibacakan. 2 Gaya Belajar Auditorial Siswa yang memiliki gaya belajar auditorial memiliki ciri-ciri berikut: 1 Berbicara pada diri sendiri saat bekerja; 2 Menggerakkan bibir mereka ketika membaca; 3 Pandai bercerita; 4 Pembicara yang fasih; dan 5 Suka berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar. 3 Gaya Belajar Kinestetik Siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik memiliki ciri-ciri berikut: 1 Menanggapi perhatian fisik; 2 Mencari perhatian dengan cara menyentuh orang; 3 Selalu berorientasi pada fisik dan banyak sekali bergerak; 4 Belajar melalui memanipulasi dan praktik; 5 Tidak dapat duduk dan diam dalam waktu lama; dan 6 Menyukai permainan yang menyibukkan. Berdasarkan penjelasan mengenai macam-macam gaya belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe make a match sesuai dengan gaya belajar apapun yang dimiliki oleh siswa, karena dalam prosesnya siswa akan 29 terlibat dalam permainan menyenangkan yang melibatkan penglihatan, pendengaran, serta gerak tubuh mereka.

2.1.11 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Hal yang perlu dipersiapkan dalam pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe make a match yaitu kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut yaitu kartu pertanyaan dan jawaban. Kartu jawaban merupakan kartu yang berisi jawaban dari pertanyaan yang ada di kartu pertanyaan. Menurut Suprijono 2012: 94, jika kartu telah disiapkan, maka langkah make a match berikutnya yaitu: 1 Guru membagi kelas menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok pembawa kartu pertanyaan. Kelompok kedua merupakan kelompok yang membawa kartu jawaban dan Kelompok ketiga sebagai kelompok penilai. 2 Atur posisi perkelompok hingga membuat huruf U untuk ketiga kelompok tersebut dengan kelompok pertama dan kedua saling berhadapan. 3 Guru memberi tanda, misalnya dengan membunyikan peluit atau tepukan, agar kelompok pertama dan kedua bergerak saling mencari pasangan jawaban yang cocok. 4 Berikan waktu pada kelompok pertama dan kedua untuk mendiskusikan isi dari kartu yang mereka bawa. 5 Hasil diskusi ditandai oleh terbentuknya pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu pertanyaan dan kartu jawaban. 30 6 Pasangan-pasangan tersebut wajib memberikan pertanyaan dan jawaban yang dibawanya kepada kelompok penilai. 7 Penilai menilai jawaban pasangan-pasangan yang terbentuk dari diskusi. 8 Pelaksanaan make a match dapat diulangi hingga semua siswa dalam kelas mengalami berada dalam ketiga kelompok di atas dengan perannya masing-masing.

2.2 Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian relevan tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match, di antaranya yaitu: 1 Penelitian yang berjudul “Keefektifan Penerapan Model Make A Match pada Pembelajaran Matematika Kelas V Materi Geometri di Sekolah Dasar Negeri 1 Purbalingga Kidul Kabupaten Purbalingga” yang dilakukan oleh Wendi Nugraha pada tahun 2012. Rata-rata persentase aktivitas belajar siswa yang menerapkan model make a match sebesar 88,45, sedangkan rata-rata persentase aktivitas belajar siswa yang menerapkan model konvensional sebesar 75,42. Hal ini membuktikan aktivitas belajar di kelas yang menerapkan model make a match lebih baik daripada kelas yang menggunakan model konvensional. 2 Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Satyawati, mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2009. Penelitian tersebut berjudul “Upaya Meningkatkan Minat Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis Bantul dengan Model Cooperative Learning Tipe Make a Match”. Berdasarkan hasil 31 observasi, minat belajar matematika siswa setelah siklus I 63,3 dan setelah siklus II naik menjadi 81,4. Berdasarkan hasil angket, minat belajar siswa sebelum tindakan, setelah siklus I dan setelah siklus II berturut-turut 59,3, 61,5, dan 67,8. Meningkatnya minat belajar matematika siswa berdampak pada hasil tes prestasi siswa, yang ditunjukkan dengan meningkatnya rata-rata hasil tes prestasi siswa dari 75,6 pada siklus I menjadi 78,2 pada siklus II. Hal ini membuktikan bahwa model pembelajaran cooperative learning tipe make a match dapat meningkatkan minat belajar Matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis Bantul. 3 Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Jayanti, mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Negeri Semarang pada tahun 2012. Penelitian tersebut berjudul “Keefektifan Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A Match terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar IPS Materi Perkembangan Teknologi Kelas IV SD Negeri Pekiringan 02 Kabupaten Tegal”. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor aktivitas belajar siswa kelas ekperimen pada pertemuan pertama sebesar 79,61 dan pertemuan kedua sebesar 85,27 dengan kriteria penilaian sangat tinggi. Rata-rata skor aktivitas belajar siswa kelas kontrol pada pertemuan pertama sebesar 70,65 dan pertemuan kedua sebesar 74,86 dengan kriteria penilaian sangat tinggi. Hasil belajar siswa diperoleh rata-rata nilai kelas eksperimen sebesar 74,76, sedangkan kelas kontrol sebesar 62,83. Jadi, model pembelajaran kooperatif tipe make a match terbukti efektif meningkatkan aktivitas 32 dan hasil belajar IPS siswa kelas IV SD Negeri Pekiringan 02 Kabupaten Tegal. Dari beberapa hasil penelitian yang telah disebutkan, terdapat perbedaan dan persamaan dengan apa yang akan peneliti lakukan. Perbedaannya terletak pada jenis penelitian yang digunakan yaitu pada mata pelajaran Matematika menggunakan penelitian tindakan kelas PTK, sedangkan yang peneliti lakukan yaitu jenis penelitian eksperimen, serta perbedaan pada materi dan mata pelajarannya yaitu IPS. Persamaannya terletak pada model pembelajaran yang digunakan yaitu model pembelajaran kooperatif teknik make a match. Hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan dapat menjadi rujukan dalam meneliti apakah model pembelajaran kooperatif tipe make a match efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas III pada pembelajaran Matematika materi Bangun Datar SD Negeri Randugunting 3 Kota Tegal.

2.3 Kerangka Berpikir

Dokumen yang terkait

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Adaptasi Makhluk Hidup

0 11 215

Pengaruh model pembelajaran kooperatif metode make A match terhadap pemahaman konsep matematika siswa

4 18 201

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap Prestasi Belajar Sosiologi dalam Pokok Bahasan Pengendalian Sosial

0 26 151

Efektivitas pembelajaran kooperatif model make a match dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS: penelitian tindakan kelas di SMP Islam Al-Syukro Ciputat

0 21 119

Pengaruh kombinasi model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT) dengan make a match terhadap hasil belajar biologi siswa

2 8 199

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PKn MATERI BANGGA SEBAGAI BANGSA INDONESIA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH SISWA KELAS III SD NEGERI KEMANDUNGAN 3 KOTA TEGAL

2 10 210

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SUMBER DAYA ALAM MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MAKE A MATCH PADA KELAS III SD NEGERI KEMANDUNGAN 3 TEGAL

0 6 290

Keefektifan Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A Match terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar IPS Materi Perkembangan Teknologi Kelas IV SD Negeri Pekiringan 02 Kabupaten Tegal.

0 0 217

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH DALAM MENINGKATKAN MINAT DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS III SD NEGERI 3 PALAR, KLATEN.

0 0 237

Peningkatan Hasil Belajar Matematika dengan Model Kooperatif Tipe Make a Match

0 0 7