2
A. Peta Konsep
B. PETA KONSEP
B.
Uraian Materi
1. Pengertian Akidah
Akidah secara etimologi berasal dari kata ‘aqd yang berarti ikatan.” ا ك دقتعا” Artinya saya
ber-i’tiqad begini. Maksudnya, saya mengikat hati terhadap hal tersebut. Kata ‘aqd menurut Raghib al-Asfahani adalah mengikat dua ujung dari sesuatu. Berbeda dengan kata
طب yg juga berarti ikatan, karena
طب adalah ikatan yg mudah lepas, seperti ikatan sepatu sedangkan akidah adalah ikatan yang kuat. Akidah adalah apa yang diyakini seseorang dan merupakan perbuatan hati.
Menurut Yusuf Qardawi Akidah adalah suatu kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan keraguan serta menjadi alat kontrol bagi
tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Jika kata Akidah diikuti dengan kata Islam, maka berarti ikatan yang berdasarkan ajaran Islam. Hal tersebut sama dengan kata iman keyakinan yang
terpatri kuat dalam hati. PETA KONSEP
TASAWUF DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Asal-
Usul Tasawuf B.
Karakteristik Tasawuf
C. Tahapan Spiritual dan
Ajaran Pokok Tasawuf
D. Peran Tasawuf dalam
kehidupan Modern TEOLOGI ISLAM
A. Pengertian, Ruang
Lingkup dan Fungsi Ilmu Kalam.
B. Aliran-Aliran:
1. Aliran Jabariah
2. Aliran Qadari’ah
3. Aliran Khawarij
4. Asy’ariyah
5. Aliran Mu’tazilah
C. Menghindari Dosa
Besar dan Perilaku Tercela
1.
Mabuk-Mabukan 2.
Berjudi 3.
Berzina 4.
Mencuri 5.
Narkiba METODE-METODE PE
NINGKATAN KUALITAS AKIDAH, TAUHID DAN
AKHLAK A.
Menerapkan prinsip- prinsip akidah dalam
kehidupan
B. Menerapkan metode-
metode peningkatan kualitas akidah
dalam kehidupan C.
Pengertian Tauhid, Macam-macam Tauhid,
Perilaku Orang yang bertauhid.
D. Pengertian, Menerapkan
Metode-Metode Kualitas Akhlak.
E. Menerapkan Metode-
Metode Kualitas Akhlak dalam Kehidupan.
3 Akidah Islam mengandung arti ketertundukan hati, kepatuhan, kerelaan dan kejujuran dalam
menjalan perintah Allah swt. Oleh sebab itu akidah Islamiyah adalah keterkaitan antara hati, ucapan dan perbuatan.
Akidah menurut syara’ Adalah iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya, Hari Akhir dan Qadar baik maupun buruk. Ini juga dikenal dengan rukun iman. Oleh
karena itu keimanan dalam agama Islam merupakan dasar atau pondasi yang di atasnya dibangun syariat Islam. Antara keimanan dan perbuatan atau akidah dan syariat keduanya saling berkaitan
erat, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya seperti dua sisi mata uang. 2.
Sumber Akidah Islam Akidah Islam bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sehingga mayoritas ulama sepakat
bahwa rukun Iman berjumlah enam; Lima dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an sebagaimana firmanNya dalam Surah al-Baqarah: 177
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat- malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi……
Adapun rukun yang ke enam yaitu iman kepada qadar didasarkan kepada hadis nabi, ketika beliau ditanya oleh Jibril tentang iman, maka Nabi menjawab
هرشو هريخ دقلاب نم تو رخأا ويلاو ه س و هبتكو هتكئامو اب نم ت نأ
Artinya: Hendaklah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-
rasulNya, hari kemudian dan hendaknya pula kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.
3. Tujuan Akidah Islam
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, membawa dan mengandung misi keimanan kepada Allah yang wajib disembah. Dalam rangka mengubah kehidupan manusia. Nabi Muhammad
saw. terus menerus menyeruh manusia agar mengikuti agama yang diturunkan Allah dan jangan bercerai berai atau mengikuti agama lain. Oleh karena itu akidah Islam bertujuan yaitu:
4 a.
Menentukan orientasi kehidupan Akidah Islam menentukan orientasi kehidupan yang benar kepada ummat Islam dalam
beringkah laku, mendorong mereka untuk melakukan amal kebajikan. Orintasi yang dimaksud adalah niat yang ikhlas yang terkandung dalam setiap perbuatan manusia.
b. Mempertebal keyakinan
Akidah Islam yang menguatkan dan memantapkan keyakinan akan kebenaran ajaran Islam. Islam diterima sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada
keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa QS. AlBaqarah 2: 2-5. c.
Membangkitkan rasa ketuhanan Manusia adalah makhluk religi yaitu makhluk yang memiliki naluri beragama, naluri
tersebut sejak ada semenjak manusia hidup, dapat tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi dan pengaruh yang diterimanya. QS. Al A’raf 7: 172.
Secara esensial manusia dibedakan karena amal ketakwaannya. Bukan karena keturunan, warna kulit atau kewargaannya, bukan pula pangkat, harta dan jabatan yang disandangnya.
Keyakinan tersebut akan membuat manusia terlepas dari penindasan, perbuatan, karena itu bertentangan dengan akidah Islam yang diyakininya.
d. Memberikan kepastian
Akidah Islam memberikan pedoman hidup yang pasti dan pegangan kuat, supaya dapat membedakan mana yang baik yang harus dijalankannya, dan mana yang buruk yang harus dijauhi.
QS. Al Baqarah 2: 185. e.
Berani berjuang Akidah Islam akan mendorong manusia berani berjuang menegakkan kebenaran, berani
dalam pengertian bahwa seseorang mempunyai kesiapan untuk menyatakan kebenara. Kebenaran sudah mendarah daging dalam kehidupannya. Dia rela terhina dihadapan manusia karena
menjunjung tinggi kebenaran. f.
Bertawakkal dan tenteram Seseorang yang memiliki dan kuat akidahnya meyakini bahwa segala sesuatu akan terjadi
atau gagal karena kehendak dari Allah. Tugas utama manusia adalah bekerja, ikhtiar berdasarkan ketetapan yang benar, sedangkan hasilnya diserahkan pada Allah atau bertawakkal.
4. Iman, Islam dan Ihsan
Di dalam Islam dan Iman terkumpul agama secara keseluruhan. Ketika Nabi saw. ditanya oleh Jibril tentang 3 hal tersebut, Nabi memberikan jawaban yang berbeda, berikut uraiannya.
5
Iman
Kita telah mengetahui jawaban Rasulullah dalam hadis jibril, Nabi saw. menjawab ada 6 yang wajib dipercayai, tapi pada hadis yang lain beliau juga menyebut hal-hal lain sebagai Iman, seperti
akhlak yang baik, bermurah hati, sabar, cinta Rasul, cinta sahabat, rasa malu dan sebagainya. Itu semua adalah iman yang merupakan pembenaran batin.Tidak ada sesuatu yang mengkhususkan
iman untuk hal-hal yang bersifat batin belaka. Justru yang ada adalah dalil yang menunjukkan bahwa amal-amal lahiriah juga disebut iman. Sebagiannya adalah apa yang telah disebut Rasulullah
sebagai Islam. Beliau telah menafsirkan iman kepada utusan Bani Abdil Qais dengan penafsiran Islam yang
ada dalam hadis Jibril. Sebagaiman yang ada dalam hadis syu’abul iman cabang-cabang iman. Rasulullah bersabda, “Yang paling tinggi adalah ucapan, ‘La ilaha illallah’ dan yang paling rendah
menyingkirkan gangguan dari jalan. “pada hal apa yang terdapat diantara keduanya adalah amalan lahiriah dan batiniah.
Sudah diketahui bersama bahwa beliau tidak memaksudkan hal-hal tersebut menjadi iman kepada Allah tanpa disertai iman dalam hati, sebagimana telah dijelaskan dalam banyak dalil syar’i
tentang pentingnya iman dalam hati. Jadi, syiat-syiar atau amalan-amalan yang bersifat lahiriah yang disertai dengan iman dalam dada itulah yang disebut iman. Dan makna iman mencakup
pembenaran hati dan amalan perbuatan, dan itulah istIslam penyerahan diri kepada Allah.
Islam
Rasulullah banyak menamakan beberapa hal dengan sebutan Islam, umpamanya: taslimul qalbi penyerahan hati, Salamatunnas minal lisan wal yad tidak menyakiti orang lain dengan lisan
dan tangan, menberikan makan, serta ucapan yang baik. Semua perkara ini, yang disebut Rasulullah sebagai Islam yang mengandung nilai penyerahan diri, ketundukkan dan kepatuhan yang
nyata. Hukum Islam terwujud dan terbukti dengan dua kalimat syahadat, menegakkan shalat,
membayar zakat, puasa Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah. Ini semua adalah syiar-syiar Islam yang paling tampak. Seseorang yang melaksanakannya berarti sempurnalah
penghambaannya. Apabila ia meninggalkannya berarti ia tidak tunduk dan berserah diri. Lalu penyerahan hati, yakni ridha dan taat, dan tidak mengganggu orang lain, baik dengan
lisan atau tangan, ia menunjukkan adanya rasa ikatan ukhuwah imaniyah. Sedangkan tidak menyakiti orang lain merupakan bentuk ketaatan menjalankan perintah agama, yeng memang
menganjurkan kebaikan dan melarang mengganggu orang lain serta memerintahkan agar mendermakan dan mendorong serta mencintai perkara-perkara yang baik. Ketaatan seseorang
dengan berbagai hal tersebut juga hal lainnya adalah termasuk sifat terpuji,yakni jenis kepatuhan
6 dan ketaatan, dan ia merupakan gambaran yang nyata tentang Islam. Hal-hal tersebut mustahil dapat
terwujud tanpa pembenaran hati iman. Dan berbagai hal itulah yang disebut sebagai Islam. Berdasarkan ulasan tersebut dapat dikatakan, sesungguhnya sebutan Islam dan iman apabila
bertemu dalam satu tempat maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan lahiriah, sedangkan iman ditafsirkan dengan keyakinan-keyakinan batin. Tetapi, apabila dua istilah itu dipisahkan atau
disebut sendiri-sendiri, maka yang satu ditafsiri dengan yang lain. Artinya Islam itu ditafsiri dengan keyakinan dan amal, sebagaimana halnya iman juga ditafsiri demikian.
Keduanya adalah wajib, ridha Allah tidak dapat diperoleh dan siksa Allah tidak dapt dihindarkan kecuali dengan kepatuhan lahiriah disertai dengan keyakinan batiniah. Jadi tidak sah
pemisahan antara keduanya. Seseorang tidak dapat menyempurnakan iman dan Islamnya yang telah diwajibkan atasnya
kecuali dengan mengerjakan perintah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Sebagaimana kesempurnaan tidak mengharuskan sampainya pada puncak yang dituju. Karena adanya bermacam-
macam tingkatan sesuai dengan tingginya kuantitas dan kualitas amal serta keimanan.
Ihsan
Kata ihsan berasal dari bahasa Arab, yaitu ahsana, yahsinu, ihasanan, yang artinya berbuat baik atau berbuat kebaikan. Kata ihsan dalam al-Qur’an diulang sebanyak 12 kali, dengan arti yang
beraneka ragam. Di antaranya ada yang berarti berbuat baik atau kebaikan. QS. Al-Baqarah, 2 : 178. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan. Q.S. An-Nahl, 16
: 90. Dan ingatlah ketika kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu : Janganlah kamu menyembah Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak. Q.S. al-Baqarah, 2 :83.
Pada ayat-ayat tersebut kata ihsan selalu diartikan berbuat baik, dan dihubungkan dengan berbagai masalah sosial, yaitu berbuat baik dalam bentuk mau memaafkan kesalahan orang lain,
dalam memimpin masyarakat atau memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dalam hubungannya dengan kedua orang tua. Dengan demikian kata ihsan lebih menunjukkan pada akhlak
yang mulia. Sedangkan arti ihsan sebagaimana digunakan dalam arti istilah adalah merasa diperhatikan oleh Allah, sehingga ia tidak berani melakukan pelanggaran atau meninggalkan
perintah Tuhan. 5.
Aliran Teologi dalam Islam Teologi Islam atau ilmu kalam sebagai disiplin ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad
ke-3 Hijrah. Hal ini sama sekali bukan berarti aspek akidah atau teologi tidak mendapat perhatian dalam ajaran Islam atau ilmu-ilmu keIslaman, bahkan sebaliknya dalam agama Islam aspek akidah
merupakan inti ajarannya.
7 Pada waktu itu umat Islam masih bersatu dalam segala persolan pokok akidah, bersatu dalam
memahaminya. Umat Islam waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit persoalan akidah yang telah tertanam dan berakar kuat dihati umat Islam.
Umat Islam terus mengisi ruang sejarah yang terus berjalan hingga sejarah itu sendiri melahirkan beberapa persoalan yang muncul kemudian yang harus dihadapi umat Islam, termasuk
dengan munculnya persoalan-persoalan dalam masalah teologi. a.
Masalah Status dan Nasib Pelaku Dosa Besar Ketika Nabi Muhammad saw, masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan kepada
beliau secara langsung. Dan jawaban dari persoalan tersebut dapat diperoleh secara langsung dari Rasulullah saw. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh hati, bahwa apa yang
diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah berdasarskan wahyu Allah. Dengan demikian, tak ada keraguan sedikitpun mengenai kebenarannya. Dalam masalah akidah atau teologi, umat Islam pada
masa Nabi saw, tidak terjadi perpecahan atau pengelompokan. Mereka semua bersatu dalam masalah akidah sampai pada masa dua kepemimpinan khulafaur zrasyidin, yakni pada masa
pemerintahan khalifah Abu Bakur As-Siddiq dan Khalifah Umar bin Khattab. Karena pada masa setelahnya umat Islam telah terusik nafsunya untuk mengambil pemahaman secara sepihak menurut
versi kelompoknya dalam masalah agama termasuk persoalan akidah atau teologi yang dalam agama Islam merupakan ajaran yang pokok.
Persoalan teologi dalam umat Islam memang bukan merupakan persoalan yang muncul sebagai persolan teologis. Namun persoalan-pesoalan teologi dalam umat Islam muncul
dikarenakan isu persoalan politik yang melahirkan persistiwa pembunuhan Usman bin Affan sebagai khalifah umat Islam yang sah pada watu itu. Dan dalam peristiwa pembunuhan tersebut
yang terlibat langsung adalah umat Islam. Ternyata, persoalan pertama yang muncul dalam Islam justru persoalan politik yang kemudian disusul persoalan teologi. Ketika Nabi saw. Wafat, yang
terpikir didalam kalangan umat para sahabat adalah siapa pengganti Rasulullah saw.? Dan berlanjut sampai khalifah Usman yang terbunuh merupakan titik awal lahirnya permasalahan
teologi yang dipertentangkan. Dari peristiwa pembunuhan Usman yang menjadi permaslahan adalah dosa apa yang telah diperbuat olehnya, dan bagaimana dosanya bagi orang-orang yang
membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan itu sebenarnya merupakan peristiwa politik, yakni sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan yang dijalankan pada waktu itu.
Pembicaraan masalah dosa tersebut semakin meningkat ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah dengan keputusan akhir adanya arbitrase tahkim Kelompok yang tidak
setuju adanya arbitrase, menganggap bahwa orang terlibat dalam persolan arbitrase, seperti Ali bin Ali Thalib, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al Asy’ary dan lain-lain, dianggap kafir, karena
8 telah mengambil hukum yang tidak berdasarkan Al-Qur’an. Karena Allah berfirman didalam Al-
Qur’an surat Al-Maidah ayat 44,
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan, menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir.” QS. Al-Maidah: 44 Mereka kaum Khawarij berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh
arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an, la hukma illa lillah Tidak ada hukum selain dari hukum Allah atau La
Hukama Illa Allah Tidak ada pengantara selain dari Allah menjadi semboyan mereka.” Kemudian pengertian kafir, semakin berkembang tidak hanya pada orang yang tidak
menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an tetapi juga kepada orang yang berbuat dosa besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalan
ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran Khawarij, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir. Artinya keluar dari Islam murtad karena itu ia wajib
dibunuh. Kedua, aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk diampuni atau tidak,
Ketiga, aliran Mu’tazilah, kaum ini tidak setuju dengan pendapat-pendapat diatas. Baginya orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang yang melakukan dosa besar
mengambil posisi antara mukmin dan kafir. Terkenal dengan pahamistilah Manzilah baina al Manzilataini.
b. Perbuatan Manusia dalam Kaitannya dengan Perbuatan Tuhan
Persoalan lain dalam masalah teologis berkaitan dengan persoalan perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan. Pertanyaan di sekitar peroalan tersebut diantaranya apakah
manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? Apakah perbuatan yang dilakukan oleh manusia terdapat campur tangan interfensi dari Tuhan yang mengatur alam raya ini berserta
seluruh isinya? Kalau Tuhan ikut campur tangan dalam perbuatan manusia, sampai sejauh mana interfensi Tuhan tersebut: Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengusik para ulama kalam
mutakallimin untuk membahasnya. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan para mutakallimin ini kemudian terbentuk aliran-
aliranpaham dalam persoalan teologi. Aliran-aliran teologi yang muncul berangkat dari latar belakang persoalan-persoalan tersebut sebagaimana uraian berikut. Pertama, aliran Jabariyah yang
9 dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya Allah
sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua amal perbuatan itu adalah atas qudrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Dalam paham
jabariyah, perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan sering digambarkan bagai bulu ayam yang diikat dengan tali dan digantungkan di udara. Kemana angin bertiup kesanalah bulu
ayam itu terbang. Ia tidak mampu menentukan dirinya sendiri, tetapi terserah angin. Apabila perbuatan manusia diumpamakan sebagai bulu ayam, maka angin itu adalah Tuhan yang
menentukan kearah mana dan bagaimana perbuatan manusia itu dilakukan. Kadang-kadang manusia diumpamakan pula seperti wayang yang tidak berdaya. Bagaimana
dan ke mana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang bagi manusia adalah “Tuhan”. Pahan Jabariyah sebagaimana dikemukakan diatas adalah paham yang dilontarkan oleh
Jahm bin Shafwan, tokoh utama Jabariyah. Aliran ini pun kadang-kadang disebut dengan aliran Jahamiyah. Menurut paham ini Allah swt., membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan
iradat : suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan ajaran agama sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Karena manusia bebas, merdeka, dan memiliki kemampuan mewujudkan perbuatan- perbuatannya, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dihadapan Allah swt. Jika ia
banyak melakukan yang baik, ia akan mendapat balasan berupa nikmat dan karunia yang besar. Sebaliknya, jika perbuatan jahat yang banyak dikerjakan, ia akan disiksa. Karena perbuatan itu
diciptakan dan diwujudkan oleh manusia sendiri, wajar dan adil kalau Tuhan menyiksa atau member pahala. Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa menurut paham Qadariyah, Tuhan tidak
ikut campur tangan dalam perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan itu. Jika perbuatan manusia diciptakan Tuhan seluruhnya, maka taklif tidak ada artinya. Pahala dan
siksa tidak berguna karena perbuatan itu dikerjakan bukan dengan kehendak dan kemauan sendiri. Ketiga, aliran Asy’ariyah yang dalam persoalan ini lebih dekat dengan paham Jabariyah dari
pada kepada paham Mu’tazilah. Untuk menggambarkannya pahamnya mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan, Asy’aryah menggunakan teori Al- Kasb.
c. Sifat-Sifat Tuhan
Persoalan lain yang muncul dalam toelogi Islam selain dua persoalan diatas adalah tentang sifat Tuhan. Para mutakallimin dalam membahas persoalan tentang sifat Tuhan secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua golongan pendapat yang berlawanan. Pertama, aliran Mu’tazilah yang memahami dan membahas persoalan ini dengan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mesti kekal seperti halnya dengan Zat Tuhan. Namun jika demikian maka yang bersifat kekal bukan satu lagi, tetapi banyak. Jika Tuhan
10 itu mempunyai sifat-sifat maka akan menyebabkan paham banyak yang kekal Ta’aduddul qudama
yang selanjutnya melahirkan paham syirik atau polytheisme sebagai suatu yang tidak mendapat tempat didalam teolegi Islam.
Jadi, menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sebagai sifat dalam pendapat golongan, bagi Mu’tazilah tidak
lain adalah Zat Allah sendiri. Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazilah menafikan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai
golongan Ahlut Tauhid wal’Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa. Kedua, aliran Asy’ariyah yang membahas persoalan sifat-sifat Tuhan dengan mengambil
sikap yang berlawanan dengan pendapat golongan pertama atau Mu’tazilah. Ketiga, aliran Maturidiyah yang dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-
sifat. Sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui sifat-sifat itu sendiri. Mereka selalanjutnya mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-
Nya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah sama dengan kekelan Tuhan.
6. Akhlak