e. Test Monofilamen
Beberapa prinsip umum mengenai pemeriksaan sensorik: Pertama, sebaiknya diingat bahwa pemeriksaan tergantung pada respon pasien
yang subjektif; karena itu, membedakan respon tergantung pada tingkat kesadaran, motivasi, dan intelegensi pasien dan juga keterampilan
dimana pemeriksa memberikan tugas yang jelas. Kedua, pemeriksaan sensorik sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang lelah. Ketiga,
pemeriksaan sensorik pada pasien yang tidak mempunyai keluhan neurologik sebaiknya cukup singkat. Keempat, pasien diperiksa dengan
mata tertutup selama pemeriksaan sensasi primer Delf, 1996
.
Monofilamen 10g telah dipublikasikan secara luas sebagai salah satu alat deteksi neuropati diabetik. Alat ini dipublikasikan sebagai
sarana yang murah, praktis, dan mudah digunakan untuk deteksi hilangnya sensasi proteksi. Alat ini terdiri dari sebuah gagang plastik
yang dihubungkan dengan sebuah nilon monofilamen, sehingga akan mendeteksi kelainan sensoris yang mengenai serabut saraf besar
Armstrong, 2000. Berbagai jenis dan ukuran monofilamen telah beredar di pasaran.
Salah satu alat yang sering dipakai adalah Semmes-Weinstein monofilament, dengan variasi ukuran 1 g, 10 g, dan 75 g. Menurut
Levin ME dkk 1991, ukuran standar monofilamen yang biasa dipakai adalah 10 g dengan ketebalan 5,07. Tes ini memeriksa fungsi reseptor
Merkel dan Meissner dan hubungannya dengan serabut saraf diameter besar Perkins BA, 2001 dan Boulton,1998.
Beberapa penelitian memakai cara dan interpretasi yang berbeda- beda dalam penggunaan monofilamen. Pemeriksaan monofilamen pada
penelitian ini menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada
tahun 2011, yaitu: 1
Menggunakan monofilamen ukuran 10g 5,07 2
Meminta pasien membuka kaos kaki dan sepatunya. 3
Menjelaskan prosedur kepada pasien dan tunjukkan kepada pasien monofilamen-nya.
4 Sebelum melakukan pemeriksaan pada kaki responden,
monofilamen diuji cobakan pada sternum atau tangan dengan tujuan pasien dapat mengenal sensasi rasa dari sentuhan monofilamen.
5 Melakukan pemeriksaan pada salah satu tungkai yang memiliki
ulkus dengan kedua mata responden tertutup. 6
Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa, penekanan dilakukan selama 2 detik, kemudian segera ditarik.
Gambar 2.1 Cara Melakukan Test Monofilamen
7 Gunakan monofilamen pada 10 titik lokasi di kaki kiri dan kanan
seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.2 Lokasi Test Monofilamen -
Pemilihan titik lokasi yang acak akan mencegah pasien dari perkiraan area selanjutnya.
- Jika terdapat ulkus, kalus, atau skar di kaki, gunakan
monofilamen pada area yang berdekatan. -
Jika pasien telah mengalami amputai, test dilakukan pada titik lokasi yang memungkinkan saja.
8 Pada masing-masing lokasi dilakukan tiga kali pemeriksaan, jika
pasien terindikasi tidak merasakan monofilamen. 9
Penilaian hasil pemeriksaan : -
Positif: dapat merasakan tekanan monofilamen dan dapat menunjukkan lokasi dengan tepat setelah monofilamen di
angkat, pada 2-3 kali pemeriksaan. -
Negatif: tidak dapat merasakan tekanan atau tidak dapat menunjukkan lokasi dengan tepat, pada 2 dari 3 kali
pemeriksaan.
10 Hasil positif skor =1, hasil negatif skor = 0. Sehingga skor total
pada satu kaki bervariasi antara 0-10. 11
Dalam mendokumentasikan hasil test monofilamen, jika tertulis 69 maka dapat diartikan bahwa pasien dapat merasakan sentuhan
monofilamen pada enam titik lokasi dan hanya dilakukan test pada sembilan titik area dikarenakan ibu jari pasien yang telah
diamputasi.
C. Ulkus Diabetika
1. Pengertian
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat Frykberb, 2002. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati
sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada pasien yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi
infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob Frykberb, 2002; Misnadiarly, 2006; Riyanto, 2007.
2. Patogenesis Ulkus Diabetika Akibat Neuropati
Pada pasien DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf
karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya
refleks otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila pasien DM tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi
ulkus diabetika Waspadji, 2007. Terjadi kerusakan saraf somatis dan otonom, tetapi tidak ada gangguan sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering,
hangat, kesemutan, mati rasa, udem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik Jeffcoate 1995, Gibbons 1995 .
Neuropati pada DM dapat mengenai pada bagian sensorik, motorik, maupun otonom. Patogenesis terjadinya neuropati diabetik masih penuh
kontroversi, teori yang banyak dianut adalah adanya defisiensi insulin dan hiperglikemi yang menyebabkan:
a. Insufisiensi vaskuler pada sistem syaraf tepi.
b. Kelainan metabolisme molekuler dari sistem syaraf perifer dan
medulla spinalis. Dilaporkan pula bahwa pembuluh darah intraneural mengalami penebalan
dinding dan penyempitan lumen seperti pada angiopati umumnya sehingga terjadi iskemi syaraf dan terjadilah neuropati. Gangguan metabolisme pada
dendrit dan akson memberikan penjelasan lain, dimana gangguan metabolisme lipid dan protein yang berfungsi mempertahakan keutuhan syaraf termasuk
produksi neurotransmitter berkurang sehingga terjadi gangguan konduksi. Wisramayasa,1997 ; Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999.
Proses degenerasi pada akson akan terus berlangsung terutama pada pasien DM yang tidak terkontrol. Keadaan berkurangnya sensibilitas akibat
degenerasi seluler dari akson menyebabkan kurang pekanya pasien DM terhadap rangsang nyeri, panas, trauma mekanis dan sebagainya, sehingga
kulit telapak kaki akan terluka tanpa rasa, dan bila terjadi infeksi maka akan terjadi ulkus akibat neuropati Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999.
3. Klasifikasi Derajat Ulkus Diabetika
Beragam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika digunakan dalam upaya menentukan perbedaan luka tempat, kedalaman, ada atau tidak adanya
neuropati, infeksi, dan iskemi Livingston, 2008. Penggunaan sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika yang memberikan keseragaman gambaran
dan penjelasan luka akan membantu dalam merencanakan tindakan dan memprediksi jangka waktu penyembuhan atau rencana amputasi Livingston,
2008. Ada beberapa macam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika yang sering digunakan: Sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner, Sistem
klasifikasi derajat luka menurut University of Texas UT, sistem klasifikasi luka SAD Size, Sepsis, Arteriopathy, Depth and Denervation yang
merupakan hasil penelitian dari Department of Diabetes and endocrinology at the University of Nottingham, Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound
Classification System Wagner, 1981; Moffat, 2006; Sussman, 2007; Alan, 2009.
Klasifikasi derajat luka menurut Wagner 1981 dikutip dalam Clifford, 2012; Livingston, 2008, Gries, 2003; Moffat, 2006; Alan, 2009;
Roy, 2006; Waspadji, 2007, yaitu: Derajat 0 : pre atau post ulkus, tidak ada lesi terbuka, kulit utuh tetapi
memiliki resiko tinggi terjadi ulkus mungkin disertai kelainan bentuk kaki; Claw, Callus, Hallux, valgus, dll
Derajat 1 : Ulkus superfisialis dan terbatas pada kulit atau jaringan subkutan
Derajat 2 : Ulkus dalam, tembus kulit sampai ke ligament, tendon, dan tulang, tanpa osteomielitis atau abses.
Derajat 3 : Ulkus yang dalam sampai ke tulang, dengan osteomielitis atau abses.
Derajat 4 : Gangren yang terlokalissir pada ibu jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis.
Derajat 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah. Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas UT
menggunakan derajat Wagner 1 sampai 3, tetapi disetiap derajat ditambahkan tahapan-tahapan luka: A = tidak ada infeksi atau iskemia; B = infeksi, tidak
iskemia; C = iskemia, tidak infeksi; D = infeksi dan iskemia Alan, 2009. Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas UT mengkaji
kedalaman luka, ada atau tidak adanya nya infeksi, dan ada atau tidak adanya tanda klinis iskemi pada ekstermitas bawah Lavery, 1996. Sistem klasifikasi
ini menggunakan sebuah matriks yang menggambarkan derajat luka pada aksis horizontal dan tahapan luka pada aksis vertikal Lavery, 1996; Gries;
200; Alan, 2009; Roy, 2012. Stage
Grade 1
2 3
A Pre-post lesi
ulkus, kulit utuh
Ulkus superficial
Ulkus dalam, ke tendonkapsul
Penetrasi luka ke tulang
B Infeksi
Infeksi Infeksi
Infeksi C
Iskemia Iskemia
Iskemia Iskemia
D Infeksi dan
iskemia Infeksi dan
iskemia Infeksi dan iskemia
Infeksi dan iskemia
Tabel 2.1 University of Texas and San Antonio Wound Classification system, Modified from Armstrong, 1996.
Sistem klasifikasi luka SAD merupakan tambahan dari sistem klasifikasi luka menurut University of Texas, SAD menambahkan area ulkus cross-
sectionl dan ada atau tidak adanya neuropati perifer di setiap derajat luka Moffat, 2006.
Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound Classification System:
Klasifikasi ulkus diabetika berdasarkan warna merupakkan sistem klasifikasi yang popular karena cukup sederhana dan mudah digunakan. Tiga warna
yaitu: merah, kuning, dan hitam, digunakan untuk mengkaji warna permukaan luka. Sistem Tiga Warna pada mulanya di ciptakan sebagai alat untuk
penatalaksanaan langsung, dengan setiap warna membutuhkan terapi khusus yang sesuai dengan kondisi luka. Luka yang berwarna merah diartikan bersih,
sedang dalam proses penyembuhan, dan sedang mengalami granulasi. Luka yang berwarna kuning mengindikasikan terjadinya infeksi, terdapat jaringan
nekrotik, dan membutuhkan pembersihan atau debridemen. Luka yang berwarna hitam merupakan jaringan nekrotik dan membutuhkan pembersihan
serta debridemen. Luka yang berwarna merah merupakan karakteristik luka yang diharapkan Sussman, 2007.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ulkus diabetika menurut Misnadiarly 2006, yaitu : a. Sering kesemutan.
b. Nyeri kaki saat istirahat. c. Sensasi rasa berkurang.
d. Kerusakan jaringan nekrosis. e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.