Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

2 Menurut Wibowo faktor pendukungnya adalah jumlah penduduk yang besar Cina merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia dan tidak adanya serikat buruh sehingga mereka dapat digaji murah. Wibowo 2007, 163 menjelaskan bahwa dampak pengembangan industri di Cina terhadap lingkungan, antara lain; polusi udara yang meningkat, tercemarnya air sungai oleh limbah, serta pembukaan lahan hutan yang merupakan salah satu contoh bagaimana pembangunan ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Xhou Shengxian Kepala Badan Lingkungan negara Cina, mengatakan bahwa kondisi lingkungan di Cina mengancam kesehatan masyarakat serta kestabilan sosial Sommerville 2006. Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca GRK ke udara terbesar di dunia yang diakibatkan oleh berkembangnya industri mereka Saragih 2010. Karena Cina menjadi penghasil emisi terbesar di dunia, maka Cina pun menjadi sorotan masyarakat internasional dan dituntut untuk mengurangi pelepasan emisi CO2 ke udara. Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pembangunan ekonomi berbasis industri tidak hanya terjadi di Cina sehingga menyebabkan terjadinya perubahan iklim global yng membuat negara-negara di dunia merasa khawatir akan berbagai bencana yang terjadi. Pemanasan global mengakibatkatkan mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar, coral bleaching, dan gelombang badai besar Greenpeace, n.d.. Untuk menghadapi masalah ini, negara-negara di dunia mengadakan konferensi internasional untuk mencari jalan keluar guna mengatasi masalah perubahan iklim. Konferensi lingkungan hidup internasional pertama yang 3 diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dilaksanakan di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 Erwin 2009, 171. Konferensi ini merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global yang melahirkan kerjasama antarbangsa dalam penyelamatan lingkungan hidup. Kerjasama tersebut diwujudkan dengan membentuk lembaga United Nations Environment Program UNEP yang berkedudukan di Nairobi, Kenya. Kelanjutan dari konferensi Stockholm adalah pelaksanaan berbagai konferensi lanjutan untuk membahas masalah perubahan iklim. Pada tanggal 21 Maret 1992 dilaksanakan konferensi lingkungan hidup di Rio de Jainero yang mengangkat topik permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon dan meluasnya penggundulan hutan Erwin 2009, 173. Menurut Erwin 2009, 173 Penurunan kualitas lingkungan hidup yang terjadi diberbagai belahan bumi ini dapat berimbas pada kepentingan politik, ekonomi, dan sosial secara meluas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diharapkan hasil akhir dari setiap konferensi dapat menciptakan perubahan yang lebih baik untuk pelestarian lingkungan dan dapat dilaksanakan oleh seluruh negara yang menandatangani hasil konferensi tersebut. Konferensi Rio berhasil membuat suatu kesepakatan yang pada akhirnya diterima secara universal sebagai komitmen politik internasional tentang perubahan iklim, yaitu The United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC Deptan 2010. Selanjutnya, Deptan 2010 menjelaskan bahwa UNFCCC bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem guna menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. 4 Pada Desember 1997 dilaksanakan Conference of the Parties COP ketiga di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan Protokol 2 Kyoto Eionet 2011. Protokol Kyoto merupakan persetujuan di mana negara-negara industri akan mengurangi enam macam gas emisi GRK mereka secara kolektif minimal sebesar 5 persen dan terbagi dalam dua kategori Eionet 2011. Kategori pertama adalah pengurangan tiga gas yang paling penting yaitu karbon dioksida CO2, metana CH4, dan oksida nitrat N20 yang akan diukur berdasarkan tahun 1990. Kategori kedua adalah pengurangan tiga gas industri berumur panjang yaitu hidrofluorokarbon HFC, perfluorokarbon PFC, dan heksafluorida sulfur SF6 yang akan diukur berdasarkan pengukuran karbon tahun 1990 atau awal 1995. Setiap negara yang menyetujuinya harus mencapai target tersebut pada periode tahun 2008 - 2012. UNFCCC hingga saat ini mempunyai 194 negara anggota dan satu anggota dari organisasi integrasi ekonomi regional UNFCCC n.d. 3. Selain itu, pertemuan Conference of the Parties COP masih rutin dilaksanakan secara bergantian di negara-negara anggotanya. Pada periode 2007 hingga 2009 dilaksanakan pertemuan COP-13 Bali, Indonesia pada tahun 2007, pertemuan COP-14 Poznan, Polandia pada tahun 2008, dan COP-15 Copenhagen, Denmark pada tahun 2009. Cina merupakan salah satu negara anggota UNFCCC. Cina merupakan negara berkembang sehingga termasuk dalam kelompok Non-Annex UNFCCC n.d. 1. Pada setiap pelaksanaan konferensi perubahan iklim Cina mempunyai sikap, peranan, serta diplomasi yang direalisasikan pada kebijakan luar negerinya dalam pembuatan kesepakatan bersama dari suatu konferensi perubahan iklim. 2 Protokol yaitu komitmen negara-negara industri maju untuk melaksanakan penurunan tingkat emisi GRK 5 Menurut Heggelund 2007, 155 Cina tidak akan membuat suatu komitmen di waktu dekat karena energi merupakan kunci dari pembangunan ekonomi sehingga hal tersebut merupakan alasan keengganan negara ini membuat komitmen untuk mengurangi emisi. Namun, pada tahun 2007 Presiden Hu Jintao dalam Naisbitt 2010, 80 menyatakan bahwa model yang menjadikan Cina bintang pertumbuhan ekonomi global telah usang karena Cina sedang menata model baru yaitu model pertumbuhan pembangunan yang ilmiah. Sejak saat itu, pembangunan ilmiah diterapkan dalam pembangunan ekonomi di Cina dengan memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam SDA. Selain itu, pada tahun 2007 Cina juga mengeluarkan kebijakan Naskah Putih yang mempunyai tujuan low input, low consumption, and high efficiency untuk mendorong konservasi energi negaranya Mursitama Yudono 2010, 56. Meskipun pada tahun 2007 Cina mengeluarkan kebijakan Naskah Putih namun pada tahun 2009 negara ini tetap menjadi negara penghasil emisi terbesar di dunia Saragih 2010. Oleh karena itu, Cina ikut serta dalam pembuatan komitmen pengurangan emisi GRK pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 yang tentunya karena mendapat tekanan dari dunia internasional. Kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen pada tahun 2009 menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini. 6

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka pertanyaan penelitian research question yang diajukan oleh peneliti adalah: 1. Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009?

C. Kerangka Teori

Pasca berakhirnya Perang Dingin, isu lingkungan hidup menjadi salah satu isu yang berkembang dalam politik internasional. Hal ini terjadi khususnya sejak penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development UNCED atau Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 Isnaeni Wardoyo 2008, 225. Banyak kesepakatan atau perjanjian internasional yang telah dihasilkan melalui proses panjang dari sebuah negosiasi dan kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup yang pada hakekatnya merupakan refleksi atas pilihan yang dibuat oleh suatu negara dalam kebijakan luar negerinya untuk menyikapi dinamika isu lingkungan di tingkat global. Skripsi ini menggunakan teori kebijakan luar negeri untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Selain itu, juga digunakan konsep diplomasi untuk melihat bagaimana diplomasi dan negosiasi yang dilakukan oleh Cina untuk menghasilkan suatu kesepakatan pada saat konferensi berlangsung. Kebijakan luar negeri tentunya mempunyai tujuan yang harus diaplikasikan dalam setiap pelaksanaannya. Menurut William Wallace dalam Clarke White ed. 1995, 5, kebijakan luar negeri merupakan arena politik yang merupakan jembatan penting terhadap semua masalah hambatan yang ada di antara negara 7 bangsa dan lingkungan internasional. Selain itu, menurut Roy Jones dalam Clarke White ed. 1995, 3, kebijakan luar negeri seperti menembus semua asas untuk melanjutkan kehidupan manusia dan untuk mensejahterakan manusia di masa depan. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan luar negeri merupakan suatu jembatan penting untuk menghadapi setiap masalah negara bangsa dan eksistensi hubungan antara negara-negara di lingkungan internasional guna melanjutkan kehidupan dan menyejahterakan masyarakatnya pada masa depan. Menurut Holsti 1992, 272, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, yaitu; internal domestik dan eksternal. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang paling dominan untuk menjelaskan latar belakang kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Holsti 1992, 272 menjelaskan bahwa faktor internal terdiri dari kondisi sosio-ekonomi, karakteristik geografis dan demografi, struktur pemerintahan, dan atribut nasional serta opini masyarakat Cina tentang masalah ekonomi dan lingkungan. Kondisi sosio ekonomi menggambarkan perubahan sistem ekonomi Cina yang awalnya agraris namun berubah menjadi industrialis. Karakteristik geografis dan demografis menggambarkan bahwa Cina merupakan negara besar serta jumlah penduduknya merupakan yang terbesar di dunia. Struktur pemerintahan menggambarkan bahwa struktur pembagian kekuasaan pemerintah Cina terbagi menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif serta kebijakan pemerintah Cina mengenai isu lingkungan hidup dengan membuat kebijakan energy security dan Naskah Putih pada tahun 2007.