Conference of the Parties COP-15 di Copenhagen Tahun 2009

25 pemerintah Denmark, dan negara-negara anggota UNFCCC. Untuk itu, baik pemerintah Denmark maupun negara-negara anggota UNFCCC berusaha keras agar konferensi Copenhagen berjalan sukses dengan menghasilkan Protokol Copenhagen untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim Erantis 2009. Hal tersebut dilaksanakan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto akan habis masa berlakunya. Konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 dihadiri oleh 120 kepala negara dan kepala pemerintahan, delegasi dari 190 negara sebanyak 10.500 orang, 13.500 pengamat, dan lebih dari 3.000 perwakilan media yang meliput konferensi ini UNFCCC n.d. 17. Dengan banyaknya undangan yang hadir dan mengikuti konferensi ini mengindikasikan bahwa kepedulian masalah iklim global dalam dunia dan masyarakat internasional makin meningkat. Konferensi Copenhagen terdiri dari dua konferensi UNFCCC n.d. 17. Pertama adalah konferensi sidang COP-15 15 th Conference of the Parties – COP15 yang terlibat dalam Konvensi PBB tentang agenda perubahan iklim, UNFCCC. Kedua adalah pertemuan kelima CMP yang berfungsi sebagai sidang yang terkait dengan Protokol Kyoto. Dalam konferensi Copenhagen terdapat negosiasi intensif antarnegara anggota UNFCCC yang menghasilkan lebih dari 1000 pertemuan, baik resmi maupun informal dan kelompok antarnegara. Selain itu, pembahasan perubahan iklim terjadi di lebih dari 400 pertemuan dan lebih dari 300 konferensi pers. Menurut Rendra Kurnia, 11 “dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen terjadi perdebatan yang cukup alot antara negara- 11 Unit M it igasi dan Pelest arian Fungsi dan Pelest arian Fungsi At mosfer, Kement erian Lingkungan Hidup dalam w aw ancara di Jakart a, 19 April 2011. 26 negara anggota UNFCCC”. Rendra menambahkan bahwa pada saat itu terjadi deadlock jalan buntu ketika perundingan antara the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention AWG-LCA dan the Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol AWG-KP. AWG-LCA membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama dalam UNFCCC. Sedangkan AWG-KP membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada konvensi UNFCCC. Namun, tidak tercapai kesepakatan antara AWG-KP dengan AWG-LCA. Maka, pada saat itu Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen Accord. Pertemuan tersebut dinamakan green room yang membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, bukannya mereduksi emisi. Green room terdiri dari dua puluh enam negara peserta yang terbagi dalam kelompok negara maju, negara berkembang, negara kepulauan kecil dan negara tertinggal Ashadi 2010. Negara-negara tersebut di antaranya adalah Ethiopia, Sudan, Aljazair, Lesotho, Grenada, Bangladesh, Maldives, Kolombia, Cina, India, Brazil, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Indonesia, Swedia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Mexico, Gabon, dan Papua Nugini. Dalam Copenhagen Accord tersebut disebutkan bahwa pada Januari 2010 setiap negara harus menetapkan target pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 namun tidak akan mengikat secara hukum seperti Protokol Kyoto pada tahun 1997 YD 2009. Dalam Copenhagen Accord, negara-negara anggota UNFCCC membuat komiten tentang pengurangan perubahan iklim dan harus disepakati oleh seluruh negara anggotanya UNFCCC n.d. 18. Berikut ini adalah kedua belas poin Copenhagen Accord yang harus disepakati: Pertama: Kami menyadari bahwa perubahan iklim merupakan salah satu tantangan pada masa kini. Oleh karena itu, masalah perubahan iklim sangat 27 mendesak untuk segera diselesaikan dengan prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca GRK di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda. Prinsip ini merupakan tujuan utama dalam konvensi guna menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir hingga pada level yang tidak berbahaya bagi sistem iklim. Karena itu, temperatur global harus diturunkan sebesar dua derajat celsius dengan cara meningkatkan kerja sama jangka panjang untuk menanggulangi perubahan iklim antarnegara-negara anggota UNFCCC sehingga mereka akan mampu mengadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Kedua: Kami setuju untuk mengurangi tingkat emisi global yang merupakan kewajiban semua negara-negara UNFCCC terutama negara industri maju sehingga akan mampu menurunkan tingkat suhu global sebesar dua derajat celcius. Kami akan bekerja sama untuk mencapai pengurangan tingkat emisi global dan emisi nasional karena semakin cepat semakin baik. Kami mengakui bahwa saat ini kerangka puncak pelepasan emisi terbesar akan berada di negara-negara berkembang karena mengingat bahwa pembangunan sosial, ekonomi, dan pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas utama negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penerapan pengembangan strategi emisi rendah 12 di negara berkembang sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan. Ketiga: Setiap negara harus beradaptasi untuk menghadapi efek negatif dari perubahan iklim dan mereka harus mampu merespon dengan meningkatkan kerjasama internasional yang merupakan kewajiban dalam pengimplementasian 12 Strategi pengembangan emisi rendah yaitu transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang agar negara berkembang dapat menggunakan teknologi yang lebih baik dalam pembangunan ekonominya sehingga menghasilkan emisi yang lebih rendah. 28 konvensi. Tujuan dari adaptasi ini adalah untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya di negara kurang berkembang, negara kepulauan kecil berkembang, dan Afrika. Kami setuju bahwa negara-negara industri maju harus dapat menyediakan dan menyokong sumber keuangan, teknologi, dan peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan tindakan adaptasi di negara-negara berkembang. Keempat: Negara-negara Annex I berkomitmen baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama dengan negara lain untuk mengukur seberapa besar target emisi yang akan dihasilkan dari perekonomian pada tahun 2020. Hasil komitmen tersebut akan disampaikan dan dimasukkan oleh negara-negara Annex I dalam lampiran I Appendix I yang akan diserahkan kepada Sekertariat UNFCCC pada tanggal 31 Januari 2010. Negara-negara Annex I yang tergabung dalam Protokol Kyoto akan memperkuat penggurangan emisi yang telah diprakarsai oleh Protokol Kyoto. Pengurangan emisi dan bantuan pendanaan dari negara industri maju ke negara-negara berkembang akan diukur, dilaporkan, dan diverifikasi buktikan sesuai dengan garis pedoman selanjutnya yang telah diadopsi oleh Conference of the Parties COP. Kelima: Negara-negara non-Annex berdasarkan konvensi akan mengimplementasi tindakan mitigasi termasuk menyampaikannya kepada Sekretariat UNFCCC untuk dimasukkan dalam lampiran II Appendix II pada tanggal 31 Januari 2010. Kemudian, berdasarkan Pasal 4.1 dan Pasal 4.7 dalam konteks peningkatan pembangunan bagi negara kurang berkembang dan negara kepulauan kecil berkembang akan dilakukan tindakan sukarela atas dasar dukungan bagi kebaikan bersama. Tindakan mitigasi selanjutnya akan diambil dan dipertimbangkan oleh 29 oleh negara-negara non-Annex, termasuk laporan inventaris nasional yang akan dikomunikasikan agar terjaga konsistensi komunikasi nasional. Keenam: Kami mengakui bahwa terdapat peran penting untuk mengurangi emisi dari penebangan dan degradasi hutan. Selanjutnya, untuk meningkatkan kembali penyerapan GRK oleh hutan maka harus segera membuat suatu mekanisme agar memungkinkan untuk memobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara industri maju. Ketujuh: Kami memutuskan untuk mengejar berbagai pendekatan termasuk kesempatan untuk menggunakan pasar guna meningkatkan efektivitas biaya dan untuk mempromosikan tindakan mitigasi kepada seluruh negara di dunia. Pendekatan ini khususnya ditujukan bagi negara-negara berkembang karena kondisi perekonomian mereka lemah maka harus diberikan insentif dorongan agar mereka terus melanjutkan pengembangan pada jalur emisi rendah. Kedelapan: Peningkatan dan penambahan pendanaan yang memadai serta peningkatan akses harus disediakan bagi negara-negara berkembang sesuai dengan ketentuan konvensi agar memungkinkan mereka dapat mendukung tindakan mitigasi. Penambahan keuangan ini untuk digunakan dalam masalah deforestasi dan degradasi hutan, adaptasi, serta peningkatan kapasitas pengembangan dan transfer teknologi untuk pengimplementasian konvensi. Selanjutnya, negara-negara industri maju akan menyediakan sumber daya baru dan tambahan, termasuk investasi kehutanan melalui lembaga-lembaga internasional mendekati 30 milliar USD antara tahun 2010-2012 untuk dialokasikan secara seimbang antara mitigasi dan adaptasi. Pendanaan untuk adaptasi dikhususkan bagi negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kemudian dalam tindakan mitigasi, negara-negara maju berkomitmen untuk tujuan bersama 30 dengan menyalurkan dana 100 milliar USD pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan di negara-negara berkembang. Dana ini berasal dari berbagai sumber baik publik maupun swasta di mana sebagian dana tersebut harus mengalir melalui Copenhagen Green Climate Fund. Kesembilan: Untuk tujuan ini, suatu High Level Panel akan dibentuk di bawah bimbingan COP dan akan bertanggung jawab pada COP. Tujuan pertemuan High Level Panel untuk mempelajari kontribusi dari sumber-sumber pendapatan yang potensial, termasuk sumber pembiayaan alternatif. Kesepuluh: Kami memutuskan bahwa Copenhagen Green Climate Fund akan dibentuk sebagai suatu eksistensi mekanisme keuangan dalam konvensi. Copenhagen Green Climate Fund yang berfungsi untuk mendukung proyek- proyek, program, kebijakan, dan kebijakan-kebijakan lainnya di negara berkembang yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, pengembangan, serta transfer teknologi. Kesebelas: Dalam rangka meningkatkan tindakan dalam transfer serta pengembangan teknologi, maka kami memutuskan untuk mendirikan Technology Mechanism untuk mempercepat transfer dan pengembangan teknologi guna mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi yang akan dipandu oleh pendekatan negara pemberi negara industri maju berdasarkan pada keadaan nasional dan prioritasnya. Kedua belas: Kami menyerukan bahwa penilaian pelaksanaan Copenhagen Accord ini akan selesai pada tahun 2015. Hal ini termasuk pertimbangan untuk memperkuat tujuan jangka panjang karena kenaikan tingkat suhu bumi mencapai 1,5 derajat celsius. 31 Pada skripsi ini, pembahasan difokuskan pada kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi Copenhagen berlangsung. Pada COP-15 di Copenhagen, Cina memiliki peranan penting. Bab selanjutnya akan membahas faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi UNFCCC, khususnya pada COP-15. Berkaitan dengan konferensi UNFCCC, ada beberapa identitas Cina yang memiliki relevansi dengan isu lingkungan hidup. Pertama, Cina sedang bersiap menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dalam dua dekade kedepan dan tentunya negara tersebut sangat tergantung pada batubara sebagai sumber energi Song Woo ed. 2008, 171. Kedua, Cina merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia CIA 2011. Ketiga, secara geografis, Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada Naisbitt. 2010, 20. Keempat, pemerintahan Cina yang menganut sistem sosialis komunis namun menggunakan sistem ekonomi pasar sosialis dengan mengikuti pesatnya globalisasi dan pasar bebas Irham. 2009, 2. Kelima, negara dengan kerentanan tinggi terhadap banyak masalah lingkungan hidup global, seperti, perdagangan dan penggunaan limbah berbahaya, pencemaran udara, serta penggunaan sumber energi yang sangat besar untuk kebutuhan industri CIA 2011. Kelima hal tersebut membuat Cina menjadi negara yang mempunyai peranan penting dalam proses negosiasi internasional pada setiap forum atau konferensi internasional terkait dengan isu lingkungan hidup khususnya di konferensi Copenhagen tahun 2009. 32

BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI

KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC Pada bab III penulis membahas tentang faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC, khususnya pada konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Faktor internal dan eksternal yang digunakan didasarkan pada konsep kebijakan luar negeri menurut Holsti 1992, 272. Kedua faktor tersebut akan menggambarkan sikap dan posisi Cina dalam pengambilan kebijakan luar negerinya pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen. Selanjutnya, kedua faktor tersebut akan dipaparkan lebih lengkap pada pembahasan di bawah ini.

A. Faktor Internal

1. Kondisi Geografis dan Demografis Cina

Kondisi geografis dan demografis di Cina merupakan salah satu faktor penting bagi masalah lingkungan di negaranya. Secara demografis, Cina merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia dengan hampir 1,3 milliar penduduk dan mayoritasnya bersuku bangsa Han CIA 2011. Jumlah penduduk Cina yang besar tidak diikuti persebaran penduduk yang rata. Hal ini dilatarbelakangi oleh urbanisasi masyarakat pedesaan ke kota. Pada tahun 2009, sekitar 200 juta masyarakat pedesaan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan CIA 2011. Dalam data CIA, kota yang dipilih sebagai tempat urbanisasi adalah kota besar yang merupakan kota industri. Urbanisasi ini, 33 pada tahun 2009 menyebabkan lima kota besar di Cina yang memiliki penduduk yang paling padat, di antaranya; Shanghai 16.575 juta penduduk, Beijing 12.214 juta penduduk, Chongqing 9.401 juta penduduk, Shenzen 9.005 juta penduduk, dan Guangzhou 8.884 juta penduduk. Secara geografis, Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada Naisbitt 2010, 20. Namun, hanya sepertiga wilayah daratan Cina yang dapat ditanami dan dua pertiganya adalah pegunungan serta gurun. Lieberthal 1995, 278 membagi topografi Cina menjadi tiga daerah. Pertama adalah daerah bagian barat laut yang merupakan daerah kering yang disebabkan oleh kencangnya hembusan angin erosi angin. Kedua adalah daerah bagian barat daya yang merupakan daerah dingin karena terdiri dari dataran tinggi. Terakhir merupakan daerah bagian timur yang merupakan daerah aliran sungai. Kondisi geografis Cina yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, menyebabkan terjadinya beberapa masalah yang muncul seperti masalah kekurangan air dibeberapa daerah dan penyebarannya tidak merata. Menurut Presiden Hu dikutip dalam Naisbitt 2010, 108 menyatakan bahwa: “20 persen jumlah penduduk Cina merupakan populasi dunia, namun Cina hanya memiliki tujuh persen sumber daya air”. Salah satu contohnya adalah daerah Cina Utara. Cina Utara adalah daerah kering secara alami dan hanya memiliki kurang dari 20 persen air dari total jumlah air di Cina tetapi memiliki 40 persen penduduk negaranya. Selain karena perbedaan topografi daerah, menurut Lieberthal 1995, 284 masalah kekurangan air di Cina juga disebabkan oleh tingginya tingkat polusi yang diakibatkan oleh kegiatan industri di negaranya. Salah satu contohnya adalah