Surveying Alternative Weighing Alternative

menjalani B. Dan ia tidak suka dengan dirinya yang demikian, maka ia ingin mendorong dirinya untuk berani mengambil langkah yang jelas.

b. Surveying Alternative

Tahap kedua dalam proses pembuatan keputusan adalah tahap dimana individu mencari aneka alternatif yang dapat menjawab tantangan masalah yang ia rasakan di tahap pertama. Tahap ini disebut dengan tahap Surveying Alternative. Namuun, Hijrah tidak melewati tahap ini dalam proses pembuatan keputusan yang dilakukannya. Selanjutnya hal ini akan dijelaskan di bagian Diskusi.

c. Weighing Alternative

Pada kenyataannya, tahap Weighing Alternative dimana Hijrah menimbang-nimbang dengan serius keinginannya untuk memeluk Islam sebagai agamanya tidaklah terjadi benar-benar setelah Hijrah selesai dalam pembelajarannya tentang agama Islam. Pembelajaran pribadi itu sendiri berlangsung mulai dari masa ketertarikannya bahkan hingga mendekati tahap ia mengucapkan kalimat syahadat kelak. Artinya, pembelajaran tersebut terjadi di sepanjang proses pembuatan keputusan. Pertimbangan akan Tuhan Memasuki tahap ketiga, Weighing Alternatives, Hijrah mulai mempertimbangkan dengan serius keuntungan dan kerugian yang akan ia terima jika memilih alternatif konversi ke Islam. Hijrah mulai memikirkan reaksi yang Universitas Sumatera Utara mungkin diberikan oleh lingkungan sosialnya di Medan, di Aceh dan dari dalam dirinya sendiri. Yang pertama, dari dalam dirinya sendiri, Hijrah merasakan perasaan bersalah terhadap Tuhan di agama yang sebelumnya ia anut. “Kalau rasa bersalah, pergolakan batin nomor satu, konyol sih jawabannya... ke Tuhan sebelumnya, tahu nggak? Ke Tuhan sebelumnya. Jadi hanya bisa meyakinkan diri sendiri ini saya sudah sesuai dengan agama yang saya pegang, saya nggak boleh mengakui bahwasanya beliau adalah Tuhan.” R1. W1b. 137-146h. 2-3 Rasa bersalah yang dirasakan Hijrah terhadap Tuhan dari agamanya yang sebelumnya tidak terlalu mengganggunya karena ia berpikir bahwa Tuhan tersebut dapat mengerti dengan keinginannya. Hijrah memiliki pemikiran tersendiri untuk menyelesaikan rasa bersalahnya. “Tapi agama yang baru saja saya datangi mengakui bahwasanya beliau itu nabi. Jadi dalam hati saya berujar, „Wahai nabiku, aku tetap memujamu. Aku tetap pemuja raha siamu.‟ Begitu. Eee... „Pengorbananmu itu riil di mataku,‟ gitu. Aku sih, aku sih berujar gitu ke dalam diriku, „Tapi biarlah aku menjadi pemuja rahasiamu,‟ gitu. „Dengan aku mengimani yang ini, bukan berarti aku serta merta menolakmu, biarlah itu semuanya ada di diriku.‟ Dan lagi-lagi... menurutku beliau mengerti. Beliau mengerti, gitu.” R1. W1b. 148-160h. 4 Pertimbangan akan lingkungan di Medan Mempertimbangkan rasa bersalah ternyata tidak lebih berat daripada mempertimbangkan reaksi yang mungkin didapatkan dari lingkungan di Medan. Sebelumnya keluarga dan pihak sekolah di Medan memang sudah menjauhi Hijrah dan keluarganya akibat ibunya yang konversi. Namun, ketika Hijrah ingin konversi, tentangan dari kedua pihak tersebut semakin terasa. Guru agama sampai datang ke rumah Hijrah dalam usaha mencegah Hijrah untuk konversi ke Islam. Universitas Sumatera Utara Dengan memiliki dugaan sebelumnya bahwa Hijrah akan konversi ditambah dengan kenyataan bahwa hijrah pindah ke Aceh, kota dengan umat Islam sebagai penduduk terbesarnya, sang guru agama semakin gigih mencegah konversi. “Jadi pergolakan batin yang itu rasa bersalah kepada Tuhan yang lama menurutku masih bisa ditoleransi dibandingkan dari manusia. Kalau dari manusia itu berat banget... Misalnya aja contoh kecil dari guru agama. Itu guru agama sampe dateng ke rumah lho. Itu guru agama sampe dateng ke rumah, gitu.” R1. W1b. 160-167h. 4 “... guru itu waktu itu bilangnya begitu itu, „Dimana sih rumah pihak bapaknya?‟ gitu. Ya ikut campur lah gitu „Biar saya urus,‟ gitu, „biar ini anak- anak ikut aja ke pihak bapaknya‟, karena ibu juga beda agama.” R1. W1b. 290-294h. 7 Tidak hanya mengenai tentangan dari pihak sekolah. Hijrah juga menimbang resiko yang harus diterimanya dari pihak keluarga, mengingat sikap negatif keluarga atas konversi yang lebih dahulu dilakukan sang ibu. Baginya, pertimbangan tentang lingkungan sosial inilah yang menjadi pertimbangan utama. “ ... kayak seperti abangnya ibu saya, adeknya ibu saya, gitu ya, paman, bibi, itu semuanya Kristen Itu semuanya Kristen, dan mereka luar biasa menentang Luar biasa menentang, gitu, bahkan hendak memisahkan saya dari ibu, gitu, karena dianggap si ibu lah yang dianggap lagi-lagi membawa pengaruh negatif.” R1. W1b. 249-257h. 7 “Jadi pertimbangan yang terutama itu sikap-sikap orang yang... yang... yang... „bakalan gimana ya?‟ gitu. Pertimbangannya lebih kepada orang lain, apa reaksi mereka, misalnya „mereka tahu aku pindah, gimana ya?‟ aku memikirkan segala sesuatunya yang ada di Medan, karena itulah habitatku, gitu. Jadi aku berpikir, „Bagaimana ya reaksi mereka? Bagaimana ya teman-teman? Aduh, kalau guru-guru tahu, gimana ya? Waduh, kalau keluarga tahu, pasti nih semakin didiskriminasi, kemarin aja ibuku sudah digituin, ini bisa benar-benar putus hubungan bisa dibilang ini,‟ gitu. Jadi lebih kepada itu” R1. W2b. 812-827h. 17 Universitas Sumatera Utara Memikirkan resiko-resiko yang mungkin terjadi, Hijrah sempat merasa goyah dengan keinginannya untuk konversi. “Ya lagi-lagi saya berpikir waktu itu: Kenapa ya sebegini hebohnya, sebegini beratnya, gitu? Kayaknya banyak orang lain nggak sebegini-gini banget, gitu ... „Apa hanya aku aja begini? Tapi kayaknya Tuhan aja nggak marah, tapi kenapa ya manusia justru justru lebih bisa nge-judge ?‟ gitu. „Apa aku salah ya? Apa gimana?‟ Ya sempat goyah ya, sempat goyah mikir mana keluarga yang lain juga menjauhi semua.” R1. W1b. 235-246h. 7 Pertimbangan akan Diri Sendiri Namun, di sisi lain, sikap hangat umat Islam yang ia temui membuat hatinya yang gundah gulana terasa sedikit terobati. Perlu diketahui bahwa pada awalnya Hijrah memang tidak memberitahu keinginannya konversi kepada siapapun, namun setelah belajar tentang Islam, Hijrah bertanya kepada ahli agama Islam dan beberapa temannya. Hal ini, secara otomatis menjadi sebuah tanda, walaupun belum pasti, bagi teman-teman Hijrah yang beragama Islam bahwa Hijrah memiliki keinginan untuk melakukan konversi. “Satu-satunya yang mendukung hanya lingkungan yang saya datangi, yaitu yang di Aceh, gitu.” R1. W1b. 259-261h. 7 “Apalagi juga di satu sisi, kita nggak munafik bahwasanya dengan kita datang di lingkungan yang mayoritasnya seperti itu, kita itu seperti benar- benar disayangi banget, gitu. Mereka welcome banget, gitu.” R1. W1b. 348-352h. 9 “Mungkin dengan sambutan dari mereka itulah yang sedikit mengobati pergolakan batin itu tadi, meskipun kalau sudah pulang dari lingkungan kampus otomatis beban itu full kembali pulang ke saya. Karena ketika saya sudah pulang kuliah, saya kembali ke pikiran pribadi saya.” R1. W1b. 360-366h. 9-10 Universitas Sumatera Utara Sikap penerimaan hangat yang diterima Hijrah memang merupakan salah satu obat untuk pergolakan batin yang ia rasakan kala itu. Dengan latar belakang telah ditolak dan didiskriminasikan oleh lingkungannya sendiri di Medan, Hijrah merasa bahagia menemukan sebuah komunitas yang menerimanya dengan hangat. Namun, hal ini tidak seketika dapat menghapuskan kegundahan yang ia rasakan. Hijrah masih memikirkan hal-hal lain yang terkait dengan keputusan untuk melakukan konversi, misalnya tentang kemungkinan akan reaksi emosionalnya sendiri terhadap agama yang ingin ia tinggalkan. “Dengan kebiasaan-kebiasaan kita, tadinya juga kan ada, kayak natalan, ini itu, gitu... Otomatis semuanya, kan biasanya juga suka tuh ambil peranan kayak natal jadi malaikatnya, jadi ininya... nggak boleh, nggak boleh rindu, gitu Tapi rindu juga, gitu... sementara yang ini menekan, sementara yang ini begini, gitu.” R1. W1b. 524-534h. 13 Sebelum melakukan konversi secara sah, Hijrah masih hidup di dalam dua agama. Dengan kenyataan demikian, kadang-kadang, Hijrah juga teringat akan romantika ritual-ritual di agama terdahulu. Tidak dapat dipungkiri, Hijrah lahir dan tumbuh di agama Kristen. Sedikit banyak, ia pernah menjalankan ritual-ritual agama Kristen, walaupun menurutnya ia tidak terlalu melekat lagi dengan agama Kristen sejak ibu dan keluarganya ditolak dan didiskriminasi. Dalam keadaan sedemikian, Hijrah mulai belajar ritual agama Islam, misalnya salat. Namun, setelah beberapa kali salat, Hijrah mengalami mimpi- mimpi aneh. Mimpi ini disebutnya sebagai mimpi yang tidak realistis karena isinya adalah tentang makhuk-makhluk gaib. Hijrah menjadi semakin gundah di dalam hatinya dengan pengalaman ini. Universitas Sumatera Utara “Yang tidak riil bentuknya, jadi saya nggak tahu harus mengatakan itu hantu atau apa, atau bahkan malaikat, saya nggak tahu wujudnya apa ya. Yang jelas di luar nalar manusia, dan itu seperti nungguin saya, gitu. Di situ saya sedang salat dalam mimpi itu, dia nungguin saya, tapi wujudnya sangat menakutkan. Jadi saya nggak tahu itu ancaman supaya saya jangan meneruskan atau justru itu yang ngejagain saya apabila saya melanjutkan salat. Saya nggak tahu itu apa, gitu.” R1. W2b. 231-242h. 5-6 Setelah mengenal lebih dalam tentang Islam, termasuk ritual dan Alquran sebagai kitab sucinya, Hijrah juga mempertimbangkan apakah ia kelak dapat benar-benar mampu menjalankan ritual yang dituntut dari seorang Muslim. “Kristen beribadah satu kali aja seminggu ke gereja, setelah itu mereka bisa berdoa dimana aja kapan pun. Setelah itu mereka bisa kan berlutut, melipat tangan, berdoa. Sementara di Islam, itu dituntut luar biasa detailnya. Ketika mau berdoa harus berwudhu, harus bersih. Bahkan ketika masuk masjid tidak boleh pakai pembalut, tidak boleh pakai sendal, harus pake pakaian tertutup, gitu. Itu juga berat. Itu juga sempat meragukan saya.” R1. W1b. 864-879h. 20 “Iya Jadi bukan hanya agama yang saya tinggalkan itu, gitu. Agama yang saya datangi ini pun Oh My God, ternyata ini pun cukup berat. Ternyata detail yang aku maksud itu bukan sekedar seru-seruan, gitu Bukan seru- seruan puasa, bukan seru-seruan pake jilbab, bukan hanya style-nya aja yang berbeda.” R1. W1b. 881-891h. 20 “Seru-seruan” yang dimaksud oleh Hijrah adalah seru dari sudut pandang seorang pengamat yang tidak menjalankan, yang tidak terlibat langsung dalam tindakan nyata sebuah ritual. Bagi seorang pengamat, yang tidak terlibat langsung, pelaksanaan salat dalam agama Islam terlihat seru, terlihat mengasyikkan, terlihat menarik. Namun ternyata setelah dijalankan, ritual yang terlihat “seru” tersebut meminta sesuatu yang tidak mudah, misalnya untuk salat seperti yang dikatakan Hijrah di atas. Universitas Sumatera Utara “Itu sempat lho mengecohkan, meragukan, menggoyahkan, juga. „Kayaknya nggak sanggup deh.‟ Simple nya, Alkitab yang ditulis dalam bahasa Indonesia aja, nggak kebaca. Dari Kejadian sampe apa itu...?” R1. W1b. 893-900h. 20 “Nah itu Dari Kejadian sampe Wahyu nggak kebaca. Gimana lagi yang Arab?” R1. W1b. 901-904h. 21 Pertimbangan demi pertimbangan sempat membuat Hijrah goyah, dalam arti pada titik tertentu Hijrah ingin mundur saja daripada harus memperjuangkan keinginannya untuk konversi. Ia melihat lebih banyak rintangan dan tantangan daripada dukungan. “Sangat sangat tertekan, sampe berpikir, „Ah udahlah. Apa dijalanin yang lama aja? Kayaknya inti semua agama itu satu, semua baik Agama mana pun itu, kalau kita baik surgalah pahalanya.‟” R1. W1b. 506-510hal. 12 “... Sampe udah, „Ya intinya sama semua agama. Intinya baik, surga imbalannya. Gimana ini?‟” R1. W1b. 513-515hal. 13 Ia terkadang maju terkadang mundur untuk konversi. Terkadang berani terkadang gentar. Terkadang ingin terkadang enggan. Hijrah menyadari hal itu dan tidak suka dengan keadaan dirinya yang seperti itu. “Jadi lebih ke, „Kok kayak kekanakan ya, sebentar pengen pindah, sebentar kok jadi ragu.‟” R1. W2b. 133-136h. 3 “Lalu aku harus mundur? Lalu gara-gara pro dan kontra, gara-gara ketertekanan, ketidaknyamanan yang dibuat oleh orang-orang sekitar, aku harus mundur? Toh yang menjalaninya aku” R1. W1b. 321-325h. 9 “Lalu, karena sedikit mimpi-mimpi yang saya ceritakan, karena tantangan- tantangan dari keluarga, sindiran-sindiran dari berbagai pihak, termasuk ju ga tantangan dari diri sendiri misalnya rasa bersalah, „Apa dibatalkan ya? Apa gimana ya?‟ jadi ya maju mundur maju mundur, ragu. Ragu Universitas Sumatera Utara Sambil belajar juga, jadi ini semakin menambah keraguan, „Ini harus bagaimana?‟” R1. W2b. 120-129h. 3

d. Deliberating about Commitment