Appraising the Challenge Tahapan Pembuatan Keputusan Hijrah

seagama dengan orangtuaku. Jadi, tidak ada yang mengajarkanku, sementara orang mungkin diajarkan, gitu. Apalagi mungkin proses kayak mau marguru, mungkin semakin dalam kita belajar, kita menyadari istimewanya agama itu. Aku nggak ngedapetin itu.” R1. W3b. 1281-1310h. 29

2. Tahapan Pembuatan Keputusan Hijrah

a. Appraising the Challenge

Tahap pertama proses pembuatan keputusan, Appraising the Challenge, adalah tahap yang menjelaskan bagaimana Hijrah memandang atau menilai tantangan yang dirasakannya. Tantangan tersebut yaitu: konversi atau tidak konversi. Sebelum tiba pada penilaian Hijrah, lebih dahulu dijabarkan di bawah ini perjalanan Hijrah sejak ia pindah ke Aceh hingga pada akhirnya nanti tertarik dengan agama Islam dan ingin memeluk Islam sebagai keyakinannya. Pindah ke Aceh dan Tertarik dengan Islam Waktu bergulir, Hijrah pun lulus dari bangku SMA. Ia mencoba memasuki perguruan tinggi negeri dengan memilih Medan dan Aceh sebagai kota tujuan belajarnya. Adalah menarik bahwa Hijrah memilih Aceh, yang merupakan kota terkenal dengan sebutan Serambi Mekah, sebagai kota tempat tinggalnya selama menempuh pendidikan. “Nah itu Apakah itu yang disebut takdir saya juga nggak tahu. Tapi ketika SPMB itu milihnya ke situ, saya juga nggak tahu kenapa harus milih ke situ. Begitu banyaknya daerah yang lain.” R1. W3b. 179-186h. 5 Hijrah mengaku memilih kota yang terkenal dengan dominasi umat Muslim itu dengan spontan saja. Yang lebih menarik lagi adalah pada saat itu, Universitas Sumatera Utara pada tahun 2003, di Aceh sedang terjadi pemberontakan masyarakat terhadap negara Indonesia yang dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM. “Nggak tahu Memang ke sana... Dan waktu itu waktu rusuh-rusuhnya GAM. Perlu diingat” R1. W3b. 463-467h. 11 “Iseng aja Dilingkarin aja Dimasukkin aja Ujianlah, dan keluar, gitu” R1. W3b. 529-531h. 12 Bagi Hijrah, pemilihannya akan Aceh sebagai tempat belajar adalah sebagai suatu takdir. Dia tidak berpikir banyak tentang pemilihan tersebut. Tepatnya ia mengatakan bahwa hal tersebut terjadi secara spontan saja. “Spontannya itu... takdir ya. Takdir, cuma itu jawabannya. Karena kalau ditanya, „Kenapa?‟ Nggak tahu. „Kok bisa?‟ Nggak tahu. „Direncanakan?‟ Nggak. „Yang nyuruh ada?‟ Nggak. „Dimotivasi?‟ Nggak.” R1. W3b. 511-523h. 12 “A aa Beraninya, gitu Jadi memang blank aja, nggak tahu kenapa … Apa, apa karena gimana ya... nggak ngerti lah, nggak tahu kenapa. Unpredictable.” R1. W3b. 565-571h. 13 Ya, Hijrah memang lulus dan diterima di Universitas Syah Kuala Banda Aceh. Agustus 2003, Hijrah berangkat ke Aceh dan di kota Serambi Mekah itulah pertama kalinya ia merasakan ketertarikan terhadap agama Islam. “Nggak lulus di USU waktu itu. Jadi lulusnya di Unsyiah ... Yah, namanya juga Serambi Mekah ya, sedikit-sedikit mulai bisa ngelihat Islam itu gimana...” R1. W1b. 11-15h. 1 Hijrah tertarik pada perilaku beragama umat Islam di Aceh, misalnya dalam hal keteraturan, kebersihan dan keperdulian terhadap sesama. Ia melihat gaya hidup mereka tertib dan detail. Sisi detail ini mendapat tempat khusus di hati Hijrah karena sesuai dengan dirinya yang detail. Universitas Sumatera Utara “... semakin saya amati, saya melihat mereka ini teratur, mereka ini sadar gitu... Pada waktu-waktu tertentu mereka meninggalkan pekerjaan mereka, menyisihkan waktu untuk beribadah. Kayaknya patut ditiru. Mereka menjaga kebersihan, mereka perduli ke sesama, ke orang miskin.” R1. W1b. 34-41h. 1-2 “... kok sangat detail ya mereka ini? Kebetulan aku orangnya detail ya, jadi cocok” R1. W2b. 1093-1095h. 23 Belajar tentang Agama Islam Didorong oleh rasa tertarik, Hijrah tergerak untuk mempelajari agama Islam. Adapun caranya untuk belajar adalah dengan membeli buku-buku yang dapat memberinya informasi tentang ajaran-ajaran agama Islam. Ia belajar sendiri saja, tanpa memberitahukan aktivitas belajarnya itu kepada siapapun karena takut hal tersebut dapat menimbulkan pro dan kontra dari lingkungan sekitarnya di Aceh kala itu. “Jadi saya berpikir, „Boleh nih dipelajarin.‟ Tapi juga masih sendiri, pribadi, diam-diam mulai beli buku-bukunya, gitu, tapi belum.. belum bilang ke siapa- siapa niat itu, gitu.” R1. W1b. 66-72h. 2 “Nggak bilang karena gimana ya, takut entar pro dan kontra. Gimana pun orang, saya awalnya datang ke Aceh, mereka tahu saya nggak pake jilbab, saya agamanya apa. Ntar kan jadi pro dan kontra, karena gimana pun juga ada teman-teman yang non Muslim juga kuliah di Aceh, gitu. Jadi daripada entar gimana gimana, saya diem dan bel ajar sendiri.” R1. W1b. 74-85h. 2-3 Mempelajari sesuatu yang baru dikenalnya, Hijrah antusias untuk mengeksplorasi seluk beluk agama Islam. Ia memang belajar sendiri, namun karena saat itu ia kuliah di Aceh dan di Aceh semua mahasiswa wajib mengikuti pelajaran agama Islam, maka Hijrah memiliki saran untuk bertanya pada umat Universitas Sumatera Utara Islam, yaitu dosen agamanya. Ketertarikan alamiah yang ada dalam dirinya menyalakan semangat yang tinggi untuk mencari infromasi tentang Islam. “Seperti misalnya tulisan di Kitab Suci nya, gitu, lagi-lagi saya... kadang- kadang yang saya datangin sih suka marah, gitu, karena saya suka banyak nanya ya? Ya saya want to know dong, gitu” R1. W1b. 834-839h. 19 Dalam proses belajarnya, reaksi pertama Hijrah adalah bertanya apakah hal yang baru ia terima tentang agama yang baru dikenalnya memang sesuatu yang benar, karena Hijrah merasa apa yang baru ia ketahui tentang Islam tidak banyak berbeda dengan Kristen. “Awalnya sih ya... awalnya sih „Yakin nggak ya? Ini bener nggak ya? Bener ngg ak?‟ gitu.” R1. W3b. 737-740h. 17 “Pergolakan „Ini bener nggak ya?‟ Ya yang tadi itu. Itu juga bagian dari pergolakan lho. „Ini kok sama aja yang aku baca ini? Ini kok beda-beda tipis? Dan... intinya bahwa Tuhan itu satu ya?‟ Bahkan aku bingung sebena rnya. „Tuhan ini satu. Hanya satu aja ya kayaknya kuncinya,‟ aku bilang dalam diriku.” R1. W3b. 902-913h. 20-21 Dalam melihat hal-hal yang berbeda dalam ajaran Kristen dan Islam, Hijrah cenderung lebih melihat ke sisi persamaan daripada perbedaannya. Kalaupun Hijrah berjumpa dengan perbedaan kedua agama tersebut, ia lebih melihat perbedaan tersebut sebagai dua kenyataan yang berbeda. Tidak dalam arti melihat A lebih baik dari B. Berikut Hijrah memberikan contoh tentang hal tersebut. “Hanya satu aja perbedaan yang aku dapat ya, bahkan pengucapan Tuhan dalam penulisannya sama, hanya pengucapan yang beda: yang satu Allah yang satu Allah berbeda dalam pelafasannya. Dan hanya satu perbedaannya, a... itu tadi sama ya, penulisan sama, nama nabi-nabi hanya beda tipis. Di agama Kristen, nabi Isa atau Yesus itu dianggap Tuhan, di... itu Islam dianggap nabi.” Universitas Sumatera Utara R1. W3b. 941-954h. 21 “Jadi misalnya... masalah Tuhan itu tadi. Masalah Tuhan itu tadi. Jadi sebenarnya... saya bertanya, „Jadi sebenarnya Yesus itu memang nabi?‟ saya nanya gitu. „Nabi Nabi Isa, bukan Yesus‟. „Baiklah,‟ kata saya gitu. „Lalu memang di Islam itu sama bahwa beliau itu tidak memperanak dan tidak diperanak?‟. „Ya benar‟ gitu. „Tapi yang disalibkan itu memang benar nabi Isa yang diima ni Islam itu?‟. „Oh nggak Nabi itu sudah tidak ada,‟ katanya... „Ya itu memang seseorang yang memang diciptakan Tuhan menyerupai dia karena nabi memang tidak pantas dibegitukan. Pada saat itu dia memang sudah diangkat ke surga,‟ gitu. Lagi-lagi saya berp ikir dan membandingkan dan berpikir „Ya masih positif. Masih tetap menabikan beliau,‟ gitu. Nggak ada salahnya. Masih tetap bener lah, karena kan sama aja ya... di Kristen juga setelah beliau disalibkan beliau terangkat, gitu. Intinya tetap suci, tetap sama, tetap penghargaannya. Lagi- lagi saya tetap menerima. Terus tanya, „Lalu benar itu bangkit?‟. „Oh nggak bangkit, karena pada saat disalibkan itu memang bukan dia lagi. Jadi itu memang udah nggak ada disitu, jadi nggak ada cerita bangkit‟. Oke, berarti disitu udah berbeda ya jalur imannya, gitu. Dan lagi-lagi banyak perbandingan- perbandingan, gitu, seperti misalnya ibunya Yesus.” R1. W1b. 1405-1457h. 32-33 “Nah, kalau Islam itu lebih mengagungkan Siti Mariyam itu, katanya gitu. Lebih diagungkan. Kenapa? Dia bisa, dia bisa melahirkan tanpa... tanpa tanpa tanpa... berhubungan gitu ya. Yang artinya ya lebih suci daripada Yesus itu sendiri, katanya gitu. Bayangkan wanita bisa begitu. „Oh gitu ya?‟ saya pikir. Ya bukan berarti di Kristen juga nggak dipuji ya si Maria itu. Amat sangat kan? Jadi, masing-masing punya sisi-sisi dimana... ini... ini kelebihan Yesusnya disini, yang ini lebih hebat ibu Yesusnya disini. Gitu. Jadi lagi-lagi bagi saya, sepanjang itu masih menghargai, nggak masalah.” R1. W1b. 1460-1480h. 33 Hijrah cenderung berusaha mengharmonisasikan hal-hal yang berbeda dari dua agama tersebut. Dan dia memang tidak ingin mengkaji tentang kedua agama tersebut dengan begitu mendalam. Ia lebih condong ke arah memenuhi kebutuhan ingin tahunya terhadap agama yang baru dikenalnya. “Oh nggak. Nggak pernah mengkaji terlalu jauh. Hanya membandingkan dan mau tahu. „Oh kalau di agama ini, ini ini. Kalau ini, begini. Oh pantes sering perang. Ternyata karena ini.‟ Gitu. Sebatas itu. Tidak pernah mengkaji terlalu jauh, karena lagi-lagi agama kalau dikaji terlalu jauh, bakalan salah semua, bakalan unlogic semua.” R1. W3b. 1875-1887h. 44 Universitas Sumatera Utara “Nggak. Tidak tidak tidak, untuk apapun itu tidak terlalu dalam. Hanya mau tahu. Kenapa ya harus berjilbab? Oh, katanya untuk nutupin aurat gitu.” R1. W3b. 1897-1902h. 44 Dalam banyak hal usaha Hijrah untuk mencari tahu dan mengenal ajaran Islam secara lebih luas memang berhasil. Bahkan, dalam beberapa perbandingan yang muncul Hijrah dapat mengharmonisasikan dalam hatinya kedua ajaran agama itu. Namun tetap saja ada satu dua hal yang memang sulit untuk diterima olehnya, misalnya Hijrah mengaku paling sulit menerima konsep poligami dalam agama Islam. Secara singkat, poligami dalam Islam adalah praktek yang memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. “Beristri lebih dari satu. Itu yang paling sulit diterima.” R1. W3b. 1158-1159h. 26 “Itu sudah dipertimbangkan tapi aku masih tanda tanya sampe sekarang. Meskipun aku baca referensi tentang itu, aku tetap belum bisa menerima, gitu lho.” R1. W3b. 1164-1169h. 26 Konversi atau Tidak Konversi Kebingungan dan kesulitan menerima ajaran tertentu yang mengganjal di dalam hatinya tidak lantas menyurutkan langkah Hijrah untuk terus mempelajari Islam. Ia tetap belajar dan tetap melakukan perbandingan demi mendapatkan sebuah pemahaman yang baik. Dan, semakin ia belajar ia semakin merasa tertarik dan merasa nyaman dengan Islam, hingga akhirnya berkeinginan memeluk Islam sebagai agamanya. Universitas Sumatera Utara “Jadi, tadinya kan tertariknya karena melihat keteraturan, ketertiban, tapi kan belum kepada ilmu-ilmunya. Ketika kita udah membaca itu, semakin tertarik, semakin, „Oh begini. Oh begini... Memang benar begini. Oh aturannya, oh begini...‟ gitu. Semakin tertarik” R1. W2b. 772-779h. 17 “Waktu itu aku kan baca-baca, terus nyaman gitu. Ngerasa apa ya... Nyaman lah. Aku ngerasa agama yang aku pelajari ini klik di hati, gitu. Apalagi ditambah dengan orang-orangnya juga aku lihat kehidupan beragamanya aku suka ya, gitu. Cara hidup mereka, ketertiban mereka yang aku bilang tadi itu. Ya nyaman sih. Jadi pengen pindah.” R1. W2b.1229-1237h.26 Namun, keinginan ini mengingatkannya kembali akan tentangan demi tentangan yang ia rasakan ketika ibunya melakukan konversi ke Islam pada waktu yang lampau. Ia tahu keinginannya untuk konversi ke Islam mengandung resiko- resiko yang tidak mudah. Maka, Hijrah terjepit di antara pilihan antara konversi atau tidak konversi. Konversi memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu, demikian juga dengan pilihan untuk tidak konversi. Di titik inilah Hijrah menapakkan kakinya di tahap Apraising the Challenge, tahapan bagaimana Hijrah memandang konflik batin yang ia alami. Ternyata, Hijrah yang pada saat itu masih seorang Kristen namun telah tertarik dengan agama Islam memilki pandangan sendiri terhadap konflik yang tengah dirasakannya. “Jadi seperti both of them are mine, gitu, nggak konsisten banget, gitu. Menurut aku, lebih parah daripada ateis Kenapa? Ateis jelas-jelas nggak punya Tuhan, jadi ya udah Tapi ini? Mempertuhan yang mana, gitu lho? Jadi nggak, lebih nggak konsisten menurutku.” R1. W1b. 453-459h. 11 Hijrah melihat dirinya sebagai manusia yang tidak dapat bersikap tegas terhadap dirinya sendiri. Tidak memihak A, tidak memihak B. Menjalani A, Universitas Sumatera Utara menjalani B. Dan ia tidak suka dengan dirinya yang demikian, maka ia ingin mendorong dirinya untuk berani mengambil langkah yang jelas.

b. Surveying Alternative