b. Surveying Alternatives
Tahap kedua dalam proses pembuatan keputusan adalah tahap dimana individu mencari aneka alternatif yang dapat menjawab tantangan masalah yang ia
rasakan di tahap pertama. Tahap ini disebut dengan tahap Surveying Alternative. Namun, Rahel tidak melewati tahap ini dalam proses pembuatan keputusan yang
dilakukannya. Selanjutnya hal ini akan dijelaskan di bagian Diskusi.
c. Weighing Alternative
Tahap ketiga adalah tahap mempertimbangkan resiko-resiko, keuntungan dan kerugian, dari alternatif yang ada. Di tahap ini, akan dijabarkan hal-hal apa
yang dipertimbangkan oleh Rahel dan bagaimana ia melalui proses pertimbangan tersebut.
Pertimbangan tentang Ibu
Masalah yang baru disadari tersebut membuat Rahel berpikir-pikir tentang resiko yang mungkin terjadi bila ia melakukan konversi ke Kristen. Pemikiran
demi pemikiran mulai memenuhi benak Rahel dan hal utama yang ia pikirkan adalah keluarganya.
Walau belum menyatakan keinginan untuk konversi kepada orangtuanya, Rahel sudah menduga dengan yakin, bahwa orangtuanya akan menentang
keinginan tersebut. Dengan mengatahui riwayat kesehatan ibunya yang tidak cukup baik diakibatkan beragam penyakit, Rahel khawatir bahwa tindakan
Universitas Sumatera Utara
konversi yang akan ia lakukan dapat memperparah penyakit ibunya, bahkan pada titik ekstrim, dapat mengakibatkan kematian.
“Ibuku kalau jadi sakit gimana? Tapi kalau ibu sih aku nggak begitu apa... nggak gimana banget lah, karena hubunganku dengan ibuku juga kan ndak
bagus lah ya ... Cuma, ya namanya anak ya. Terus ibuku juga sakit kan waktu, Dek. Sakit bronkitis jantung, komplikasi dia. Jadi mikir juga,
gimana nanti kalau ibuku mati ya?” R2. W1b. 331-342h. 8
Namun, pengalaman kehidupan masa kanak-kanak yang dirasakan tidak menyenangkan bersama sang ibu ternyata menyisakan sebuah dendam di hati
Rahel. Rasa dendam ini membuat Rahel tidak terlalu terbeban dengan kenyataan bahwa pilihan konversi yang ia rencanakan, pada kenyataannya, bertentangan
dengan kehendak ibunya. “Apa ya... kalau aku ingat-ingat, waktu itu aku masih ada rasa dendam,
gitu lho, Dek. „Kenapa aku diperlakukan seperti itu? Kenapa aku...‟ Itu
masih ada, gitu lho. Masih ada.” R2. W2b. 164-168h. 4
“Waktu itu kan aku masih menyimpan dendam sama ibuku, ya. Jadi aku nggak terlalu beban, gitu. Aku nggak terlalu beban sekali nanti
bagaimana .”
R2. W2b. 125-129h. 3
Pertimbangan tentang Ayah
Berbeda halnya dengan pertimbangan memikirkan perasaan sang ibu, Rahel merasakan beban yang lebih berat bila memikirkan dampak konversi yang
akan ia lakukan terhadap ayahnya. Rahel memikirkan dampak sosial yang mungkin diterima sang ayah. Di benak Rahel timbul pemikiran bahwa jika ia
melakukan konversi, hal tersebut menimbulkan rasa malu dalam diri ayahnya terhadap lingkungan sosial mereka. Kekecewaan dan amarah adalah hal lain yang
Universitas Sumatera Utara
juga pasti akan dirasakan. Seperti halnya sang ibu yang ditakutkan sakit, Rahel juga berpikir bahwa penyampaian keinginan hatinya bisa saja membuat ayahnya
sakit. “Iya Ya mikir juga, „Anak tunggal. Gimana nanti bapakku? Ya malu
nanti,‟ gitu. Pasti marah lah, gitu. Kecewa. Pasti gitu. Kek gitu lah pertimbangan-pertimbangannya itu
.” R2.W2b. 170-174h. 4
“Aku mikir, aku mikir... bapakku nanti kalau sakit gimana?” R2. W1b. 330-331h. 8
Di sisi lain, ayah Rahel memiliki kemampuan spiritual untuk mengobati sakit-penyakit sehingga dikenal sebagai orang pintar di desanya. Sebelumnya
sudah diberitahu bahwa kemampuan ini akan diturunkan kepada Rahel. Tentu saja, pewarisan kemampuan spiritual yang dimaksud hanya dapat dilakukan jika
Rahel tetap berada di agama yang sama dengan orangtuanya. Maka, melakukan konversi sama halnya dengan memupuskan harapan sang ayah. Masalahnya
adalah, seandainya Rahel memiliki saudara kandung, ayahnya dapat mewariskan kemampuan spiritual tersebut kepada saudara itu. Kenyataannya, Rahel adalah
anak tunggal. Satu-satunya penerus keluarga. Hal ini menjadi beban bagi Rahel. “Ya pastilah, ada beban tersendiri Pasti ada... Aku mikir juga sih, aku kan
disitu anak tunggal, gitu ya. Bayangkan anak tunggal, gitu lho. Nah, waktu itu bapak itu udah... mau teruskan ininya ini ke aku, gitu lho. Kan bapak
bisa ngobati, bisa nerawang, kek gitu-gitu kan. Bapakku itu kayak orang
pintar lah, gitu. Jadi bapak itu udah, „Kamu nanti yang neruskan.”‟ R2. W2b. 145-153h. 4
Universitas Sumatera Utara
Pertimbangan-pertimbangan Lain
Selain berpikir sendiri tentang kemungkinan-kemungkinan dampak dari langkah yang akan ia ambil terhadap lingkungan keluarganya, Rahel juga
mendapat informasi dari teman-temannya. Teman-temannya memberitahu tentang aneka konsekuensi yang tidak menyenangkan yang mungkin ia dapatkan bila ia
konversi ke Kristen. Jadi, sebelum ia melangkah lebih jauh, Rahel sudah mengetahui tidak hanya keuntungan dari konversi, tapi juga resiko-resiko yang
harus ditanggungnya. “Tahu... Tahu... Bahkan ada sih yang ngasitahu dari temen-temen setelah
aku di Surabaya... kemungkinan kamu nggak dapet warisan, kayak gitu- gitulah, kemungkinan kamu dibunuh atau apa... sudah dikasitahu. Justru
waktu aku masuk Kristen itu, jarang orang Kristen yang bilang, „Selamat ya‟ mesti gini, „Udah siap?‟ Malah gitu, Dek... Jadi ditantang jadi Kristen
di Indonesia ini tidak mudah. Diberi gambaran gitu lho. Kamu akan kehilangan teman, kemungkinan kehilangan keluarga. Tapi aku ndak ada
kayak takut sama itu, gitu.” R2. W1b. 391-404h. 9
Di sisi lain dalam pengalaman hidup Rahel pada saat itu, ia sudah mengetahui bahwa agama yang ia inginkan untuk ia peluk pun bukan agama yang
umatnya adalah orang-orang baik semuanya. Ia melihat orang Kristen yang jahat, bahkan ia mengalami kejahatan dari orang Kristen pada saat itu.
“Nggak. Nggak. Justru aku itu masuk Kristen nggak enak lho, Dek, karena gini gaji pertamaku kan waktu itu ingin kupersembahkan untuk Tuhan gitu
kan, diculik orang dan orangnya orang Kristen. Jadi Tuhan itu tunjukkan orang-orang Kristen itu bejat-bejat. Betul Aku mandi diintip orang
Kristen. „Jadi ini bobroknya orang Kristen,‟ gitu. Aku jujur aja, Dek, harus diakui, kalau masalah etika masalah moral lebih bagus orang Islam. Iya
Sampai sekarang aku bisa bilang itu.” R2. W3b. 1292-1310h. 29
“Karena aku pernah ikut ibadah kan, Dek, hilang uangku. Kan tasku kutaruh di belakang, hilang... Jadi, ini orang gereja ini gimana sih? Hilang
dompetku. „Ini di gereja lho kayak gini … Jadi gimana, katanya Yesus itu
Universitas Sumatera Utara
Tuhan, Allah yang benar tapi kok pengikut- Nya seperti ini?‟ Aku kan
kalau ke gereja mereka menor gitu kan, sementara aku kan waktu itu nggak ada yang gitu-gitu. Wah, bajunya bagus-bagus... tertawa. Apa ya,
kayaknya eksklusif gitu lho. Eksklusif banget sih … Jadi pandanganku gitu sih, aku nggak nyaman dengan orang Kristen pada waktu itu. Nggak
nyaman pada mer eka.”
R2. W1b. 1041-1066h. 24 Pada saat itu Rahel memang tidak nyaman dengan orang-orang Kristen.
Uangnya hilang di gereja, ia mandi diintip oleh orang Kristen, ia melihat orang Kristen yang berkelompok di gereja, yang bersikap eksklusif bukan membaur.
Semua itu menimbulkan rasa tidak senang dalam dirinya terhadap komunitas umat Kristen. Tapi, menurut Rahel perasaan itu tidak mempengaruhi rasa
ketertarikannya kepada Tuhan yang baru ia kenal. “Ndak. Ndak. Ndak. Makanya itulah aku bilang itu hubungan pribadiku
dengan Tuhan, gitu lho. Nggak ada kaitannya dengan si A, si B, si C. Aku itu sih. Sekalipun itu anakku, suamiku, itu di luar itu, gitu lho. Jadi
kehidupanku dengan Tuhan itu, itu privasiku, gitu. Nggak bisa orang lain masuk, gitu lho. Ya kau mau jungkir balik di hadapanku, aku dengan
Tuhan itu punya hubungan khusus, gitu. Kau nggak bisa masuk.” R2. W3b. 1320-1337h. 29-30
“Kalau dalam bahasa dunia ya, itu cinta buta. Tapi kalau untuk aku, nggak Untuk aku, ini ini hubungan khususku dengan Tuhan.”
R2. W3h. 1397-1402h. 31 Begitulah pandangan pribadi Rahel terhadap apa yang ia yakini pada saat
itu. Begitulah ia melihat kejadian negatif yang ia rasakan dari orang Kristen. Dan dengan itu semua, Rahel melakukan pertimbangan-pertimbangan sepanjang ia
menjalani hidup di lingkungan yang baru di Surabaya. Memang, pertimbangan tentang konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin diterima, terutama dari
keluarga, cukup menjadi bahan pikiran Rahel. Hanya saja, hal tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
sampai memberatkan dan mengganggu keseharian Rahel. Periode menimbang- nimbang itu hanya berlangsung sebentar saja.
“Iya, sedikit. Maksudnya aku mikir kek gitu itu cuma di awal-awal aja sih, Dek. Kayak konflik di batin ya, keinginanku apa orang tuaku. Tapi ya itu
tadi, nggak yang sampe gimana aku. Mikirin ya iya, stres juga iya, tapi
sedikit. Gitu lah.” R2. W1b. 363-368h. 8
“Ya pastilah merasakan konflik batin Tapi... nggak, nggak gimana ya... Aku di rumahku sendiri kan nggak diterima, kan gitu. Tertolak kan? Jadi
begitu di luar aku diterima, itu mungkin. Aku merasa aku diterima kok
disini.” R2. W2b. 115-119h. 3
Di sisi lain, seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, Rahel menjalankan kehidupan beragama sejak kecil adalah seperti orang kebanyakan. Menghayati
agama tidak dengan sangat serius, namun juga tidak dengan sikap acuh tak acuh. Latar belakang yang seperti itu membuat Rahel tidak merasa terlalu sulit untuk
menggerakkan kaki melangkah ke jalan yang berseberangan. “Tetap ada. Ada, tapi konfliknya... Mungkin boleh dibilang, aku tadi kan
bilang aku Islamnya itu seperti orang kebanyakan, gitu lho. Jadi ketika aku memutuskan untuk berbalik, itu konfliknya nggak terlalu tinggi, gitu lho.
Nggak terlalu berat untuk aku.” R2. W2b. 591-597h. 13
Pertimbangan lain Rahel yang meringankan langkahnya untuk semakin mendekati tahap konversi adalah ia melihat dirinya sebagai seorang manusia
dewasa. Baginya, manusia dewasa memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya, dan kebebasan ini tidak dapat
dibatasi oleh tentangan dari orangtua sekalipun. Karena yang memiliki hidup adalah dirinya sendiri, maka menurut Rahel, ia berhak menentukan apapun yang
ia pandang baik untuk ia tempuh di dalam hidupnya. Pemikiran ini menjadi
Universitas Sumatera Utara
sebuah peneguhan bagi Rahel untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu memberitahu keinginannya secara langsung kepada orangtuanya.
“Terus... terus aku juga lama-lama mikir lah ya matang-matang. Waktu itu umurku dua lima. Aku pikir, gimanapun memang ya orangtua itu penting.
Penting lah bagi kita. Orang tua, gimana pun ya pasti penting, gitu. Tapi ini kan juga hidupku, gitu lho Dek. Aku merasa, aku merasa... berhak
untuk menentukan jalan hidupku. Gitu... Jadi ya, aku kuat-kuatin diri ajalah waktu itu untuk bilang ke bapak ibu. Udah persiapan lah ya dari
Surabaya nya. Udah, udah apa namanya... udah kupikir matang juga sih.” R2. W1b. 376-388h. 9
d. Deliberating about Commitment