Gambaran Proses Pembuatan Keputusan Dalam Melakukan Konversi Agama

(1)

GAMBARAN PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DALAM

MELAKUKAN KONVERSI AGAMA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

NOVITA SARI ROHDEARNI DAMANIK

071301029

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2012/2013


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DALAM

MELAKUKAN KONVERSI AGAMA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

NOVITA SARI ROHDERANI DAMANIK 071301029

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 1 Juli 2013

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog Penguji I / NIP. 195301311980032001 Pembimbing

2. Rodiatul Hasanah S., M.Si., psikolog Penguji II NIP. 197812192003122004

3. Juliana I. Saragih, M.Psi., psikolog Penguji III NIP. 198007222005022001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Proses Pembuatan Keputusan dalam Melakukan Konversi Agama

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2013

NOVITA SARI R D NIM 071301029


(4)

Gambaran Proses Pembuatan Keputusan dalam Melakukan Konversi Agama

Novita Sari R. D dan Irmawati

ABSTRAK

Konversi agama adalah topik yang kontroversial, karena sering kali mengusik kehidupan orang-orang secara umum, dan lingkungan terdekat dari individu yang melakukan konversi tersebut secara khusus (Rambo, 1998). Data dari penelitian awal menunjukkan bahwa lingkungan sosial dan keluarga menentang individu yang ingin melakukan konversi dan kenyataan ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi individu. Dihadapkan dengan kenyataan seperti itu, penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana proses pembuatan keputusan individu dalam melakukan konversi agama dengan menggunakan pendekatan teori pembuatan keputusan dari Janis & Mann (1977) dan teori motif konversi dari Lofland & Skonovd (1981).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Responden adalah dua orang wanita yang dipilih berdasarkan konstruk operasional. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya dinamika yang berbeda dalam proses pembuatan keputusan pada kedua respondon. Responden 1, dengan motif konversi intellectual, melewati proses pembuatan keputusan yang lebih lama dan kompleks daripada responden 2 yang motif konversinya adalah mystical. Tahapan yang dilalui adalah tahap 1 (Appraising the Challenge), tahap 3 (Weighing Alternative), tahap 4 (Deliberating about Commitment) dan tahap 5 (Adhering despite Negative Feedback). Kedua responden sama-sama tidak melewati tahap pengambilan keputusan yang kedua (Searching Alternatives) disebabkan oleh bias yang terjadi pada proses pengambilan keputusan.


(5)

The Process of Decision Making in Religious Conversion

Novita Sari R. D dan Irmawati

ABSTRACT

Religious conversion is a very controversial topic, because quite often it does in fact disrupt peoples‟ lives generally, and family specifically (Rambo, 1998). Data from the early study shows that society and famies dispute the converts and it is raise a special difficulty for convert that takes a struggle. Facing this reality, this research aims to understanding the process of decision making in religious conversion, with decision making theory (Janis & Mann, 1977) dan conversion motifs theory (Lofland & Skonovd, 1981).

This research use qualitative method approach and the respondents are two women who is based on construct operational. Method of collecting data is deth-interview and observation that take during the deth-interview.

The result shows that there is a different process of decision making between two respondents. Respondent 1, with her intellectual motif, gets through a more complex decision making than responden 2 whose motif is mystical. Both of respondents go across stage 1 (Appraising the Challenge), stage 3 (Weighing Alternative), stage 4 (Deliberating about Commitment) and stage 5 (Adhering despite Negative Feedback). They do not enter the second stage (Searching Alternatives) due to bias in the process of decision making.


(6)

KATA PENGANTAR

Pembuatan keputusan untuk meneliti fenomena konversi agama memang tidak sekompleks pembuatan keputusan melakukan konversi agama, tetapi keduanya memiliki persamaan, yaitu sama-sama diikuti oleh komitmen. Komitmen terhadap keputusan yang telah dibuat memang sangat menolong saya untuk tidak menyerah dalam proses penyelesaian skripsi ini. Namun, bukan komitmen dari dalam diri semata yang menghantar saya pada akhirnya dapat menyelesaikannya. Ada banyak pihak terkait yang berkontribusi mendukung saya, dan saya ingin berterima kasih kepada mereka.

Saya berterima kasih kepada pembimbing skripsi saya sekaligus Dekan Fakultas Psikologi USU, Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog. Kalau sekarang saya mengingat beliau yang saya ingat adalah pelajaran yang saya temukan dari proses bimbingan skripsi selama ini, yaitu di bawah lapisan masih ada lapisan. Apa yang tadinya saya pikir sudah saya analisa secara jelas, setelah dibaca oleh beliau ternyata masih bisa dianalisa lebih dalam lagi, lebih detail lagi, lebih kecil lagi sehingga menjadi lebih jelas. Saya bersyukur pernah merasakan bimbingan beliau: duduk berhadapan empat mata di ruang kantornya, melihat beliau menandai dengan pulpen berwarna merah bagian-bagian tulisan saya yang perlu dikoreksi, mendengar beliau menjelaskan kekurangan-kekurangan tulisan saya dalam bahasa yang lugas dan tegas, dan sesekali, dengan kikuk, merasakan keheningan terbentang di antara kami berdua ketika beliau menunggu saya memberi penjelasan sementara saya masih mencoba menyusun kalimat penjelasan yang


(7)

efektif dan efisien. Adalah sebuah pengalaman yang sungguh sangat berharga dapat menyelesaikan skripsi ini di bawah bimbingan beliau.

Ketika saya mengajukan proposal skripsi ini di Juni 2011, saya mendapat saran dan kritik yang membangun dari Ibu Aprilia Fajar Pertiwi, M.Si., dan Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si., piskolog. Saran dan kritik tersebut sangat berpengaruh terhadap skripsi saya, karena menggerakkan saya untuk berpikir lebih komprehensif tentang garis besar penelitian ini.

Selama pengerjaan bab 1, saya juga berterima kasih kepada Kak Juliana Saragih, M.Psi., psikolog, yang diantara kesibukan-kesibukannya sudah meluangkan waktu dan tenaganya untuk mencermati bab 1 saya. Di sore hari, ketika kampus mulai sepi, di meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan berkas pekerjaan, Kak Juli masih menyempatkan diri untuk memberikan pandangan-pandangan baru yang sebelumnya tidak terlintas di pikiran saya.

Kepada Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si., psikolog, saya berterima kasih karena beliau adalah dosen pembimbing akademik di tiga tahun perkuliahan saya yang selalu bersikap hangat dan lembut. Berbicara tentang dosen pembimbing, saya tidak mungkin lupa bahwa saya juga berada di bawah bimbingan Ibu Sri Supriyantini, M.Psi., psikolog, selama tiga semester terakhir. Terima kasih kepada kedua dosen pembimbing akademik saya yang secara tidak langsung telah menempa saya menjadi mahasiswa yang mandiri dalam dunia akademis ini.

Kepada kedua orang tua saya, sejujurnya saya bingung hendak bagaimana merangkai kata yang tepat untuk menyampaikan rasa terima kasih saya yang sangat mendalam kepada mereka. Cinta, perhatian, materi, dan doa yang Bapak


(8)

Ibu limpahkan kepada saya, khususnya selama pengerjaan penelitian ini, tentu tidak sebanding dengan kata-kata terbaik yang bisa saya lukiskan.

Saya kehabisan kata-kata untuk paragraf di atas, maka biarkanlah saya melanjutkan ungkapan terima kasih ini kepada kedua responden penelitian ini, yang dengan sikap hangat bersedia membentangkan sebagian dari cerita hidupnya kepada saya. Adalah sebuah penghormatan bagi saya diizinkan mengetahui kisah yang sangat bermakna dalam perjalanan hidup Anda berdua. Terima kasih pula untuk kesabaran menjawab pertanyaan demi pertanyaan dan kerelaan meluangkan waktu diantara kesibukan sehari-hari.

Sebuah skripsi tidak dapat lahir tanpa aneka sumber pustaka. Untuk itu, saya berhutang terima kasih kepada Dr. V. Indra Sanjaya., Melisa Vallerie Sitepu, S.Psi., dan Priscilla Sinambela, M.S yang selalu ringan tangan dalam menolong saya untuk mendapatkan buku-buku dan jurnal-jurnal yang saya butuhkan selama pengerjaan bab 1.

Akhirnya saya tiba di paragraf terakhir di daftar ucapan terima kasih saya. Ini adalah paragraf yang sangat khusus. Khusus karena saya berterima kasih kepada sahabat setia yang selalu bersama-sama dengan saya kapanpun dimanapun. Dialah TUHAN, Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih setia-Nya. Dia bersama dengan saya ketika saya hanya menatap layar komputer berjam-jam tanpa menuliskan apapun karena otak menolak untuk mengolah data-data wawancara, Dia menghardik saya ketika saya mulai banyak membuat penundaaan, Dia menemani saya ketika saya harus menghadapi tantangan demi tantangan selama penelitian ini yang kadang-kadang memang


(9)

terlalu sulit untuk dicerna oleh pikiran belaka. Masih banyak hal lain lagi, namun saya tidak ingin mengubah bagian “Kata Pengantar” ini menjadi sebuah cerita pendek tentang rasa terima kasih saya kepada-Nya, karena itu izinkanlah saya mengakhiri ucapan terima kasih saya disini.

Skripsi ini adalah penelitian pertama saya, karena itu disana-sini mungkin masih terdapat beberapa kekurangan. Untuk itu, demi kualitas skripsi yang lebih baik, saya mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Saya hanya memohon agar para pembaca memberi simpati dalam membaca skripsi ini, karena jika antipati hanya akan menghambat timbulnya pemahaman, sebuah simpati merupakan jalan untuk kita dapat saling memahami.

Medan, Juli 2013


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 18

1. Manfaat Teoritis ... 18

2. Manfaat Praktis ... 18

E. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II LANDASAN TEORI ... 21

A. Konversi Agama ... 21

1. Agama ... 21

2. Motif Beragama ... 22

3. Definisi Konversi Agama ... 24

a. Paradigma Klasik ... 24


(11)

4. Tipe-tipe Konversi Agama ... 26

5. Motif Konversi Agama ... 28

B. Pembuatan Keputusan ... 29

1. Definisi Pembuatan Keputusan ... 29

2. Proses Pembuatan Keputusan ... 32

C. Gambaran Proses Pembuatan Keputusan pada Individu yang Melakukan Konversi Agama ... 36

D. Paradigma Penelitian ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Pendekatan Kualitatif ... 41

B. Responden dan Lokasi Penelitian ... 42

1. Responden Penelitian ... 42

a. Karakteristik Responden ... 42

b. Jumlah Responden... 42

c. Prosesedur Pengambilan Responden ... 43

2. Lokasi Penelitian ... 43

C. Teknik Pengumpulan Data ... 44

1. Wawancara ... 44

2. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 45

D. Kredibilitas Penelitian... 45

E. Prosedur Penelitian ... 47


(12)

2. Tahap Pelaksanaan ... 47

3. Tahap Pencatatan Data ... 48

F. Teknik dan Prosedur Analisis Data ... 49

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Responden I ... 52

I. Identitas Diri ... 52

II. Data Obeservasi Umum ... 52

1. Data Observasi pada Wawancara I... 52

2. Data Observasi pada Wawancara II ... 53

3. Data Observasi pada Wawacara III ... 55

III. Data Wawancara ... 56

1. Latar Belakang Kehidupan Hijrah... 56

- Kehidupan Kanak-Kanak Hijrah ... 56

- Ibu Konversi ke Islam... 57

- Kehidupan Hijrah setelah Ibu Konversi ... 59

- Kehidupan Hijrah di Bangku SMA ... 61

- Hubungan Hijrah dengan Gereja Mulai Merenggang ... 63

2. Tahap Pembuatan Keputusan Hijrah ... 66

a. Appraising the Challenge ... 66

- Pindah ke Aceh dan Tertarik dengan Islam ... 66

- Belajar tentang Agama Islam ... 68


(13)

b. Surveying Alternatives ... 73

c. Weighing Alternative ... 73

- Pertimbangan akan Tuhan ... 73

- Pertimbangan akan Lingkungan di Medan ... 74

- Pertimbangan akan Diri Sendiri ... 76

d. Deliberating about Commitment ... 80

e. Adhering despite Negative Feedback ... 85

- Tantangan dari Lingkungan Sekolah di Medan ... 86

- Tantangan dari Lingkungan Tempat Tinggal di Medan ... 87

- Tantangan dari Teman-teman di Medan ... 88

- Tantangan dari Diri Sendiri ... 89

- Senantiasa Menuntut Diri Menjadi Lebih Baik ... 92

B. Responden II ... 92

I. Identitas Diri ... 92

II. Data Obeservasi Umum ... 92

1. Data Observasi pada Wawancara I... 92

2. Data Observasi pada Wawancara II ... 93

3. Data Observasi pada Wawancara III ... 94

4. Data Observasi pada Wawancara IV ... 98

III. Data Wawancara ... 98

1. Latar Belakang Kehidupan Rahel ... 99

- Berasal dari Keluarga Majemuk ... 99


(14)

- Tidak Mendapat Pendidikan Agama dari Ibu ... 102

- Sekolah di SMP Katolik ... 103

- Hubungan Pertemanan yang Mejemuk ... 105

2. Tahapan Pembuatan Keputusan Rahel ... 109

a. Appraising the Challenge ... 109

- Bertemu Yesus dalam Sebuah Pengalaman Mistik ... 109

- Mengikuti Katekisasi di Surabaya ... 117

- Konversi atau Tidak Konversi ... 119

b. Surveying Alternatives... 121

c. Weighing Alternative ... 121

- Pertimbangan tentang Ibu ... 121

- Pertimbangan tentang Ayah ... 122

- Pertimbangan-pertimbangan Lain ... 124

d. Deliberating about Commitment ... 127

- Ingin Memberitahu Orangtua ... 127

- Memberitahu Orangtua dan Diusir dari Rumah ... 127

- Melakukan Konversi Agama ke Kristen ... 134

- Tidak Memberitahu Orangtua tentang Konversi yang Terjadi. 136 e. Adhering despite Negative Feedback ... 140

- Reaksi dari Teman-teman ... 140

- Reaksi dari Dalam Diri Sendiri ... 142


(15)

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 149

A. Kesimpulan ... 149

B. Diskusi ... 151

C. Saran... 163

1. Saran Praktis ... 163

2. Saran Metodologis ... 164

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Perbandingan Paradigma Klasik dan Kontemporer ... 25

Tabel 4.1 : Identitas Diri Responden I ... 52


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Paradigma Penelitian ... 40

Gambar 4.1: Gambar Tahapan Pembuatan Keputusan Responden I ... 93


(18)

Gambaran Proses Pembuatan Keputusan dalam Melakukan Konversi Agama

Novita Sari R. D dan Irmawati

ABSTRAK

Konversi agama adalah topik yang kontroversial, karena sering kali mengusik kehidupan orang-orang secara umum, dan lingkungan terdekat dari individu yang melakukan konversi tersebut secara khusus (Rambo, 1998). Data dari penelitian awal menunjukkan bahwa lingkungan sosial dan keluarga menentang individu yang ingin melakukan konversi dan kenyataan ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi individu. Dihadapkan dengan kenyataan seperti itu, penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana proses pembuatan keputusan individu dalam melakukan konversi agama dengan menggunakan pendekatan teori pembuatan keputusan dari Janis & Mann (1977) dan teori motif konversi dari Lofland & Skonovd (1981).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Responden adalah dua orang wanita yang dipilih berdasarkan konstruk operasional. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya dinamika yang berbeda dalam proses pembuatan keputusan pada kedua respondon. Responden 1, dengan motif konversi intellectual, melewati proses pembuatan keputusan yang lebih lama dan kompleks daripada responden 2 yang motif konversinya adalah mystical. Tahapan yang dilalui adalah tahap 1 (Appraising the Challenge), tahap 3 (Weighing Alternative), tahap 4 (Deliberating about Commitment) dan tahap 5 (Adhering despite Negative Feedback). Kedua responden sama-sama tidak melewati tahap pengambilan keputusan yang kedua (Searching Alternatives) disebabkan oleh bias yang terjadi pada proses pengambilan keputusan.


(19)

The Process of Decision Making in Religious Conversion

Novita Sari R. D dan Irmawati

ABSTRACT

Religious conversion is a very controversial topic, because quite often it does in fact disrupt peoples‟ lives generally, and family specifically (Rambo, 1998). Data from the early study shows that society and famies dispute the converts and it is raise a special difficulty for convert that takes a struggle. Facing this reality, this research aims to understanding the process of decision making in religious conversion, with decision making theory (Janis & Mann, 1977) dan conversion motifs theory (Lofland & Skonovd, 1981).

This research use qualitative method approach and the respondents are two women who is based on construct operational. Method of collecting data is deth-interview and observation that take during the deth-interview.

The result shows that there is a different process of decision making between two respondents. Respondent 1, with her intellectual motif, gets through a more complex decision making than responden 2 whose motif is mystical. Both of respondents go across stage 1 (Appraising the Challenge), stage 3 (Weighing Alternative), stage 4 (Deliberating about Commitment) and stage 5 (Adhering despite Negative Feedback). They do not enter the second stage (Searching Alternatives) due to bias in the process of decision making.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari banyak dimensi kehidupan dan eksistensi manusia. Manusia dikelilingi oleh hal-hal spiritual, yang perwujudannya tampak dalam kegiatan yang berlangsung di kehidupan sehari-hari. Sejak lahir ke dunia hingga meninggalkan dunia, manusia selalu bersentuhan dengan aspek keagamaan. Kelahiran manusia diikuti dengan upacara keagamaan, misalnya dengan khitanan dalam agama Islam atau pembaptisan dalam agama Kristen. Ketika manusia bertumbuh dewasa, mengenal lawan jenis lalu menikah, upacara pernikahan tersebut disahkan dan diberkati oleh pemuka agama dalam ritual khusus. Dalam kehidupan sehari-hari juga terdapat kegiatan keagamaan yang diadakan secara mingguan, misalnya ibadah Jumat ke masjid dan pengajian mingguan dalam agama Islam, peribadahan ke kuil dalam agama Hindu dan ibadah di gereja pada hari Minggu dalam agama Kristen. Di tengah kesibukan sehari-hari pun, di beberapa negara, ajakan untuk melakukan ibadah lima kali dalam sehari melalui pengeras suara bukan merupakan hal yang asing. Dan pada akhirnya, agama juga turut membantu manusia dalam menghadapi kematian dengan menyediakan gambaran tentang kehidupan setelah kematian. Dari waktu ke waktu, agama hadir dimana-mana dan mempengaruhi kehidupan manusia (Hood, Hill & Spilka, 2009).


(21)

Tidak hanya hadir dalam kegiatan ritual yang tampak wujudnya, agama juga menyentuh kehidupan manusia dalam bentuk ideologi. Dalam tulisannya yang berjudul Religion and Meaning dalam buku Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality, Crystal Park (2005) menyatakan bahwa agama adalah sebuah lensa yang digunakan banyak orang untuk menerima dan menginterpretasi realita kehidupan. Agama memang bukan satu-satunya jalan untuk memaknai realita kehidupan yang ada, namun agama adalah jalan yang paling umum digunakan manusia dalam pemberian makna akan kehidupannya. Agama merupakan pusat dari sistem pemaknaan kehidupan (global meaning system) bagi banyak orang, walaupun tingkat kepentingannya pada setiap orang adalah berbeda-beda.

Agama menjamin bahwa apapun yang terjadi atas kehidupan seseorang, kejadian baik atau buruk, selalu memiliki makna dan tujuan. Kepercayaan agama menyediakan banyak pilihan untuk memaknai sebuah kejadian, termasuk pemahaman akan: adanya rencana yang lebih besar yang tidak dapat diketahui manusia di balik peristiwa-peristiwa kehidupan, setiap kejadian tidak terjadi secara acak atau kebetulan belaka, atau bahwa perkembangan karakter seseorang dapat bertumbuh melalui aneka kesulitan hidup (Park, 2005).

Melihat dari sisi lain, Geyer dan Baumeister (2005) dalam tulisan mereka yang berjudul Religion, Morality, and Self-Control: Values, Virtues and Vices, juga dalam buku Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality, menyatakan bahwa agama merupakan sumber penyedia aturan tentang perilaku baik dan buruk bagi kebanyakan orang. Setiap agama menyediakan aturan-aturan


(22)

yang membimbing dan mengontrol perilaku manusia. Karena itulah, agama dapat memfasilitasi terjadinya tindakan-tindakan luhur (virtuous behavior). Oleh agama, manusia digerakkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dinilai luhur dan menjauhi tindakan yang dinilai tidak luhur.

Memang harus diakui, beberapa aturan agama adalah aturan-aturan yang berat dan tidak mudah dilaksanakan, namun agama dengan ajarannya yang bersifat memotivasi dan memberikan harapan, dapat mendorong manusia untuk senantiasa mengusahakan tindakan-tindakan luhur dan mempertahankan konsistensi perilaku tersebut. Hal ini senada dengan penuturan Aisyah, wanita dua puluh lima tahun beragama Islam, ketika ditanyakan tentang makna agama baginya,

“Agama itu pembimbing kita lah. Agama itu kan kayak penunjuk jalan kita. Jadi dari agama itu kita jadi tahu mana yang benar mana yang dosa. Kayak aku lah misalnya, kalau aku bingung kali sampe nggak tahu mau buat apa gitu kan... misalnya dilema buat pilihan nih, ya aku pake patokan agamaku. Misalnya kan, kek kemarin lah aku ada berantam ama kawan aku di kantor, dia ini orangnya bisa ngalalkan semua cara biar buat aku selalu di bawah dia, karena kami lomba-lomba naik level. Aku saingan berat dia. Dua bulan lalu aku dapat rahasia tentang dia. Rahasia itu kalau aku bocorkan ke atasan atau teman kantor aku, habislah dia dipecat. Disitu dilema. Awalnya memang pengen ngelapor atasan, tapi pas mikir-mikir lagi, jadi bingung juga karena suara di hati aku bilang kasihan juga kawan itu kalau dipecat. Bukan apa-apa ya kan, kalau cari kerja lagi bisalah dia, tapi malu yang dia tanggung? Terus aku kayak ngerasa jadi manusia jahat kalau ngelakuin itu, padahal kalau di kerjaan biasanya kata orang sikut-sikutan gitu kan? Tapi ya itulah... Ya udah, ujung-ujungnya aku bingung gitu, kutanya ke mamak aku, soalnya dia yang paling kuat agamanya diantara kami sekeluarga. Ya udah, dia bilang „jangan‟. Ya udah, udah langsung nggak kupikirkan lagi. Maksudku nggak kutimbang-timbang lagi gitu lho. Ngerti kan?! Kalau udah agamaku bilang „jangan‟, ntah kenapa aku langsung ikut aja, nggak tanya-tanya lagi... karena aku yakin apa kata agama pasti betul.”


(23)

Bagi Aisyah, agama dimaknai sebagai pengontrol perilaku. Dalam hal ini, Aisyah melihat bahwa agama berfungsi memberikan batasan yang jelas tentang perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pemaknaan bahwa agama adalah pengontrol perilaku tentunya tidak serta merta dirasakan dan diketahui Aisyah ketika sudah dewasa seperti sekarang. Pemaknaan demikian lahir dari pengalaman beragama yang sudah dilakoni dari hari ke hari sejak orang tuanya memperkenalkannya dengan agama.

Perilaku beragama seseorang pada umumnya memang perilaku turun temurun. Artinya manusia memeluk agama tertentu karena mengikuti orang tua mereka yang lebih dahulu memeluk agama tersebut dan memperkenalkan agama itu sejak dini kepadanya (Beit-Hallahmi & Argyle, 1997; Lamb & Bryant, 1999). Pemahaman agama yang diterima sejak dini itu tidak berhenti di masa kanak-kanak saja. Beranjak remaja dan dewasa, individu masih terus diperkaya pemahamannya tentang agama melalui aneka sarana yang ada, misalnya: pengajaran pendidikan agama di sekolah, hubungan dengan orang tua, ceramah dari pemimpin agama, pemahaman agama dari buku atau media massa dan interaksi dengan teman sebaya (Boyatzis, 2005; Levenson, Aldwin & D‟Mello, 2005).

Secara umum, informasi yang paling banyak diterima oleh individu adalah informasi mengenai agama yang sudah ia anut sejak kecil. Namun melalui interaksi sosialnya, individu juga berkenalan dengan agama lain yang bukan merupakan agama yang ia anut. Beberapa individu mulai berkenalan dengan agama lain di luar agamanya, entah itu sekadar mengetahui kebiasaan perilaku


(24)

beragama teman sebaya yang berlainan agama, mulai mempelajari perbedaan-perbedaan antara agamanya dengan agama lainnya atau mempelajari agama lain sebagai usaha untuk memahami hal-hal transendental atau sebagai usaha mencari makna akan kehidupan yang ia jalani. Perkenalan sedemikian rupa dengan agama lain, dalam proses yang berangsur-angsur (gradual process) dapat membuat individu pada akhirnya melepaskan agama yang ia anut dan memeluk agama lain, yang dikenal sebagai peristiwa konversi (Hood, Hill & Spilka, 2009).

Menurut Beit-Hallahmi dan Argyle (1997), konversi agama adalah perubahan yang tampak pada identitas agama seseorang, transformasi diri yang dilakukan secara sadar, yang kemudian dideklarasikan kepada orang lain untuk diketahui bersama. Hal ini mencakup perubahan kepercayaan seseorang dari satu agama ke agama lain atau pembentukan komitmen yang lebih kuat kepada agama yang sudah dianut sebelumnya.

Hanya ada sedikit orang yang kemudian mengubah identitas agama mereka, dan perubahan seperti ini mengundang perhatian dari lingkungan sosial karena merupakan hal yang tidak biasa terjadi. Perubahan ini kadang-kadang dilihat sebagai suatu kegagalan atau kesalahan dalam usaha penerusan agama dari orangtua ke anak (Beit-Hallahmi & Argyle, 1997).

Saat mempresentasikan makalahnya yang berjudul “The Psychology of

Religious Conversion” pada pertemuan International Coalition for Religious

Freedom Conference on "Religious Freedom and the New Millenium”, di Berlin, Jerman, Lewis R. Rambo (1998) menekankan bahwa konversi agama menjadi topik yang kontroversial, karena hal tersebut sering kali mengusik kehidupan


(25)

orang-orang secara umum, dan lingkungan terdekat dari individu yang melakukan konversi tersebut secara khusus. Seperti apapun kelompok masyarakat tempat tinggalnya, jika seseorang melakukan konversi agama, yang bertentangan dengan kebiasaan masyarakat yang lebih luas, kebanyakan orang akan bertanya-tanya bagaimana seseorang dapat mempercayai agama baru tersebut dan bagaimana hal yang sedemikian asing itu dapat terjadi.

Maka, kemudian tidak mengherankan apabila konversi agama yang dilakukan oleh artis-artis di tanah air menjadi sorotan masyarakat umum. Rianti Catwright, Pinkan Mambo, Trie Utami, Dian Sastrowardoyo merupakan contoh kecil artis yang melakukan konversi agama dan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Tidak ada satu pun konversi agama mereka yang berjalan lancar tanpa pertanyaan bahkan gunjingan. Trie Utami mengakui,

“Keluarga saya aja ga ribut kenapa kalian yang ribut, disini saya ga perlu menegaskan agama saya, karena masalah ibadah adalah betul-betul wilayah pribadi.”

(Sumber: www.indosiar.com/gossip/57039/tri-utamie-pindah-agama) Tentunya tidak hanya mengusik masyarakat umum, konversi agama secara khusus mengusik pihak keluarga. Bagi pihak keluarga, hal tersebut dipandang sebagai suatu perubahan yang destruktif dan sulit dimengerti. Hal demikian dialami oleh Ibu dari artis Pinkan Mambo, Ibu Deetje:

"Pinkan minta ingin kesaksian, di situ saya usir, saya tidak mau melihat muka Pinkan, lalu adiknya mengusir Pinkan.”

(Sumber: www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/pinkan-mambo-diusir-saat-ngaku-pindah-agama.html)

Dewasa ini konversi yang paling umum terjadi adalah konversi dikarenakan kebutuhan untuk pernikahan. Sebelum menikah, salah satu pihak


(26)

dari pasangan yang berbeda agama akan melakukan konversi. Konversi yang dilakukan oleh para artis merupakan contoh yang nyata akan ini, seperti Lulu Tobing, Rianti Cartwright, dan Happy Salma (www.detik.com). Namun diantara individu-individu yang melakukan konversi agama, ada pula yang melakukannya bukan demi kebutuhan tertentu misalnya untuk menikah, namun karena dorongan pribadi dari dalam diri sendiri. Artinya, konversi yang dijalani memang berasal dari keinginan individu sendiri. Tidak ada bujukan atau paksaan dari orang lain.

Ibu Lea (bukan nama sebenarnya), wanita tiga puluh lima tahun dengan dua orang anak, melakukan konversi agama sejak 2002 lalu berdasarkan keinginan dari dalam dirinya sendiri. Ibu Lea yang tumbuh dan besar di keluarga beragama Islam, sepuluh tahun lalu memutuskan melakukan konversi agama ke agama Kristen. Konversi ini terjadi karena ketertarikan pribadi ibu Lea kepada ajaran Kristen setelah ia bergaul dengan teman-temannya yang beragama Kristen di bangku kuliah.

“Awalnya itu karena saya waktu kuliah kan deketnya kebetulan sama yang Kristen gitu ya, temen-teman saya kebetulan yang Kristen. Saya tertarik lihat mereka ada acara Natalan, Paskah, ke gereja... Nah, suatu hari entah kenapa saya pengen banget mau ikut temen saya hari Minggu ke gereja. Tapi kan ndak boleh sama ibu bapak tho? Tapi, setelah lama-lama saya nggak tahan lagi, jadi waktu itu kan udah terus menerus saya tahan untuk nggak ikutin temen ke gereja, tapi ya... akhirnya saya cari akal untuk bisa ke gereja. Akhirnya, dengan bilang ke bapak ibu bahwa saya mau ngerjain tugas kampus yang banyak, saya pergilah dengan temen saya itu ke gereja. Ternyata tertarik dengan isi khotbahnya, pengen lagi dan pengen lagi di hari-hari berikutnya...”

(Sumber: Komunikasi Personal, 10 Desember 2011)

Pergaulan dengan teman-teman kelompok yang semuanya beragama Islam membuat Ibu Lea lebih mudah mengenal agama Kristen dan akhirnya merasa tertarik. Ketertarikan ini semakin mendalam dengan sikap para anggota gereja


(27)

yang dirasa Ibu Lea cukup ramah dan khas dengan sentuhan kasih. Bu Lea menyadari ketertarikan ini dan dia menikmatinya di satu sisi, namun di sisi lain ia mulai takut. Ia takut jika kegiatan ke gereja tersebut diketahui oleh orangtuanya.

“Saya tertarik dengan khotbah pendetanya waktu itu. Pak pendetanya kan kasi khotbah yang enak ya, terus khotbahnya itu membuat ngerasa „Oh Tuhan itu nggak jauh ya?‟ Tapi ya… yang paling, yang paling menyentuh itu justru bawaannya jemaat itu lho. Mereka ramah, mereka welcome. Nggak tahu ya, baru sekali gereja udah ngerasa apa ya… betah gitu lah. Ramahnya mereka itu, terus kasih itu nuansanya terasa banget. Bukan yang urusanmu ya urusanmu, bukan gitu. Tapi, ini lho kita semua saudara, saling peduli. Itu ngena banget.”

(Sumber: Komunikasi Personal, 10 Mei 2013)

“Saya kan enjoy ya waktu itu. Seneng ketemu orang Kristen di gereja, terus temen-temen saya juga kan ada dua orang yang di gereja itu jadi saya ngerasa nggak sendiri lah. Enak … Yang saya rasakan, yang saya rasakan, apa ya… Enjoy itu ya. Nah, paling sama takut! Takut orangtua tahu. Kalau tahu, ya habislah. Saya takut sama bapak. Dia kan tegas karena tentara ya. Tegas banget. Rada serem sebenernya saya. Lebih mikir kesitu. Kalau dengan diri saya pribadi sih nggak terlalu apa ya… nggak yang gimana banget sih agama saya juga. Saya Muslim tapi mungkin boleh dibilang yang liberal gitu lah. Semua keluarga memang Muslim. Keluarga besar saya dari ibu, dari bapak semua Islam tapi yang biasa aja gitu ya. Nggak ada yang sampe jadi ustaz, ya orang sipillah. Ngerti kan? Nah, jadi saya juga nggak terlalu gimana ke Islam. Paling salat lah, puasa, ngaji. Lebih ke ritual, kewajiban. Itu wajib ya saya jalankan. Itu ritual yang memang terbiasa dilakukan ya saya patuhi, tapi saya tidak sampai mikir mendalam banget tentang kenapa ya saya harus salat, kenapa kalau haid nggak boleh puasa ya, itu nggak. Jadi, relatif nggak terlalu masalah ya saya rasa. Yang saya pikirin itu cuma orangtua doang. Kalau saya sama diri saya nggak masalah, malah seneng.”

(Sumber: Komunikasi Personal, 10 Mei 2013)

Dalam melakukan konversi agama, setiap individu memiliki motif yang berbeda-beda. Lofland dan Skonovd (dalam Kurst-Swanger, 2008) menyatakan enam motif individu dalam melakukan konversi, yaitu: atas dasar keingintahuan diri sendiri pada ajaran agama tertentu (intellectual), alasan teologis (mystical), ingin mendapatkan kenyamanan dalam kehidupan (experimental), karena adanya


(28)

hubungan baik dan bermakna yang dijalin dengan kelompok agama tertentu (affectional), adanya ketertarikan khusus terhadap perilaku-perilaku dan/atau kesaksian memukau dari anggota kelompok agama (revivalist), ataupun karena adanya paksaan dari pihak-pihak tertentu (coercive). Dalam hal ini, motif yang mendorong ibu Lea adalah motif intellectual.

Motif intellectual pada Ibu Lea yang tampak dalam rasa ingin tahu akan ajaran Kristen secara mendalam, mengakibatkan ibu Lea semakin banyak membaca buku-buku tentang agama Kristen dan semakin rajin pergi ke gereja. Usahanya untuk beribadah ke gereja dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan orangtua. Ia memberikan alasan yang berbeda setiap hari Minggu agar dapat keluar rumah, misalnya dengan mengatakan bahwa ia harus mengikuti latihan basket atau karena perlu berkumpul di rumah temannya demi mengerjakan tugas kuliah. Namun, pada akhirnya orang tua Ibu Lea menaruh curiga dan menanyakan kebenaran alasannya keluar rumah setiap hari Minggu. Setelah ditanyai dengan serius, Ibu Lea mengakui kegiatannya pergi ke gereja. Kedua orangtuanya marah sekali, khususnya ayahnya. Ayahnya yang adalah seorang tentara menyatakan dengan tegas bahwa jika Ibu Lea akan pergi ke gereja lagi, ayahnya tidak akan membiayai kebutuhan kuliahnya untuk selanjutnya, dan Ibu Lea tahu bahwa ayahnya bersungguh-sungguh dengan pernyataannya tersebut.

Walaupun konversi agama didasarkan pada alasan teologis, yang merupakan alasan berkonotasi positif karena berhubungan dengan ketuhanan, hal tersebut tetap menjadi kontroversi. Mengapa? Karena bagi lingkungan sosial,


(29)

konversi agama mengacaukan suatu pola kesatuan identitas agama yang telah ada dan telah dilakoni terus menerus sejak dahulu (Rambo, 1998).

Pengalaman yang sama, ditentang oleh pihak keluarga karena akan melakukan konversi agama, juga dialami oleh Pak Haikal (bukan nama sebenarnya). Pak Haikal adalah seorang pengacara berusia empat puluh tahun yang melakukan konversi agama dari Kristen ke Islam dua belas tahun yang lalu. Pak Haikal tumbuh dan besar dalam keluarga Kristen yang rajin beribadah. Ketika lajang, Pak Haikal adalah seorang pemuda gereja yang aktif dalam berbagai kegiatan di gereja. Ia melakukan konversi agama setelah bertemu dengan seorang wanita, yang kini adalah istrinya, di Bandung. Perkenalan dan hubungan yang dijalin dengan istrinya inilah yang kemudian membawa pak Haikal mulai mengenal agama Islam, yang kini menjadi agama yang ia anut.

“Sebenarnya gini ya, saya tertarik dengan istri aja awalnya, tapi... dia dengan adatnya, dengan keluarganya, dengan agamanya itu semua satu paket?! Saya tertarik dengan dia, saya tertarik juga dengan sikap dia yang ngargain agama saya. Dia itu selalu dorong saya untuk aktif latihan pemuda gereja misalnya, walaupun itu udah pacaran lho ya. Nah, terus dia juga rajin salat nya. Nanti kita jalan atau makan kemana gitu, ke mall atau kemanalah ya, namanya anak muda... dia pasti bilang, „Bang, saya salat dulu ya‟. Dari situ awalnya! Tap tap tap... jadilah saya mulai tertarik pengen tahu Islam itu seperti apa sih, kenapa si eneng ini tiap habis salat wajahnya makin kelihatan adem gitu ya... tenang... Akhirnya, ya saya kemudian banyak baca buku-buku Islam, tanya-tanya sama dia juga.” (Sumber: Komunikasi Personal, 22 Oktoer 2011)

“Ya, saya dulu itu memang aktif sekali ya di gereja. Vokal grup, vokal solo. Gitarin orang nyanyi. Bahkan sering juga saya kotbah untuk acara-acara kepemudaan gereja, kalau untuk umum nggak berani ya... tapi untuk yah lingkup kecil anak-anak muda, sering juga. Aktif memang ... Saya kenalan dengan istri saya di Bandung. Dia fakultas sastra, saya hukum. Awalnya saya tahu dia Muslim dan saya nggak ada pikiran lah bahwa saya bakalan sekarang berumah tangga dengan dia ... Ya cuma tertarik gitu ya, trus ngobrol-ngobrol. Nah, dari situ mulai deket deket deket sampe akhirnya pacaran ... Singkat cerita, saya mulai kenalanlah dengan dunia


(30)

Islam, tapi di sisi lain gereja jalan terus! Nggak pernah bolong, aktif terus!”

(Sumber: Komunikasi Personal, 22 Oktober 2011)

Perkenalan dengan agama Islam ini ternyata tidak hanya menjadi perkenalan biasa bagi Pak Haikal, melainkan perkenalan yang menimbulkan ketertarikan lebih lanjut. Ia pun mulai bertanya dan bertanya kepada calon istrinya tentang agama Islam tanpa pernah menduga bahwa di kemudian hari bahwa hal tersebut menjadi langkah perjalanannya menjadi seorang Muslim.

“Jadinya ya tanya-tanya. Menarik. Belajar. Ya, ya… nggak sesederhana itu tentu ya. Tapi maksud saya begitulah jalurnya. Belajar, dalam arti saya mulai baca ya buku misalnya pengenalan akan Islam. Sama sekali, sama sekali nggak kepikiran mau pindah. Saya aktif di gereja kok waktu itu. Jadi, jadi… kayak… kayak pelan-pelan menghayutkan lah istilahnya, karena saya sama sekali tidak menduga belajarnya saya itu bakal membuat saya jadi kayak sekarang ini, gitu lho.”

(Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013)

“Saya kan waktu itu aktif di gereja jadi saya nggak nggak ada… mikir ini bakal membuat saya pindah, nggak. Itu nggak sama sekali. Jadi kayak nggak sadar gitu lho. Bukan sepele sih ya, tapi memang nggak kebayang sama sekali. Lha, saya kan bilang sambil tanya-tanya itu saya masih aktif di kegiatan gereja?!”

(Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013)

Tiadanya dugaan akan konversi ini membuat Pak Haikal menjalani perkenalannya dalam keadaan biasa-biasa saja layaknya seseorang yang mengenal orang baru tanpa pernah berpikir bahwa orang baru tersebut akan mengubah jalan hidupnya. Setelah beberapa bulan kemudian, ia belajar semakin mendalam, bahkan mulai membandingkan ajaran yang baru dikenalnya itu dengan ajaran yang telah dianutnya sebelumnya. Dalam masa perbandingan inilah, Pak Haikal menyadari bahwa dirinya sudah lebih condong ke agama Islam.


(31)

“Menolak ya. Menolak sih awalnya. Nggak terima … Jadi selama belajar pun sebenarnya saya fine-fine aja waktu melihat perbedaannya, tapi kalau salah satu terasa lebih tepat dari yang lain, kalau itu Kristen yang lebih tepat saya nggak masalah, tapi… ini pemahaman saya pribadi ya, saya bukan bilang saya pasti benar tapi inilah menurut saya. Menurut saya justru banyak saya temukan yang saya rasa benar itu jadinya kok di Islam, gitu ya. Nah, awalnya nggak bisa terima. Gitu terus waktu itu.”

(Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013)

“Nggak bisa terima itu maksudnya gini… ada hal-hal yang setelah saya baca itu saya rasa lebih tepat di Islam, tapi… nah ini, tapi mula-mula masih berusaha selalu membenarkan Kristen. Nggak terima istilahnya ya. Saya berusaha mencari argumen atau dalil agar kebenaran Islam itu nggak terlalu mengganggu saya. Disitulah mulai sadarnya. Wah, udah mulai bahaya ini kayaknya, iya kan? Mulai terasa mengganggunya, tapi sadarnya terlambat. Udah terjerat sih. Hahaha… Itulah diam-diam, pelan-pelan ternyata udah hanyut, istilahnya ya.”

(Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013)

Penolakan (denial) awal Pak Haikal tentang kenyataan bahwa ajaran-ajaran Islam lebih dirasa tepat daripada Kristen tersebut, pada awalnya dapat diatasi dengan mencari argumen-argumenn tertentu sehingga tidak terasa mengganggu. Namun, lama kelamaan dalam proses dua tahun pembelajarannya, ia mulai berhenti bersikap demikian.

“Capek sebenarnya ya begitu itu. Jadi lama-lama saya ya nerima juga bahwa memang… pada akhirnya tidak bisa disangkal kan kalau orang pindah agama itu karena dia merasa yang baru lebih benar dari yang lama. Nah, itulah gamblangnya. Saya juga gitu. Pemahaman saya pribadi akhirnya berani ngakuin itu. Tapi proses kesitu itu kan yang tidak mudah … Tidak mudah maksudnya saya sebenarnya nggak suka. Nggak suka saya menerima kenyataan ajaran Islam itu lebih tepat daripada apa yang sudah saya yakini dulu. Menolak terus awalnya … Tapi ya itulah ya… kalau saya sih percaya ini kan bukan cuma urusan hebat-hebatan argumen kayak di ruang sidang ya. Bukan perkara saya pintar cari pembenaran yang menyangkal apa yang baru saya pelajari itu.”

(Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013)

Menurut Pitt (1991) dan Hood, Hill & Spilka (2009), konversi agama memang merupakan sebuah transformasi yang terjadi di dalam diri pribadi


(32)

individu sendiri, namun konversi tidak pernah dapat terlepas dari interaksi sosial yang dialami oleh individu tersebut. Interaksi sosial ini mempengaruhi individu untuk mengenal agama lain, menilai agama lain, dan pada akhirnya berpengaruh besar terhadap pembuatan keputusan individu untuk melakukan konversi atau tidak. Seperti halnya calon istri Pak Haikal yang berpengaruh dalam memperkenalkannya kepada Islam, ibu dari Pak Haikal juga berpengaruh dalam proses konversi yang terjadi. Sang ibu tidak rela jika Pak Haikal melakukan konversi.

“Saya sadar betul dengan putusan saya, saya tahu konsekuensi yang harus saya terima ... Tapi tahu dengan menjalaninya langsung itu dua hal yang berbeda kan?! Begitu saya bilang ke ibu usulan saya mau nikah dan mau pindah agama, Ibu saya langsung nangis ... Awalnya beliau cuma netes airmata saja, lama-lama meraung-raung nggak terima anaknya ini, yang aktif di gereja, dibanggakan di kumpulan pemuda gereja... mau ninggalin Kristen untuk masuk Islam. Sulit untuk dia percayai! Terguncang rasanya lihat reaksi Ibu saya. Yang saya bayangkan dia marah-marah ngusir saya dari rumah, ngapus nama saya dari kartu rumah tangga atau apalah, tapi... ternyata air matanya. Ini memang sudah lama berlalu ya, tapi tetap pengalaman melihat ibu saya menangis itu pengalaman yang susah sekali saya lupakan. Ya jujur saja, sampai sekarang, kadang-kadang saya masih merasa bersalah membuat ibu menangis, karena sebenarnya dari dulu saya adalah anak kesayangannya diantara empat bersaudara. Saya yang paling dekat dengannya, paling dia banggakan kalau ngomong ke tetangga...” (Sumber: Komunikasi Personal, 22 Oktober 2011)

Pembuatan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif berdasarkan nilai dan ketertarikan individu (Harris, 2009). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Chan (2001) bahwa pembuatan keputusan adalah pemilihan alternatif dari dua alternatif atau lebih dalam situasi dan kondisi tertentu. Alternatif-alternatif tersebut diperhitungkan kekurangan dan kelebihannya dalam perhitungan yang teliti lalu dipilih satu alternatif yang terbaik, maka itulah pembuatan keputusan (Simon, dkk., 1986).


(33)

Pembuatan keputusan yang diangkat dalam penelitian ini bukan merupakan pembuatan keputusan yang kecil, seperti misalnya membuat keputusan akan menghabiskan akhir pekan dengan keluarga atau dengan sahabat. Topik yang akan diteliti adalah pembuatan keputusan yang besar (big decision). Keputusan seperti ini, menurut Ullmann-Margalit (2006), merupakan keputusan yang bersifat personal dan transformasional, keputusan yang menjadi titik penting dan sangat berarti dalam hidup seseorang. Akibatnya, keputusan ini juga mempengaruhi orang atau kelompok di luar individu yang membuat keputusan tersebut.

Pembuatan keputusan yang besar (big decision) memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) bersifat transformatif atau berpengaruh besar. Pembuatan keputusan yang dilakukan akan mentransformasi seseorang secara signifikan. Ketika menghadapi pilihan yang ada, individu ditempatkan pada persimpangan jalan yang menuntut pertimbangan serius; (2) tidak dapat dibatalkan. Sekali keputusan diambil, keputusan tersebut tidak dapat dirubah kembali dan; (3) dilakukan dengan kesadaran penuh (Ullmann-Margalit, 2006).

Karakteristik-karakteristik big decision yang dikemukakan oleh Ullmann-Margalit (2006) di atas adalah sejalan dengan hasil penelitian Miller dan C‟deBaca (1994), yang menemukan bahwa individu melihat pengalaman konversi agama yang mereka lakukan adalah sebuah titik sentral atau watershed moment. Watershed moment adalah sebuah momen khusus yang sangat berpengaruh dalam hidup individu. Momen ini merupakan sebuah titik penting ketika individu memilih suatu jalan yang setelah jalan tersebut dipilih, individu tidak dapat membatalkan keputusannya. Ia, kemudian, harus menjalani keputusan yang telah


(34)

dibuatnya dan tidak dapat membatalkan keputusan tersebut apapun yang menjadi resiko dari keputusan tersebut. Jenis keputusan seperti ini adalah jenis pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi serius (Janis & Mann, 1977).

Pembuatan keputusan yang besar (big decision) sering dilihat sebagai pekerjaan yang sulit, sarat dengan emosi dan memicu stres pada kebanyakan orang. Maka tidak mengherankan bahwa manusia sering enggan untuk membuat keputusan atas pilihan-pilihan yang kompleks (Janis & Mann, 1977; Hanselmann & Tanner, 2008). Dalam hal ini, kedua subjek fenomena yang diwawancarai peneliti mengungkapkan pengalaman stresnya masing-masing. Bu Lea mengatakan mengalami masa stres sesaat yang berkaitan dengan hubungan interpersonal dengan orang tuanya. Setelah ketahuan oleh orang tuanya bahwa pada hari Minggu ia kerap pergi ke gereja, orang tuanya melarang keras ia untuk ke gereja lagi. Selain larangan, ayah dari Bu Lea juga mengusirnya dari rumah, dan hal ini merupakan masa-masa stres baginya.

“Hubungan dengan bapak juga otomatis jadi dingin. Bapak saya ngomong seperlunya saja... Saya bergumul sekali. Nangis. Curhat ke temen. Berdoa. Pergi ke pendeta juga. Akhirnya, setelah mikir dan minta Tuhan juga tunjukkan jalan, saya berani-beraniin diri bilang ke Bapak kalo pengen ke gereja lagi. Saya coba jelasin, tapi adanya saya nggak sempet jelasin semua... Bapak udah ngomong „Kalo kamu mau gereja, gereja sana, tapi kamu jangan tinggal di rumah ini lagi!‟ Saya nangis-nangis, tapi Bapak nggak banyak ngomong terus pergi ninggalin saya di ruang tamu. Rasanya pedih banget, gimana ya bilangnya... Di bayangan saya, saya keluar rumah artinya ya saya nggak akan pernah lagi ketemu bapak ibu, nggak diakui anak lagi. Itu yang sakitnya! Waktu itu mau nangis ke ibu, tapi ibu juga takut sama bapak kan. Jadi ibu ya justru jauh dari saya, adik-adik saya juga gitu. Nggak ada satu pun yang ibaratnya nguatin saya pas saya nangis gitu. Mereka pada takut kalau mereka deket, bapak juga ikut marahin mereka.” (Sumber: Komunikasi Personal, 10 Desember 2011)

“Akhirnya saya ya keluar rumah. Waktu itu saya nebeng di kos temen, temen saya yang tahu jelas masalah saya. Lantas saya ya jadi kerja sambil


(35)

kuliah. Nah, waktu itu tiap malam saya nggak berhenti nangis gitu ya... Nggak cuma bapak yang marah, bude pakde dan keluarga-keluarga yang lain juga marah semua. Semuanya musuhin saya. Rasanya gimana ya... kayak buah simalakama lah. Kalau pilih orangtua berarti nggak Kristen, milih Kristen berarti nggak boleh ke orangtua lagi. Bingung. Waktu itu saya sering juga minum obat tidur biar nggak usah mikir. Karena capek banget lho mikirin itu tiap malam mau tidur. Pengennya nggak usah mikir aja, tidur aja.”

(Sumber: Komunikasi Personal. 10 Desember 2011)

Konversi agama merupakan hasil dari proses perjuangan intrapersonal. Konversi umumnya diawali dengan perjuangan individu dengan dirinya sendiri, yang juga mencakup pertimbangan dalam diri sendiri yang tidak mudah (Barrotta & Dascal, 2005). Ketika di dalam diri individu terdapat dua suara berbeda tentang suatu hal, individu akan mengalami konflik intrapersonal. Terjadi pertarungan intrapsikis yang menyita energi untuk diselesaikan (Leone, 2005). Hal ini dirasakan oleh Pak Haikal juga.

“Ya kayak hidup di dua dunia ya. Satu sisi kaki ini berpijak di keluarga saya yang saya cintai lho ya... satu lagi berpijak di Islam yang saya yakini. Jadi, seperti terbelah. Nah, disitulah masa-masa suram kalau saya menyebutnya ya... Tapi itu tidak sesuram kalau yang jadi bahan pemikiran adalah kepala ini membanding-bandingkan ajaran Kristen yang sudah saya terima dengan ajaran Islam yang belakangan saya tahu. Wah, kalau udah yang itu... kata kawan satu kontrakan saya udah hampir kayak orang gila.” (Sumber: Komunikasi Personal, 20 Oktober 2011)

Pada akhirnya, dalam keadaan stres dan bingung seperti di atas, individu mau tidak mau akan terdorong untuk membuat keputusan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori pembuatan keputusan menurut Janis & Mann (1977).

Dalam bukunya Decision Making: A Psychological Analysis of Conflict, Choice, and Commitment, Janis & Mann (1997) mengemukakan lima tahap yang dilalui seseorang dalam proses pengambilan keputusan. Tahapan tersebut adalah: menilai informasi yang diterima, menilai alternatif yang ada, menimbang


(36)

alternatif, membuat komitmen, dan tetap menjalankan komitmen walaupun ada umpan balik negatif. Masing-masing tahap dalam proses pembuatan keputusan tersebut memiliki karakteristik tersendiri yang memunculkan dinamika dalam diri individu si pembuat keputusan.

Fenomena-fenomena yang dituturkan oleh Bu Lea dan Pak Haikal adalah fenomena yang pelik untuk dihadapi. Dalam kedua fenomena di atas, baik Bu Lea dan Pak Haikal dihadapkan pada fenomena yang menuntut mereka membuat sebuah keputusan yang tidak dapat dibatalkan jika sudah diputuskan. Bu Lea dihadapkan pada pilihan antara keluarga yang ia cintai dengan agama baru yang begitu menarik baginya. Pak Haikal dihadapkan pada kesulitan menentukan memilih agama yang ia percayai sejak kecil atau agama yang baru ia kenal, dimana keduanya memiliki kebenaran-kebenaran yang justru membuatnya terjepit diantaranya. Motif intelektual yang Pak Haikal dan Bu Lea rasakan juga turut berperan serta dalam mengantarkan mereka menjalani serangkaian proses yang tidak mudah hingga akhirnya dapat memilih mengambil keputusan untuk melepas agama terdahulu lalu memeluk agama yang kemudian. Berdasarkan hal yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti proses pembuatan keputusan pada individu yang melakukan konversi agama.


(37)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang peneliti uraikan di atas, maka yang menjadi permasalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran proses pembuatan keputusan dalam melakukan konversi agama.

C. Tujuan Peneltian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembuatan keputusan dalam melakukan konversi agama.

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Menambah pemahaman empiris pada bidang Psikologi Klinis tentang proses pengambilan keputusan ketika seseorang melakukan konversi agama.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan masukan bagi orang yang akan melakukan konversi agama tentang proses yang akan dilalui saat mereka memutuskan siap untuk berpindah agama dan reaksi-reaksi yang akan diberikan oleh lingkungan sosial.

b. Dapat bermanfaat bagi keluarga dari orang yang melakukan konversi agama, sehingga dapat lebih memahami apa dan bagaimana proses yang dilalui oleh orang yang berpindah agama.


(38)

c. Sebagai bahan masukan bagi kaum rohaniawan agar dapat memahami proses yang dialami seseorang ketika mereka memutuskan meninggalkan agama tertentu untuk memeluk agama yang lain. Dengan demikian rohaniawan tidak bersikap mencurigai atau menekan individu selama proses pembuatan keputusan yang dijalaninya.

d. Sebagai masukan bagi kegiatan konseling untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan individu dalam melakukan proses konversi agama.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur

dan pendapat para ahli yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan prosedur penelitian

BAB IV : Analisa data dan pembahasan berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan.


(39)

BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(40)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Konversi Agama 1. Agama

Agama adalah sebuah fenomena yang sulit untuk didefinisikan karena cakupannya yang sangat luas dan karena setiap orang yang berusaha membuat definisinya membuat sebuah pengertian berdasarkan cara pandangnya sendiri-sendiri. Pada akhirnya, definisi agama yang sering muncul adalah definisi yang terlalu luas atau terlalu sempit (Pargament, Magyar-Russell & Murray-Swank, 2005).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.

Menurut Gellman & Hartman (2002), agama adalah sistem kepercayaan (beliefs), praktek-praktek (ritual), dan aturan-aturan moral (ethics) yang hadir berdasarkan suatu keyakinan terhadap suatu hal Yang Suci. Maka di dalam agama, terdapat tiga hal penting yaitu: kepercayaan, ritual dan aturan moral.

Dalam bukunya Global Philosophy of Religion: A Short Introduction, Runzo (2001) mengatakan bahwa agama adalah sebuah pencarian manusia akan sebuah makna yang melampaui hal-hal materialistis. Ia menambahkan bahwa agama memiliki tradisi yang terdiri dari seperangkat simbol dan ritual, mitos dan


(41)

cerita serta kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan lagi, yang dipercayai oleh sebuah komunitas memberikan makna pokok bagi kehidupan, melalui hubungannya dengan Yang Transenden.

Dalam penelitian ini, peneliti mendefinisikan agama sebagai seperangkat sistem kepercayaan terhadap Yang Suci dimana di dalamnya terdapat ritual, simbol, dan ajaran-ajaran tertentu yang mendorong individu untuk melakukan proses pencarian terhadap suatu makna yang melebihi hal-hal material.

2. Motif Beragama

Hardjana (1993) mengatakan bahwa secara umum terdapat enam faktor utama yang mendorong manusia untuk beragama:

1. Mendapatkan keamanan

Hidup di dunia ini menarik namun tidak selalu aman. Maka di tengah-tengah kehidupan yang tidak selalu aman dan penuh ancaman, individu memohon perlindungan Tuhan untuk dijauhkan dari segala bahaya. 2. Mencari perlindungan dalam hidup

Hidup ini selain tidak aman, juga penuh dengan ketidakpastian. Dalam keadaan yang seperti ini individu lari ke agama, karena di dalam agama diyakini adanya Tuhan, Sang Penyelenggara yang dapat diandalkan.

3. Menemukan penjelasan atas dunia dan hidup serta segala yang termaktub di dalamnya


(42)

Dalam hidup banyak terdapat pertanyaan yang mendasar namun sulit untuk dijawab. Agama bergerak di bidang misteri kehidupan tersebut. Di dalam agama terdapat Tuhan yang diyakini sebagai asal dan tujuan dari kehidupan. Oleh karena itu individu mengacu pada agama untuk mencari kejelasan atas makna hidup.

4. Memperoleh pembenaran atas praktik-praktik hidup yang ada

Dalam hidup bermasyarakat terdapat berbagai aktivitas yang baik dan berguna seperti “sopan santun”, “rajin bekerja”, dan sebagainya. Agar aktivitas ini tetap terjaga dan memiliki daya tarik, maka agama dijadikan motivasi tambahan, seperti misalnya “bekerja rajin” merupakan ibadah.

5. Meneguhkan tata nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat

Dalam masyarakat terdapat berbagai nilai kehidupan etikal dan moral. Dengan agama, individu memiliki kekuatan, dorongan dan pemantapan dalam melaksanakan nilai kehidupan.

6. Memuaskan kerinduan hidup

Manusia tidak pernah puas dan selalu ingin lebih. Dengan masuk dan menganut suatu agama, individu akan memuaskan hasratnya yang paling dalam yaitu menemukan Tuhan sendiri. Individu yang beragama hendak memuaskan kerinduannya akan Tuhan yang mampu memenuhi dambaan akan nilai rohaninya yang paling tinggi dan kodrati.


(43)

3. Definisi Konversi Agama

Kata konversi yang dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai perubahan atau perpindahan, berasal dari bahasa Latin “converiere”, yang berarti menyelesaikan (resolve) atau berbalik arah (turn around) atau berjalan melalui petunjuk atau arah yang berbeda (Flinn dalam Kurt-Swanger, 2008).

Menurut Rambo (1993), konversi agama adalah proses perubahan agama yang melibatkan dinamika dari aspek-aspek: orang yang mengalaminya, kejadian konversi itu sendiri, ideologi, institusi agama, harapan-harapan dan orientasi-orientasi. Konversi agama adalah sebuah proses yang terjadi dari waktu ke waktu, bukan merupakan sebuah kejadian tunggal.

Konversi sering diartikan sebagai perpindahan yang dilakukan individu dari agama tertentu ke agama yang lain. Tamney (dalam Blasi, 2009) mengatakan bahwa konversi merujuk pada penemuan, pembaruan, atau transformasi diri yang terjadi pada individu baik dalam satu tradisi agama maupun dari satu agama ke agama lain.

Menurut Hood, Hill dan Spilka (2009), terdapat dua paradigma dalam konsep konversi, yaitu paradigma klasik dan paradigma kontemporer.

a. Paradigma klasik

Menurut paradigma klasik, konversi merupakan perubahan religiusitas dalam diri seseorang yang perubahan tersebut terjadi lebih dikarenakan oleh proses individu menemukan diri (self) yang baru, daripada karena proses pendewasaan semata. Konsekuensi dari perubahan ini bersifat radikal, diindikasikan dengan beberapa hal misalnya adanya pusat perhatian, ketertarikan


(44)

dan tindakan yang jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Diri yang baru ini dirasa lebih “mulia” dan dilihat sebagai pembebasan dari dilema atau keadaan yang sulit sebelumnya.

b. Paradigma kontemporer

Menurut paradigma kontemporer, konversi merupakan perubahan religiusitas seseorang dari satu keyakinan ke keyakinan lain, yang karakteristiknya: terjadi dalam proses bertahap, lebih melibatkan pemikiran daripada emosi semata, pelaku konversi bersifat aktif mencari orang-orang yang dapat menghubungkannya dengan agama yang baru, dan pelaku konversi melakukannya dengan sadar dan penuh pemaknaan.

Perbandingan paradigma klasik dan kontemporer dalam konversi agama dirangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Perbandingan Paradigma Klasik dan Kontemporer

Paradigma Klasik Paradigma Kontemporer

Konversi bersifat mendadak Konversi bersifat bertahap Bersifat emosional Bersifat intelektual, rasional Individu bersifat pasif Individu bersifat aktif Dibebaskan dari dosa dan rasa bersalah Mencari makna dan tujuan Menekankan proses psikologis yang Menekankan proses bersifat intraindividual interpsikologis

Sumber: The Psychology of Religion: An Empirical Research, 2009

Dalam Encyclopedia of Psychology and Religion, konversi adalah peristiwa penting dalam hidup, yang berkaitan dengan kejadian internal dan eksternal individu, dan mengarahkan individu pada pengkajian ulang hidupnya,


(45)

kemudian merubah dirinya menjadi lebih baik dan secara biografis terputus dengan masa lalunya (Beit-Hallami, 2010).

Berdasarkan definisi-definisi di atas peneliti menggunakan dua paradigma dalam penelitian ini; klasik dan kontemporer, serta membuat kesimpulan bahwa konversi agama adalah proses perubahan identitas agama yang tampak dari agama tertentu ke agama lain yang terjadi secara dinamis dalam diri individu, baik secara mendadak atau bertahap, dan dilakukan dengan kesadaran dan pemaknaan.

4. Tipe-Tipe Konversi Agama

Salah satu cara yang lebih baik memahami konversi sesungguhnya adalah dengan mendeskripsikan bermacam-macam tipe konversi. Rambo (1993) membuat tipologi konversi agama sebagai berikut:

a. Apostasy atau defection

Apostasy, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai murtad, adalah penolakan akan agama oleh individu yang sebelumnya sudah memeluk agama tertentu. Perubahan ini tidak mencakup penerimaan akan pandangan agama yang baru, namun sering mengindikasikan pengadopsian nilai-nilai dari sistem yang bukan sistem agama. Apostasy diikutsertakan dalam tipologi ini karena dinamika kehilangan iman atau meninggalkan sebuah agama tertentu merupakan bentuk penting dari sebuah perubahan pada zaman modern ini.


(46)

b. Intensification

Intensificatioin adalah pembaharuan komitmen individu pada agama yang selama ini telah ia anut, baik secara formal maupun non-formal. Hal ini terjadi ketika individu menjadikan agama menjadi pusat perhatian dalam hidupnya. Terjadi intensifikasi peran agama yang signifikan pada kehidupan seseorang.

c. Affiliation

Konversi tipe ini terjadi ketika individu yang tadinya tidak memiliki atau hanya memiliki komitmen yang sangat kecil kemudian berubah menjadi memiliki keterlibatan yang tinggi dalam sebuah institusi atau komunitas kepercayaan. Konversi tipe ini ditandai dengan tampaknya peningkatan keikutsertaan individu dalam beragam aktivitas kelompok agama.

d. Institutional transition

Institutional transition adalah perpindahan keanggotaan individu dari satu komunitas ke komunitas lain dalam satu tradisi agama. Konversi tipe ini sering juga disebut sebagai “denomination switching”, misalnya perpindahan keanggotaan gereja dari Presbyterian ke gereja Pentakosta, yang keduanya masih dalam satu tradisi Kristen Protestan yang sama. e. Traditional transition

Konversi agama yang dimaksud dalam traditional transition adalah perpindahan individu atau sekelompok orang dari satu agama ke agama lain. Berpindah dari satu cara pandang, sistem ritual, simbol-simbol kehidupan, dan gaya hidup dari satu agama ke agama lain.


(47)

5. Motif Konversi Agama

Motif yang mendorong terjadinya konversi agama adalah berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Lofland dan Skonovd (dalam Kurt-Swanger, 2008) memaparkan enam motif individu melakukan konversi agama:

a. Intellectual

Motif ini melibatkan pembelajaran akan suatu agama yang intensif karena adanya rasa ingin tahu yang besar. Pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan beragam media, seperti buku, internet, teman dan berbagai sumber lainnya.

b. Mystical

Motif ini terjadi secara tiba-tiba, dahsyat dan sulit dijabarkan dengan jelas. Dalam motif ini, individu biasanya mengalami mimpi atau penampakan mistis.

c. Experimental

Dalam motif ini, individu mengeksplorasi agama yang akan dianutnya, yang diawali dengan keikutesertaan individu pada kegiatan agama tersebut. Jika agama tersebut kemudian diketahui dapat memenuhi kebutuhan yang ada dalam dirinya, maka ia akan menganut agama tersebut. Sebelum menganut agama tersebut, individu mencoba agama tersebut dengan melibatkan diri secara langsung terlebih dahulu.


(48)

d. Affectional

Motif ini dilandasi oleh hubungan interpersonal yang baik antara individu dengan jemaah agama yang akan ia anut. Pelaku konversi merasa diterima dan dikasihi oleh pemimpin agama dan para anggota agama tersebut. e. Revivalist

Dalam motif ini, perilaku anggota kelompok agama memberi pengaruh besar pada individu. Perilaku kelompok yang bersifat membangkitkan (estatic arousals) dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan menimbulkan ketertarikan pada individu, misalnya: dengan melihat mukjizat penyembuhan tertentu atau adanya kesaksian akan pengalaman hidup yang luar biasa dari penganut agama lain.

f. Coercive

Motif seperti ini melibatkan pemaksaan terhadap individu untuk mau menganut agama tertentu, misalnya dengan program cuci otak (brainwashing), ancaman atau tekanan dari kelompok tertentu.

B.Pembuatan Keputusan

1. Definisi Pembuatan Keputusan

Teori pembuatan keputusan yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori pembuatan keputusan Janis & Mann (1977), namun Janis & Mann tidak menyediakan definisi tentang pembuatan keputusan. Hal ini dikarenakan teori pembuatan keputusan Janis & Mann lahir sebagai sebuah tanggapan atas teori pembuatan keputusan yang sudah berkembang luas sebelumnya.


(49)

Sebelum kehadiran Janis & Mann lewat buku mereka Decision Making: Psychological Analysis of Conflict, Analysis, and Commitment pada tahun 1977, ahli ekonomi, statistik, manajemen dan matematika (behavioral scientist) melihat proses pembuatan keputusan sebagai suatu aktivitas mental yang dilakukan dengan perhitungan kognitif yang rasional dan objektif serta tidak melibatkan resiko yang besar bila dilakukan. Misalnya, bagaimana cara membuat keputusan yang baik ketika seorang pengusaha dihadapkan pada pilihan menanamkan saham di perusahaan A atau di perusahaan B yang masing-masing memiliki sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut teori pembuatan keputusan yang berkembang kala itu, yakni: teori Optimizing, teori Subjective Utility Theory Satisficing, dan teori Satisficing oleh Herbert Simon pada tahun 1976, sebuah keputusan yang baik lahir dari perhitungan matematika yang detail. Bagaimana perhitungan yang ada di setiap teori tersebut, tentu saja tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena teori yang digunakan adalah teori yang lain – teori pembuatan keputusan dari Janis & Mann (1977).

Berangkat dari hasil-hasil penelitian yang ditemukan sebelumnya, Janis & Mann sampai pada satu temuan baru yaitu tidak semua proses pembuatan keputusan dapat dilakukan dengan penuh perhitungan rasional seperti yang dikatakan para behavioral scientist. Ada keputusan-keputusan tertentu yang memiliki konsekuensi-konsekuensi yang cukup berarti (consequentional decision), tidak hanya berhubungan dengan kepentingan si pembuat keputusan sendiri namun juga orang-orang di luar dirinya, merupakan keputusan penting yang sulit untuk dibatalkan, dan yang dapat menimbulkan konflik (decisonal


(50)

conflict) di dalam diri individu, misalnya pembuatan keputusan untuk berhenti menggunakan narkoba, memilih pasangan hidup untuk berumah tangga, memilih pekerjaan tertentu, dan memilih mengikuti sebuah agama. Hal inilah yang ditegaskan oleh Janis & Mann dalam bab pertama berjudul Man, the Reluctant Decision Maker pada buku mereka.

Dikarenakan teori pembuatan keputusan Janis & Mann (1977) merupakan sebuah komentar untuk teori pembuatan keputusan yang sudah ada sebelumnya, Janis & Mann tidak lagi memberi definisi tentang arti dari sebuah pembuatan keputusan itu sendiri. Mereka langsung memberi komentar baru atas teori yang sudah diperkenalkan oleh ilmuwan sebelumnya.

Dengan alasan seperti itu, peneliti mencoba melihat definisi pembuatan keputusan dari tokoh-tokoh lain yang juga memberi sumbangsih dalam dunia teori pembuatan keputusan.

Harris (1998), dalam tulisannya Introduction to Decision Maaking, mengatakan bahwa pembuatan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif berdasarkan nilai dan ketertarikan individu. Hal ini berarti individu memilih sebuah alternatif yang memiliki kemungkinan efektif yang paling besar dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, keinginan, gaya hidup, nilai dan lain-lain.

Selain itu Kleindorfer, Koenrauther, dan Schoemaker (1993) mengatakan bahwa pembuatan keputusan adalah proses membuat suatu pilihan yang bersifat intensional dan reflektif dalam merespon kebutuhan yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, masa sekarang dan perkiraan akan masa yang akan datang.


(51)

Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pembuatan keputusan adalah proses penyelesaian masalah yang dilakukan secara sadar dengan cara memilih alternatif yang paling tepat diantara alternatif-alternatif yang tersedia.

2. Proses Pembuatan Keputusan

Menurut Janis & Mann (1977) terdapat lima tahapan dalam proses pembuatan keputusan, yaitu:

a. Appraising the Challenge

Pada tahap pertama, individu mengalami kecemasan karena ia dihadapkan dengan informasi baru yang berbeda dengan pemahaman yang ia anggap benar sebelumnya. Informasi baru ini menjadi sebuah ancaman baginya. Individu ditantang untuk mengambil sikap. Informasi baru mengakibatkan kebimbangan jika individu mulai ragu untuk terus berjalan pada pemahaman yang sebelumnya ia yakini.

b. Surveying Alternatives

Setelah keyakinan individu yang lama diguncang oleh informasi yang ia terima, individu akan memfokuskan diri untuk mencari alternatif-alternatif yang tersedia. Individu mulai mencari alternatif-alternatif, baik dari pengalamannya sendiri maupun dari anjuran dan informasi yang diberikan orang di sekitarnya tentang permasalahan tersebut. Individu akan lebih memberikan atensi pada segala informasi yang berhubungan dengan masalah yang ia alami, baik dari media massa atau sumber-sumber


(52)

lainnya, walaupun informasi tersebut bertentangan dengan keyakinannya sebelumnya.

Di akhir tahap kedua, individu akan menyeleksi alternatif-alternatif yang ia pertimbangkan hingga didapat alternatif yang paling mendekati untuk menjawab masalah individu tersebut.

c. Weighing Alternatives

Pada tahap ini, individu berusaha mencari, mengevaluasi dan memfokuskan diri pada keuntungan dan kerugian setiap alternatif yang tersedia agar pada akhirnya didapatkan alternatif yang paling baik. Individu umumnya menjadi sadar akan keuntungan dan kerugian tertentu yang sebelumnya tidak ia pertimbangkan.

Ketika menyadari dengan sungguh-sungguh kemungkinan akan adanya penyesalan di masa depan, individu menjadi sangat berhati-hati menilai alternatif-aternatif yang ada.

Ada kalanya, setelah mempertimbangkan setiap alternatif individu tidak puas dengan semua alternatif tersebut. Pada saat tertentu gejala stres menjadi akut, namun bila individu dapat menghindari keadaan kehilangan semangat, ia akan beralih mencari solusi yang lebih baik. Individu akan kembali ke tahap kedua, dalam usaha menemukan alternatif baru yang mungkin lebih baik untuk menjadi solusi daripada alternatif-alternatif sebelumnya yang sudah dipertimbangkan dengan serius.


(53)

d. Deliberating about Commitment

Pada tahap ini, individu melaksanakan dan menyampaikan maksudnya kepada oranglain. Individu menyadari cepat atau lambat, orang-orang dalam lingkup sosialnya seperti misalnya keluarga, rekan kerja, teman akan mengetahui pilihan yang ia telah tetapkan.

Sebagai pembuat keputusan yang dipenuhi kewaspadaan, individu berkonsentrasi tentang kemungkinan penolakan yang akan ia terima. Sebelum membiarkan orang lain tahu tentang pilihannya – khususnya jika pilihan tersebut merupakan tindakan yang kontroversial, individu akan cenderung memikirkan jalan menghindari penolakan dari keluarga, teman, dan kelompok-kelompok lainnya yang penting dalam kehidupannya.

Individu kemudian menyadari bahwa ketika ia melaksanakan dan menyampaikan maksudnya kepada orang lain, pada saat itu juga akan lebih sulit untuk kembali ke siatuasi sebelumnya, artinya ia menjadi “terkunci” pada keputusan yang telah ia ungkapkan.

Beberapa keputusan yang sangat penting menjadi benar-benar rahasia dalam waktu yang panjang. Individu dapat memulai memberitahukannya hanya kepada beberapa orang-orang terdekat. Individu cenderung memberitahukan pilihannya pertama-tama kepada orang-orang yang ia pikir akan menerima dan menjaga informasi tersebut sejenak dari siapapun yang dicurigainya akan sangat tidak setuju dengan pilihannya.


(54)

e. Adhering despite Negative Feedback

Sesaat setelah membuat keputusan, individu mengalami periode bulan madu (honeymoon period) dimana ia merasa sangat senang dan yakin dengan keputusan yang ia ambil dan melaksanakan keputusan tersebut tanpa rasa cemas sedikit pun. Namun seringnya, rasa puas yang meyakinkan tersebut akan berkurang kadarnya dikarenakan adanya informasi baru yang diterima. Tahap kelima ini hampir sama dengan tahap pertama, dimana kejadian-kejadian tertentu pasca pembuatan keputusan dapat mengguncang keyakinan individu akan keputusan yang sudah dibuat. Namun tahap kelima ini berbeda dari tahap pertama dimana guncangan yang dialami individu pada tahap kelima hanya bersifat sementara. Individu akan menjadi bimbang dengan keputusan yang telah ia ambil karena tanggapan negatif dari lingkungan, namun hal ini hanya berlangsung sesaat. Kemudian, individu akan segera melakukan rasionalisasi untuk menekankan keuntungan yang ia dapatkan dan meminimalisasi kerugian yang ia alami. Pada akhirnya, individu tetap berpegang pada komitmen yang ia sudah lakukan walau ada umpan balik negatif yang ia terima kemudian.

Dalam menjalani proses pembuatan keputusan, individu tidak selalu berjalan lurus dari tahap satu hingga tahap kelima. Proses pembuatan keputusan dapat juga melakukan proses yang membentuk spiral, misalnya dari tahap tiga kembali lagi ke tahap dua, dari tahap lima kembali ke tahap satu.


(55)

C.Gambaran Proses Pembuatan Keputusan pada Individu yang Melakukan Konversi Agama

Secara umum manusia memeluk agama tertentu karena mengikuti orangtua mereka yang lebih dahulu memeluk agama tersebut dan memperkenalkan agama itu sejak dini kepadanya (Beit-Hallahmi & Argyle, 1997; Lamb & Bryant, 1999). Namun, melalui interaksi sosialnya, individu juga berkenalan dengan agama lain yang bukan merupakan agama yang ia anut. Beberapa individu mulai berkenalan dengan agama lain di luar agamanya, entah itu sekadar mengetahui kebiasaan perilaku beragama teman sebaya yang berlainan agama, mulai mempelajari perbedaan-perbedaan antara agamanya dengan agama lainnya atau mempelajari agama lain sebagai usaha untuk memahami hal-hal transendental dan makna akan kehidupan yang ia jalani. Perkenalan sedemikian rupa dengan agama lain, dalam proses berangsur-angsur (gradual process) dapat membuat individu pada akhirnya melepaskan agama yang ia anut sebelumnya dan memeluk agama yang lainnya, yang dikenal sebagai peristiwa konversi agama (Hood, Hill & Spilka, 2009).

Rambo (1998) mengatakan bahwa konversi agama adalah sebuah topik yang kontroversial, karena hal tersebut sering kali mengusik kehidupan orang-orang secara umum, dan lingkungan terdekat dari individu yang melakukan konversi tersebut secara khusus. Seperti apapun kelompok masyarakat tempat tinggalnya, jika seseorang melakukan konversi agama, yang bertentangan dengan kebiasaan masyarakat yang lebih luas, kebanyakan orang akan bertanya-tanya bagaimana seseorang dapat mempercayai agama baru tersebut dan bagaimana hal


(56)

yang sedemikian asing itu dapat terjadi. Bagaimanapun, konversi agama bukanlah hal yang umum terjadi.

Tidak hanya bertanya-tanya tentang konversi yang terjadi, lingkungan masyarakat pada umumnya dan keluarga pada khususnya juga memberikan reaksi negatif dengan keinginan konversi ini, misalnya menjauhi dan memperlakukan individu secara diskriminatif. Maka dalam diri individu timbullah konflik antara keinginan untuk konversi dengan keinginan tidak konversi dengan masing-masing konsekuensi yang mengikutinya. Keadaan seperti ini menimbulkan tekanan stres pada individu yang sedang berada dalam proses pembuatan keputusan melakukan konversi agama.

Pembuatan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif berdasarkan nilai dan ketertarikan individu (Harris, 2009). Pembuatan keputusan melakukan konversi agama sendiri bukanlah sebuah pembuatan keputusan ringan yang hanya berpusat pada ketertarikan individu. Meminjam istilah Ullmann-Margalit (2006), pembuatan keputusan melakukan konversi agama adalah sebuah big decision, yaitu sebuah pembuatan keputusan yang besar. Keputusan seperti ini, menurut Ullmann-Margalit (2006), merupakan keputusan yang bersifat personal dan transformasional, keputusan yang menjadi titik penting dan sangat berarti dalam hidup seseorang, tidak dapat dibatalkan bila telah dilakukan dan dilakukan dengan kesadaran penuh.

Pembuatan keputusan yang besar (big decision) sering dilihat sebagai pekerjaan yang sulit, sarat dengan emosi dan memicu stres pada kebamnyakan orang. Pembuatan keputusan dengan karakteristik seperti inilah yang dijelaskan


(1)

Leone, M. (2005). Conversion and controversy. Dalam Barrotta, P. & Dascal, M. (eds.), Controversies and Subjectivity (pp. 91-125). Amsterdam: John Benjamins.

Levenson, M. R, Aldwin, C. M & D‟Mello, M. (2005). Religious Development from Adolescene to Middle Adulthood. Dalam Paloutzian, R.F & Park, C.L. (eds.), Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality (pp. 144-161). New York: The Guilford Press.

Lonergan, B. (1990). Method in Theology: Volume 12 [on-line]. Diakses pada tanggal 9 Januari 2013 dari http://books.google.co.id/books?id=A3j6XO-G9eoC&pg=PA237&hl=id&source=gbs_toc_r&cad=4#v=onepage&q&f=fa lse.

Miller, W. R & C’deBaca, J. (1994). Quantum change: Toward a psychology of transformation. Dalam T. F. Heatherton & J. L. Weinberger (eds.), Can personality change? (pp. 253-280). Washington, DC: American Psychological Association.

Paloutzian. R.F., Richardson, J.T., & Rambo, L.R. (1999). Religious Conversion and Personality Change. Journal of Personality, 67:6, 1047-1079.

Pargament, K.I., Magyar-Russell, G.M., & Murray-Swank, N.A. (2005). The sacred and the search for significance: Religion as a unique process. Journal of Social Issues, 61(4), 665-687.

Park, C. L. (2005). Religion and Meaning, Dalam Paloutzian, R.F & Park, C.L. (eds.), Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality (pp. 295-314). New York: The Guilford Press.

Pinkan Mambo Diusir saat Ngaku Pindah Agama (2010, Agustus). Kapanlagi [on-line]. Diakses pada tanggal 20 Juni 2011 dari http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/pinkan-mambo-diusir-saat-ngaku-pindah-agama.html.

Pitt, J. E. (1991). Why People Convert: A Balance Theoritical Approach to Religious Conversion. Journal of Pastoral Psychology, 39 (3), 171-183. Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.

Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Radecki, C. & Jaccard, J. (1996). Gender-role differences in decision-making orientations and decision-making skills. Journal of Applied Social Psychology 26(1), 76-94.


(2)

Rambo, L.R. (1993). Understanding Religious Conversion. New Haven, CT: Yale University Press.

Rambo, L.R. (Mei, 1998). The Psychology of Religious Conversion. Makalah dipresentasikan pada pertemuan International Coalition for Religious Freedom Conference on "Religious Freedom and the New Millenium”, Berlin, Jerman.

Runzo, J. (2001). Global Philosophy of Religion: A Short Introduction.Oxford: Oneworld Publications.

Simon, H.A., dkk. (1986). Problem solving and decision making. Dalam National Academy of Sciences, Research Briefings 1986: Report of the Research Briefing Panel on Decision Making and Problem Solving (pp. 19-35). Washington, DC: National Academy Press.

Togaresei, L. (2004). The conversion of Paul in the Light of the Theory of Cognitive Dissonance. Journal of Zamberia, XXXI, 123-135.

Tri Utami Pindah Agama (September, 2007). Indosiar [on-line]. Diakses pada tanggal 20 Juni 2011 dari http://www.indosiar.com/gossip/57039/tri-utamie-pindah-agama-.

Ullmann-Margalit, Edna. (2006). “Big Decision: Opting, Converting, Drifting”. Royal Institute of Philosophy Supplements, 81 (58), 157-172.

Zajonc. R. B. (1980). Feeling and thinking: Preferences need no inferences. American Psychologist, 35, 151-175.

Zajonc, R. B. (2000). Feeling and thinking: Closing the debate over the independence of affect. Dalam J.P. Forgas (Ed.), Feeling and thinking: The role of affect in social cognition (pp. 31-58). New York: Cambridge University Press.


(3)

(4)

PEDOMAN WAWANCARA

Menurut Janis & Mann (1977), proses pembuatan keputusan meliputi tahap di bawah ini:

1. Appraising the Challenge

Pertanyaan:

a. Bagaimana Anda dapat mengenal agama B (agama yang sekarang dianut)?

b. Bagaimana penilaian Anda terhadap agama B?

c. Apakah pengenalan Anda dengan agama B menimbulkan masalah buat Anda? Mengapa?

2. Surveying Alternatives

Pertanyaan:

a. Bagaimana usaha Anda dalam mencari alternatif terhadap masalah yang Anda?

b. Pihak-pihak mana saja yang ikut serta dalam usaha pencarian alternatif Anda?

3. Weighing Alternative

Pertanyaan:

a. Apa yang menjadi pertimbangan-pertimbangan Anda dalam memilih alternatif yang paling tepat terhadap masalah Anda?


(5)

b. Bagaimana Anda melakukan pertimbangan teradap alternatif-alternatif tersebut?

c. Berapa lama waktu yang Anda perlukan dalam menimbang-nimbang alternatif?

4. Deliberating about Commitment

Pertanyaan:

a. Apa wujud bahwa Anda sudah melakukan konversi agama?

b. Bagaimana cara Anda memberitahu lingkungan Anda bahwa Anda telah melakukan konversi agama?

5. Adhering despite Negative Feedback

Pertanyaan:

a. Umpan balik seperti apa yang Anda terima setelah Anda melakukan konversi agama?


(6)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Judul Penelitian : Gambaran Pembuatan Keputusan Melakukan Konversi Agama Peneliti : Novita Sari R D

NIM : 071301029

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai gambaran pembuatan keputusan melakukan konversi agama.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, Juli 2013