2. Tahapan Pembuatan Keputusan Rahel
a. Appraising the Challenge
Tahap pertama proses pembuatan keputusan, Appraising the Challenge, adalah tahap yang menjelaskan bagaimana Rahel memandang atau menilai
tantangan yang dirasakannya. Tantangan tersebut yaitu: konversi atau tidak konversi. Sebelum tiba pada penilaian Rahel, lebih dahulu dijabarkan di bawah ini
pengalaman mistik yang mengguncang Rahel dengan cara yang sulit untuk dimengerti hingga pada akhirnya nanti tertarik untuk menjadi seorang Kristen.
Bertemu Yesus dalam Sebuah Pengalaman Mistik
Dalam periode ketika berada di Jember untuk menunggu wisuda itu, di suatu pagi di bulan Agustus 1995, sesaat sebelum menunaikan shalat subuh,
terjadilah sebuah peristiwa unik yang akan mengubah jalan hidup Rahel selanjutnya. Peneliti mengajak pembaca untuk mendengar penuturan Rahel secara
langsung tentang peristiwa itu. “Jadi waktu subuh itu aku mau shalat kan. Mau shalat subuh. Terus, aku
nggak cepet shalat subuh gitu lho. Karena kamarku di belakang jadi aku bisa lihat bulan, karena nggak dikasih gorden kan jadi aku golek-golek
gitu. Nggak cepet-cepet shalat, jam empat gitu. Aku liatin bulan, di bulan itu aku ngeliat ada... kadang-kadang di bulan itu kan ada kayak bayangan,
gambar, gitu kan membentuk satu gambar yang imajinasi kita tuh bisa seperti apa gitu kan? Nah aku waktu itu melihatnya itu ada gambar Tuhan
Yesus disitu, di bulan itu.” R2. W1b. 6-18h. 1
Walau Rahel adalah seorang Muslim pada saat itu, ia mengenali gambar yang ada di bulan sebagai gambar Yesus, padahal Yesus adalah Tuhan bagi orang
Universitas Sumatera Utara
Kristen. Rahel mengenali gambar tersebut sebab ia pernah melihat gambar Yesus di rumah teman-teman dan keluarga-keluarganya yang beragama Kristen.
“Jadi ya kalau gambar itu ya aku tahu lah, Dek. Kenal aku. Di rumah temen-temenku yang Kristen juga kan ada gambar Tuhan Yesus nya. Ada.
Di rumah saudara-saudara dari pihak ibuku, keluargaku juga ada. Nggak
asing aku, Dek. Ngertilah itu Tuhan Yesus, gitu. Tuhannya orang Kristen.” R2. W1b. 71-78h. 2
“Karena aku SMP aku SMP Katolik, walaupun nggak dalem banget, terus temenku juga ada yang Kristen, gitu kan. Temen kos ku juga ada yang
Kristen, gambarNya Yesus juga ada di dindingnya. Jadi, nggak kaget
lagi. Gitu.” R2. W4b. 1514-1522h. 37
“… Aku udah punya pacar ya, yang orang Batak marga Sitompul. Dia kan orang Kristen dan aku pernah diajak main ke rumahnya. Bapaknya kan
pendeta, jadi ya tahulah. Jadi, sedikit banyak aku ngertilah. Ngerti bahwa
gambar itu gambar Yesus.” R2. W4b. 177-190h. 5
Memang selain karena keluarganya ada yang beragama Kristen, Rahel pun mengenali gambar yang dilihatnya di bulan sebagai sosok Yesus adalah karena ia
pernah melihat gambar Yesus di bangku SMP. Di sisi lain lagi, rupa Yesus di bulan tidak sulit untuk dikenalinya karena ketika masih kuliah di Malang, Rahel
tinggal indekos dengan teman-teman yang juga ada orang Kristen di dalamnya. Di kamar-kamar mereka, Rahel melihat gambar itu. Gambar Yesus pun ia lihat ketika
ia masuk ke rumah mantan pacarnya yang adalah orang Kristen. Hal pertama yang dirasakan Rahel setelah melihat gambar Yesus di bulan
adalah timbulnya perasaan damai dan teduh di dalam dirinya. Perasaan seperti itu tidak pernah sekalipun dirasakannya sebelum peristiwa subuh itu menyentuhnya.
“Aku nggak ngerti, aku waktu itu merasakan satu perasaan yang nggak pernah kurasakan sebelumnya gitu. E, teduh... lembut, kekmana ya, aku...
damai sekali gitu ya Aku.. dan itu nggak pernah kudapatkan gitu lho,
Universitas Sumatera Utara
perasaan seperti itu nggak pernah kurasakan sampe tahun sembilan lima itu aku nggak ngerasa...”
R2. W1b. 19-26h. 1
“Rasa ya, rasa aku damaiiii ... Apa ya, kelembutan yang, yang... Semua rasa itu aku rasakan gitu: damai, gemetar, kekmana ya. Aku nggak bisa
ceritakan detail lah ya kekmana... Mungkin rasa takjub, kebahagiaan itu jadi satu gitu lho, Dek. Aku nggak merasakan ini sebelumnya, Tuhan.
Rasa damai, syahdu... kekmana ya. Ada rasa damai, tenang.... kekmanalah itu ya? Perasaan itu aku nggak bisa gambarkan secara verbal ya, tapi aku
merasa nyamannnnnn banget, gitu. Sukacita tapi bukan yang wawwwww. Bukan yang kekgitu, kekmana ya? Seneng tapi di dalem hati. Gimana
ya??” R2. W3b. 895-919h. 20-21
Diselimuti perasaan damai dan teduh demikian, tiba-tiba saja Rahel terdorong, secara spontan, untuk berbicara kepada Yesus yang gambar-Nya baru
saja dilihatnya di bulan. Itu adalah komunikasi pertamanya dengan Yesus, dan dia melakukan komunikasi itu dengan cara seadanya yang ia diketahui. Artinya,
Rahel tidak menutup mata dan melipat tangan, selayaknya orang Kristen berdoa. Rahel hanya duduk dan mengucapkan kalimat yang lahir secara alami dari
kedalaman hatinya. Ia berbicara dalam doanya bahwa ia mengakui Yesus adalah Tuhan.
“Terus, waktu itu, tidak jadi aku wudhu. Tidak jadi wudhu, aku hanya berdoa gitu. Aku berdoanya hanya gini, „Aku percaya bahwa Yesus itu
Tuhan.‟” R2. W1b. 108-111h. 3
“Tapi, aku ndak ngerti bagaimana caranya. Bagaimana caranya untuk berdoa, atau apa... tapi ngomong gitu. Ngomong seperti shalat lah ya, tapi
bukan dalam bentuk gerakan. Tapi aku duduk, diam gitu bilang, „Tuhan, aku percaya, bahwa Yesus itu Tuhan.‟ Gitu. Tapi aku ndak ngerti
bagaimana ini nya... gitu lho. „Aku ndak ngerti, Tuhan, tapi biarlah Engkau sendiri. Kalau ini benar-benar dari Engkau, biar Engkau sendiri
yang menolong aku‟ Gitu.. Gitu aja doanya, udah nggak pernah shalat.” R2. W1b. 113-125b. 3
Universitas Sumatera Utara
Setelah melihat Yesus di bulan dan membuat pengakuan iman seketika itu juga, Rahel tidak pernah melaksanakan ritual shalat lagi. Pengalaman spiritual
tersebut mengubahnya dengan cara yang sulit dijelaskan. Ia seolah diubah seketika menjadi seorang Rahel yang baru oleh Yang Transenden.
Pada saat mengalami penglihatan di bulan itu, Rahel tidak memikirkan banyak hal. Bahkan menurut pengakuan Rahel ia benar-benar terserap pada rasa
damai yang menyelimutinya. Beberapa hari kemudianlah terlintas di pikiran Rahel hal seperti ini:
“Hari kemudian apa ya… aku paling mikirnya, „Ih, hebat ya. Luar biasa pengalamanku ini.‟ Gitu lho. Lebih ke apa ya, Dek… Lebih ke rasa sih.
Misalnya rasa kagum itu ya. Kagum banget gitu lho Jadi ngerasa bahagia banget. Paling mikir „Ih, Tuhan hebat banget Engkau‟ gitu lho. Lebih ke
kagum ke Tuhan karena pengalaman itu rasanya memang luar biasa, gitu lho. Bagiku ya.”
R2. W4b. 133-146h. 4 Menghadapi pengalaman sedemikian asing, mengingat Rahel adalah
seorang Muslim pada saat itu, ternyata Rahel tidak bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Walaupun gambar Yesus cukup biasa dilihat oleh Rahel
di rumah teman-temannya atau keluarganya, Yesus tetaplah sosok yang asing dalam agama Islam. Bagaimanapun juga, menjadi menarik sekali mengetahui
fakta bahwa seorang Muslim tidak bertanya-tanya dan heran dengan apa yang ia alami ketika ia melihat Yesus dan merasakan pengalaman yang dirasakannya
sangat luar biasa. “Ya gitu. Aku nggak mikir banyak sih, Dek. Nggak tahulah kenapa ya…
Tapi aku nggak mikir yang merenung gitu, endak, Dek. Sekarang iya aku mau refleksi lah ya.
Kalau pas waktu itu cuma yang „Ih hebat banget Tuhan‟ gitu lho.”
R2. W4b. 148-155h. 4
Universitas Sumatera Utara
“Aku nggak pernah berpikir itu panggilan, dalam arti pada waktu detik itu ya. Yang ada di pikiranku aku percaya “Yesus itu Tuhan.” Itu aja pada
waktu itu. Nggak, ng gak berpikiran yang apa ya… Nggak ada pikiran yang
berkecamuk. Itu nggak ada. Aku percaya kalau Yesus itu Tuhan. Udah itu aja. Poinnya itu aja.”
R2. W4b. 12-20h. 1
“Ndak. Ndak ada. Aku gini, aku nggak ngerti lah ya kenapa prosesnya seperti itu di aku
ya. Artinya ya memang itu yang aku rasakan, gitu.” R2. W4b. 80-84h. 3
Setelah mengalami persitiwa itu dan merasakan sukacita berkobar-kobar di dalam hatinya, Rahel memberitahu kepada Pak Mur apa yang ia rasakan. Rahel
tidak menceritakannya kepada lelaki Batak yang adalah seorang Kristen. “… Aku sulit untuk berhubungan sama Sitompul ini. Nggak ada telepon.
Waktu itu kan nggak ada HP. Masih jadul lah zaman itu kan? Jadi ketemunya itu bisa paling tiga hari sekali. Kalau sama ini kan, bisa telpon-
telponan. Terus, sama yang Bondowoso lelaki yang juga sedang dekat dengannya waktu itu itu nggak mungkin karena kan Muslim. Nggak
mungkin aku cerita, gitu kan. R2. W4b. 2144-2156h. 52
“Karena dia Pak Mur yang rutin. Rutin telepon.” R2. W4b. 2159-2160h. 52
“Besoknya … aku telepon, terus aku bilang gini... Udah cerita-cerita, baru terakhir cerita. „Aku percaya lho sama Yesus.‟ „Hah?‟ Kaget dia. „Yang
bener? Yang bener?‟ Dia aja yang kukasitahu tapi dia cerita sama orang lain kan akhirnya.”
R2. W3b. 1071-1080b. 24
Dan tanggapan lelaki tersebut atas pengalaman Rahel pada akhirnya membuat Rahel jengkel.
“Tapi anehnya suamiku nggak langsung welcome gitu. Nggak. Setelah itu memang dia kaget kan, „Hah Yang bener?? Bohong kali‟ … Udah kan,
terus beber apa hari kemudian dia telepon itu dia bilang gini, „Kamu udah
mikirkan jadi orang Kristen itu nggak enak lho. Kamu kan tahu di Indonesia itu bagaimana menjadi orang Kristen?‟ Gitu, minoritas. „Belum
lagi, kamu berpikir nggak, nanti kamu nggak dapat warisa n lho.‟
Pokoknya... harusnya kan harapanku seneng kan? R2. W3b. 1092-1110h. 25
Universitas Sumatera Utara
“Harapanku harusnya orang Kristen seneng dong? Ini nggak.” R2. W3b. 1112-1114h. 25
“Cuma aku yang jengkelnya kok nggak welcome ya? Gitu lho. Itu aja sih jengkelnya. H
arusnya seneng gitu kan?” R2. W3b. 1127-1131h. 25
Di sisi lain, di bagian keluarga, kenyataan bahwa Rahel tidak pernah lagi shalat setelah mengalami persitiwa spiritual itu tidak ditanyakan oleh orang
tuanya. Hal ini disebabkan Rahel jarang bertemu dengan sang ayah yang bekerja di perkebunan. Ayahnya hanya pulang sekali seminggu. Sedangkan di sisi lain,
Rahel tidak dekat dengan ibunya, sehingga berhentinya Rahel shalat tidak ditanyakan oleh kedua orang tuanya.
“Kebetulan waktu di Jember itu kan bapak di kebon kerjanya kan, jadi e... ketika aku nggak shalat lagi, nggak apa, nggak terlalu jadi masalah. Gitu.
Dan ketika, biasanya malam minggu gitu, biasanya kan ketemunya
sebentar juga gitu.” R2. W1b. 150-158h. 4
“Dan itu kan kamarnya kan berbeda. Jadi, biasanya shalat, kami jarang bareng. Sendiri-sendiri, gitu. Dan setelah itu aku dapat kerja. Jadi kayak
dipermudah, gitu lho.” R2. W1b. 160-164h. 4
Mengikuti Katekisasi di Surabaya
Memang tak lama berselang setelah mengalami peristiwa mistik, pada September 1995, Rahel segera pindah ke Surabaya sebab mendapat pekerjaan di
kota pahlawan itu. Rahel dicarikan tempat tinggal indekos oleh lelaki Jawa yang dikenalnya di Jember itu. Lelaki yang lebih sering disebutnya sebagai Pak Mur ini
menempatkan Rahel di rumah salah seorang temannya yang kebetulan adalah
Universitas Sumatera Utara
yang adalah seorang pengurus gereja. Hal ini pertama-tama dipilih karena rumah tersebut terletak dekat dengan tempat Rahel bekerja.
“Nah, aku kan keterima kerja di Surabaya. Pindah, terus di situ baru „Aku kosnya dimana ya?‟ gitu. Nah, kebetulan tempat kerjaku deket banget
sama temennya dia. Kantorku itu deket. Jadi jalan, nggak sampe 15 menit udah nyampe. Jadi, „Kamu mau nggak di situ tinggal?‟ Kebetulan orang
Kristen, kan gitu.” R2. W4b. 688-698b. 17
“Diceritain oleh teman lelaki Rahel. „Ada kawaku di situ. Dia orang Kristen juga.‟”
R2. W4b. 776-777h. 19 Setelah berkenalan dan menuturkan ceritanya sekilas saja bahwa Rahel
telah mempercayai Yesus, Rahel ditawarkan untuk mengikuti katekisasi oleh pemilik kos tersebut. Rahel tidak menceritakan pengalamannya secara detail dan
pemilik kos tersebut juga tidak bertanya detail. Maka, setelah itu Rahel menyetuji untuk katekisasi. Katekisasi adalah bentuk pembinaan iman mengenai kekristenan
sebelum seseorang menerima baptisan dalam gereja. “Nggak. Nggak sampe detail itu.”
R1. W4b. 828-829h. 20-21
“Kan udah tahu mereka. Artinya, waktu dikenalkan itu ya cerita, gitu lho, tapi detailnya di belakangku… mungkin mereka udah telepon gitu kan.
Tapi waktu dikenalin pastilah cerita tapi tidak detail…”
R1. W3b. 816-822h. 20 “Ya udah, akhirnya aku kenalan gitu, aku cerita juga ke bapak itu tentang
aku lihat Yesus di bulan itu. Ya terus dia nawarin katekisasi.” R2. W1b. 262-265h. 6
“Terus bapak itu bilang katekisasi. Aku ndak tahu. Hm, aku nggak tahu apa itu. Terus dikasitahu lah, mulai dikasi tahu, „Katekisasi itu ini... Biar
pengenalan akan Yesus juga makin baik.”‟ R2. W1b. 283-288h. 7
Universitas Sumatera Utara
Namun, sebelum mengikuti katekisasi, bapak pemilik kos lebih dulu menanyakan keseriusan Rahel akan keinginannya untuk mengenal Yesus. Melalui
penjelasan singkat bapak kos tersebut, saat itu Rahel mengetahui bahwa katekisasi bukan hanya jalan mengenal Yesus lebih dalam, tetapi juga merupakan jembatan
yang akan mengantarnya tiba di suatu tujuan – pembaptisan.
“Kebetulan yang punya kos ini kan majelis ya di gereja. Ya itulah, ditanya keseriusan. Kalau mau, ya udah ikut katekisasi...”
R2. W2b. 61-64h. 2 “Tahu Tahu lah, Dek. Makanya itu aku jadinya agak apa ya... agak
terpecah juga sedikit. Tapi aku langsung ikut aja katekisasinya gitu lho.” R2. W2b. 294-297h. 7
Rahel pun mengaku serius dengan keinginannya mengenal Yesus lebih dalam dan mau untuk dibaptis setelah katekisasinya selesai kelak. Ia memang
merasa terpecah karena teringat dengan orang tua yang mungkin tidak setuju dengan langkah yang akan ia pilih, namun pemikiran itu hanya terbersit sekilas.
Tidak sampai menjadi sebuah kendala yang cukup berarti karena rasa antusias yang tinggi untuk mengenal Yesus. Maka ia pun mulai mengikuti katekisasi
dibimbing oleh seorang guru yang sebelumnya juga konversi dari Islam ke Kristen. Latar belakang agama yang sama dengan guru katekisasi membuat Rahel
tidak merasa gamang serta merta memasuki agama yang belum pernah dikenalnya. Sang guru memulai pelajaran katekisasi itu dari agama yang sudah
diketahui Rahel. Maka, proses pembelajaran menjadi lebih mudah. “Waktu itu yang bimbing aku orang yang pindah dari Muslim, jadi aku
nggak terlalu kehilangan, gitu.” R2. W2b. 68-70h. 2
“Kebetulan Tuhan kirimkan Pak Bambang ini dari Muslim, jadi memang aku dipermudah ama Tuhan gitu lho, Dek ... Jadi secara ini... bisa
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bisa lebih nyambung. Tidak menjelek-jelekkan Muslim gitu. Nggak. Jadi makin adem gitu lho, De
k. ‟Ya, kita mulai berbedanya itu disini, disini,‟ gitu ya dijelasin.”
R2. Wb. 688-699h. 15
Sikap pemilik rumah indekos dan guru katekisasi yang hangat membuat Rahel merasa menemukan dua hal baru. Penerimaan dan kasih sayang. Mereka
menerima kedatangan Rahel dengan hangat dan memberi perhatian yang membuat Rahel merasa disayangi. Bagi Rahel, penerimaan dan kasih sayang ini sungguh
berarti sebab ia tidak pernah merasakannya sebelumnya. “Nah, begitu di tempat di Surabaya itu, semua welcome, gitu lho. Baik
banget mereka. Aku tidak menemukan itu waktu- waktu yang lalu.”
R2. W2b. 95-98h. 3 “Mungkin, kalau secara psikologis ya, aku tuh kan sebenarnya kehilangan
kasih orang tua ya... Jadi ketika ada orang memperhatikan aku, aku kayak... „Aku nggak pernah dapet ini.‟ Jadi, aku makin enjoy. Aku kan
kehilang itu, gitu lho. Kehilangan kasih orang tua. Aku merasa nggak deket dengan ibuku, gitu kan. Emang bukan orang tua kandung.”
R2. W2b. 70-78h. 2 Mengenai masa katekisasi sendiri, Rahel tidak mengikutinya dengan
perhatian yang fokus terhadap aneka pengajaran-pengajaran. Pendekatan Rahel terhadap proses konversinya adalah pendekatan yang lebih berpusat pada Yesus
sebagai Tuhan daripada terhadap Kristen sebagai sebuah agama. Rahel lebih terserap atensinya pada relasi transendental dengan Yesus daripada keingintahuan
terhadap agama Kristen. “Tapi jujur aja waktu itu, aku nggak konsen kesitu katekisasi, karena aku
lebih berpikir pada yang penting aku percaya dulu. Nah, seperti itu, gitu lho. Jadi walaupun diajarin, itu belum sungguh-sungguh. Cuma, aku
percaya Yesus itu Tuhan. Itu titik Gitu aja lho. Nggak ada kerinduan untuk mendalami. Ndak terbayangkan ada sekolah teologi. Itu nggak
terpikir aku. Hanya seneng doa, curhat, terus... apa namanya... ya
membaca Alkitab.” R2. W1b. 699-710h. 15
Universitas Sumatera Utara
“Jadi kalau waktu awal aku katekisasi, hanya sekilas. Aku harus jujur aku akui.”
R2. W1b. 686-687h. 15
Demikian terserapnya atensi dan ketertarikan Rahel terhadap Yesus yang baru hadir secara khusus dalam hidupnya membuat Rahel tidak begitu
mempermasalahkan ajaran Kristen tertentu yang susah untuk ia terima. Ketika belajar katekisasi itu, Rahel memang dapat menerima pelajaran-pelajaran yang
diberikan oleh guru rohaninya secara umum. Namun, ia mengaku susah untuk dapat mengerti tentang doktrin Trinitas Allah Bapa, Anak Anak, Allah Roh
Kudus. “Ya harus jujur sih, kalau aku yang paling sulit memahami itu kan tentang
Trinitas ya: Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus. Itu pasti Sulit untuk dipahami, gitu.”
R2. W3b. 1216-1222h. 27
Lantas menghadapi suatu ajaran baru dan asing yang susah untuk ia terima, bagaimana Rahel bereaksi terhadap hal itu?
“Aku waktu katekisasi harus jujur, nggak terlalu fokus aku. Di doktrinnya nggak terlalu fokus. Aku itu... jujur aja, baru fokus itu tahun 2005.”
R2. W3b. 1232-1237h. 23
“Tahu aja. He em. Tapi nggak terus „Kenapa begini?‟ Nggak kritis gitu lho.”
R2. W3b. 1243-1246h. 28
Rahel diajarkan tentang Trinitas dan ia sulit untuk mengerti itu. Namun, ia tidak mengkaji lebih dalam tentang ajaran yang sulit ia pahami tersebut. Yang
menjadi fokus perhatian Rahel pada saat itu adalah rasa sukacita yang menyala- nyala di dalam dirinya setelah pertemuannya dengan Yesus pada bulan Agustus
Universitas Sumatera Utara
1995 tersebut dan kebahagiaan yang lahir dari penerimaan hangat serta kasih sayang dari lingkungannya di Surabaya.
Rasa damai dan sukacita mendalam yang dialami Rahel ketika melihat Yesus di bulan pada Agustus 1995 itu ternyata tidak berhenti pada saat itu saja,
melainkan tetap menyisakan bekas yang berkesan di dalam hatinya dalam jangka waktu yang panjang. Perasaan tersebut seperti bara api yang tetap berpijar dan
memberi kehangatan walau api yang tadinya berkobar-kobar sudah mati. “Nah, begitulah. Kayak apa ya, kayak merinding, merinding, getar,
pokoknya apa semuanya jadi satu ketika melihat Yesus. Nah setelah itu perasaan sukacita yang tinggal.”
R2. W3b. 940-945h. 21
“He em Ke momen itu, itu terus gitu pemikiran Tapi beda ya, rasanya udah beda. Kalau pertama itu kayak... Kekmana sih? Kayak pertama
ngelihat orang yang klik itu kan seerrrr gitu ya? Itu lebih dari itulah, gitu
lho rasanya itu. Lebih dari itu Lebih Lebih lagi lah, gitu” R2. W3b. 995-1004h. 23
“Sukacita. Sukacitalah, gitu Sampe istilahnya lupa kalau boleh dibilang ya. Istilahnya ya, kalau boleh dibilang… tapi nggak lupa sih... Istilahnya
aku lupa bahwa aku itu harus ngomong ke bapakku.” R2. W3b. 953-960h. 22
Konversi atau Tidak Konversi
Ketika berada di tengah proses katekisasi, suatu pemikiran mulai menyelinap masuk ke dalam benak Rahel. Pemikiran bahwa jalan yang hendak ia
tempuh adalah jalan yang sudah pasti tidak berkenan di mata kedua orangtuanya. Sedari awal, Rahel memang mengetahui bahwa katekisasi tersebut akan
berujung pada pembaptisan yang berarti ia akan meninggalkan agama yang sebelumnya demi memeluk agama yang baru, namun pengetahuan tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
benar-benar dipikirkan oleh Rahel. Lambat tapi pasti, pengetahuan itu berhasil merayap masuk ke dalam kesadaran Rahel. Dalam hal ini, Rahel menginjakkan
kakinya pada tahap pertama proses pembuatan keputusan, yaitu Appraising the Challenge.
Dalam Appraising the Challenge, Rahel memaknai pilihan di depan matanya konversi atau tidak konversi sebagai suatu kendala. Artinya, ia tahu
konversi akan membawa dampak tersendiri namun keinginan untuk menjadi Kristen pun besar juga dalam dirinya. Rahel memang berasa diantara dua pilihan
ini tidak cukup mengganggunya. Ia berpikir bahwa pilihan ini memang berat namun dengan hati yang berkobar-kobar dengan rasa cinta pada Yesus kala itu, ia
meneruskan langkah untuk lebih condong ke pilihannya mengikut Yesus. Langkah itu pun semakin terarah kesana karena ia berpikir bahwa ia manusia dua
puluh enam tahun yang sudah bisa memutuskan apa yang terbaik baginya. Ia tidak mengalami konflik yang berarti dalam hal persimpangan jalan antara konversi
atau tidak konversi. Hatinya condong ke arah konversi. “Ya karena pasti orang tuaku nggak setuju. Pasti itu. Aku udah tahu.
Mereka pasti nggak mau. Awalnya, aku enjoy aja lah katekisasi tadi kan ... Aku suka Yesusnya tertawa. Ibaratnya aku itu kayak anak kecil, anak
kecil yang lagi seneng-senengnya main sama mainan baru gitu, Dek. Tapi lama-lama kan, mau nggak mau, aku harus kasitahu orang tuaku kan?
Nah, itu.” R2. W1b. 308-319h. 7
“Ya tertekan ya pastilah, tapi aku hanya begini pikiranku waktu itu ya... dan memang aku di Surabaya selalu mikir jangan pernah melukai orang
tua dalam bentuk omongan gitu lho. Tetap hormati mereka sebagai orang tua. Aku cuma gini, aku udah dewasa, aku udah dua puluh enam tahun,
aku berhak menentukan hidupku. Nah itu aja yang kupikirkan, Dek. Aku udah dua puluh enam tahun, aku sudah berhak apa yang harus aku
kerjakan, yang aku pilih ...” R2.W1b. 619-630h. 14
Universitas Sumatera Utara
b. Surveying Alternatives