orang-orang yang mengenalnya menganut agama yang sebelumnya, sedangkan responden kedua tidak kembali ke kampung halamannya.
Responden kedua memang pindah ke kota tempat ia pernah berkuliah namun disana ia hanya memiliki hubungan kekerabatan dengan teman-
temannya yang juga sudah tidak banyak lagi tinggal di kota tersebut karena sudah lulus, dan sikap teman-temannya yang tidak satupun
bertanya langsung membuat repsonden dua tidak menghadapi konfrontasi langsung dari orang-orang sekitarnya.
B. Diskusi
Penelitian ini diawali dengan sebuah pertanyaan bagaimana gambaran proses pembuatan keputusan pada orang yang melakukan konversi agama. Pada
akhirnya, melalui sebuah proses penelitian yang telah dilakukan, peneliti mendapati bahwa proses pembuatan keputusan melakukan konversi agama bagi
satu individu dapat menjadi sebuah proses yang cukup menguras energi psikologis. Proses yang ditandai dengan stres yang cukup berarti. Proses yang
menuntut individu untuk melakukan banyak pertimbangan serius sebelum pada akhirnya yakin untuk melepas agama A dan memeluk agama B. Namun, di sisi
lain, peneliti juga menemukan bahwa konversi adalah suatu perubahan identitas religius yang ditandai dengan satu kejadian dramatis secara mendadak yang
mengubah hidup individu dengan tiba-tiba, tidak menimbulkan stres yang sangat mengganggu, serta sangat kental diwarnai dengan pengalaman religius yang
berhubungan dengan Yang Transenden. Dua jenis konversi yang ditemukan dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini merupakan perwakilan dari apa yang disebut Hood, Hill Spilka 2009 sebagai paradigma kontemporer dan klasik dalam memahami fenomena
konversi. Dalam penelitian tentang konversi ini peneliti menggunakan teori Janis
Mann 1977 untuk mengamati proses pembuatan keputusan yang terjadi. Menurut kedua tokoh ini, setelah menyadari adanya sebuah masalah di tahapan
pertama Apprasising Challenge, individu akan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah dengan berbagai cara dan sumber yang ia miliki. Aktivitas
mencari aneka alternatif inilah yang merupakan inti dari tahap kedua Searching Alternatives. Pada kenyataannya, kedua responden, Hijrah dan Rahel, tidak
melewati tahap kedua ini. Setelah menyadari masalah mereka di tahap pertama yaitu decisional conflict antara keinginan konversi dengan penerimaan lingkungan
sosial, kedua responden segera mengarahkan dirinya untuk mencari cara-cara yang mungkin untuk mendukung keinginannya konversi. Mereka tidak membuka
diri untuk mendapatkan aneka alternatif yang memungkin, misalnya: memikirkan cara untuk tetap dapat melakukan konversi namun juga dapat tetap diterima oleh
lingkungan sosial. Maka, tidak ada pencarian alternatif bagi kedua responden. Tidak ada masa-masa, misalnya bertanya kepada orang-oran tentang bagaimana
jalan terbaik menghadapi decisional conflict seperti itu. Janis Mann 1977 menyebut bias seperti ini sebagai defective search,
yaitu pencarian alternatif yang tidak sempurna, yang cacat. Hal tersebut disebabkan oleh preconscious biases Janis Mann, 1977. Preconscious biases
adalah bias yang terjadi dalam pencarian alternatif yang disebabkan oleh emosi
Universitas Sumatera Utara
yang dominan. Menurut Janis Mann lagi, dorongan-dorongan yang berasal dari preconscious individu adalah sama dengan apa yang disebut Freud sebagai
harapan-harapan “wishes” dan dorongan-dorongan hati “impulses”. Pengaruh
harapan dan dorongan hati ini tidak disadari oleh individu ketika ia melakukan suatu perilaku, namun dapat disadari kelak ketika individu mengevaluasi
perilakunya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Zajonc 1980, 2000 bahwa manusia tidak hanya membuat keputusan dengan menggunakan kalkulasi kognitif,
namun juga sangat dipengaruhi oleh afeksi affect yang ada di dalam dirinya. Lebih lanjut lagi, Zajonc 1980, 2000 juga menyatakan bahwa proses afeksi
manusia dapat terjadi secara independen di luar dari proses kesadaran nonconscious process dan hal ini dapat mempengaruhi proses pembuatan
keputusan. Ketertarikan awal responden 1 Hijrah yang antusias akan Islam dan
perasaan responden 2 Rahel yang begitu bahagia dan damai setelah penglihatannya akan Yesus mengarahkan pencarian informasi mereka ke arah
konversi. Keduanya tidak masuk ke tahap kedua, yaitu tahap untuk mencari alternatif. Dikarena pengaruh preconscious biases ini, bagi kedua responden
alternatif dari masalah decisional conflict yang mereka hadapi di tahap pertama adalah agama yang baru dikenal, yang begitu menarik bagi mereka.
Alternatif yang menarik bagi Hijrah saat itu adalah berkenalan dan mengenal dengan lebih baik agama Islam yang sudah menarik perhatiannya. Saat
ia belajar tentang Islam, baik dari buku yang ia beli maupun bertanya dari ahli agama, tak dapat terhindarkan Hijrah melakukan perbandingan antara agama yang
Universitas Sumatera Utara
baru ia temui dengan agama yang selama ini ia peluk. Beberapa persamaan tidak menimbulkan masalah, namun banyak pula perbandingan-perbandingan yang
menimbulkan disonansi kognitif cognitive dissonance. Cognitive dissonance adalah suatu ketimpangan atau ketidakseimbangan dalam kognisi manusia ketika
misalnya ia melihat terdapat perbedaan antara apa yang selama ini sudah ia ketahui dengan apa yang baru ia ketahui Festinger, 1957. Informasi-informasi
baru tentang agama Islam yang baru diterima Rahel menimbulkan disonansi kognitif karena berbeda atau tidak sama dengan ajaran-ajaran Kristen yang ia
terima sejak kecil. Pada awal pembelajarannya Hijrah dapat menerima perbedaan disana-sini namun di akhir masa pencariannya ia mulai mendapati dirinya merasa
tidak nyaman bahkan stres karena perbedaan-perbedaan tersebut. Seperti yang dikatakan Festinger 1957 dalam bukunya yang berjudul A Theory of Cognitive
Dissonance, disonansi kognitif akan menimbulkan ketidaknyamanan psikologis yang mengarahkan individu untuk mengurangi disonansi dalam pemikiran
mereka. Individu akan berusaha mengubah pemikiran yang disonan menjadi konsonan, yang tidak seimbang disequilibrium menjadi seimbang equilibrium
karena sifat dasar manusia yang selalu berusaha mencari titik keseimbangan. Hijrah yang bingung dan merasa stres akibat disonansi kognitif tersebut
kemudian berusaha memfokuskan dirinya untuk melihat hal-hal menarik dan positif dari Islam, agama yang ingin dimasukinya. Usaha ini dilakukan Hijrah agar
stres yang timbul dari disonansi kognitif tersebut dapat berkurang. Ketika ia menghadapi perbandingan dimana ia menilai bahwa ajaran Islam kurang sesuai
dengan apa yang sebelumnya ia yakini, ia berusaha memfokuskan dirinya pada
Universitas Sumatera Utara
sisi positif dari ajaran tersebut dan menghindari perhatiannya tertuju pada kekurangsetujuannya dengan ajaran tersebut. “Ya saya berusaha memenangkan
pilihan saya dong?” begitu kata Hijrah. Menurut Janis Mann 1977, tindakan yang dilakukan Hijrah ini adalah bias dalam mempertimbangkan alternatif karena
tidak lagi melakukan pertimbangan secara objektif. Bolstering adalah usaha individu dalam mengurangi disonansi kognitif dengan cara membesar-besarkan
sisi menarik dari pilihan yang dibuat, kelebihan-kelebihan dari pilihan tersebut dipandang besar dan kekurangan-kekurangan dari pilihan tersebut dipandang kecil
Janis Mann, 1977. Bagi Hijrah sendiri, usaha mengurangi stres dengan bolstering tersebut
cukup efektif. Stres berkurang dan ini menimbulkan kelegaan. Memang, melakukan banyak pertimbangan yang tidak mudah, yang serius, yang mendalam
sebelum membuat keputusan yang tidak dapat dibatalkan, pada akhirnya memang dapat membuat individu merasa stres Janis Mann, 1977. Kedua responden
mengalami stres ketika merasakan konflik di dalam dirinya decisional conflict. Hanya saja, terdapat perbedaan intensitas stres diantara kedua responden. Hijrah
merasakan situasi stres yang lebih kental daripada Rahel. Bagaimana pengalaman stres ini berbeda diantara kedua responden dapat
dijelaskan oleh dua hal, yaitu: pertama, adanya perbedaan motif konversi dan kedua, adanya perbedaan latar belakang kehidupan beragama pada kedua
responden. Motif konversi Hijrah adalah intellectual dan Rahel adalah mystical.
Hijrah memulai konversinya berdasarkan ketertarikannya akan gaya hidup umat
Universitas Sumatera Utara
Islam yang kemudian memunculkan rasa ingin tahu untuk mendalam ajaran Islam. Motif intelektual ini mendorongnya untuk memahami Islam lebih dan lebih dalam
lagi, dan seperti yang sudah dikatakan di atas juga bahwa dalam proses pembelajarannya Hijrah mengalami disonansi kognitif. Sebenarnya hal ini tidak
mengherankan mengingat disonansi kognitif adalah fenomena umum yang dirasakan manusia dalam hidup sehari-hari, khususnya ketika mendapat informasi
baru yang berbeda secara signifikan dengan apa yang mereka yakini atau ketahui selama ini Festinger, 1957. Memang benar pula bahwa Hijrah dapat mengatasi
cognitive dissonance ini dengan cara bolstering seperti yang sudah disebutkan di atas. Namun, sumber stres Hijrah bukan hanya perbandingan intelektual yang ia
lakukan. Ada sumber stres lain, yaitu: rasa bersalah kepada Tuhan di agama sebelumnya, pertimbangan tentang penolakan lingkungan sosial yang begitu
mendalam, mimpi-mimpi yang mengganggu. Pertimbangan tentang penolakan lingkungan sosial menjadi sumber stres yang paling mengganggu bagi Hijrah
karena sebelumnya ia sudah merasakan bagaimana dijauhi oleh lingkungan tempat tinggal dan keluarganya ketika ibunya konversi. Sedangkan ibunya yang
melakukan konversi, Hijrah sudah turut menanggung dampaknya, Hijrah berpikir bahwa konversi yang ia lakukan tentu lebih berat lagi dampaknya baginya. Hijrah
menjalani masa bingung, stres, senang dengan agama baru dan umat Islam yang menerimanya selama satu tahun. September 2003 hingga September 2004.
Di sisi lain, Rahel melakukan konversi dengan motif mystical. Menurut Lonergan 1971, konversi dengan motif mystical adalah sebuah konversi yang
mirip dengan fenomena pengalaman jatuh cinta pada manusia, membuat individu
Universitas Sumatera Utara
merasakan rasa senang luar biasa yang dapat dengan mudah mereduksi segala emosi negatif. Individu merasa disentuh oleh suatu pengalaman ajaib dengan
Yang Maha Agung dan kemudian merasa terpesona, terpukau dan terkagum- kagum akan Yang Maha Agung. Tidak berhenti sampai merasa kagum saja,
konversi jenis ini juga melahirkan sukacita dan semangat yang menyala-nyala dalam diri individu. Hal ini menimbulkan keinginan yang luar biasa besar untuk
melakukan hal-hal yang sesuai dengan kehendak Yang Maha Agung. Lebih jauh lagi, menurt Hide 2004 pengalaman mistis itu seolah meninggalkan bekas yang
begitu dalam diri individu yang terus mendorongnya untuk bersatu dengan Yang Maha Agung.
Seperti yang telah disinggung di atas, Lonergan 1971 mengatakan bahwa pengalaman konversi agama sangat mirip dengan pengalaman jatuh cinta karena
dalam pengalaman tersebut individu terserap segenap totalitas dirinya pada sesuatu seperti yang dialami seseorang dalam keadaan jatuh cinta. Segenap
perasaan dan pikirannya tertumpah, tertuju, khusyuk hanya pada Tuhan. Dalam keadaan demikian, individu ingin memberikan semua hidupnya hanya agar dapat
bersama dengan Tuhan, yang ia cintai. Dalam tulisannya menginterpretasi apa yang dikemukakan oleh Lonergan, Conn 1989 mengatakan bahwa situasi
individu yang dipenuhi rasa bahagia yang begitu damai mengakibatkan individu dapat melakukan tindakan-tindakan moral yang selama ini sulit untuk ia lakukan,
dan menaklukkan aneka tantangan-tantangan hidup yang ditemui. Itulah yang dialami oleh Rahel dalam proses pembuatan keputusannya menuju konversi.
Rahel memang takut dalam menghadapi ancaman pamannya yang akan
Universitas Sumatera Utara
membunuhnya. Rahel juga merasa berat memikirkan bebannya sebagai anak tunggal pewaris kemampuan mistik ayahnya. Rahel pun memikirkan tentang
kemungkinan ayahnya kelak merasa malu di tengah lingkungan sosial karena konversinya. Namun semua pemikiran ini tidak sampai mengganggu keseharian
Rahel. Pemikiran itu datang seketika dan menghilang dengan seketika juga. Rahel tidak mengingat persis detail-detail waktu yang ia lalui dari satu pengalaman stres
ke pengalaman stres lainnya. Bagaimanapun, pada saat itu terjadi delapan tahun yang lalu, perhatian Rahel terserap hampir seluruhnya kepada rasa bahagia dan
damai yang ia nikmati baik dari hubungannya dengan umat Kristen maupun dengan Yesus. Secara garis beras, Rahel mempertimbangkan pilihannya selama
satu bulan November hingga Desember 1995. Bahwa di dalam kurun waktu satu bulan tersebut ia terkadang merasa takut dengan ancaman atau tidak enak hati
harus mengecewakan ayahnya, perasaan dan pemikiran tersebut memang ada namun tidak cukup mengganggunya.
Pengalaman konversi seseorang memang tidak dapat dilepaskan dari cerita perjalanan hidupnya sebelumnya Rambo, 1993. Di masa kanak-kanak, Rahel
sering mendapat tindak kekerasan dari ibunya dan ia melihat dirinya sebagai anak yang tidak diinginkan. Ia pun mengaku menyimpan dendam di dalam hatinya
hingga ia sudah dewasa. Kenyataan ini sejalan dengan hasil penelitian metanalisis yang dilakukan Granqvist Kirkpatrick 2004, yaitu individu yang mengalami
konversi mistikal, pada umumnya memiliki sejarah attachment yang tidak aman unsecure dengan orang tua mereka. Selanjutnya, ketika Rahel mengenal orang-
orang Kristen yang menerimanya dengan hangat dan terbuka, ia merasa dilimpahi
Universitas Sumatera Utara
dengan kebutuhan kasih sayang yang selama ini tidak pernah ia dapatkan. Konsekuensinya dalam hal pengambilan keputusan konversi, hal ini berpengaruh
pada kadar beban yang dirasakan Rahel ketika ia terpaksa harus berbeda jalan dengan orang tuanya. Sementara tentang Hijrah, sebelum pindah ke Aceh dan
mengenal Islam, Hijrah sudah lebih dahulu mengenal Islam dari ibunya sendiri, bahkan sudah tertarik mengenakan jilbab ketika melihat ibunya mengenakan
jilbab. Hijrah juga sudah jauh dari gereja sebelum ia pindah ke Aceh karena orang-orang dalam komunitas gereja sendiri sudah tidak merangkulnya karena
kondisi ibunya. Bagaimanapun kenyataan tersebut memberikan pengaruh terhadap proses yang dijalani Hijrah dalam pembuatan keputusan konversi. Kembali seperti
dikatakan Rambo 1993 berulang-ulang sepanjang tulisannya di buku Understanding Religious Conversion, sebuah konversi agama bukanlah peristiwa
mistik yang terjadi begitu saja terlepas dari kisah perjalanan kehidupan seseorang, namun sebuah peristiwa hidup yang tak dapat terlepas dari konteks lingkungan
sosial dan riwayat individu tersebut. Yang menarik kemudian adalah dalam keterangannya akan tahap keempat
Deliberating about Commitment, Janis Mann 1977 menyatakan individu akan mempertimbangkan tentang pelaksanaan implementing keputusan yang
hendak ia lakukan. Kata implementing memiliki terjemahan “implementasi” di
dalam bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008, kata ini memiliki arti “pelaksanaan” dan “penerapan”. Dalam konversi agama,
pelaksanaan atau penerapan ditandai dengan suatu ritual khusus yang menunjukkan bahwa konversi telah terjadi secara sah Rambo, 1993, misalnya
Universitas Sumatera Utara
dengang adanya pengucapan dua kalimat syahadat bagi individu yang konversi ke Islam atau adanya baptisan bagi individu yang konversi ke Kristen. Ritual
commitment rituals menjadi sebuah tanda kuat dan jaminan sah bahwa konversi telah terjadi. Menariknya, bagi Rahel ritual ini tidak penting.
Rahel tidak melihat ritual sebagai sebuah tanda atau simbol penting. Baginya pribadi, isi hatinya yang sudah tertambat pada Yesus sudah cukup untuk
membuktikan bahwa ia telah konversi. Sedangkan bagi Hijrah, ritual pengucapan dua kalimat syahadat merupakan hal penting yang setelah melakukannya ia
merasa begitu lega karena ritual tersebut dipandang sebagai tanda sah akan identitasnya yang baru dan sekaligus sebagai jawaban akan hatinya yang mendua
sebelumnya, ke Kristen dan ke Islam. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Rambo 1993 bahwa tidak memihak kemanapun adalah suatu situasi yang
menyiksa individu. Pada akhirnya ia harus memihak. Ia harus membuat keputusan.
Keputusan dibuat, maka waktu untuk menuai reaksi pun tiba. Hijrah dan Rahel memiliki cara masing-masing untuk mengatasi reaksi yang datang. Hijrah
bersikap berani menjawab pertanyaan gurunya tentang konversi yang telah ia lakukan dengan penuh pertimbangan. Ia juga mengenakan jilbab yang menjadi
tanda identitasnya yang sangat jelas. Di sisi lain, Rahel tidak memberitahu bahwa ia sudah resmi melakukan konversi ketika kedua orang tua dan keluarganya masih
membujuknya untuk tidak berganti keyakinan. Terhadap reaksi temannya, Rahel tidak terkejut karena seperti yang dikatakan Janis Mann 1977, individu akan
dapat menghadapi aneka reaksi yang hadir dari sebuah keputusan yang ia buat
Universitas Sumatera Utara
apabila sebelumnya ia telah diberi gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan reaksi tersebut.
Hal menarik lainnya dari penelitian ini adalah kedua responden sama-sama enggan untuk membandingkan agamanya yang terdahulu dengan yang kemudian
dianutnya. Hijrah cenderung mencari harmoni dari perbedaan-perbedaan yang ada. Kalaupun ada perbedaan diantara kedua agama yang ia pelajari, Hijrah
melihatnya sebagai dua hal yang berbeda. Jika ia dapat mengharmonisasikannya, ia lakukan. Namun jika tidak, ia memandang bahwa memang begitulah setiap
agama memilki hal-hal yang tidak dapat dimegerti sepenuhnya oleh akal sehat.. Di sisi lain, Rahel menyatakan pemikiran yang hampir sama. Ia berkata agama tidak
dapat dibandingkan, karena pasti berbeda sekali. Tidak logis untuk membandingkan agama, begitu pandangan Rahel. Berbeda dengan Hijrah yang
berusaha mengharmonisasikan agama terdahulu dengan yang sekarang dianutnya, Rahel tidak melakukan usaha harmonisasi. Mengapa? Karena Hijrah memang
melakukan pembelajaran pribadi tentang kedua agama tersebut, sedangkan Rahel hanya berfokus pada agama yang ia anut sekarang. Rahel yang memang tidak
banyak diajarkan tentang doktrin pada masa kecilnya, sekarang pun tidak banyak melakukan perbandingan ajaran kedua agama. Ia berfokus pada usaha lebih
mendalami agama yang telah dianutnya. Menurut Festinger 1957 perilaku tidak membanding-bandingkan agama pada kedua responden ini merupakan kebutuhan
dasar manusia untuk menghindari diri disonansi kognitif. Pada dasarnya manusia tidak suka dengan beban disonansi kognitif dan selalu mencari ke arah pemikiran-
pemikiran yang konsonan, yang sejalan, yang harmonis.
Universitas Sumatera Utara
Di bagian akhir dari diskusi ini pembaca bisa saja berpikir bahwa responden yang satu membuat keputusan secara lebih tepat dan objektif daripada
responden yang satu lagi. Namun, seperti yang sudah dituliskan di bab 1 bahwa tujuan penelitian ini diadakan adalah untuk melihat proses yang terjadi. Maka, bila
terdapat perbedaan antar dua responden hal tersebut tidak perlu dilihat dengan kacamata “ini lebih tepat daripada itu”. Setiap individu, dengan konteks
kehidupannya masing-masing, memiliki makna yang berbeda akan sesuatu yang disebut “tepat”. Hijrah dengan cerita perjalanan hidupnya, dengan kondisi dan
situasi yang ia hadapi di masa remajanya, dengan situasi lingkungan di Aceh, dengan kepribadiannya yang detail, memiliki cara pembuatan keputusannya
sendiri. Demikian pula dengan Rahel. Rahel dengan cerita hidupnya sebagai anak yang diadopsi dan mengalami kekerasan dari ibunya sewatu kecil, dengan latar
belakang budaya Jawa, dengan pengalaman mistik yang membekas baginya, dengan kepribadiannya yang unik, memiliki cara pembuatan keputusannya sendiri
juga. Begitulah adanya. “Begitulah adanya” adalah dasar dari teori Janis Mann 1977. Mengawali penjelasan tentang teorinya, Janis Mann menandaskan
bahwa teori mereka bukanlah teori prescription teori yang menunjukkan apa yang harus dilakukan orang -
“should do” seperti yang dikemukakan tokoh- tokoh sebelum mereka. Teori mereka adalah teori description teori yang
bertujuan untuk memaparkan bagaimana orang membuat keputusan pada kenyataannya -
“actually do”. Hal ini jugalah yang menjadi nafas dari sebuah pendekatan penelitian yang dikenal dengan pendekatan kualitatif.
Universitas Sumatera Utara
C. Saran