Deliberating about Commitment Tahapan Pembuatan Keputusan Rahel

sebuah peneguhan bagi Rahel untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu memberitahu keinginannya secara langsung kepada orangtuanya. “Terus... terus aku juga lama-lama mikir lah ya matang-matang. Waktu itu umurku dua lima. Aku pikir, gimanapun memang ya orangtua itu penting. Penting lah bagi kita. Orang tua, gimana pun ya pasti penting, gitu. Tapi ini kan juga hidupku, gitu lho Dek. Aku merasa, aku merasa... berhak untuk menentukan jalan hidupku. Gitu... Jadi ya, aku kuat-kuatin diri ajalah waktu itu untuk bilang ke bapak ibu. Udah persiapan lah ya dari Surabaya nya. Udah, udah apa namanya... udah kupikir matang juga sih.” R2. W1b. 376-388h. 9

d. Deliberating about Commitment

Tahap keempat dalam pengambilan keputusan adalah tahap ketika individu mempertimbangkan untuk mengambil sebuah keputusan, tahap dimana individu memutuskan untuk membuat komitmen terhadap pilihannya. Di tahap ini, akan dijabarkan hal-hal yang dialami Rahel sebelum membuat komitmen konversi ke Kristen dan hal-hal yang terjadi sesaat setelah pembuatan keputusan tersebut. Ingin Memberitahu Orangtua Pemikiran Rahel untuk memberitahu orangtuanya tentang keinginan konversinya sesungguhnya tidak lahir karena ia mengikuti katekisasi dan sudah semakin dekat ke titik baptisan. Rahel memberitahu karena dua alasan yaitu: pertama ia tidak ingin berbohong tentang apa yang terjadi dalam dirinya, kedua karena situasi kala itu ia akan menikah dengan Pak Mur. “Nggak mungkin kan saya bohong, gitu. „Kenapa nggak shalat?‟ Misalnya saya mens atau apa. Untuk apa saya jadi orang Kristen kan kalau toh saya Universitas Sumatera Utara bohong juga? Nggak ada bedanya dong, gitu. Nah, disitu „Aku harus ngomong nih,‟ cuma nggak ngerti „aku momennya apa ya ngomong?‟” R2. W3b. 288-299h. 7 “Aku nggak mau bohong, gitu, karena akan banyak kebohongan kalau aku nggak bilang. Ada Idul Adha, ada Idul Fitri, iya kan?” R2. W3b. 382-389h. 9 Selain tidak ingin berbohong kepada orangtuanya, Rahel juga memiliki alasan yang lain, yaitu hubungannya dengan lelaki yang dekat dengannya pada saat itu. Setelah pindah ke Surabaya untuk bekerja, hubungan Rahel dengan orangtuanya di Jember otomatis merenggang. Bukan dikarenakan ketertarikannya akan agama yang berbeda dengan kedua orangtuanya, melainkan karena semakin jarang bertemu. Masalah jarak semata. Sedangkan di sisi lain, hubungannya dengan kekasihnya semakin dekat karena mereka berada di kota yang sama, Surabaya. Awalnya, seperti yang telah dipaparkan di bagian terdahulu, Rahel memang tidak tertarik dengan Pak Mur, namun lama-kelamaan karena memang setelah pindah ke Surabaya Rahel sudah jauh dengan teman-teman lelakinya dan satu-satunya yang paling dekat dengannya adalah Pak Mur yang rutin mengunjungi dan mempertahankan komunikasi dengannya, pelan-pelan hati Rahel mulai menerima Pak Mur, walau Rahel tidak jatuh cinta cukup mendalam. Mereka sering pergi ke sana kemari berdua, khususnya bila Rahel harus tugas ke luar kota, Pak Mur lah yang mengantarkannya. “Sementara hubungan saya dengan orangtua agak renggang pada waktu itu karena saya mulai deket dengan suami Pak Mur … Nah itulah saya mulai berpikir saya nggak bisa ke sana ke mari dengan… tunangan bukan gitu kan, suami bukan gitu. Nah disitulah saya mulai berpikir „Bagaimana aku ngomong bahwa aku tuh sudah sudah bukan... bukan Muslimah lagi, bahwa aku orang Kristen yang percaya kepad a Kristus?‟ Nah disitu mulai... karena aku nggak mungkin ke sana sini dianter laki-laki ini Universitas Sumatera Utara sementara statusnya nggak jelas. Jadi awalnya dari situ. Bukan katekisasinya ya.” R2. W3h. 308-332h. 7-8 “Nah tapi, sebelum bilang tentang pernikahan aku kan harus bilang siapa diriku sekarang, gitu lho. Siapa? Aku siapa sekarang? Sebelum masuk ke pernikahan itu yang harus aku bereskan. Secara pribadi, itu beban pribadiku, gitu lho.” R1. W3b. 1344-1353h. 8 “Bukan karena „Ayo menikah kamu harus ngomong.‟ Nggak.. tidak ada. Saya termasuk orang yang independen ya, artinya nggak bisa orang nekan aku, gitu lho, Dek. Aku tipenya seperti itu ya. Aku nggak terlalu bawel orangnya, nggak terlalu ekstrovertnya, nggak terlalu gitu ya... tapi bisa juga begitu, tapi aku juga bukan orang yang gampang ditekan, gitu lho. Aku orangnya gitu.” R1. W3b. 1357-1371h. 9 Karena hubungan Rahel dengan calon suaminya juga sudah semakin dekat dan Rahel berpikir suaminya memiliki karakter yang cukup baik untuk menjadi suami, maka Rahel berpikir ke arah pernikahan dan hal tersebut tentu perlu diberitahu kepada orangtuanya. Namun, sebelum menyampaikan niat hati ingin berkeluarga, ia memandang penting bahwa terebih dahulu ia harus menjelakan tentang identitas dirinya sendiri. Identitas dirinya yang mempercayai agama yang berbeda dengan yang dulu. Namun, menurut Rahel alasan terbesarnya adalah karena ia tidak ingin bohong kepada orangtuanya. “Tapi aku lebih nggak mau bohongnya.” R2. W3b. 543-544h. 13 “Nah, saya nggak mau. Apapun akibatnya, saya nggak boleh bohong, apalagi ini masalah iman, gitu lho Saya nggak mau munafik di hadapan orangtua, saya harus katakan apapun itu. Nah, pergumulan itulah, bagaimana saya harus mengatakan itulah baru... baru terpikir gitu lho.” R2. W3b. 252-263h. 6 “Momen apa saya mengatakan ini, gitu lho. Saya nggak ngerti harus... harus mulai dari mana.” R2. W3b. 265-268h. 7 Universitas Sumatera Utara Memberitahu Orangtua dan Diusir dari Rumah Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Rahel pun pulang ke rumahnya di Jember untuk berkumpul dalam momen Idul Fitri. Sebelumnya ketika ia masih berada di Surabaya, ia mencari-cari kesempatan yang tepat untuk mengungkapkan kepercayaannya yang baru. Idul Fitri diharapkan dapat sebagai momen yang tepat, namun itu hanya sebatas sebagai sebuah harapan. Bukan sebagai sebuah rencana yang memang sudah diatur dan harus dijalankan. Rahel mencari situasi yang dirasa tepat. Berikut penuturan Rahel. “Aku waktu itu nggak berencana ya mau bilang, dalam arti secara khusus gitu nggak. Cuma karena kebetula n menstruasi, „Nah, ini kayaknya kesempatan,‟ gitu.” R2. W3b. 602-608h. 14 “Itu harapan Harapannya aku bisa ngomong, gitu lho. Artinya sedang menunggu momen gitu lho. Tapi kalau memang ini... ini... udah siap, gitu lho. Udah siap untuk ngomong, dalam arti begitu momennya klik, aku harus ngomong. Tinggal menunggu pas itu atau nggak ya, gitu lho. Harapan ya. Harapan… Tapi ya ternyata itu terjadi, gitu lho.” R2. W3b. 624-634h. 14-15 Rahel merasa bahwa situasi pagi itu memang mendukung dia untuk berbicara terus terang, disamping juga karena ia merasa tidak dapat menyimpan keyakinan yang sudah berbeda itu lebih lama lagi. Memang Rahel tidak berbohong dalam arti mengatakan sesuatu yang tidak benar, namun baginya ia tetap tidak jujur karena tidak menyatakan yang sebenarnya. Maka, setelah shalat Ied di pagi hari, Rahel memberanikan dirinya untuk berbicara. Adapun perasaan yang dirasakan Rahel sebelum berbicara adalah gelisah. Ia gelisah untuk memberitahu sesuatu yang ia tahu pasti akan mengejutkan kedua orangtuanya. Tidak ada perasaan takut yang ia alami karena berkeyakinan bahwa Universitas Sumatera Utara Tuhan akan menolongnya, dan ia mengaku siap untuk menerima resiko yang mungkin akan terjadi. “Gelisah pasti ya. Gelisah.” R2. W3b. 659h. 15 “Takut? Bukan. Gimana ya, Dek ya. Campur baur lah. Maksudku gini lho. Bukan takut... aku takut ngomong gitu, nggak Karena aku berpikir gini lho: Kalau aku percaya kepada Tuhan yang benar, pasti Tuhan itu tolong aku, gitu lho. Cuma apa sih namanya... tatak sih, Dek.” R2. W3b. 661-671h. 15 “Tatak itu e apa ya... Kalau, kalau orang Jawa tatak itu... siap gitu lho. Siap... bahkan kemungkinan terburuk entah aku dipukul entah apa itu, aku sudah mikir juga sih.” R2. W3b. 674-680h. 15-16 Rahel juga mengaku tidak banyak meragu untuk menyatakan dirinya karena tidak ingin menutupi apa yang sebenarnya. “Ya aku harus ngomong, aku nggak bisa bohong terlalu lama, gitu.” R2. W3b. 691-694h. 16 Detik-detik menjelang pernyataan tersebut, Rahel tak lupa mendoakan ibunya, yang ia kawatirkan dapat mendadak sakit parah karena penyampaian keinginannya. Tentang sang ayah, Rahel tidak mendoakannya karena berpikir bahwa ayahnya adalah orang yang berhikmat, yang akan bersikap cukup bijak menanggapi hal yang akan ia utarakan. “Jadi aku nggak doakan Bapak khusus, doakan Ibu karena Ibu itu kan bronkitis jantung, macem-macem lah. Ibu ini komplikasi gitu. Yang kudoakan Ibu, supaya kalau aku bilang jangan sampai ibuku meninggal atau apa gitu kan. Pasti nanti resikonya lebih berat. Lupa aku nggak doakan Bapak, karena Bapak ini kuanggap orang yang bijak. Di pandanganku ini Bapak ini adalah luar biasa, punya hikmat yang luarbiasa. Kalaupun berat, paling awal aja gitu, walaupun aku tahu ya, aku tetep tahu pastilah hati kecilnya kecewa.” R2. W1b. 431-444h. 10 Universitas Sumatera Utara Pagi itu, sepulang shalat Ied, Rahel pun menyampaikan keinginan hatinya untuk konversi ke Kristen. Namun, belum selesai berbicara, ibunya sudah bereaksi emosional dengan marah-marah dan ayahnya pingsan seketika. “Waktu itu kebetulan keluarga nggak ngumpul. Hanya kami. Cuma bertiga. Jadi aku bilang, „Bapak, Ibu, aku harus ngomong. Mungkin ini sakit... tapi aku juga nggak bisa bohong‟. „Apa itu?‟ gitu kan. „Ya, aku percaya kalau Yesus itu Tuhan.‟ Baru ngomong kek gitu, ibu emosi bapak lemas. Lemas...” R2.W1b. 448-456h. 10 “Nah, jadi waktu habis shalat Ied itu aku bilang, yang pingsan Bapak...” R2. W1b. 444-446h. 10 “Ya emosi lah ibu. Emosi. „Anak nggak tahu diri‟, apalah... Pokoknya emosi lah, emosi. Semua lah.. Ya marah... Gitu.” R2. W1b. 512-514h. 11 Pingsannya sang ayah tidak berlangsung lama. Hanya sesaat. Ketika sudah sadar lagi, ayah Rahel tidak berkata-kata panjang lebar, tapi dengan lugas dan tegas mengusir Rahel dari rumah. Kalimatnya singkat namun menunjukkan sikap yang jelas. “Langsung, begitu bapak udah bugar lagi, „Pergi kamu dari rumah‟ Diusir” R2. W1b. 456-458h 10 “Iya, nggak banyak omong tapi langsung „Pergi kamu dari rumah Jangan... jangan nampak aku lagi‟ Kalau Ibu ngomel... we we wa we... „Gimana kalau Bapakmu ini mati?‟ Itulah.” R2. W1b. 517-521h. 11-12 Adanya kekecewaan atau amarah dari orangtua menanggapi keinginan konversinya memang sudah diduga oleh Rahel, namun diusir dari rumah bukanlah sebuah pemikiran yang pernah terlintas sebelumnya. Walau merasa terkejut harus pergi dari rumah tempat ia dibesarkan sejak kecil, Rahel merasa tidak menyesal sudah memberitahukan keinginan itu kepada ayahnya. Universitas Sumatera Utara “Nyesel nggak, cuma agak kaget aku sama Bapak. Udah tahu sebenarnya, kan, kalau Bapak bakal marah, gitu. Tapi ya, pas lihat langsung, ya kaget juga aku. Cuma memang aku nggak nyesel gitu ya. Kan aku pikir mateng- mateng, Dek.” R2. W1b. 472-477h. 11 Dalam situasi tegang seperti itu, Rahel tidak memberikan argumen apapun untuk mencoba membuat kedua orangtuanya mengerti akan pilihannya. Baginya, dalam keadaan sedemikian, mencoba memberi pengertian sebaik apapun adalah sebuah kesia-siaan. Tidak akan didengarkan, karena emosi yang ada masih terlalu pekat menutupi jalan pikiran. Maka, Rahel memilih menuruti perintah ayahnya untuk pergi dari rumah pada saat itu juga. “Nurut aku, Dek. Nggak bantah. Karena prinsipku gini, kalau Bapak emosi aku omong apapun nggak akan pernah didengar. Jadi aku turutin aja. Ya pamit aku „Iya lah, Pak, aku pergi ya...‟ Pergi aku.” R2. W1b. 506-510h. 11 “Ndak. Ndak, karena kan aku orangnya diemmm kalau dimarahi, gitu lho.” R2. W3b. 777-784h. 18 “Maksudnya gini lho: masalah iman itu nggak bisa diperdebatkan, Dek. Apapun yang aku bilang, pasti aku salah di hadapan orangtua. Jadi aku lebih bagus diam, dan aku bisa mengerti kenapa mereka marah. Mungkin kalau posisiku seperti mereka aku juga akan seperti mereka. Setiap orangtua yang anaknya berbalik itu pasti begitu. Aku menyadari itu, gitu lho.” R2. W3b. 786-800h. 18 “Aku prinsipku gini lho: kalau aku punya sesuatu yang baru itu harus lebih bagus dari yang lama. Kalau nggak lebih bagus untuk apa, gitu lho. Nah konsep bahwa menghormati orangtua itu tetap harus aku pegang. Orangtuaku itu tetap harus aku hormati. Apapun dia. Aku itu, aku pegang sam pe sekarang gitu.” R2. W3b. 807-819h. 19 Menghormati orangtua adalah hal yang sudah kuat tertanam di benak Rahel sejak kecil. Dan, hal tersebut masih ia pertahankan hingga kini. Namun, ia Universitas Sumatera Utara menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi daripada orangtua yang ia kasihi, yang harus ia taati. “Tapi di atas orangtua itu ada Tuhan. Aku harus tunduk kepada Tuhan.” R2. W3b. 822-824h. 19 “Ndak, ndak ada guna ngomong apapun, justru akan melukai mereka Aku gitu sih. Aku percaya kepada Kristus itu bukan berarti terus aku nggak mencintai orangtuaku. Ndak” R2. W3b. 865-872 h. 20 Melakukan Konversi Agama ke Kristen Rahel pun kembali ke Surabaya. Kembali melanjutkan hidupnya dengan bekerja dan mengikuti pelajaran katekisasinya. Sebulan kemudian, Maret 1996, ia mengakhiri pelajaran katekisasinya untuk melangkah selanjutnya ke anak tangga yang lebih tinggi lagi, yaitu pembaptisan. Pembaptisan adalah sebuah upacara penerimaan seseorang menjadi umat Kristen secara sah di mata gereja. Setelah diusir dari Jember lantas pulang ke Surabaya, Rahel sempat sedikit takut dengan ancaman yang kemudian datang dari salah seorang pamannya. Tidak tanggung-tanggung, ancaman yang Rahel terima adalah ancaman pembunuhan. Pamannya mengancam akan membunuh Rahel bila konversi yang akan Rahel lakukan dapat mengakibatkan sang ibu meninggal dunia. “Ya gimana ya.. Oomku bilang, „Kalau sampe ibumu ini meninggal karena kamu pindah, kamu aku bunuh‟ Padahal Omku ini Katolik. Gitu. Sempet sih ada ancaman itu.” R2. W2b. 179-183h. 4 Menariknya, ancaman ini tidak lantas menghambat langkah Rahel untuk semakin mendekati titik pembaptisan. Memang, ia akui bahwa ancaman ini membuatnya berpikir bahwa ada kemungkinan pihak saudaranya akan Universitas Sumatera Utara membunuhnya. Pemikiran ini, jelas, menimbulkan rasa takut dalam dirinya. Namun, perasan takut itu tidak berlama-lama hadir menemaninya. “Ya gimana ya, nanti ada saudara yang bunuh aku. Ya ada sih rasa takut” R2. W2b. 176-177h. 4 “Sementara ada satu oomku yang beragama Katolik itu justru ngancam aku, gitu lho ... Tapi aku semakin mantap gitu. Semakin mantap gitu Kayak kubilang tadi ya, itu cuma awalnya aja yang berat. Iya, cuma langkah pertama untuk berani ngomong ke orang tua itu aja yang susah. Sesudah itu ndak tuh. Apa ya... emmm... keyakinanku kepada Yesus itu tidak dipengaruhi oleh seburuk apapun gitu lho, Dek. Gimana ya? Perasaanku, aku nyaman bangetttt gitu lho” R2. W1b. 862-879h. 19 Rahel yang menerima ancaman akan dibunuh itu justru adalah Rahel yang, dengan ancaman itu, merasa semakin mantap untuk terus berjalan menuju titik pembuatan keputusan. Perasaan nyaman yang teramat sangat dalam pengenalannya akan Yesus menutupi aneka tantangan yang sempat merisaukan, membebani dan menakutinya sebelumnya. Akhirnya, ia pun merasa sudah siap mewujudkan keinginannya untuk melakukan konversi agama melalui sebuah upacara pembaptisan. Dalam hal ini, Rahel menapaki tahap keempat dalam proses pembuatan keputusan, yaitu Deliberating about Commitment. “Seingatku aku mantep, Dek Mantep ya” R2. W1b. 862h. 19 Secara umum, upacara baptisan memang diharapkan untuk dihadiri oleh pihak keluarga. Namun karena Rahel ditentang oleh orangtuanya, bahkan sudah diusir dari rumah, maka adalah sebuah kemustahilan mengharapkan kedua orang tuanya menghadiri pembaptisan itu. Rahel meminta seorang bibinya datang untuk menjadi saksi pembaptisannya. Universitas Sumatera Utara “Nggak lah, Dek. Nggak ngundang bapak ibu. Bude aja yang kukasitahu.” R2. W1b. 907-908h. 20 “Waktu baptis itu keluargaku yang datang hanya satu - budeku.” R2. W1b. 863-864h. 19 Pemilihan ini bukan dilakukan Rahel tanpa pertimbangan. Bibi yang satu ini dipilih oleh Rahel sebagai saksi pembaptisannya karena dua alasan. Pertama, sang bibi adalah pihak keluarga yang paling dekat dengan Rahel secara geografis. Bibi tersebut tinggal di kota yang sama juga dengan Rahel, Surabaya, sehingga lebih efisien. Kedua, karena bibi ini berbeda dengan bibi Rahel yang lainnya. Rahel memiliki dua orang bibi. Bibi yang satu lagi berada di Bali dan sudah memberi tentangan terhadap keinginan konversi Rahel. Sedangkan bibi yang tinggal di Surabaya ini bersikap lebih positif terhadap keinginan konversi Rahel. Ketiga, bibi ini beragama Kristen juga, sehingga menimbulkan rasa yang lebih nyaman bagi Rahel, yang juga melakukan konversi ke Kristen. “Karena budeku kan cuma dua sama yang di Bali aja. Kebetulan budeku yang aku undang itu kan di Surabaya. Yang di Bali kan udah ngancam duluan. Cuma bude aja yang apa... yang diem gitu lho, nggak bereaksi apa- apa. Satu kota lagi.” R2. W1b. 918-923h. 20 “Budeku itu kebetulan dia... dari garis ibuku dia yang Kristen.” R2. W1b. 864-866h. 19 Tidak Memberitahu Orangtua tentang Konversi yang Terjadi Sebulan kemudian, setelah resmi dibaptis, Rahel pulang kembali ke rumah orang tuanya di Jember. Sebelumnya, seperti yang sudah dipaparkan di atas, Rahel telah diusir dari rumah itu. Namun, didorong oleh rasa rindu kepada sang ayah tercinta yang dipandangnya sebagai orang yang bijaksana, Rahel kembali Universitas Sumatera Utara menginjakkan kaki di rumahnya. Tentu saja, keluarganya tidak menyambut positif kedatangan Rahel. Ayahnya diam saja, tanpa menegur Rahel. “Iyalah, Dek, kangen pastilah. Apa ya... Aku waktu itu melihat bapakku ini nggak ada duanya gitu lho, Dek. Bapakku ini figur yang bijak banget. Bijak banget... Orang tua terbaik menurutku. Apapun alasannya kan, aku dan beliau kan cuma beda keyakinan saja kepada Tuhan gitu lho, jadi nggak ada alasan lain untuk berpisah secara psikologis gitu. Tetep dia orang tuaku.” R2. W1b. 644-652h. 14 “Bapak diam. Bapak diam gitu.” R2. W1b. 531h. 12 Rahel tidak diterima dengan baik oleh orang tuanya, seperti yang sudah diprediksi. Kali ini, kedua orang tua Rahel tidak lagi berbicara padanya perihal larangan untuk konversi agama. Mereka menyerahkan masalah tersebut pada orang tua kandung Rahel, yang rumahnya terletak tidak jauh dari rumah Rahel. Maka, setiap pulang ke Jember untuk melepas rindu pada ayahnya, Rahel dipertemukan dengan kedua orang tua kandungnya. Rahel mengenang pertemuan itu sebagai sebuah penyidangan. Artinya, saat itu Rahel dikelilingi oleh orang tua kandung dan orang tua angkatnya, lalu ayah kandungnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan larangan-larangan dalam rangka mencegah Rahel melakukan konversi ke Kristen. Keadaan seperti ini terjadi setiap kali Rahel pulang ke Jember. “Paling aku pulang sebentar... Kalau nggak memungkinkan, aku pulang lagi ke Surabaya. Sejak saat itu... karena rumah kami yang di Jember itu deket dengan bapak kandungku kan, akhirnya diserahkan ke bapak kandungku dalam arti bapak kandungku yang bicara sekarang. Jadi, setiap kali aku pulang, didoktrin gitu lho, „Kamu akan masuk neraka. Tidak nurut sama orang tua.‟ begini begini begini... Jadi, oomku tidak lagi bicara, tanteku nggak bicara, jadi bapak kandungku yang bicara. „Siapa yang bikin kamu begini?‟ macem-macem...” R2. W1b. 848-861h. 12 Universitas Sumatera Utara “Jadi, baru datang langsung didudukkan we we we... Nanti bilangnya „Diem aja kamu‟ Wa wa wa, „Ngomong kamu‟” R2. W1b. 564-567h. 12 “Oh iya Dek, tiap-tiap pulang begitu.” R2. W1b. 640h. 14 Mereka tidak tahu bahwa Rahel sebenarnya sudah dibaptis, sudah melakukan konversi. Rahel tidak memberitahu mereka tentang konversi yang sudah ia langsungkan. Rahel membiarkan mereka berpikir bahwa Rahel belum melakukan konversi, bahwa Rahel masih berada dalam tahap berkeinginan saja untuk konversi. “Ya pertimbanganku itu nggak penting lagi sih. Maksudnya gini, kan aku waktu itu udah ngomong bahwa umurku udah dua lima. Aku sudah punya hak untuk menentukan pilihan hidupku. Aku jelasin begitu, dan aku memutuskan ini bukan tidak menghormati, tapi itulah yang kuinginkan. Itulah yang kuingkan, kurindukan, jadi nggak ada seorang pun yang bisa membuat aku itu nggak melakukan itu. Pas hari raya itulah aku bilang seperti itu. Nah, ketika hari raya aku udah ngomong, nggak penting lagi aku udah baptis apa nggak aku ngomong. Hal yang penting kan sudah kubilang. Baptis itu kan tanda. Hanya suatu tanda kan? Yang penting kan hati, kan gitu. Nggak dibaptis pun kalau memang hati kita memang milik Yesus, kan nggak ngaruh, gitu kan. Menurut aku, nggak penting lagi aku bilang. Gitu.” R2. W2b. 275-295h. 6 -7 Bagi Rahel, hal utama dalam pembuatan keputusan melakukan konversi agama bukanlah tentang pengejawantahan keinginan konversi tersebut pada sebuah ritual resmi pembaptisan. Pembaptisan dilihatnya hanya sebuah simbol dari hatinya yang sudah tertambat ke Kristen. Karena berpikiran begitu, Rahel tidak merasa perlu menjelaskan kepada pihak keluarganya bahwa ia sudah dibaptis. Bagi Rahel, tidak dibaptis pun, kalau hatinya memang sudah berlabuh ke iman akan Yesus, iman itu sudah cukup kuat untuk menandakan bahwa ia telah berubah keyakinan. Universitas Sumatera Utara “Nggak. Itu tadi sih, Dek, yang terpenting kan aku sudah bilang bahwa aku percaya Yesus, caranya bagaimana kan nggak penting, gitu lho. Menurut aku ya. Jadi aku udah mengatakan hal yang terpenting bahwa aku ingin mengikut Yesus. Apakah aku dibaptis atau nggak, itu kan nggak ada pengaruhnya. Kan gitu.” R2. W2b. 302-309h. 7 Menghadapi keadaan penyidangan keluarga tersebut, Rahel diam saja. Ia tidak berusaha memberikan penjelasan tentang keinginan hatinya untuk konversi. Ia tidak memberi argumen ketika dikatakan bahwa ia tidak taat kepada orang tua. Ia memilih diam saja karena berpikir bahwa apapun yang coba ia jelaskan tidak akan diterima oleh pihak keluarganya. Mencoba berargumen atau memberi penjelasan pada saat itu dilihat hanya sebagai sebuah usaha menjaring angin. Sia- sia belaka. “Aku diem aja. Karena itu tadi, apapun aku bicara pasti tetep salah. Jadi aku diem.” R2. W1b. 570-571h. 13 Mendapat perlakuan seperti itu dari keluarga, tidak bisa dipungkiri Rahel juga merasa tidak nyaman. Ia mengaku tertekan dengan perlakuan keluarganya yang menempatkannya dalam posisi seperti terdakwa tiap kali ia pulang ke Jember. Namun hal ini tidak menjadi sebuah kendala berarti bagi Rahel karena ia memiliki sebuah keyakinan bahwa apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang memang menjadi haknya sebagai orang dewasa yang telah berumur dua puluh enam tahun. “Ya tertekan ya pastilah, tapi aku hanya begini pikiranku waktu itu ya... dan memang aku di Surabaya selalu mikir jangan pernah melukai orang tua dalam bentuk omongan gitu lho. Tetap hormati mereka sebagai orang tua. Aku cuma gini, aku udah dewasa, aku udah dua puluh enam tahun, aku berhak menentukan hidupku. Nah itu aja yang kupikirkan, Dek. Aku udah dua puluh enam tahun, aku sudah berhak apa yang harus aku kerjakan, yang aku pilih ...” Universitas Sumatera Utara R2.W1b. 619-630h. 14 “Yakin, ya aku udah dewasa. Aku berhak nih menentukan hidupku.” R2. W1b. 636-637h. 14

e. Adhering despite Negative Feedback