Sambil belajar juga, jadi ini semakin menambah keraguan, „Ini harus bagaimana?‟”
R1. W2b. 120-129h. 3
d. Deliberating about Commitment
Tahap keempat dalam pengambilan keputusan adalah tahap ketika individu mempertimbangkan untuk mengambil sebuah keputusan, tahap dimana individu
memutuskan untuk membuat komitmen terhadap pilihannya. Di tahap ini, akan dijabarkan apa yang dirasakan Hijrah sesaat sebelum pengambilan keputusan
untuk menjadi seorang Muslim dan hal-hal apa saja yang dirasakan Hijrah setelah ia membuat keputusan tersebut.
Di tengah konflik dan stres dalam menimbang keuntungan dan resiko, Hijrah memaksa dirinya untuk bisa bersikap dengan jelas. Tidak berlama-lama
lagi berpijak di dua dunia, melainkan harus memilih yang satu dengan resiko menolak yang lainnya. Bagaimanapun, Hijrah merasa ia harus dapat menentukan
sikap untuk melabuhkan imannya. “... kita udah lama setengah Islam setengah Kristen, gitu, ya berusahalah
menentukan sikap, gitu. Sampe kapan nggak bersikap, gitu?” R1. W1b. 726-731h. 17
Disini, ia jatuh kembali ke tahapan Appraising the Challenge. Hijrah kembali terlempar turun ke pertanyaan mendasar tentang bagaimana ia harus
menyikapi konflik decisional conflict antara konversi atau tidak konversi ini. Tidak konversi yang dimaksud di sini oleh Hijrah adalah tidak konversi namun
tetap berada di dua dunia. Pilihan tidak konversi yang sedemikian itu, ditambah
Universitas Sumatera Utara
dengan aneka rasa nyaman yang ia dapatkan dari agama Islam, membawa Hijrah untuk bersikap tegas. Tidak lagi hidup di dua dunia, namun jelas melabuhkan diri
ke salah satu sisi. Di titik inilah Hijrah melompat lagi ke tahap Deliberating about Commitment. Hijrah mempertimbangkan untuk membuat komitmen untuk
menjadi seorang Muslim untuk selamanya. Mengingat bahwa menganut Islam berarti menerima Islam sebagai suatu
kebenaran yang akan memandu jalan hidupnya, maka konsekuensinya Hijrah harus menerima ajaran poligami yang sulit untuk diterikmanya. Ternyata, Hijrah
memiliki solusi sendiri tentang konflik nilai yang ada dalam dirinya tersebut. Melalui waktu yang dihabiskannya dalam menghayati agama, baik ketika ia
menghayati Kristen baik ketika ia mempelajari Islam, menurut Hijrah agama memang tidak sepenuhnya dapat diterima oleh akal sehat manusia. Ada hal-hal
tertentu dari agama yang memang sulit untuk dapat sejalan dengan nalar, dan justru di tempat seperti itulah sesuatu yang disebut dengan “iman” mengambil
tempat. Dalam kekristenan misalnya hal ini dicontohkan Hijrah sebagai berikut: “Jadi, kalau kita ngomong Allah Bapa. Kenapa sih harus Bapa, kenapa sih
harus Anak? Seolah-olah ada terjadi pernikahan. Seolah-olah ada terjadi pernikahan sehingga ada Anak a
da Bapa.” R1. W3b. 1187-1194h. 27
“Dan itu nggak bisa kita kaji dengan logika, gitu lho. Ya begitulah yang kita terima dari ibadah kita, dari kitab yang kita baca. Maka kita
mengikutinya. Kenapa? Karena kita percaya. Begitu juga yang sekarang.” R1. W3b. 1196-1203h. 27
“Nggak harus ada penjelasan untuk itu, gitu.” R1. W3b. 1212-1214h. 27
“Karena kita percaya. Keyakinan itu tadi.” R1. W3b. 1205-1206h. 27
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah Hijrah juga menyelesaikan konflik pribadinya tentang kesulitannya menerima pemikiran tentang poligami.
“Begitulah kata agama itu. Aaa... Sepanjang aku masih bisa mencari dan kadang-kadang ada yang mau nerangin, ya syukur ya ada yang mau
nerangin. Kadang kan ada yang marah ditanyain terus, kayak nggak percaya... atau kadang kayak mojokin... padahal kita pengen tahu Jadi
„Kenapa harus beristri empat?‟ „Karena memang begitulah nabi?‟ „Jadi semua kegiatan nabi itu pasti benar?‟ aku bilang kaya gitu.”
R1. W3b. 1934-1950h. 45
“Nah, tadi maksud aku itu, itu nggak bisa aku terima tapi nggak harus semuanya ada penjelasan. Itulah yang tertulis gitu. Jadi tetap ada
kejanggalan- kejanggalan.”
R1. W3b. 1219-1224h. 27 “Ya begitulah yang kita terima dari ibadah kita, dari kitab yang kita baca.
Maka kita mengikutinya. Kenapa? Karena kita percaya.”
R3. W1b. 1198-1203h. 27 Namun bukan karena Hijrah pada akhirnya dapat menerima ajaran tersebut
yang membuat dia memutuskan untuk memeluk Islam sebagai agamanya. Yang menjadi pertimbangan utama adalah karena bagi Hijrah Islam merupakan agama
yang memberinya kenyamanan, yang ia yakini akan menjadikan hidupnya menjadi lebih baik ke depannya. Hal-hal yang menarik bagi Hijrah di awal
perkenalannya dengan Islamlah yang juga pada akhirnya mendorongnya memutuskan untuk benar-benar yakin melepas agamanya yang lama kemudian
memeluk agama Islam. “Ya mikir aja.. gimana ya, gimana ya… Kalau mau dicari kejelekan dari
tiap-tiap agama pasti ada, jadi tugas aku bukan itu. Tugas aku mencari mana yang paling bikin aku nyaman, yang paling bikin aku percaya untuk
saat ini, jalanin Jalanin Dan mungkin... semakin aku mengenal mungkin
aku nyaman, aku coba. Gitu. Pemahamanku cukup tentang yang itu.” R1. W3b. 956-971h. 22
“Ada bagian-bagian yang tetap tidak bisa dimengerti, tapi bukan itu pertimbangannya Pertimbangannya banyak kebiasaan-kebiasaan yang
Universitas Sumatera Utara
sepertinya akan membuat hidup aku akan lebih baik. Kebiasan-kebiasaan itu sebenarnya tidak terlalu agamis, tetapi itu diatur oleh agama itu. Seperti
kebersihan- kebersihan.”
R1. W3b. 1240-1252h. 28 Merasa yakin dengan keputusan yang dibuatnya, Hijrah mendatangi
masjid dan menyampaikan niatnya. Pihak masjid menerima Hijrah dan memintanya mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda bahwa Hijrah
memeluk agama Islam secara sah. Pengucapan dua kalimat syahadat yang disaksikan oleh dekan dan dosen agama adalah wujud resmi pembuatan komitmen
konversi agama yang dilakukan Hijrah. Dengan itu, Hijrah dinyatakan sah memeluk agama Islam.
“Dua kalimat syahadat. Jadi kan, ketika kita udah ngerasa yakin, hubungin masjid,
saya katakan niat saya...” R1. W1b. 1044-1046h. 23
“Ya udah, latihan gitu beberapa menit saja. Selain karena lafaznya dalam bahasa Arab, gitu ya, diartikan dulu dalam bahasa Indonesia jadi kita
nggak merasa tertipu. Tidak merasa hanya melafaskan itu karena itu hanya kalimat, tapi kita benar-benar memahami bahwa artinya adalah ini saya
mengakui ini. Itu karena begitu sakralnya arti dari kalimat itu, gitu. Itu
menyatakan kamu berpindah. Otomatis. Otomatis sah, saya ucapkan...” R1. W1.b. 1058-1068h. 23
Perasaan yang Hijrah dialami setelah sah melakukan konversi adalah rasa lega. Lega telah menetapkan sebuah pilihan. Lega telah menentukan sikap. Lega
karena sudah semakin jelas apa tindakan yang harus dilakukan kemudian. Hijrah mengalami apa yang disebut dengan honeymoon period. Ia merasa sungguh puas
dan yakin dengan keputusan yang ia buat dan tanpa ragu segera mengimplementasikan pilihan tersebut dalam bentuk perilaku, misalnya dengan
pemakaian jilbab.
Universitas Sumatera Utara
“Lega. Lebih kepada „Ah, akhirnya aku sudah memilih,‟ gitu. Itu satu. Lalu yang kedua, „Ah, akhirnya udah tahu ini harus bagaimana.‟
Maksudnya bagaimana, ya harus natal atau lebaran udah tahu gitu, karena tadinya capek juga. Capek. Jadi udah tahu apa yang harus dilakukan ke
depannya. Udah tahu harus ngejawab apa nanti, meskipun berantem. Udah jelas, tinggal berani-
beraniin diri aja buat ngaku.” R1. W2b. 937-946h. 19-20
“Nggak tahu ya, ngerasa lebih sopan jadinya, ngerasa lebih tertib. Batinnya lebih tenang, mungkin karena sebelumnya sudah sangat detail
mempertimbangkan, jadi ngerasa, „Ini udah paling oke nih pilihanku.‟ Jadi aku jalanin semaksimal aku bisa, gitu.”
R1. W1b. 1137-1142h. 25
“Komitmennya itu otomatis dengan dua kalimat syahadat itu sah ya. Lalu, ya semakin dikuatkan, gitu, dengan tampilan baru kita. Dikuatkan lagi
dengan kebiasaan baru.” R1 W1b. 1107-1111h. 25
“Nah, ketika itu saya semakin nyaman, karena otomatis langsung boleh nih, gitu, berbusana Muslim.”
R1. W1b. 1122-1124h. 25
Tentang memakai jilbab, sesungguhnya sebelum merasakan ketertarikan terhadap agama Islam di Aceh, ketika ibunya sudah lebih dulu melihat ibunya
mengenakan jilbab, Hijrah sudah tertarik dengan busana keagamaan tersebut. Namun pada saat itu, menurut Hijrah ketertarikan tersebut sebatas ketertarikan
pada sebuah busana. Tidak kurang tidak lebih. “Sebelumnya sih, sewaktu di Medan, gila-gila kepengen tuh. Gila-gila
pengen pake jilbab tuh, tapi nggak kan, nggak pindah agama buktinya. Ya seru-seruan aja, gitu. Ngelihat jilbab ibu pun kepengen pake jilbab ibu.
Tapi ya benar-benar pengen, ya murni karena pakaian, gitu, bukan karena
dari hati, gitu.” R1. W1b. 1125-1132h. 25
Hal selanjutnya yang Hijrah pikirkan adalah cara memberitahu orang lain tentang statusnya yang baru. Orang pertama yang ia beritahu adalah ibu dan
adiknya. Selanjutnya orang-orang di lingkungan kosnya di Aceh. Terhadap
Universitas Sumatera Utara
ibunya, Hijrah memberitahu tanpa ada beban. Terhadap adiknya, ia sedikit merasa berat karena pada saat itu adiknya masih beragama Kristen.
“Kalau ke adik, karena waktu itu masih Kristen ya... Ya aku bilangnya pelan-
pelan sih. „Dik, Kakak sekarang sudah jadi Islam. Maaf ya, apa yang tidak kita sukai dulu, apa yang tidak kita setujui dulu pas ibu pindah,
ternyata aku pun melakukannya. Ternyata aku pun memang murni karena keinginan
sendiri dan pertimbangan, jadinya pindah juga.‟ Dia cuma jawab, „Iya.‟ Dia cuma jawab gitu aja. Kan kayaknya dia juga udah bisa
menduga aku bakalan pindah, gitu.” R1. W1b. 1094-1104h. 24
Menghadapi teman-temannya di Aceh, Hijrah tidak mengalami kendala berarti dalam menunjukkan identitasnya yang baru. Hal ini dikarenakan hubungan
Hijrah dengan teman-teman kosnya yang Kristen tidak terlalu akrab. “Langsung ya, setelah saya sah di masjid itu, ya saya besoknya langsung
bilang ke teman-teman. Kebetulan saya kan nggak dekat-dekat banget sama teman-teman yang Kristen, lagipula sedikit kan disana, jadi nggak...
nggak terlalu gimana. Nggak terlalu berat gitu lah.” R1. W2b. 1262-1269h. 26
e. Adhering despite Negative Feedback