Latar Belakang Kehidupan Rahel

1. Latar Belakang Kehidupan Rahel

Rahel adalah seorang wanita Jawa yang lahir dalam keluarga beragama Islam di Jember empat puluh dua tahun yang lalu. Ia anak bungsu dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Rahel kecil tidak besar dalam keluarga kandungnya sendiri. Sejak baru lahir, ia sudah diasuh oleh paman dan bibinya. Paman dan bibi Rahel tidak memiliki anak, maka Rahel menjadi anak tunggal di keluarga itu. Selanjutnya paman dan bibi ini berperan sebagai orangtua bagi Rahel. Mereka membesarkan Rahel selayaknya orangtua membesarkan anaknya sendiri. Rahel pun memanggil pamannya dengan “bapak” dan bibinya dengan “ibu”. Berasal dari Keluraga Majemuk Rahel berasal dari keluarga yang majemuk, artinya keluarga besarnya terdiri atas keluarga-keluarga yang berbeda-beda agamanya. Misalnya, paman ada yang beragama Katolik, bibinya beragama Kristen, dan ada pula yang menganut kepercayaan Kejawen. Maka sejak kecil Rahel memang mengenal adanya agama- agama lain di luar agamanya pada saat itu yaitu Islam. “Sebenarnya nggak asing sih ya, Dek, karena kayak yang kubilang tadi, dari garis ibuku... awalnya ibuku itu Katolik kan, cuma nikah dengan bapak kan jadi Muslim gitu. Jadi keluarga besar ibuku itu ya ini bhineka tunggal ika, ada yang Kristen, ada yang kejawen. Jadi dari pihak ibuku nggak terlalu asing aku. Jadi natal itu bagaimana, kalau liburan di rumah bude yang beragama Kristen, jadi otomatis kan ikut kegiatan mereka. Kadang main di gereja gitu … Pokoknya ikut karena seneng gitu aja ya, karena ada kue...” R2. W1b. 264-282h. 5-6 Universitas Sumatera Utara Menariknya, ibu Rahel dulunya memang menganut agama Katolik namun hal ini tidak pernah diketahui Rahel sejak ia kecil hingga ia berusia dua puluh enam tahun. Ia tahu ibunya adalah seorang Muslim dari lahir. “Saya itu tahunya ibu Katolik itu udah dewasa. Jadi waktu kecil saya nggak tahu kalau ibu itu Katolik. Gitu. Karena memang ibu menikah dengan bapak pun kan secara Muslim, kan.” R2. W3b. 9-15h. 1 Kembali ke kisah tentang keluarga besar, dalam keluarga yang sedemikian majemuk itu, Rahel memiliki sikap terbuka terhadap agama yang berbeda dengan dirinya. Rahel kecil ternyata sudah pernah masuk gereja karena berkunjung di rumah bibinya yang juga seorang Kristen. Rahel tidak bersikap bermusuhan terhadap agama di luar agamanya, bahkan ia cenderung sangat terbuka. Menurut Rahel hal ini terjadi karena memang yang ia perhatikan pada saat itu adalah rasa asyik ketika bisa makan kue natal atau bisa mengikuti kegiatan yang menarik baginya. Ia tahu bahwa kegiatan itu adalah kegiatan agama lain, namun Rahel tidak menaruh perhatian dengan perbedaan itu selama hal itu menyenangkan baginya. Tetapi masih ada alasan lain, yaitu pengaruh didikan agama dari sang ayah. Pendidikan Agama dari Ayah Ayah menjadi sosok penting dalam kehidupan Rahel, khususnya di masa kanak-kanak. Ia sangat mencintai ayahnya dan selalu bercerita kepada sang ayah mengenai banyak hal yang ia rasakan di kehidupan sehari-harinya. “Terutama aku sama bapak ya, deket sekali gitu Deket sekali Apa ya? Apapun cerita sama ba pak, gitu.” R2. W1b. 100-103h. 3 Universitas Sumatera Utara Dalam kehidupan beragama, sedari dini sang ayah sudah mengajarkan Rahel untuk menghargai orang lain yang berbeda agama dengannya. Prinsip lakum dinukum waliyadin bagimu agamamu, bagiku agamaku menjadi pegangan Rahel sedari kecil ketika berhubungan dengan orang-orang di luar agamanya. “Jadi, bapak dulu ngajarin begitu, „Bagi kita itu berlaku lakum dinukum waliyadin. ‟ Jadi ada orang beda, kita nggak usah ribut.” R2. W2b. 502-505h. 11 “Aku walaupun Muslim, aku sendiri punya prinsip lakum dinukum waliyadin ya, bagiku agamaku bagimu agamamu. Aku punya prinsip itu ... Aku dari awal memang, em... apapun agama dia aku akan menghormati. Gitu. Jadi, ketika natal diajak rame-rame makan kue gitu kan, aku nggak... nggak pantang gitu lho. Aku ikut ... Awalnya bapakku mengajarkan begitu, gitu lho.” R2. W1b. 41-52h. 2 Semboyan lakum dinukum waliyadin inilah yang turut mewarnai sikap terbuka dan toleransi Rahel terhadap agama lain di luar dirinya, seperti misalnya dalam hubungan kekerabatannya dengan keluarga besarnya. Mengenai pendidikan agama yang diterima Rahel, sang ayah cenderung mengajar dan mendidik Rahel lebih ke topik-topik tentang etika hidup daripada doktrin agama. Hal yang sering dibicarakan dan diajarkan berkisar pada praktek pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. “Kalau saya kepada bapak itu saya cenderung kepada etika. Bukan doktrin Etika Etika kehidupan, menghadapi hidup itu bagaimana. Saya cenderung kesitu kalau ngo brol sama bapak ya.” R2. W3h. 108-122b. 3 “Lebih kepada etika, moral, seperti itu. Tapi bukan doktrin” R2. W3b. 125-127h. 3-4 Pembicaraan yang bersifat doktrinal jarang sekali terjadi. Rahel mengetahui ajaran-ajaran pokok atau inti mendasar Islam, namun tidak menaruh Universitas Sumatera Utara perhatian besar untuk itu. Hanya sekedar tahu dan mengenal saja. Pengajaran yang ia terima lebih kepada praktek menjadi seorang Muslim yang baik dan ajaran- ajaran moral dalam kehidupan nyata sehari-hari. “Doktrin yang inti ya, itu jarang gitu. Diajarkan tapi bukan... bukan yang ini... Tapi bagaimana menjadi orang Muslim yang baik.” R2. W3b. 130-135h. 4 Maka, dalam hal menjalankan ajaran agama yang diterimanya dari sang ayah, Rahel melaksanakan aturan-aturan agama sebagaimana orang kebanyakan. Tidak terlalu tekun, tidak pula terlalu longgar. Berada di titik tengah. Normal. “Kalau dibilang tekun sekali, kayaknya nggak. Tapi aku cukup tekun, gitu. Kalau tekun sekali, nggak. Fanatik sekali, nggak. Ya cukup lah. Cukup. Ya shalat, ya baca Alquran, tapi bukan yang apa ya, bukan yang fanatik banget.” R2. W2b. 482-487h. 10-11 “Puasa, kadang ompong. Apa ya... normal gitu lho, Dek. Kayak banyak orang melakukan apa yang kulakukan, gitu.” R2. W2b. 514-516h. 11 Tidak Mendapat Pendidikan Agama dari Ibu Hubungan Rahel yang cukup dekat dengan ayahnya ternyata tidak seirama dengan hubungan yang terjalin antara Rahel dengan ibunya. Rahel merasa sang ibu tidak menyukai Rahel. “Ibuku nggak suka anak kecil, mungkin karena dari dulu keguguran keguguran gitu. Jadi samaku pun nggak... nggak terlalu gimana ya...” R2. W1b. 352-355h. 8 Ketidaksukaan sang ibu terhadap Rahel tampak jelas ketika ibunya kerap melakukan tindak kekerasan fisik kepada Rahel, misalnya dengan memukul tanpa alasan yang jelas. Dan, walaupun ayah Rahel sangat menyayangi Rahel, sang ayah Universitas Sumatera Utara tidak melakukan apa-apa ketika melihat istrinya melakukan kekerasan fisik kepada putrinya. “Tapi kelemahannya bapak ini kalau aku dipukul ibu, disiksa ibu, nggak pernah belain. Jadi memang, aku waktu kecil itu mengalami kekerasan, gitu, Dek. Dipukul, sampe tanganku bengkok, tanpa tahu salahku apa.” R2. W2b. 81-86h. 2 “Aku kalau dipukulin ibuku kan, bapakku nggak bisa belain. Diem aja.” R2. W2b. 100-101h.3 Karena kenyataan seperti itu, ibu Rahel memang tidak banyak berkontribusi dalam pembentukan spiritualitas Rahel akan agama Islam, di samping itu juga dalam kehidupan sehari-hari sang ibu jarang untuk melakukan ritual-ritual agama, misalnya shalat. Ia mendapat didikan agama hanya dari ayahnya saja. “Cuma memang tidak shalat gitu kan ibu. Akhir-akhir ini ajalah, akhir setelah saya sudah berumah tangga baru ibu mulai shalat. Jadi kalau untuk didikan orangtua ya didikan Muslim.” R2. W3b. 31-38h. 1-2 Sekolah di SMP Katolik Kehidupan Rahel kecil memang tidak dapat dikatakan kehidupan yang sangat bahagia. Selain memang mendapat kekerasan dari sang ibu, Rahel pun tumbuh dengan kepercayaan dalam benaknya bahwa ia adalah anak yang tidak diinginkan. Di bangku kelas empat SD, Rahel diberitahu oleh kedua orang tuanya bahwa ia adalah anak yang sesungguhnya tidak diharapkan kelahirannya di dunia ini. Dikatakan bahwa, dulunya ketika di kandungan ia sudah berusaha digugurkan oleh ibu kandungnya dengan berbagai cara. Universitas Sumatera Utara “Selama ini doktrinnya aku itu nggak dikehendaki sama ibu kandungku.” R2. W2b. 86-87h. 2 “Jadi didoktrin sama bapak angkatku, aku ini mau digugurin lewat tennis, lewat apa... Pokoknya nggak dikehendaki, gitu lho. Itulah yang dimasukkan ke otakku. Aku tahunya kan kelas 4 SD. Jadi, ada perasaan aku itu terbuang lho, Dek.” R2. W2b. 89-95h. 3 Karena sering mendapat perlakuan tidak bersahabat dari sang ibu, Rahel ingin menjauh dari ibunya. Ia tidak suka dengan ibunya dan memilih pergi ke rumah nenek saja di luar kota Jember untuk melanjutkan pendidikan SMP nya. “Di Madiun, karena kan waktu itu sering dipukul ibu kan. Jadi aku pikir untuk mengurangi konflik. R2. W4b. 1770-1773h. 43 “Iya, mengurangi konflik. „Udahlah aku sama eyang aja. Sama nenek‟ Gitu.” R2. W4b. 1777-1779h. 43 SMP yang dimasuki Rahel adalah sebuah SMP Katolik. Maka pelajaran agama yang diikutinya adalah pelajaran agama Katolik. Namun pada saat itu, pelajaran Katolik adalah sesuatu yang tidak menarik bagi Rahel. Ia tidak menaruh perhatian sedikit pun pada kekristenan. “Dan aku SMP nya, aku SMP di sekolah Katolik.” R2. W4b. 186-187h. 5 “Hanya sekedar “Oh iya. Ini. Ini.” Jadi, kalau aku ingat sih, yang diajarkan itu bagiku seperti cerita aja gitu lho. “ R2. W4b. 224-228h. 6 “Biasa aja. Ndak… ndak apa ya… Menurutku ya nggak menarik ceritanya.” R2. W4b. 235-237h. 6 “Ada waktu berdoa apa… aku lupa lah itu. Ada, tapi nggak yang… nggak yang… namanya anak-anak kan, istilahnya cuman yang lihat-lihat aja…. tertawa.” R2. W4b. 855-860h. 21 Universitas Sumatera Utara Ia mengikuti pelajaran agama Katolik, ia ikut dengan temannya masuk gereja ketika ada acara doa, namun semua itu tidak meninggalkan kesan berarti baginya. Hubungan Pertemanan yang Majemuk Bola waktu bergulir, Rahel pun beranjak dewasa. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, menengah dan atas, ia memasuki sebuah perguruan tinggi negeri di Malang dengan jurusan Planologi sebagai pilihannya. Selama mengenyam pendidikan di dunia universitas, Rahel meninggalkan Jember dan hidup indekos di Malang. Di rumah kos itu, teman-teman Rahel pun tidak hanya homogen, artinya tidak hanya yang berasal dari agama Islam. Ada juga teman- teman lain yang beragama Kristen. Maka, Rahel memang tidak asing dengan orang Kristen, walaupun pada saat itu ia sama sekali tidak menaruh perhatian atau ketertarikan dengan agama Kristen. “… Terus temenku juga ada yang Kristen, gitu kan. Temen kos ku juga ada yang Kristen..” R2. W4b. 1514-1522h. 37 Pada tingkat akhir kuliahnya, Rahel juga menjalin hubungan dekat dengan seorang pria yang beragama Kristen. Lelaki Batak anak seorang pendeta. Memang menarik mengetahui Rahel memiliki hubungan dekat dengan seorang pria yang berbeda dengan agamanya. Namun, ternyata Rahel memiliki alasan tersendiri untuk itu. “Aku memang nggak mau sama dia. Hanya memanfaatkan dia untuk jadi tukang gambarku.” R2. W4b. 294-297h. 8 Universitas Sumatera Utara Rahel berpacaran dengan lelaki Batak ini dengan tujuan agar si lelaki membantunya menyelesaikan tugas yang ada dalam skripsinya, yaitu menggambar. Rahel mengaku tidak menaruh hati pada lelaki itu. “Tidak. Istilahnya aku pacaran dengan dia itu bukan berangan-angan suatu saat aku jadi istrinya. Tidak.” R2. W4b. 300-303h. 8 Bahkan, ketika Rahel berkunjung ke rumah lelaki tersebut, Rahel pernah ditawari ibu dari lelaki Batak itu untuk mengenal Yesus. Artinya, kalau memang ingin bersama dengan lelaki tersebut, diharapkan oleh pihak keluarganya, Rahel menjadi seorang Kristen. Pada saat itu Rahel jelas memang tidak mau. Seperti wanita Muslim pada umumnya, Rahel tentu saja tidak mau melepas agamanya, di samping juga ia tidak tertarik dengan sang lelaki itu sendiri. “Itu kan mamanya orang Jawa kan, cuma bapaknya orang Batak. „Kalau bisa ya kenal Tuhan Yesus pacaran dengan anak saya.‟ Ya aku ketawa aja, gitu lho.” R2. W4 b. 244-250h. 7 “Ya ndak. Ndak. Nggak ada… Memang tidak tertarik, karena kesaksian hidup anaknya aja nggak bener. Aku pernah diintip waktu mandi. Jadi, aku nggak. Intinya aku pacaran dengan dia itu hanya memanfaatkan kepandaian dia melukis aja, karena waktu itu skripsiku tentang tempat pariwisata. Jadi butuh orang yang bisa gambar. Itu aja sih. Dan nggak ada kerinduan untuk terus dengan dia, itu nggak ada.” R2. W4b. 252-266h. 7 Didorong oleh kebutuhan pragmatis saja, bukan karena cinta, Rahel tidak merasa bermasalah berhubungan dekat dengan seorang pria yang berbeda agama dengannya. Selain itu juga, seperti yang berkali-kali ditandaskan Rahel, ajaran ayahnya yang menanamkan prinsip lakum dinukum waliyadin dalam dirinya sedari kecil membuatnya tidak pernah merasa harus membatasi pertemanannya dengan siapapun di luar dari agamanya. Universitas Sumatera Utara “Aku kan orangnya nggak ini, Dek… nggak apa ya… fanatik. Nggak begitu aku. Jadi kalau temen-temenku ada Natal ya aku makan kuenya, ya apa gitu.” R2. W4b. 872-881h. 22 Namun prinsip lakum dinukum waliyadin ini hanya diberlakukan Rahel untuk urusan pertemanan atau sosialisasi di dalam keluarga. Untuk urusan hubungan romantis dengan lawan jenis, Rahel jelas tidak mau meninggalkan agamanya pada waktu itu. Waktu itu, setelah menyelesaikan skripsinya di perguruan tinggi dan menunggu wisuda, Rahel pulang ke rumahnya di Jember. Dalam masa penantian akan wisuda itu, Rahel mengenal seorang pria lewat komunikasi Handy Talky, atau yang biasa disebut HT, yang sedang populer kala itu. Beberapa hari setelah berkenalan di udara, lelaki tersebut langsung datang ke rumah Rahel dan langsung mengajukan pertanyaan apakah Rahel mau menjadi istrinya. Itu terjadi pada pertemuan pertama. Dan pada saat itu Rahel menduga bahwa pria tersebut adalah Islam juga. Padahal kelak diketahui Rahel lelaki itu adalah seorang Kristen. “ Nggak kepikiran, gitu lho. Karena kan aku awal ketemunya kami ngbrik pake HT kan. Jadi kalau aku Assalamualaikum dia jawab juga.” R2. W4b. 358-363b. 9 Rahel memang tidak suka dengan lelaki ini. Dan kala itu ia tengah dekat dengan tiga orang lelaki, walaupun yang berstatus sebagai kekasih adalah satu orang, pria Batak yang disebutkan di atas. Namun walau tidak suka, ia tetap menjalin hubungan pertemanan dan lelaki ini kerap datang ke rumah Rahel. “Ya mohon maaf, Dek, suamiku ini dulu nggak ada apa-apanya gitu. Ya aku bukan... bukan... Belum kecantol banget hatiku, dan memang bukan tipeku.” R2. W1b. 783-788h. 15 Universitas Sumatera Utara Kurang lebih sebulan kemudian, Rahel mengetahui bahwa lelaki ini adalah seorang Kristen. “‟Kamu mau nggak jadi istriku?‟ Langsung ketemu pertama itu, tapi aku nggak ngerti kalau dia beda. Tahunya itu pertemuan ke berapa gitu… karena tiap kali dia ke rumah aku pas salat magrib… kok nggak pernah salat gitu?” R2. W4b. 373-381h. 10 “Mulai tanya. „Nggak salat?‟ „Iya, nggak‟ Gitu aja jawabnya.” R2. W4b. 383-387h. 10 “Setelah itu kan „Kok nggak salat?” “Iya, nggak” kan gitu kan? Terus lama-lama, lama- lama, pertemuan ke berapa lagi baru… „Kayaknya bukan Islam nih,‟ pikirku. Cuma aku komunikasi kekmana, lupa aku udah. Akhirnya tahu „Oh, bukan Islam.‟” R2. W4b. 401-410h. 10-11 “Nggak. Dia nggak pernah. Istilahnya membicarakan kekristenan itu dengan aku, itu nggak pernah. Itu nggak pernah.” R2. W4b. 388-392 h. 10 Mengetahui lelaki ini adalah seorang Kristen, Rahel langsung menganggap hubungan mereka tidak akan mungkin bersatu. Jadi, memang pada saat itu Rahel tidak pernah membayangkan suatu hari kelak ia akan menikah dengan lelaki ini. “Terus aku setelah tahu itu aku bilang „Mau nikah dengan cara apa? Nggak mungkin lah Kita beda‟” R2. W4b. 511-515h. 13 “Ya berarti aku nggak mungkin sama dia. Itu. „Tak mungkin berarti kita.‟ aku pun ngomong sama dia. Tak mungkin.” R2. W4b. 496-500h. 13 Walau demikian, Rahel tetap menjalin hubungan pertemanan dengan pria ini. Tidak serta merta menjadi putus komunikasi. Karena memang pria itu sendiri memang belum menyerah dengan penolakan Rahel. Dia masih berharap dan masih berusaha dengan caranya sendiri. Universitas Sumatera Utara

2. Tahapan Pembuatan Keputusan Rahel