BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari banyak dimensi kehidupan dan eksistensi manusia. Manusia dikelilingi oleh hal-hal spiritual, yang
perwujudannya tampak dalam kegiatan yang berlangsung di kehidupan sehari- hari. Sejak lahir ke dunia hingga meninggalkan dunia, manusia selalu bersentuhan
dengan aspek keagamaan. Kelahiran manusia diikuti dengan upacara keagamaan, misalnya dengan khitanan dalam agama Islam atau pembaptisan dalam agama
Kristen. Ketika manusia bertumbuh dewasa, mengenal lawan jenis lalu menikah, upacara pernikahan tersebut disahkan dan diberkati oleh pemuka agama dalam
ritual khusus. Dalam kehidupan sehari-hari juga terdapat kegiatan keagamaan yang diadakan secara mingguan, misalnya ibadah Jumat ke masjid dan pengajian
mingguan dalam agama Islam, peribadahan ke kuil dalam agama Hindu dan ibadah di gereja pada hari Minggu dalam agama Kristen. Di tengah kesibukan
sehari-hari pun, di beberapa negara, ajakan untuk melakukan ibadah lima kali dalam sehari melalui pengeras suara bukan merupakan hal yang asing. Dan pada
akhirnya, agama juga turut membantu manusia dalam menghadapi kematian dengan menyediakan gambaran tentang kehidupan setelah kematian. Dari waktu
ke waktu, agama hadir dimana-mana dan mempengaruhi kehidupan manusia Hood, Hill Spilka, 2009.
1
Universitas Sumatera Utara
Tidak hanya hadir dalam kegiatan ritual yang tampak wujudnya, agama juga menyentuh kehidupan manusia dalam bentuk ideologi. Dalam tulisannya
yang berjudul Religion and Meaning dalam buku Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality, Crystal Park 2005 menyatakan bahwa agama adalah
sebuah lensa yang digunakan banyak orang untuk menerima dan menginterpretasi realita kehidupan. Agama memang bukan satu-satunya jalan untuk memaknai
realita kehidupan yang ada, namun agama adalah jalan yang paling umum digunakan manusia dalam pemberian makna akan kehidupannya. Agama
merupakan pusat dari sistem pemaknaan kehidupan global meaning system bagi banyak orang, walaupun tingkat kepentingannya pada setiap orang adalah
berbeda-beda. Agama menjamin bahwa apapun yang terjadi atas kehidupan seseorang,
kejadian baik atau buruk, selalu memiliki makna dan tujuan. Kepercayaan agama menyediakan banyak pilihan untuk memaknai sebuah kejadian, termasuk
pemahaman akan: adanya rencana yang lebih besar yang tidak dapat diketahui manusia di balik peristiwa-peristiwa kehidupan, setiap kejadian tidak terjadi
secara acak atau kebetulan belaka, atau bahwa perkembangan karakter seseorang dapat bertumbuh melalui aneka kesulitan hidup Park, 2005.
Melihat dari sisi lain, Geyer dan Baumeister 2005 dalam tulisan mereka yang berjudul Religion, Morality, and Self-Control: Values, Virtues and Vices,
juga dalam buku Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality, menyatakan bahwa agama merupakan sumber penyedia aturan tentang perilaku
baik dan buruk bagi kebanyakan orang. Setiap agama menyediakan aturan-aturan
Universitas Sumatera Utara
yang membimbing dan mengontrol perilaku manusia. Karena itulah, agama dapat memfasilitasi terjadinya tindakan-tindakan luhur virtuous behavior. Oleh agama,
manusia digerakkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dinilai luhur dan menjauhi tindakan yang dinilai tidak luhur.
Memang harus diakui, beberapa aturan agama adalah aturan-aturan yang berat dan tidak mudah dilaksanakan, namun agama dengan ajarannya yang
bersifat memotivasi dan memberikan harapan, dapat mendorong manusia untuk senantiasa mengusahakan tindakan-tindakan luhur dan mempertahankan
konsistensi perilaku tersebut. Hal ini senada dengan penuturan Aisyah, wanita dua puluh lima tahun beragama Islam, ketika ditanyakan tentang makna agama
baginya, “Agama itu pembimbing kita lah. Agama itu kan kayak penunjuk jalan
kita. Jadi dari agama itu kita jadi tahu mana yang benar mana yang dosa. Kayak aku lah misalnya, kalau aku bingung kali sampe nggak tahu mau
buat apa gitu kan... misalnya dilema buat pilihan nih, ya aku pake patokan agamaku. Misalnya kan, kek kemarin lah aku ada berantam ama kawan
aku di kantor, dia ini orangnya bisa ngalalkan semua cara biar buat aku selalu di bawah dia, karena kami lomba-lomba naik level. Aku saingan
berat dia. Dua bulan lalu aku dapat rahasia tentang dia. Rahasia itu kalau aku bocorkan ke atasan atau teman kantor aku, habislah dia dipecat. Disitu
dilema. Awalnya memang pengen ngelapor atasan, tapi pas mikir-mikir lagi, jadi bingung juga karena suara di hati aku bilang kasihan juga kawan
itu kalau dipecat. Bukan apa-apa ya kan, kalau cari kerja lagi bisalah dia, tapi malu yang dia tanggung? Terus aku kayak ngerasa jadi manusia jahat
kalau ngelakuin itu, padahal kalau di kerjaan biasanya kata orang sikut- sikutan gitu kan? Tapi ya itulah... Ya udah, ujung-ujungnya aku bingung
gitu, kutanya ke mamak aku, soalnya dia yang paling kuat agamanya
diantara kami sekeluarga. Ya udah, dia bilang „jangan‟. Ya udah, udah langsung nggak kupikirkan lagi. Maksudku nggak kutimbang-timbang lagi
gitu lho. Ngerti kan? Kalau udah agamaku bilang „jangan‟, ntah kenapa aku langsung ikut aja, nggak tanya-tanya lagi... karena aku yakin apa kata
agama pasti betul.” Sumber: Komunikasi Personal, 3 April 2012
Universitas Sumatera Utara
Bagi Aisyah, agama dimaknai sebagai pengontrol perilaku. Dalam hal ini, Aisyah melihat bahwa agama berfungsi memberikan batasan yang jelas tentang
perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pemaknaan bahwa agama adalah pengontrol perilaku tentunya tidak serta merta dirasakan dan diketahui Aisyah
ketika sudah dewasa seperti sekarang. Pemaknaan demikian lahir dari pengalaman beragama yang sudah dilakoni dari hari ke hari sejak orang tuanya
memperkenalkannya dengan agama. Perilaku beragama seseorang pada umumnya memang perilaku turun
temurun. Artinya manusia memeluk agama tertentu karena mengikuti orang tua mereka yang lebih dahulu memeluk agama tersebut dan memperkenalkan agama
itu sejak dini kepadanya Beit-Hallahmi Argyle, 1997; Lamb Bryant, 1999. Pemahaman agama yang diterima sejak dini itu tidak berhenti di masa kanak-
kanak saja. Beranjak remaja dan dewasa, individu masih terus diperkaya pemahamannya tentang agama melalui aneka sarana yang ada, misalnya:
pengajaran pendidikan agama di sekolah, hubungan dengan orang tua, ceramah dari pemimpin agama, pemahaman agama dari buku atau media massa dan
interaksi dengan teman sebaya Boyatzis , 2005; Levenson, Aldwin D‟Mello,
2005. Secara umum, informasi yang paling banyak diterima oleh individu adalah
informasi mengenai agama yang sudah ia anut sejak kecil. Namun melalui interaksi sosialnya, individu juga berkenalan dengan agama lain yang bukan
merupakan agama yang ia anut. Beberapa individu mulai berkenalan dengan agama lain di luar agamanya, entah itu sekadar mengetahui kebiasaan perilaku
Universitas Sumatera Utara
beragama teman sebaya yang berlainan agama, mulai mempelajari perbedaan- perbedaan antara agamanya dengan agama lainnya atau mempelajari agama lain
sebagai usaha untuk memahami hal-hal transendental atau sebagai usaha mencari makna akan kehidupan yang ia jalani. Perkenalan sedemikian rupa dengan agama
lain, dalam proses yang berangsur-angsur gradual process dapat membuat individu pada akhirnya melepaskan agama yang ia anut dan memeluk agama lain,
yang dikenal sebagai peristiwa konversi Hood, Hill Spilka, 2009. Menurut Beit-Hallahmi dan Argyle 1997, konversi agama adalah
perubahan yang tampak pada identitas agama seseorang, transformasi diri yang dilakukan secara sadar, yang kemudian dideklarasikan kepada orang lain untuk
diketahui bersama. Hal ini mencakup perubahan kepercayaan seseorang dari satu agama ke agama lain atau pembentukan komitmen yang lebih kuat kepada agama
yang sudah dianut sebelumnya. Hanya ada sedikit orang yang kemudian mengubah identitas agama
mereka, dan perubahan seperti ini mengundang perhatian dari lingkungan sosial karena merupakan hal yang tidak biasa terjadi. Perubahan ini kadang-kadang
dilihat sebagai suatu kegagalan atau kesalahan dalam usaha penerusan agama dari orangtua ke anak Beit-Hallahmi Argyle, 1997.
Saat mempresentasikan makalahnya yang berjudul “The Psychology of
Religious Conversion” pada pertemuan International Coalition for Religious Freedom Conference on
Religious Freedom and the New Millenium”, di Berlin, Jerman, Lewis R. Rambo 1998 menekankan bahwa konversi agama menjadi
topik yang kontroversial, karena hal tersebut sering kali mengusik kehidupan
Universitas Sumatera Utara
orang-orang secara umum, dan lingkungan terdekat dari individu yang melakukan konversi tersebut secara khusus. Seperti apapun kelompok masyarakat tempat
tinggalnya, jika seseorang melakukan konversi agama, yang bertentangan dengan kebiasaan masyarakat yang lebih luas, kebanyakan orang akan bertanya-tanya
bagaimana seseorang dapat mempercayai agama baru tersebut dan bagaimana hal yang sedemikian asing itu dapat terjadi.
Maka, kemudian tidak mengherankan apabila konversi agama yang dilakukan oleh artis-artis di tanah air menjadi sorotan masyarakat umum. Rianti
Catwright, Pinkan Mambo, Trie Utami, Dian Sastrowardoyo merupakan contoh kecil artis yang melakukan konversi agama dan menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat. Tidak ada satu pun konversi agama mereka yang berjalan lancar tanpa pertanyaan bahkan gunjingan. Trie Utami mengakui,
“Keluarga saya aja ga ribut kenapa kalian yang ribut, disini saya ga perlu menegaskan agama saya, karena masalah ibadah adalah betul-betul
wilayah pribadi. ”
Sumber: www.indosiar.comgossip57039tri-utamie-pindah-agama Tentunya tidak hanya mengusik masyarakat umum, konversi agama secara
khusus mengusik pihak keluarga. Bagi pihak keluarga, hal tersebut dipandang sebagai suatu perubahan yang destruktif dan sulit dimengerti. Hal demikian
dialami oleh Ibu dari artis Pinkan Mambo, Ibu Deetje: Pinkan minta ingin kesaksian, di situ saya usir, saya tidak mau melihat
muka Pinkan, lalu adiknya mengusir Pinkan .”
Sumber: www.kapanlagi.comshowbizselebritipinkan-mambo-diusir-
saat-ngaku-pindah-agama.html Dewasa ini konversi yang paling umum terjadi adalah konversi
dikarenakan kebutuhan untuk pernikahan. Sebelum menikah, salah satu pihak
Universitas Sumatera Utara
dari pasangan yang berbeda agama akan melakukan konversi. Konversi yang dilakukan oleh para artis merupakan contoh yang nyata akan ini, seperti Lulu
Tobing, Rianti Cartwright, dan Happy Salma www.detik.com. Namun diantara individu-individu yang melakukan konversi agama, ada pula yang melakukannya
bukan demi kebutuhan tertentu misalnya untuk menikah, namun karena dorongan pribadi dari dalam diri sendiri. Artinya, konversi yang dijalani memang berasal
dari keinginan individu sendiri. Tidak ada bujukan atau paksaan dari orang lain. Ibu Lea bukan nama sebenarnya, wanita tiga puluh lima tahun dengan
dua orang anak, melakukan konversi agama sejak 2002 lalu berdasarkan keinginan dari dalam dirinya sendiri. Ibu Lea yang tumbuh dan besar di keluarga
beragama Islam, sepuluh tahun lalu memutuskan melakukan konversi agama ke agama Kristen. Konversi ini terjadi karena ketertarikan pribadi ibu Lea kepada
ajaran Kristen setelah ia bergaul dengan teman-temannya yang beragama Kristen di bangku kuliah.
“Awalnya itu karena saya waktu kuliah kan deketnya kebetulan sama yang Kristen gitu ya, temen-teman saya kebetulan yang Kristen. Saya tertarik
lihat mereka ada acara Natalan, Paskah, ke gereja... Nah, suatu hari entah kenapa saya pengen banget mau ikut temen saya hari Minggu ke gereja.
Tapi kan ndak boleh sama ibu bapak tho? Tapi, setelah lama-lama saya nggak tahan lagi, jadi waktu itu kan udah terus menerus saya tahan untuk
nggak ikutin temen ke gereja, tapi ya... akhirnya saya cari akal untuk bisa ke gereja. Akhirnya, dengan bilang ke bapak ibu bahwa saya mau ngerjain
tugas kampus yang banyak, saya pergilah dengan temen saya itu ke gereja. Ternyata tertarik dengan isi khotbahnya, pengen lagi dan pengen lagi di
hari-
hari berikutnya...” Sumber: Komunikasi Personal, 10 Desember 2011
Pergaulan dengan teman-teman kelompok yang semuanya beragama Islam membuat Ibu Lea lebih mudah mengenal agama Kristen dan akhirnya merasa
tertarik. Ketertarikan ini semakin mendalam dengan sikap para anggota gereja
Universitas Sumatera Utara
yang dirasa Ibu Lea cukup ramah dan khas dengan sentuhan kasih. Bu Lea menyadari ketertarikan ini dan dia menikmatinya di satu sisi, namun di sisi lain ia
mulai takut. Ia takut jika kegiatan ke gereja tersebut diketahui oleh orangtuanya. “Saya tertarik dengan khotbah pendetanya waktu itu. Pak pendetanya kan
kasi khotbah yang enak ya, terus khotbahnya itu membuat ngerasa „Oh Tuhan itu nggak jauh ya?‟ Tapi ya… yang paling, yang paling menyentuh
itu justru bawaannya jemaat itu lho. Mereka ramah, mereka welcome. Nggak tahu ya, baru sekali gereja udah
ngerasa apa ya… betah gitu lah. Ramahnya mereka itu, terus kasih itu nuansanya terasa banget. Bukan
yang urusanmu ya urusanmu, bukan gitu. Tapi, ini lho kita semua saudara, saling peduli. Itu ngena banget.”
Sumber: Komunikasi Personal, 10 Mei 2013
“Saya kan enjoy ya waktu itu. Seneng ketemu orang Kristen di gereja, terus temen-temen saya juga kan ada dua orang yang di gereja itu jadi saya
ngerasa nggak sendiri lah. Enak … Yang saya rasakan, yang saya rasakan, apa ya… Enjoy itu ya. Nah, paling sama takut Takut orangtua tahu. Kalau
tahu, ya habislah. Saya takut sama bapak. Dia kan tegas karena tentara ya. Tegas banget. Rada serem sebenernya saya. Lebih mikir kesitu. Kalau
dengan diri saya pribadi sih nggak terlalu apa ya… nggak yang gimana banget sih agama saya juga. Saya Muslim tapi mungkin boleh dibilang
yang liberal gitu lah. Semua keluarga memang Muslim. Keluarga besar saya dari ibu, dari bapak semua Islam tapi yang biasa aja gitu ya. Nggak
ada yang sampe jadi ustaz, ya orang sipillah. Ngerti kan? Nah, jadi saya juga nggak terlalu gimana ke Islam. Paling salat lah, puasa, ngaji. Lebih ke
ritual, kewajiban. Itu wajib ya saya jalankan. Itu ritual yang memang terbiasa dilakukan ya saya patuhi, tapi saya tidak sampai mikir mendalam
banget tentang kenapa ya saya harus salat, kenapa kalau haid nggak boleh puasa ya, itu nggak. Jadi, relatif nggak terlalu masalah ya saya rasa. Yang
saya pikirin itu cuma orangtua doang. Kalau saya sama diri saya nggak
masalah, malah seneng.” Sumber: Komunikasi Personal, 10 Mei 2013
Dalam melakukan konversi agama, setiap individu memiliki motif yang
berbeda-beda. Lofland dan Skonovd dalam Kurst-Swanger, 2008 menyatakan enam motif individu dalam melakukan konversi, yaitu: atas dasar keingintahuan
diri sendiri pada ajaran agama tertentu intellectual, alasan teologis mystical, ingin mendapatkan kenyamanan dalam kehidupan experimental, karena adanya
Universitas Sumatera Utara
hubungan baik dan bermakna yang dijalin dengan kelompok agama tertentu affectional, adanya ketertarikan khusus terhadap perilaku-perilaku danatau
kesaksian memukau dari anggota kelompok agama revivalist, ataupun karena adanya paksaan dari pihak-pihak tertentu coercive. Dalam hal ini, motif yang
mendorong ibu Lea adalah motif intellectual. Motif intellectual pada Ibu Lea yang tampak dalam rasa ingin tahu akan
ajaran Kristen secara mendalam, mengakibatkan ibu Lea semakin banyak membaca buku-buku tentang agama Kristen dan semakin rajin pergi ke gereja.
Usahanya untuk beribadah ke gereja dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan orangtua. Ia memberikan alasan yang berbeda setiap hari Minggu
agar dapat keluar rumah, misalnya dengan mengatakan bahwa ia harus mengikuti latihan basket atau karena perlu berkumpul di rumah temannya demi mengerjakan
tugas kuliah. Namun, pada akhirnya orang tua Ibu Lea menaruh curiga dan menanyakan kebenaran alasannya keluar rumah setiap hari Minggu. Setelah
ditanyai dengan serius, Ibu Lea mengakui kegiatannya pergi ke gereja. Kedua orangtuanya marah sekali, khususnya ayahnya. Ayahnya yang adalah seorang
tentara menyatakan dengan tegas bahwa jika Ibu Lea akan pergi ke gereja lagi, ayahnya tidak akan membiayai kebutuhan kuliahnya untuk selanjutnya, dan Ibu
Lea tahu bahwa ayahnya bersungguh-sungguh dengan pernyataannya tersebut. Walaupun konversi agama didasarkan pada alasan teologis, yang
merupakan alasan berkonotasi positif karena berhubungan dengan ketuhanan, hal tersebut tetap menjadi kontroversi. Mengapa? Karena bagi lingkungan sosial,
Universitas Sumatera Utara
konversi agama mengacaukan suatu pola kesatuan identitas agama yang telah ada dan telah dilakoni terus menerus sejak dahulu Rambo, 1998.
Pengalaman yang sama, ditentang oleh pihak keluarga karena akan melakukan konversi agama, juga dialami oleh Pak Haikal bukan nama
sebenarnya. Pak Haikal adalah seorang pengacara berusia empat puluh tahun yang melakukan konversi agama dari Kristen ke Islam dua belas tahun yang lalu.
Pak Haikal tumbuh dan besar dalam keluarga Kristen yang rajin beribadah. Ketika lajang, Pak Haikal adalah seorang pemuda gereja yang aktif dalam berbagai
kegiatan di gereja. Ia melakukan konversi agama setelah bertemu dengan seorang wanita, yang kini adalah istrinya, di Bandung. Perkenalan dan hubungan yang
dijalin dengan istrinya inilah yang kemudian membawa pak Haikal mulai mengenal agama Islam, yang kini menjadi agama yang ia anut.
“Sebenarnya gini ya, saya tertarik dengan istri aja awalnya, tapi... dia dengan adatnya, dengan keluarganya, dengan agamanya itu semua satu
paket? Saya tertarik dengan dia, saya tertarik juga dengan sikap dia yang ngargain agama saya. Dia itu selalu dorong saya untuk aktif latihan
pemuda gereja misalnya, walaupun itu udah pacaran lho ya. Nah, terus dia juga rajin salat nya. Nanti kita jalan atau makan kemana gitu, ke mall atau
kemanalah ya, namanya anak muda... dia
pasti bilang, „Bang, saya salat dulu ya‟. Dari situ awalnya Tap tap tap... jadilah saya mulai tertarik
pengen tahu Islam itu seperti apa sih, kenapa si eneng ini tiap habis salat wajahnya makin kelihatan adem gitu ya... tenang... Akhirnya, ya saya
kemudian banyak baca buku-buku Islam, tanya-
tanya sama dia juga.” Sumber: Komunikasi Personal, 22 Oktoer 2011
“Ya, saya dulu itu memang aktif sekali ya di gereja. Vokal grup, vokal solo. Gitarin orang nyanyi. Bahkan sering juga saya kotbah untuk acara-
acara kepemudaan gereja, kalau untuk umum nggak berani ya... tapi untuk yah lingkup kecil anak-anak muda, sering juga. Aktif memang ... Saya
kenalan dengan istri saya di Bandung. Dia fakultas sastra, saya hukum. Awalnya saya tahu dia Muslim dan saya nggak ada pikiran lah bahwa saya
bakalan sekarang berumah tangga dengan dia ... Ya cuma tertarik gitu ya, trus ngobrol-ngobrol. Nah, dari situ mulai deket deket deket sampe
akhirnya pacaran ... Singkat cerita, saya mulai kenalanlah dengan dunia
Universitas Sumatera Utara
Islam, tapi di sisi lain gereja jalan terus Nggak pernah bolong, aktif terus”
Sumber: Komunikasi Personal, 22 Oktober 2011 Perkenalan dengan agama Islam ini ternyata tidak hanya menjadi
perkenalan biasa bagi Pak Haikal, melainkan perkenalan yang menimbulkan ketertarikan lebih lanjut. Ia pun mulai bertanya dan bertanya kepada calon istrinya
tentang agama Islam tanpa pernah menduga bahwa di kemudian hari bahwa hal tersebut menjadi langkah perjalanannya menjadi seorang Muslim.
“Jadinya ya tanya-tanya. Menarik. Belajar. Ya, ya… nggak sesederhana itu tentu ya. Tapi maksud saya begitulah jalurnya. Belajar, dalam arti saya
mulai baca ya buku misalnya pengenalan akan Islam. Sama sekali, sama sekali nggak kepikiran mau pindah. Saya aktif di gereja kok waktu itu.
Jadi, jadi… kayak… kayak pelan-pelan menghayutkan lah istilahnya, karena saya sama sekali tidak menduga belajarnya saya itu bakal membuat
saya jadi kayak sekarang ini, gitu lho.” Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013
“Saya kan waktu itu aktif di gereja jadi saya nggak nggak ada… mikir ini bakal membuat saya pindah, nggak. Itu nggak sama sekali. Jadi kayak
nggak sadar gitu lho. Bukan sepele sih ya, tapi memang nggak kebayang sama sekali. Lha, saya kan bilang sambil tanya-tanya itu saya masih aktif
di kegiatan gereja?” Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013
Tiadanya dugaan akan konversi ini membuat Pak Haikal menjalani perkenalannya dalam keadaan biasa-biasa saja layaknya seseorang yang mengenal
orang baru tanpa pernah berpikir bahwa orang baru tersebut akan mengubah jalan hidupnya. Setelah beberapa bulan kemudian, ia belajar semakin mendalam,
bahkan mulai membandingkan ajaran yang baru dikenalnya itu dengan ajaran yang telah dianutnya sebelumnya. Dalam masa perbandingan inilah, Pak Haikal
menyadari bahwa dirinya sudah lebih condong ke agama Islam.
Universitas Sumatera Utara
“Menolak ya. Menolak sih awalnya. Nggak terima … Jadi selama belajar pun sebenarnya saya fine-fine aja waktu melihat perbedaannya, tapi kalau
salah satu terasa lebih tepat dari yang lain, kalau itu Kristen yang lebih tepat s
aya nggak masalah, tapi… ini pemahaman saya pribadi ya, saya bukan bilang saya pasti benar tapi inilah menurut saya. Menurut saya
justru banyak saya temukan yang saya rasa benar itu jadinya kok di Islam, gitu ya. Nah, awalnya nggak bisa terima. Gitu terus
waktu itu.” Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013
“Nggak bisa terima itu maksudnya gini… ada hal-hal yang setelah saya baca itu saya rasa lebih tepat di Islam, tapi… nah ini, tapi mula-mula
masih berusaha selalu membenarkan Kristen. Nggak terima istilahnya ya. Saya berusaha mencari argumen atau dalil agar kebenaran Islam itu nggak
terlalu mengganggu saya. Disitulah mulai sadarnya. Wah, udah mulai bahaya ini kayaknya, iya kan? Mulai terasa mengganggunya, tapi sadarnya
terlambat. Udah terjerat sih. Haha
ha… Itulah diam-diam, pelan-pelan ternyata udah hanyut, istilahnya ya.”
Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013
Penolakan denial awal Pak Haikal tentang kenyataan bahwa ajaran- ajaran Islam lebih dirasa tepat daripada Kristen tersebut, pada awalnya dapat
diatasi dengan mencari argumen-argumenn tertentu sehingga tidak terasa mengganggu. Namun, lama kelamaan dalam proses dua tahun pembelajarannya,
ia mulai berhenti bersikap demikian. “Capek sebenarnya ya begitu itu. Jadi lama-lama saya ya nerima juga
bah wa memang… pada akhirnya tidak bisa disangkal kan kalau orang
pindah agama itu karena dia merasa yang baru lebih benar dari yang lama. Nah, itulah gamblangnya. Saya juga gitu. Pemahaman saya pribadi
akhirnya berani ngakuin itu. Tapi proses kesitu itu kan yang tidak mudah … Tidak mudah maksudnya saya sebenarnya nggak suka. Nggak suka
saya menerima kenyataan ajaran Islam itu lebih tepat daripada apa yang sudah saya yakini dulu. Menolak terus awalnya … Tapi ya itulah ya…
kalau saya sih percaya ini kan bukan cuma urusan hebat-hebatan argumen kayak di ruang sidang ya. Bukan perkara saya pintar cari pembenaran yang
menyangkal apa yang baru saya pelajari itu.” Sumber: Komunikasi Personal, 12 Mei 2013
Menurut Pitt 1991 dan Hood, Hill Spilka 2009, konversi agama memang merupakan sebuah transformasi yang terjadi di dalam diri pribadi
Universitas Sumatera Utara
individu sendiri, namun konversi tidak pernah dapat terlepas dari interaksi sosial yang dialami oleh individu tersebut. Interaksi sosial ini mempengaruhi individu
untuk mengenal agama lain, menilai agama lain, dan pada akhirnya berpengaruh besar terhadap pembuatan keputusan individu untuk melakukan konversi atau
tidak. Seperti halnya calon istri Pak Haikal yang berpengaruh dalam memperkenalkannya kepada Islam, ibu dari Pak Haikal juga berpengaruh dalam
proses konversi yang terjadi. Sang ibu tidak rela jika Pak Haikal melakukan konversi.
“Saya sadar betul dengan putusan saya, saya tahu konsekuensi yang harus saya terima ... Tapi tahu dengan menjalaninya langsung itu dua hal yang
berbeda kan? Begitu saya bilang ke ibu usulan saya mau nikah dan mau pindah agama, Ibu saya langsung nangis ... Awalnya beliau cuma netes
airmata saja, lama-lama meraung-raung nggak terima anaknya ini, yang aktif di gereja, dibanggakan di kumpulan pemuda gereja... mau ninggalin
Kristen untuk masuk Islam. Sulit untuk dia percayai Terguncang rasanya lihat reaksi Ibu saya. Yang saya bayangkan dia marah-marah ngusir saya
dari rumah, ngapus nama saya dari kartu rumah tangga atau apalah, tapi... ternyata air matanya. Ini memang sudah lama berlalu ya, tapi tetap
pengalaman melihat ibu saya menangis itu pengalaman yang susah sekali saya lupakan. Ya jujur saja, sampai sekarang, kadang-kadang saya masih
merasa bersalah membuat ibu menangis, karena sebenarnya dari dulu saya adalah anak kesayangannya diantara empat bersaudara. Saya yang paling
dekat dengannya, paling dia banggakan kalau ngomong ke tetangga...” Sumber: Komunikasi Personal, 22 Oktober 2011
Pembuatan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif berdasarkan nilai dan ketertarikan individu Harris, 2009. Hal
ini sejalan dengan yang dikatakan Chan 2001 bahwa pembuatan keputusan adalah pemilihan alternatif dari dua alternatif atau lebih dalam situasi dan kondisi
tertentu. Alternatif-alternatif
tersebut diperhitungkan
kekurangan dan
kelebihannya dalam perhitungan yang teliti lalu dipilih satu alternatif yang terbaik, maka itulah pembuatan keputusan Simon, dkk., 1986.
Universitas Sumatera Utara
Pembuatan keputusan yang diangkat dalam penelitian ini bukan merupakan pembuatan keputusan yang kecil, seperti misalnya membuat keputusan
akan menghabiskan akhir pekan dengan keluarga atau dengan sahabat. Topik yang akan diteliti adalah pembuatan keputusan yang besar big decision. Keputusan
seperti ini, menurut Ullmann-Margalit 2006, merupakan keputusan yang bersifat personal dan transformasional, keputusan yang menjadi titik penting dan sangat
berarti dalam hidup seseorang. Akibatnya, keputusan ini juga mempengaruhi orang atau kelompok di luar individu yang membuat keputusan tersebut.
Pembuatan keputusan yang besar big decision memiliki karakteristik sebagai berikut: 1 bersifat transformatif atau berpengaruh besar. Pembuatan
keputusan yang dilakukan akan mentransformasi seseorang secara signifikan. Ketika menghadapi pilihan yang ada, individu ditempatkan pada persimpangan
jalan yang menuntut pertimbangan serius; 2 tidak dapat dibatalkan. Sekali keputusan diambil, keputusan tersebut tidak dapat dirubah kembali dan; 3
dilakukan dengan kesadaran penuh Ullmann-Margalit, 2006. Karakteristik-karakteristik big decision yang dikemukakan oleh Ullmann-
Margalit 2006 di atas adalah sejalan dengan hasil penelitian Miller dan C‟deBaca 1994, yang menemukan bahwa individu melihat pengalaman konversi
agama yang mereka lakukan adalah sebuah titik sentral atau watershed moment. Watershed moment adalah sebuah momen khusus yang sangat berpengaruh dalam
hidup individu. Momen ini merupakan sebuah titik penting ketika individu memilih suatu jalan yang setelah jalan tersebut dipilih, individu tidak dapat
membatalkan keputusannya. Ia, kemudian, harus menjalani keputusan yang telah
Universitas Sumatera Utara
dibuatnya dan tidak dapat membatalkan keputusan tersebut apapun yang menjadi resiko dari keputusan tersebut. Jenis keputusan seperti ini adalah jenis pembuatan
keputusan yang memiliki konsekuensi serius Janis Mann, 1977. Pembuatan keputusan yang besar big decision sering dilihat sebagai
pekerjaan yang sulit, sarat dengan emosi dan memicu stres pada kebanyakan orang. Maka tidak mengherankan bahwa manusia sering enggan untuk membuat
keputusan atas pilihan-pilihan yang kompleks Janis Mann, 1977; Hanselmann Tanner, 2008. Dalam hal ini, kedua subjek fenomena yang diwawancarai
peneliti mengungkapkan pengalaman stresnya masing-masing. Bu Lea mengatakan mengalami masa stres sesaat yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal dengan orang tuanya. Setelah ketahuan oleh orang tuanya bahwa pada hari Minggu ia kerap pergi ke gereja, orang tuanya melarang keras ia untuk
ke gereja lagi. Selain larangan, ayah dari Bu Lea juga mengusirnya dari rumah, dan hal ini merupakan masa-masa stres baginya.
“Hubungan dengan bapak juga otomatis jadi dingin. Bapak saya ngomong seperlunya saja... Saya bergumul sekali. Nangis. Curhat ke temen. Berdoa.
Pergi ke pendeta juga. Akhirnya, setelah mikir dan minta Tuhan juga tunjukkan jalan, saya berani-beraniin diri bilang ke Bapak kalo pengen ke
gereja lagi. Saya coba jelasin, tapi adanya saya nggak sempet jelasin
semua... Bapak udah ngomong „Kalo kamu mau gereja, gereja sana, tapi kamu jangan tinggal di rumah ini lagi‟ Saya nangis-nangis, tapi Bapak
nggak banyak ngomong terus pergi ninggalin saya di ruang tamu. Rasanya pedih banget, gimana ya bilangnya... Di bayangan saya, saya keluar rumah
artinya ya saya nggak akan pernah lagi ketemu bapak ibu, nggak diakui anak lagi. Itu yang sakitnya Waktu itu mau nangis ke ibu, tapi ibu juga
takut sama bapak kan. Jadi ibu ya justru jauh dari saya, adik-adik saya juga gitu. Nggak ada satu pun yang ibaratnya nguatin saya pas saya nangis gitu.
Mereka pada takut kalau mereka deket, bapak juga ikut marahin mereka.” Sumber: Komunikasi Personal, 10 Desember 2011
“Akhirnya saya ya keluar rumah. Waktu itu saya nebeng di kos temen, temen saya yang tahu jelas masalah saya. Lantas saya ya jadi kerja sambil
Universitas Sumatera Utara
kuliah. Nah, waktu itu tiap malam saya nggak berhenti nangis gitu ya... Nggak cuma bapak yang marah, bude pakde dan keluarga-keluarga yang
lain juga marah semua. Semuanya musuhin saya. Rasanya gimana ya... kayak buah simalakama lah. Kalau pilih orangtua berarti nggak Kristen,
milih Kristen berarti nggak boleh ke orangtua lagi. Bingung. Waktu itu saya sering juga minum obat tidur biar nggak usah mikir. Karena capek
banget lho mikirin itu tiap malam mau tidur. Pengennya nggak usah mikir aja, tidu
r aja.” Sumber: Komunikasi Personal. 10 Desember 2011
Konversi agama merupakan hasil dari proses perjuangan intrapersonal. Konversi umumnya diawali dengan perjuangan individu dengan dirinya sendiri,
yang juga mencakup pertimbangan dalam diri sendiri yang tidak mudah Barrotta Dascal, 2005. Ketika di dalam diri individu terdapat dua suara berbeda tentang
suatu hal, individu akan mengalami konflik intrapersonal. Terjadi pertarungan intrapsikis yang menyita energi untuk diselesaikan Leone, 2005. Hal ini
dirasakan oleh Pak Haikal juga. “Ya kayak hidup di dua dunia ya. Satu sisi kaki ini berpijak di keluarga
saya yang saya cintai lho ya... satu lagi berpijak di Islam yang saya yakini. Jadi, seperti terbelah. Nah, disitulah masa-masa suram kalau saya
menyebutnya ya... Tapi itu tidak sesuram kalau yang jadi bahan pemikiran adalah kepala ini membanding-bandingkan ajaran Kristen yang sudah saya
terima dengan ajaran Islam yang belakangan saya tahu. Wah, kalau udah yang itu... kata kawan satu kontrakan saya ud
ah hampir kayak orang gila.” Sumber: Komunikasi Personal, 20 Oktober 2011
Pada akhirnya, dalam keadaan stres dan bingung seperti di atas, individu mau tidak mau akan terdorong untuk membuat keputusan. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teori pembuatan keputusan menurut Janis Mann 1977. Dalam bukunya Decision Making: A Psychological Analysis of Conflict,
Choice, and Commitment, Janis Mann 1997 mengemukakan lima tahap yang dilalui seseorang dalam proses pengambilan keputusan. Tahapan tersebut adalah:
menilai informasi yang diterima, menilai alternatif yang ada, menimbang
Universitas Sumatera Utara
alternatif, membuat komitmen, dan tetap menjalankan komitmen walaupun ada umpan balik negatif. Masing-masing tahap dalam proses pembuatan keputusan
tersebut memiliki karakteristik tersendiri yang memunculkan dinamika dalam diri individu si pembuat keputusan.
Fenomena-fenomena yang dituturkan oleh Bu Lea dan Pak Haikal adalah fenomena yang pelik untuk dihadapi. Dalam kedua fenomena di atas, baik Bu Lea
dan Pak Haikal dihadapkan pada fenomena yang menuntut mereka membuat sebuah keputusan yang tidak dapat dibatalkan jika sudah diputuskan. Bu Lea
dihadapkan pada pilihan antara keluarga yang ia cintai dengan agama baru yang begitu menarik baginya. Pak Haikal dihadapkan pada kesulitan menentukan
memilih agama yang ia percayai sejak kecil atau agama yang baru ia kenal, dimana keduanya memiliki kebenaran-kebenaran yang justru membuatnya terjepit
diantaranya. Motif intelektual yang Pak Haikal dan Bu Lea rasakan juga turut berperan serta dalam mengantarkan mereka menjalani serangkaian proses yang
tidak mudah hingga akhirnya dapat memilih mengambil keputusan untuk melepas agama terdahulu lalu memeluk agama yang kemudian. Berdasarkan hal yang
dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti proses pembuatan keputusan pada individu yang melakukan konversi agama.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah