Adhering despite Negative Feedback

ibunya, Hijrah memberitahu tanpa ada beban. Terhadap adiknya, ia sedikit merasa berat karena pada saat itu adiknya masih beragama Kristen. “Kalau ke adik, karena waktu itu masih Kristen ya... Ya aku bilangnya pelan- pelan sih. „Dik, Kakak sekarang sudah jadi Islam. Maaf ya, apa yang tidak kita sukai dulu, apa yang tidak kita setujui dulu pas ibu pindah, ternyata aku pun melakukannya. Ternyata aku pun memang murni karena keinginan sendiri dan pertimbangan, jadinya pindah juga.‟ Dia cuma jawab, „Iya.‟ Dia cuma jawab gitu aja. Kan kayaknya dia juga udah bisa menduga aku bakalan pindah, gitu.” R1. W1b. 1094-1104h. 24 Menghadapi teman-temannya di Aceh, Hijrah tidak mengalami kendala berarti dalam menunjukkan identitasnya yang baru. Hal ini dikarenakan hubungan Hijrah dengan teman-teman kosnya yang Kristen tidak terlalu akrab. “Langsung ya, setelah saya sah di masjid itu, ya saya besoknya langsung bilang ke teman-teman. Kebetulan saya kan nggak dekat-dekat banget sama teman-teman yang Kristen, lagipula sedikit kan disana, jadi nggak... nggak terlalu gimana. Nggak terlalu berat gitu lah.” R1. W2b. 1262-1269h. 26

e. Adhering despite Negative Feedback

Adhering despite Negative Feedback merupakan tahap yang dilalui seseorang setelah ia membuat keputusan tertentu di tahap sebelumnya. Di tahap ini terlihat bahwa individu dapat tetap berkomitmen atau bertahan dengan keputusan yang telah dibuatnya wlaaupun ada balik negatif baik yang diterimanya, baik dari luar dirinya maupun dari dalam dirinya sendiri. Berikut akan dijabarkan umpan balik yang diterima Rahel dari lingkungannya dan cara Rahel dalam mengatasi umpan balik negatif tersebut hingga akhirnya Rahel tetap bertahan dengan keputusannya hingga sekarang. Universitas Sumatera Utara Tantangan dari Lingkungan Sekolah di Medan Selanjutnya, ketika libur semester, bulan Desember 2004, Hijrah pulang ke Medan. Di kota asalnya ini, ia kembali bertemu dengan teman-teman sekolah dan orang-orang lingkungan rumahnya. Tanpa perlu mengeluarkan sepatah kata, orang-orang di sekitar Hijrah sudah dapat mengetahui fakta bahwa Hijrah telah melakukan konversi agama ke Islam. Mengapa? Karena jilbab yang dikenakan Hijrah kemanapun ia pergi sudah menjadi sebuah petunjuk sahih tentang identitas agamanya yang baru. Hanya saja, tetap ada beberapa teman yang menanyakan secara langsung kebenaran hal tersebut kepada Hijrah. “Kadang-kadang ada juga sih yang langsung tanya, gitu, „Eh, benar ya udah pindah agama, kenapa kayak gitu?‟ gini gini gini. „Boleh lihat nggak KTPnya?‟ Bahkan ada yang berani kayak gitu, mungkin karena dulu temen sekolah, gitu ya. Jadi ada yang nanya langsung, gitu.” R1. W2b. 424-430 h. 9 Suatu saat, ketika pulang ke Medan, Hijrah harus datang ke sekolah adiknya untuk mengurus suatu kepentingan akademis. Hal ini berarti ia harus bertemu lagi dengan guru SMA nya yang dulu, karena ia dan adiknya bersekolah di SMA yang sama. Ketika bertemu dengan seorang guru, si bapak guru menanyai Hijrah dengan pertanyaan beruntun. “Nah, setelah itu kembali ditanya, „Memang iya?‟ begini begini begini. „Jadi, mana coba lihat KTPmu? Bapak nggak percaya,‟ begitu begitulah. „Jadi udah bisa kau sekarang salat?‟ ... Jadi ya memang riil banget lah perlakuan mereka, baik sebelum pindah maupun sesudah p indah.” R1. W2b. 506-515h. 11 Hijrah merasa sangat tidak nyaman menerima pertanyaan demi pertanyaan seperti itu. Ketidaknyamanan ini jelas bukan ketidaknyamanan pertama atau kedua, namun sudah kesekian kalinya. Hijrah tidak dapat menoleransi lagi Universitas Sumatera Utara perlakuan guru yang seperti itu kepadanya. Maka, Hijrah memilih menjawab pertanyaan itu dengan jelas dan tegas agar si bapak guru mengetahui keputusan yang sudah dibuatnya dan sekaligus agar si bapak guru juga berhenti memperlakukannya seperti itu. “Ngerasa sangat nggak nyaman ya, tapi lebih kepada merasa terinjak- injak. Jadi kayaknya habis takut datang berani ya, habis gelap datanglah terang. Habis takut datang berani, „Wah ini nggak bisa Ini harus dikasitahu Ya kalau mereka terima aku, terima apa adanya. Kalau mereka nggak terima, ya udah Biar tahu dari sekarang aku harus bersikap gimana ke mereka. Cukuplah dari dulu mereka bersikap ke aku. Aku harus ambil sikap‟ gitu. Jadi, „Saya sudah begini, Pak‟ begini begini.” R1. W2b. 489-500h. 11 Tantangan dari Lingkungan Tempat Tinggal di Medan Pertanyaan-pertanyaan sedemikian bukan datang dari guru dan teman- teman yang Kristen saja, namun juga dari umat Muslim di lingkungan rumah Hijrah di Medan. “Semua perlakuan yang sama ... sama yang Muslim juga, misalnya saya pergi taraweh gitu, „Eh, dulu kan Kristen kan?‟ begini begini begini. Berani Langsung, gitu „Jadi udah bisa salat? Jadi udah salat kau sekarang?‟ gini gini gini. „Jadi adekmu di sekolah kek mana itu? Masih Kristen lagi? Jadi natalan juga kalian ke rum ah sodara kalian?‟ gitu gitu. Itu kan menyakitkan gitu lho.” R1. W2b. 556-570h. 12 Pertanyaan-pertanyaan menyelidik yang diberikan oleh lingkungan sosial tak bisa dipungkiri membuat Hijrah merasa tidak nyaman dan sedih. Namun tidak lama kemudian, ia berpikir bahwa bagaimanapun ia telah membuat sebuah keputusan, maka ia harus siap menghadapi resiko dari keputusan yang ia buat. Karena itu, Hijrah menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya Universitas Sumatera Utara sehingga orang-orang di sekitarnya mengetahui bahwa ia memang sudah melakukan konversi agama ke Islam. “Yah, mau nggak mau aku ngerasa nggak ada yang perlu disembunyiin. Dan... sampai berapa lama sih, gitu. Aku berani ambil keputusan ini, aku harus berani dong dengan resikonya. Tadi kan aku udah bilang itu pilihan. Ya aku kasitahu apa adanya.” R1. W2b. 430-436h. 9 “... aku jawab cuma „Ya bagiku agamaku, bagimu agamamu. Jalanin aja‟ Itu yang paling kasar aku bilang ya. „Ya aku udah memilih. Ya ini aku Kalau mau menerima ya udah. Kalau nggak, apa boleh buat? Jauhin juga nggak apa- apa, aku udah siap‟” R1. W2b. 572-578h. 12 Tantangan dari Teman-Teman di Medan Di sisi lain, Hijrah merasa senang dengan sikap beberapa teman dekatnya yang ia temui, misalnya dalam sebuah acara reuni. Teman-teman dekatnya, yang mayoritas adalah Kristen, dengan sedemikian rupa berusaha membuat keadaan pertemuan tersebut terasa biasa-biasa saja. Mereka tidak ada menyinggung sedikit pun tentang konversi yang terjadi. Mereka bersikap demikian, walau sesungguhnya mereka tahu tentang konversi yang dilakukan Hijrah. Dalam keadaan seperti itu, Hijrah justru terdorong untuk memberitahu kepada mereka tentang perubahan identitas agama yang ia lakukan. Begitulah cara Hijrah untuk memberitahu lingkungan sosialnya tentang pembuatan komitmen yang ia lakukan. “Aku nggak tahu bisa menerima apa nggak, tapi berusaha untuk biasa aja ... Kalau mereka berusaha biasa aja, nggak nanya, aku menampakkan itu, karena aku senang. Senangnya karena mereka berusaha untuk nggak ada kejadian apa- apa ... Nah, nanti kan aku bisa bilang, misalnya, „Aduh, udah jam segini nih, mau magrib,‟ artinya kan mereka mengerti, jadi aku berusaha secara nggak langsung ngasi tahu bagi yang nggak nanya. Tapi kalau ada yang nanya, aku jawab langsung.” Universitas Sumatera Utara R1. W2b. 1001-1104h. 21 Tantangan dari Dalam Diri Sendiri Pasca konversi yang Hijrah lakukan, umpan balik negatif tidak hanya berasal dari luar dirinya seperti yang terurai di atas, namun juga dari dalam dirinya sendiri. Dari dalam dirinya adalah tuntutannya terhadap dirinya sendiri yang ia rasa tidak cukup konsisten melakukan hal-hal yang menjadi tanggung jawab seorang umat Islam. Seperti yang sudah terungkap di atas, lingkungan sosial Hijrah di Medan tidak menyambut positif perubahan identitas agama Hijrah. Mereka memberikan pertanyaan-pertanyaan menyelidik yang membuat Hijrah merasa tidak nyaman dan sedih. Hanya saja, karena ini merupakan sebuah umpan balik yang sudah diduga dan dipertimbangkan Hijrah sebelumnya, ia tidak mengalami kendala yang berarti ketika menghadapinya. Umpan balik negatif ini social negative feedback hanya mengguncang Hijrah sementara waktu. Setelahnya, ia bahkan menjadi berani untuk membuka diri. Hanya saja, umpan balik negatif tidak hanya berasal dari lingkungan sosial, namun juga dari diri Hijrah sendiri, yaitu tentang masalah berbusana sebagai seorang wanita Muslim. Pada tahun 2008, Hijrah pindah ke Medan untuk melanjutkan studinya di jenjang magister. Perubahan tempat tinggal ini ternyata membawa pengaruh tersendiri bagi Hijrah. Ia merasa dirinya semakin tidak disiplin dalam melakukan aturan-aturan agama yang sebelumnya ia jalankan dengan baik di Aceh. Universitas Sumatera Utara Hijrah merasa Medan, dengan segala modernitasnya, lebih bersifat longgar dalam hal aturan agama Islam daripada Aceh. Misalnya saja, karena memang hampir semua wanita di Aceh mengenakan pakaian tertutup dan jilbab, maka tidak sulit bagi Hijrah untuk konsisten dengan mengenakan pakaian sedemikian. Celah untuk keluar dari aturan tersebut memang ada, namun kecil sekali. Berbeda halnya dengan Medan. Medan, dengan beraneka ragam suku dan agama yang mendiaminya, secara tertulis maupun tersirat, tidak menuntut setiap wanita beragama Islam untuk mengenakan pakaian tertutup dan jilbab. Hal tentang itu, dikembalikan kepada kesadaran tiap-tiap individu. Disinilah awal mula permasalahannya. Hijrah tidak selalu dapat konsisten untuk mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Situasi Medan yang lebih liberal dan menawarkan banyak fasilitas-fasilitas sekular, membuat ia kadang-kadang tidak dapat melaksanakan aturan-aturan agama seperti yang dilakukan di Aceh dulu. “Nah jadi ketika disini, dengan fasilitas-fasilitas yang ada di Medan, itu benar- benar bikin gamang kembali ya. Gamang dalam artian „Semakin berat ini‟ Kenapa? Karena kalau di sana, kita tidak terlalu nyaman berjilbab, tapi kita memang harus berjilbab, gitu. Memang harus ... Gitu, karena memang tuntutan daerahnya seperti itu. Nah, ketika di sini dengan fasilitas- fasilitas yang serba wah gitu ya...” R1. W2b. 350-361h. 8 “Mau nggak mau kita harus beli baju panjang karena tersedia memang hanya yang panjang. Nah, kalau di sini, kita pengen berenang otomatis kita pakai pakaian renang. Mulai. Sebenarnya bisa sih netapin ke diri sendiri, tapi diri sendiri juga yang menawar aturan- aturan itu. „Ah, bolehlah sekadar pake kaos aja.‟ Lama-lama, „Kaos tangan pendek pake jeans kan masih panjang.‟ Lama-lama, „Panas nih udaranya, nggak usah pake jilbab lah dulu.‟ Ya lama-lama jadilah seperti ini tersenyum menunjuk gaya berbusananya pada saat sesi wawancara. Gitu.” R1. W2b. 377-390h. 8-9 Universitas Sumatera Utara “Jadi otomatis berat sekali, gitu.” R1. W2b. 372h. 8 Walau keadaan Medan membuat Hijrah kurang disiplin dalam mengenakan jilbab, dari lubuk hatinya Hijrah selalu berusaha untuk dapat konsisten dalam pemakaian jilbab tersebut. “Jadi ketika di Medan sini, aku lebih berusaha mengadaptasikan. Ketika aku memang nggak sanggup sampe ke lingkungan temen, ke lingkungan main, kayak gini ini menunjukkan dirinya yang sedang tidak mengenakan jilbab, aku berusaha di lingkungan kampus gitu... di lingkungan kerja... di lingkungan ketemu dengan rekan-rekan ini... aku usahakan pake. Minimal, kalau kita belum bisa mengikuti, kita menghargai lah.” R1. W3b. 1653-1670h. 39 “Jadi bukan masalah kita serius atau tidak serius, tapi godaan tetap ada, gitu. Godaan tetap ada Dan sebisa mungkin kita berusaha. Berusaha, gitu. Ya berusaha, berusah a...” R1. W3b. 1558-1564h. 34 Tetap bertahan melakukan suatu aturan di tengah aneka godaan untuk lepas dari aturan itu memang bukan perkara yang mudah. Hal tersebut menuntut disiplin diri yang terus menerus. Tantangan ini tidak lantas membuat Hijrah menyesalkan tindakannya melakukan konversi agama. Ia tidak mempertanyakan tentang kebenaran tindakannya melakukan konversi agama ke Islam. Ia hanya mempertanyakan dirinya sendiri atas ketidakdisiplinannya dan bagaimana ia harus merubah hal tersebut. “Kalau mempertimbangkan ulang tetap mempertimbangkan ulang, tapi tidak untuk niatan kembali. Tidak untuk niatan kembali. Hanya mempertimbangkan, „Kamu udah milih. Sebenarnya kamu memilih waktu itu karena apa?‟ Jadi lebih kepada nanyain diri sendiri, „Sebenarnya siap nggak? Kenapa sekarang jadi begini? Lalu harus berapa lama ini? Harus bagaimana? Artinya kamu memilih itu bukan karena diri kamu. Kenapa? Karena ketika kamu lepas dari lingkungan itu, kamu nggak bisa‟ Jadi lebih kepada nyalahin diri sendiri, gitu.” R1. W2b. 688-698h.14-15 Universitas Sumatera Utara Senantiasa Menuntut Diri agar Menjadi Lebih Baik Demikianlah umpan balik negatif yang Hijrah berikan kepada dirinya. Sebuah refleksi atas kesenjangan antara hal yang seharusnya ia lakukan dengan hal yang pada kenyataannya ia lakukan. Jilbab adalah salah satu contoh. Masih ada hal lain yang menjadi sumber umpan balik negatif misalnya salat yang tidak setertib di Aceh dan kemunduran semangat untuk mendalami agama Islam. “Pertimbangan-pertimbangan yang berusaha menguatkan, „Harusnya kamu kembali Harusnya kamu mencari. Ketika nggak ada lagi yang ngajarin karena bukan daerahnya, kamu yang mencari dimana ilmu itu‟” R1. W2b. 699-703h. 15 “Sampe hari ini menekan diri sendiri, „Mana? Mana? Berarti salatnya tertib karena disana dong. Berarti kalau aku dipindahkan ke Cina bisa jadi orang Cina aku ini. Mana?‟ gitu.” R1. W2b. 848-852h. 18 Hingga sekarang, Hijrah masih menuntut dirinya sendiri untuk dapat melakukan ajaran-ajaran Islam dengan konsisten. Namun, ia tetap berpegang dengan komitmen yang sudah dibuatnya di Aceh pada 11 September 2004 silam. Walau ada umpan balik negatif dari lingkungan dan dari diri sendiri, Hijrah tetap setia dengan komitmennya memeluk Islam sebagai agamanya. Universitas Sumatera Utara Tahap 3 konversi Keterangan Gambar 4.1: Gambar 4. 1. Gambar Tahapan Pembuatan Keputusan Responden I Tahap 1 a Merasa hidup di dua dunia: Kristen dan Islam. Tidak memiliki sikap yang jelas. Maka harus ada sikap yang jelas hendak ke agama mana. Decisional conflict: konversi tidak konversi Tertarik dan ingin menjadi Islam. Menjadi Islam berarti beresiko dijauhi oleh lingkungan sosial di Medan. Ingin menjadi Islam, namun juga tidak ingin dijauhi oleh lingkungan di Medan. Tahap 3 1. Merasa bersalah ke Tuhan sebelumnya. Namun segera dapat berpikir, “Tuhan pasti mengerti.” 2. Pertimbangan akan lingkungan di Medan “Bagaimana kira-kira rekasi teman- teman-teman, lingkungan tempat tinggal dan keluarga di Medan?” “Tentang keluarga. Kalau kemarin saja ibu pindah agama disikriminasi, apalagi bila saya konversi juga, bisa malah putus komunikasi.” Motif Konversi: Intellectual Tertarik dengan agama Islam yang dinilai tertib dan detail Situasi Kondisional 1. Ibu sudah lebih dahulu konversi ke Islam 2. Pemahaman akan agama Kristen tidak cukup kuat 3. Memiliki hubungan yang renggang dengan gereja 4. Tinggal di Aceh yang penduduknya mayoritas Islam. 3. Pertimbangan akan diri sendiri “Ada banyak hal di Islam yang tidak mudah untuk dilakukan. Apakah saya yakin saya dapat mengikuti semua aturan dan ritual bila kelak saya konversi?” SANGAT STRES dan RAGU “Kalau begini banyak resikonya apakah saya menjalani yang agama yang lama saja? Toh semua agama itu baik?” Tahap 1 b “Kok kayak anak-anak ya saya: sebentar maju sebentar mundur. Masa karena pro dan kontra, ketertekanan keluarga, mimpi- mimpi, rasa bersalah, aku harus mundur? Aku harus bersikap” Tahap 4 Mengucapkan dua kalimat syahadat Tahap 5 Tetap bertahan walau ada tantangan dari: 1. Lingkungan sekolah di Medan 2. Lingkungan tempat tinggal di Medan 3. Teman-teman di Medan 4. Diri sendiri Universitas Sumatera Utara Keterangan Gambar 4.1.: Tahap 1 : Appraising the Challenge Tahap 1 a : Responden menilai konflik yang ia rasakan harus dia sikapi. Dia merasa ia harus memilih. Ketertarikan terahadap Islam sudah ada, namun belum dominan. Artinya, walau hatinya sudah tertarik dengan Islam dengan segala keteraturan dan detail kehidupan beragamanya, ia masih bersikap netral terhadap Kristen. Tahap 1 b : Responden kembali merasakan konflik antara konversi dengan tidak konversi. Namun pada tahap ini keinginan hatinya sudah dominan condong ke Islam dengan pertimbangan utama ada banyak perilaku beragama di Islam yang akan membuat hidupnya lebih baik. Tahap 3 : Weighing Alternative Tahap 4 : Deliberating about Commitment Tahap 5 : Adhering despite Negative Feedback Universitas Sumatera Utara

B. Responden II

I. Identitas Diri

Tabel 4.3 Identitas Diri Responden II No Data Responden II 1 Nama Rahel nama samaran 2 Jenis Kelamin Perempuan 3 Usia 43 tahun 4 Pendidikan terakhir S2 Pastoral Konseling 5 Pekerjaan Pelayanan Kristen 6 Suku bangsa Jawa 7 Proses Konversi Kristen → Islam 8 Tahun Konversi 1996 Rahel adalah wanita Jawa berusia empat puluh tiga tahun yang lahir dalam keluarga beragama Islam. Ia membuat keputusan melakukan konversi agama menjadi seorang Kristen pada tahun 1996, ketika usia Rahel dua puluh enam tahun, setelah mengalami pengalaman religius tertentu di rumah orangtuanya di Jember, Jawa Timur. Sepuluh tahun setelah konversinya Rahel melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua untuk lebih mendalami kekristenan, yaitu dalam bidang pastoral konseling. Maka, kini wanita yang memiliki seorang anak dan menetap di kota Medan ini sehari-hari menjadi ibu rumah tangga dan melakukan tugas sosial pelayanan Kristen kepada komunitas remaja dan orang muda.

II. Data Observasi Umum

Observasi ini dilakukan pada saat proses wawancara dengan responden berlangsung. Universitas Sumatera Utara

a. Data Observasi pada Wawancara I

Rahel adalah seorang wanita dengan tinggi badan sekitar 147 cm dan berat badan kurang lebih 50 kg. Wanita kelahiran Jember ini mengenakan kacamata dalam kesehariannya. Wawancara yang dilakukan terhadapnya berlangsung sebanyak dua kali di tempat yang sama, yakni di rumah Rahel. Wawancara perdana dilakukan pada pukul 10.30 pagi sesuai dengan perjanjian yang telah diatur sebelumnya. Ketika peneliti datang, Rahel tampak sudah siap untuk diwawancara. Wawancara yang berlangsung sekitar sembilan puluh menit itu terjadi di ruang tamu Rahel yang berukuran 4x5 meter. Di depan ruang tamu terdapat teras kecil, dan di belakangnya adalah ruang makan dan tangga menuju lantai dua. Pagi itu, Rahel di rumah dengan suami dan putri tunggalnya. Namun, ketika wawancara akan dimulai, suami Rahel berangkat kerja dan putrinya pergi ke lantai dua. Maka, suasana yang terbangun selama wawancara terjadi memang cukup tenang tanpa ada gangguan dari pihak lain. Karena kebutuhan untuk merekam wawancara dengan suara yang jernih, peneliti duduk di bangku yang sama dengan Rahel sambil memegang alat perekam. Dari jarak yang cukup dekat, 50 centimeter, peneliti dapat melihat aneka ekspresi wajah Rahel ketika menjawab pertanyaan.

b. Data Observasi pada Wawancara II

Sama dengan wawancara pertama, wawancara kedua berlangsung di rumah Rahel, di ruang tamu yang sama juga. Saat itu, pukul empat sore, Rahel mengenakan kaos hitam dan rok hitam selutut. Ia terlihat mengenakan kacamata Universitas Sumatera Utara yang sama dan gaya berdandan yang sama pula dengan yang tampak di wawancara pertama. Selama wawancara berlangsung, Rahel menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti. Sesekali tampak ia mengerutkan kening dan diam sejenak seraya memakukan pandangannya ke meja atau ke dinding ketika berusaha mengingat sebuah kejadian tertentu. Rahel memiliki dua rumah yang bersebelahan letaknya. Satu rumah digunakan oleh Rahel dengan keluarganya. Rumah yang satu lagi digunakan sebagai tempat tinggal delapan ekor anjingnya. Maka, tak heran di tengah-tengah wawancara yang berlangsung selama empat puluh lima menit itu, sesekali terdengar suara anjing yang menggonggong sahut-menyahut. Hal ini cukup mengganggu kelancaran proses wawancara karena terkadang peneliti tidak mendengar jelas apa yang dikatakan Rahel. Mengatasi keadaan ribut seperti itu, Rahel segera tanggap untuk berhenti berbicara dan melanjutkan pembicaraan itu kembali setelah anjing-anjingnya berhenti menggonggong, setelah suasana kembali tenang. Rahel bersifat kooperatif selama proses wawancara berlangsung.

c. Data Observasi pada Wawancara III

Wawancara ketiga kalinya berlangsung masih di tempat yang sama, yaitu kediaman Rahel. Wawancara berlangsung di ruang tengah rumah Rahel, seperti biasanya. Tanya-jawab antara peneliti dengan Rahel berlangsung lancar. Rahel menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti. Sesekali ia tersenyum dan tertawa. Suasana yang membungkus wawancara itu adalah suasana santai dan Universitas Sumatera Utara tenang. Keadaan rumah pada pagi itu memang tenang setelah suami dan anak Rahel berangkat kerja dan sekolah. Televisi dimatikan, suara yang tersisa hanya suara tanya-jawab antara peneliti dan Rahel.

d. Data Observasi pada Wawancara IV

Tidak berbeda dengan wawancara-wawancara sebelumnya yang bertempat di rumah Rahel, wawancara keempat juga mengambil tempat yang sama. Sore itu, sekitar pukul 18:00 WIB, Rahel menerima peneliti duduk di ruang tamunya untuk melakukan wawancara. Wawancara yang berlangsung kurang lebih selama 110 menit itu berlangsung lancar walau diselingi dengan gangguan listrik yang padam. Rahel yang mengenakan kemeja batik lengan panjang dan rok hitam selutut pada malam itu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dengan sabar. Sesekali ia tampak mengerutkan kening sambil diam memakukan pandang pada meja yang ada di depannya untuk mengingat-ingat detail yang ditanyakan peneliti. Secara keseluruhan, wawancara keempat berjalan dengan lancar.

III. Data Wawancara

Sama dengan responden 1, pemaparan data wawancara responden 2 yang akan peneliti sajikan di bawah ini juga berpedoman pada tahapan pembuatan keputusan menurut Janis Mann 1977. Universitas Sumatera Utara

1. Latar Belakang Kehidupan Rahel