Latar Belakang Kehidupan Hijrah

Sesekali Hijrah mengulang pernyataannya ketika peneliti kurang mendengar apa yang Hijrah katakan akibat kerasnya suara kendaraan yang lewat di jalanan di depan warung tersebut. Wawancara yang berlangsung kurang lebih satu jam lamanya berjalan dengan lancar.

III. Data Wawancara

Pemaparan data wawancara responden 1 yang akan peneliti sajikan di bawah ini berpedoman pada tahapan pembuatan sebuah keputusan menurut Janis Mann 1977.

1. Latar Belakang Kehidupan Hijrah

Kehidupan Kanak-Kanak Hijrah Hijrah merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dalam keluarga beragama Kristen. Pada waktu ia duduk di bangku TK Taman Kanak- Kanak, ayahnya meninggal dunia. Sepeninggal sang ayah, ibunya melanjutkan kehidupan dengan melibatkan Hijrah serta kedua adiknya dalam urusan-urusan rumah tangga. Hijrah kecil tidak hanya diperlakukan sebagai anak oleh ibunya, namun juga sebagai teman dalam menjalankan biduk rumah tangga. “Dua-dua orang tua Kristen, lalu ayah saya meninggal lalu ibu saya masuk Islam. Basic-nya semua dulu Kristen. Sampe sekarang semua keluarga besar Kristen.” R1.W1b. 292-297h. 7 Universitas Sumatera Utara “... ketika Bapak meninggal, Ibu melibatkan kita untuk berpikir di segala bidang, ya termasuk juga pertimbangan tadi itu ya: ekonomi dan lain sebagainya. Semua, semua. Bukan berarti kita harus terjun, terlibat misalnya „Ini Bapak udah nggak ada. Kita maunya gimana? Bapak nggak ada tinggalkan pensiun atau apapun. Kita hanya punya rumah, kalau ini kita jual, kita harus bagaimana?‟ gitu, sementara akunya masih TK...” R1. W2b. 1668-1682h. 37 Dalam hal agama, pemahaman Hijrah kecil tentang agama Kristen adalah pemahaman agama yang tidak jauh berbeda dengan kebanyakan anak-anak kecil Kristen lainnya. Ia pergi ke sekolah minggu dan mengikuti perayaan-perayaan Natal. Ia terbilang cukup aktif dalam menyemarakkan perayaan tersebut, misalnya dengan berperan dalam drama Natal. Ibu Konversi ke Islam Waktu bergulir, kehidupan terus bergerak maju. Peristiwa demi peristiwa mewarnai hidup silih berganti, beberapa datang dan pergi begitu saja, namun beberapa lagi hadir dan berlalu dengan meninggalkan kesan yang mendalam. Kesan mendalam dirasakan Hijrah ketika ia duduk di bangku SMP, ibunya memutuskan melakukan konversi agama ke Islam. Ini bukan peristiwa yang biasa- biasa saja. Ini sebuah peristiwa yang cukup berarti yang meninggalkan kesan mendalam bagi Hijrah. Keluarga besar Hijrah, yang keseluruhannya beragama Kristen, bereaksi keras menentang tindakan yang dilakukan oleh sang ibu. Mereka memberikan perlakuan diskriminasi terhadap Hijrah dan keluarganya. “Lebih kepada didiskriminasi ya. Dalam artian ya perlakuan, perkataan, termasuk juga bila ada acara keluarga, jelas ada pengkotak-kotakan karena kita sudah beda agama, meskipun basic nya tetap satu adat. Tapi ya Universitas Sumatera Utara adalah pengkotak-kotakan... Seperti paman, bibi, terlihat sekali perlakuan mereka semua itu berbeda...” R1.W2b. 5-21h. 1 “... itu juga hanya untuk momen-momen yang amat penting kita baru dihubungin, kare na merasa memang beda agamanya...” R1.W2b. 26-30h. 1 Bukan hanya keluarga, lingkungan tempat tinggal Hijrah yang mayoritas Kristen juga memberi sikap negatif terhadap konversi sang ibu. Kenyataan ini menjadi beban bagi Hijrah yang, pada dasarnya, juga tidak suka dengan pilihan ibunya tersebut. “... di jalan mau ke gereja aja orang entah udah gimana-gimana ngelihat kita, bahkan nanya, „Mamanya kan Islam?‟ ... Kita kan nggak bisa nyaman nerima, „Iyaaaa‟, gitu. Kita nya aja sebenarnya nggak nerima, gitu. Siapa sih yang nerima ibunya pindah agama? Kita aja belum nerima, gimana lagi mau nerima tekanan dari orang lain?” R1. W1b. 1173-1188h. 26-27 Menariknya, kenyataan bahwa sang ibu melakukan konversi agama, tidak membuat Hijrah yang kala itu duduk di bangku Sekolah Dasar seketika berkeinginan untuk ikut konversi juga. Padahal, walau tidak pernah diajak oleh ibunya untuk konversi, Hijrah mengaku bahwa sebenarnya sang ibu mengarahkan kedua anaknya secara halus. Ditambah lagi, kenyataan bahwa ia memiliki identitas ganda seperti yang disebutkan di atas. “Ketertarikan untuk ikut pada saat itu sama sekali belum ada … Justru kita masih kecil ya, jadi masih merasa egois-egoisnya, ya itu hakku ya aku. Malah, kan saya bilang nggak ada dipaksa, nggak diajak tapi diarahkan, justru kita makin kuat nih... „Apa nih ngajak-ngajak?‟ jadi malah lebih lebih... lebih yakin ke keyakinan waktu itu Kristen. Gitu. Nggak ada kepikiran buat ngikut sama sekali. Sama sekali nggak ada.” R1. W3b. 53-69h. 2 “Sama sekali tidak tertarik Sama sekali tidak tertarik. Tidak ada kepikiran bahwa, bahkan merasa tidak ada kemungkinan karena kita merasa disudutkan … Maksudnya ibu nggak nyuruh tapi kita merasa „Kok kita Universitas Sumatera Utara kayak diarahin ya?‟ dan kita semakin ini... Ibu kita nggak nyuruh nih masuk Islam, tapi kita merasa seperti diarahkan ke Islam, gitu, dan itu bikin kita semakin mempertahankan agama kita. Saat itu ya. Egonya anak kecil.” R1. W3b. 576-595h. 14 “Waktu itu tidak tertarik dan merasa gimana ya... merasa diserang jadi kita mempertahankan, padahal tidak diserang. Egonya anak kecil lho. Jadi ngerasa, „Ih, kok diajak-ajak sih puasa? Ih, aku kan masih mau gereja. Lagian apa nih maksudnya nyuruh-nyuruh puasa? Kalaupun nggak puasa, nggak masak sama dengan kita jadi puasa,‟ gitu. „Ih, apa sih mama?‟ Meskipun nggak serta merta „Puasa ya‟” R1. W3b. 222-237h. 6 Kehidupan Hijrah setelah Ibu Konversi Memang setelah sang ibu konversi ke Islam, Hijrah tetap menjalankan kehidupannya sebagai seorang Kristen seperti anak-anak Kristen pada umumnya. Ia pergi ke gereja pada hari Minggu seperti biasa. Di sekolah pun masih mengikuti pelajaran agama Kristen. Sepanjang Hijrah duduk di bangku sekolah, pendidikan yang ia dapatkan sehubungan dengan pelajaran agama adalah pendidikan agama Kristen. “Saya selalu dapat sembilan lho nilai agamanya.” R1. W3b. 162-164h. 4 “Dan termasuk segala segala pengetahuannya sampai sekarang sih lebih pahamnya Kristen.” R1. W3b. 168-171h. 4 “Hubungan ke gereja selama ini baik-baik saja ya, selama ibu baru pindah agama itu. Kenapa aku bilang begitu? Akunya kan masih tetep Kristen, apalagi adek akunya yang masih. Itu masih SD itu masih rajin-rajinnya ya ke gereja. Gitu. Otomatis ya tiap gereja aku juga ikut gereja.” R1. W3b. 126-136h. 3-4 Begitulah Hijrah tumbuh dengan ibu yang menjalankan agama Islam dan ia serta adiknya yang melakukan ajaran agama Kristen. Walau begitu, Hijrah Universitas Sumatera Utara mulai merasakan sebuah kebingungan tentang identitasnya. Hal ini disebabkan ia terdaftar beragama Islam di lingkungannya namun sebagai seorang Kristen di sekolahnya. “Ya kita kan juga bingung. Di lingkungan kita terdaftar Islam lho, tapi di sekolah kita masih terdaftar Kristen lho. Gimana kita nggak terdaftar Islam di lingkungan? Kita ikut orang tua” R1. W2b. 196-200h. 5 “Di lingkungan, Islam Tapi di sekolah saya Kristen, karena gimanapun di sekolah... pelajaran yang udah kita ikutin...” R1. W1b. 222-224h. 5 Sejak ibunya melakukan konversi, Hijrah memang menjadi mengenal ritual-ritual umat Islam yang dijalankan ibunya, misalnya puasa dan Idul Fitri. Berhadapan dengan ritual seperti ini, Hijrah kecil pada awalnya memang merasa asing dan terusik, karena bagaimanapun terjadi sebuah perubahan di dalam keluarganya. Namun, Hijrah yang pada saat itu memang seorang anak kecil selanjutnya melihat puasa sebagai sesuatu yang juga menyenangkan karena adanya makanan yang berbeda daripada hari-hari biasa. “Ibu saya udah pindah agama sebelumnya, otomatis... otomatis semua tradisi yang kita lakukan dari kecil ketika masih Kristen itu berubah. Itu berubah ... Justru divariasikan dengan kegiatan-kegiatan ibu yang baru, seperti puasa... lebaran... meskipun ibu cukup menghargai. Ketika natalan, kita juga natalan, gitu. Tapi di satu sisi, di lingkungan, kita lebaran, gitu.” R1. W1b. 1053-1068h. 24 “Namanya makan, kenapa nggak??? Gitu. Apalagi makanannya lebih mewah daripada hari biasa ya. Yuk mariii Terus semangat belinya.” R1. W3b. 1367-1372h. 30-31 “Waktu itu karena masih anak kecil, yang kepikir hanya seru, senang, campur aduk ya. Kenapa seru? Ya lagi-lagi kita diingatkan dua kali beli baju lebaran, gitu ya. Satunya natal. Dua kali dapat THR, gitu ya.” R1. W3b. 100-107h. 3 Universitas Sumatera Utara Namun, kenyataan tersebut, kenyataan bahwa sang ibu mengarahkan kedua anaknya secara halus untuk puasa dan pada giliran selanjutnya Hijrah memandang puasa sebagai sesuatu yang menyenangkan, tetap tidak lantas menggerakkan Hijrah untuk ikut berpuasa seperti yang dilakukan ibunya. Kehidupan Hijrah di bangku SMA Kalau sejak konversi sang ibu hingga Hijrah SMP, pro dan kontra yang Hijrah hadapi hanya berasal dari lingkungan keluarga dan tetangga, maka ketika memasuki bangku SMA, Hijrah juga harus menghadapi teman-teman dan guru- guru yang bersikap pro dan kontra. Guru Hijrah yang Kristen sering sekali menasehati agar setelah lulus SMA Hijrah tidak mengikuti langkah ibunya untuk konversi ke Islam, sedangkan guru yang Islam mengarahkan Hijrah untuk bertindak sebaliknya. Hijrah terjepit diantara dua masukan yang berseberangan tersebut. “Misalnya aja, „Kamu itu tetap saja di jalannya ini itu ini ini‟ ... mungkin berdasarkan keyakinan saya dengan ibu saya, mungkin mereka bisa menangkap ya bakalan terjadi konversi. Gitu. Jadi mereka, „Kamu tetap aja di jalannya ini ini ini,‟ gitu kata guru agama yang satu. Nanti guru yang lain, yang bukan guru agama gitu, hanya saja beda agama mengatakan, „Udah, ikutin aja kata hatimu begini begini..‟ Kadang kita nggak enak, seperti diperebutkan, seperti kontroversi, padahal kita juga belum buat rencana apa-apa. Itu kalau sesama guru. Kalau antar saya dengan guru, yah terkadang suka ini... misalnya aja ada guru yang bilang, „Gimana sih ibu kamu begini begini...‟ „Aduh... Itu ibu saya lah, Bu. Kalau saya sendiri sih ya nanti saya tentukan sendiri jalan saya. Yang penting mana yang sudah saya jalani sekarang ya itulah pilihan saya.‟” R1. W2b. 46-67h. 2 Perlakuan guru yang berusaha merebut hati anak didiknya untuk tertambat ke agama tertentu bukan tindakan yang dianggap Hijrah sebagai tindakan Universitas Sumatera Utara menyenangkan. Hijrah justru kemudian merasa tertekan dengan usaha tersebut, sedangkan sebelumnya ia juga sudah tidak suka dan tidak setuju atas pilihan ibunya tersebut. “... Kadang-kadang orang mungkin merasa enak dong diperebutkan. Tapi di satu sisi, sedih karena itu masalah yang sangat pribadi, karena itu ada kaitannya dengan keluarga. Itu kan sebenarnya kalau ditanya ada yang mau nggak kayak gitu, pasti jawabannya nggak mau, karena gimanapun terlihat perpecahan ... Itu bukan keluarga utuh. Ada perpindahan agama. Benar-benar bukan keluarga utuh. Dalam artian dimana-mana orang-orang kan pengen nyaman, barengan, beribadah dengan keluarga. Dan dari SMP kita udah nggak barengan” R1. W2b. 534-549h. 11-12 Selain guru, perlakuan tidak nyaman juga dirasakan datang dari teman- teman yang bersikap berbeda kepada Hijrah. “Perlakuan teman-teman aja juga beda, masing-masing lebih ramah dalam keadaan ada maksudnya. Kita juga jadi nggak enak, nggak nyaman sekali, termasuk juga jika ada momen-momen penting di sekolah, masing-masing berusaha mengedepankan kita. Entah tujuannya bikin nyaman di agama itu atau memang menyayangi kita karena prestasi kita, ya kita nggak tahu. Gitu.” R1. W2b. 75-84h. 2 “Dari kedua belah pihak. Namun agama yang saat itu saya pegang jauh lebih mendepankan saya.” R1. W2b. 93-95h. 3 Di sisi lain, konversi yang dilakukan oleh sang ibu meminta Hijrah dan adiknya harus beradaptasi dengan keadaan sang ibu yang baru, seperti tradisi puasa dan hari raya Idul Fitri, perubahan makanan, cara berpakaian yang menggunakan jilbab dan keadaan ibunya yang tidak dapat lagi menghadiri acara- acara keagamaan di sekolah Hijrah. Beradaptasi dengan perubahan kehidupan rumah tangga setelah sang ibu konversi dapat dilakukan Hijrah tanpa terlalu memberatkan dirinya. Namun, kenyataan bahwa ibunya yang sudah berbeda Universitas Sumatera Utara agama dengannya tidak dapat lagi menghadiri acara keagamaan di sekolah, menjadi beban tersendiri untuk Hijrah. “Dari mulai ibu masuk Islam, otomatis kita udah ada tradisi puasa. Ibu puasa, otomatis kita-kita pada ikutan. Kenapa pada ikutan? Ya ibu juga misalnya, pas buka puasa, makan-makan, ya makan-makanlah kita pas buka puasa. Gitu. Ibu juga ya lebaran, ya otomatis kita juga ya celebrate. Gitu ... Tapi lagi-lagi kayak di sekolah, ibu kita nggak bisa hadir. Gitu. Itu kan sebenarnya beban mental buat kita.” R1. W1b. 250-263h. 6 “...kayak misalnya natal nih, orang tua kan harus dateng, orang tua juga kan harus dapat undangan, begitu. Jadi kan harus datang. Aku cuma bisa bilang, „Maaf Pak, orang tua saya nggak bisa datang soalnya Muslim,‟ aku bilang kayak gitu.” R1. W2b. 889-895h. 19 Memang, sampai Hijrah duduk di bangku SMP, sang ibu masih menghadiri acara keagamaan di sekolah yang diikuti oleh Hijrah, misalnya Natal. Tetapi, sejak Hijrah memasuki dunia SMA, sang ibu tidak lagi dapat hadir. “Waktu itu, kita sebagai anak masih menuntut orangtua kita untuk ikut. Ketika natalan di sekolah wajib orangtua ikut, kita minta ikut. Datanglah sebagai ibu bukan datang sebagai ummat, gitu. Dan ibu saya menyetujuinya. Itu sampai SMP.” R1. W3b. 107-116h. 3 “Itu tidak dapat hadir waktu SMA. Waktu SMP masih. Masih.” R1. W3b. 120-121h. 3 Hubungan Hijrah dengan Gereja Mulai Renggang Perubahan tidak hanya hadir di dunia sekolah Hijrah, dunia SMA, namun juga dalam hal hubungan Hijrah dengan gereja. Pelan-pelan, Hijrah kian jauh dari gereja karena Hijrah semakin tidak mampu menerima sikap gereja yang tidak menerimanya seperti biasa setelah ibunya konversi. Universitas Sumatera Utara “Karena ya... itu tadi ibu Islam, nah jadinya disitu juga udah gimana... diterimanya... gimana ya... Gereja itu nerima kita, cuma pandangannya agak nggak enak.” R1. W3b. 279-285h. 7 “... ya berusaha ya tetap pergi ke gereja.” R1. W1b. 689-690h. 16 “Itu masih gereja ... Kegiatan sekolah tetap Kristen, semua kegiatan- kegiatan seperti ke sekolah minggu itu tetap, gitu. Tapi lama kelamaan, lama kelamaan itu semakin berjarak, gitu, dan semakin saya sadari saya nggak mampu untuk mengikutinya itu ketika... apa yah istilahnya di Kristen...?” R1. W1b. 692-709h. 16-17 Kerenggangan dengan gereja menjadi terlihat jelas ketika Hijrah harus mengikuti sebuah ritual Kristen yang disebut dengan peneguhan sidi. Peneguhan sidi adalah sebuah ritual Kristen yang menandakan kedewasaan seseorang dalam kehidupan beriman. Secara singkat, setelah seorang Kristen menerima peneguhan sidi barulah orang tersebut memiliki hak dan kewajiban penuh sebagai seorang Kristen dalam gereja. Dalam kehidupan sehari-hari, peneguhan sidi lebih sering disebut dengan angkat sidi. Bagi Hijrah, yang adalah orang Batak, kadang-kadang angkat sidi juga disebut dengan “malua”. “Kegiatan sekolah tetap Kristen, semua kegiatan-kegiatan seperti ke sekolah minggu itu tetap, gitu. Tapi lama kelamaan, lama kelamaan itu semakin berjarak, gitu, dan semakin saya sadari saya nggak mampu untuk mengikutinya itu ketika... apa yah istilahnya di Kristen?” R1. W1b. 1095-1102h. 24 “Aaa aaa ... Di situ saya merasa semakin sulit buat saya, gitu. Semakin sulit dalam artian, ibu... ibu saya udah pindah agama, sementara bapak udah nggak ada, gitu. Otomatis kita urusan ke gereja itu udah nggak ada. Saya lihat temen-temen itu, itu ada orangtuanya, gitu ya. Ada orangtuanya... sementara untuk saya mungkin minta pertolongan ke orang- orangtua atau mungkin ke saudara-saudara, itu udah sulit sekali, karena udah terlanjur, ya, orangtua saya dimusuhin.” R1. W1b.713-725h. 17 Universitas Sumatera Utara Dalam sebuah ritual angkat sidi, secara umum setiap remaja akan didampingi oleh orang tuanya atau pihak keluarganya jika ia tidak memiliki orangtua. Hijrah, yang sudah tidak memiliki ayah dan yang ibunya sudah tidak lagi beragama Kristen, merasa kesulitan untuk mengikuti ritual ini. Kalaupun meminta tolong kepada pihak keluarga yang lain atau tetangga untuk mewakili, pihak keluarga dan lingkungan rumah sudah menjauhi dan mendiskriminasikan Hijrah serta ibunya. “Di lingkungan udah didiskriminasi juga. Di lingkungan kan udah terdaftar Islam, jadi saya mau minta tolong ke siapa? Otomatis semakin sulit, gi tu lho.” R1. W1b. 728-731h. 17 Pada akhirnya Hijrah tidak jadi menjalani ritual angkat sidi tersebut. “Nggak jadi. Nggak jadi malua.” R1. W1b. 774h. 18 Tidak ikut peneguhan sidi berarti tidak mendapat pelajaran penting tentang ajaran-ajaran kekristenan, karena sebelum ritual itu dilakukan seorang remaja diajarkan dahulu tentang ajaran pokok agama Kristen. Hal ini membuat pemahaman Hijrah tentang kekristenan pun tidak lengkap dan tidak kuat. Pemahaman akan ajaran Kristen yang ia terima ketika kanak-kanak juga bukan pemahaman yang kuat karena sang ibu yang sudah konversi tidak lagi menemaninya dalam pertumbuhan spiritualnya. Hijrah sendiri memiliki pandangan pribadi mengenai hal ini: “Nah, sementara kalau kita hayati di dalam perjalanan rasul-rasul gitu. Dua belas rasul, perjalanan Yesus sendiri sebenarnya itu semakin dijabarkan kok detail. Kita bilang itu nggak detail karena kita hanya pada sepuluh titah itu aja ya. Sebenarnya kalau mau baca Alkitab lebih ini, itu detail. Hanya saja mungkin... yah mungkin itulah kekuranganku, aku nggak mendalaminya. Mungkin itu juga bagian proses karena aku juga nggak Universitas Sumatera Utara seagama dengan orangtuaku. Jadi, tidak ada yang mengajarkanku, sementara orang mungkin diajarkan, gitu. Apalagi mungkin proses kayak mau marguru, mungkin semakin dalam kita belajar, kita menyadari istimewanya agama itu. Aku nggak ngedapetin itu.” R1. W3b. 1281-1310h. 29

2. Tahapan Pembuatan Keputusan Hijrah