5.2. Kredit Investasi dan Realisasi Investasi
Adapun tujuan kedua dalam penelitian ini adalah untuk mengkaitkan bagaimana kredit investasi yang disalurkan oleh Bank Persero, BUSN Devisa, dan
BUSN Non Devisa dengan realisasi investasi. Mengingat keterbatasan data, maka perbandingan keduanya dilakukan pada periode Januari 2001 hingga November
2006. Perbandingan dilakukan secara tahunan, mengingat data realisasi investasi yang tersedia dalam bentuk publikasi tahunan. Adapun perbandingan antara kredit
investasi yang disalurkan dengan realisasi investasi ditunjukkan pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5. Perbandingan Antara Kredit Investasi Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa dengan Realisasi Investasi
10000 20000
30000 40000
50000 60000
70000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
KI_D INVEST
4000 8000
12000 16000
20000 24000
28000 32000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
KI_ND INVEST
10000 20000
30000 40000
50000 60000
70000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
KI_P INVEST
Jika diperhatikan dari gambar di atas, maka tampak bahwa kredit investasi yang disalurkan oleh kelompok bank tersebut kecuali BUSN Non Devisa,
mengingat kelompok BUSN Non Devisa terdiri dari bank-bank berskala kecil dengan kapasitas permodalan yang rendah tampak jauh lebih tinggi daripada
realisasi investasi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sesungguhnya tidak bisa diperbandingkan seberapa besar share
kredit investasi terhadap investasi. Setelah dilakukan penelitian, ternyata hal ini disebabkan oleh data realisasi investasi yang dipublikasikan sebenarnya
merupakan data izin usaha tetap. Artinya, data tersebut merupakan data nilai nominal pada saat investor mendapatkan izin usaha tetap, bukan data realisasi
investasi yang sesungguhnya terjadi pada tahun tersebut. Izin usaha tetap itu merupakan akumulasi dari rencana investasi yang diajukan pada tahun-tahun
sebelumnya. Dengan kata lain, realisasi investasi merupakan data kegiatan investasi yang direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata yang telah
menghasilkan produksi barang atau jasa dan perusahaan tersebut telah memperoleh Izin Usaha Tetap dari pemerintah BKPM, 2006. Dengan demikian,
sumber pembiayaan bagi realisasi investasi yang dipublikasikan pada tahun tertentu juga merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini jelas menimbulkan ketidakcocokan mismatch dengan data kredit investasi tahun tertentu yang memang menjelaskan seberapa besar
penyaluran kredit investasi pada tahun tersebut. BKPM 2006 juga menjelaskan bahwa data penanaman modal berupa
publikasi realisasi investasi tidak menggambarkan seluruh kegiatan investasi yang
ada di Indonesia. Hal ini karena data penanaman modal tersebut tidak termasuk investasi di sektor Minyak dan Gas Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non
Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara, investasi yang
perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis sektor, investasi Porto folio pasar modal, dan investasi rumah tangga. Hal ini semakin memperkuat alasan bahwa
kredit investasi tidak bisa diperbandingkan dengan realisasi investasi tidak hanya karena sifat mismatch pada data, tetapi juga karena realisasi investasi kurang
representatif menggambarkan investasi yang terjadi secara keseluruhan. Secara garis besar pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa kredit
investasi dari kelompok Bank Persero dan BUSN Devisa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini menandakan bahwa
kredit investasi sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi mulai ditingkatkan kembali penyalurannya oleh pihak bank karena bank mulai melihat
adanya celah untuk memperoleh laba dari kredit investasi akibat kondisi makroekonomi yang kembali terjaga pasca krisis. Peningkatan kredit investasi ini
juga tidak terlepas dari semakin terapresiasinya nilai rupiah dan stabilnya kondisi suku bunga domestik. BI Rate yang selalu turun yang diikuti dengan suku bunga
SBI sejak semester kedua tahun 2006 merupakan sinyalemen positif bahwa tingkat inflasi cenderung stabil atau secara persisten berada di bawah tingkat
inflasi yang diperkirakan. Dengan demikian, bank akan merespon penurunan suku bunga SBI tersebut dengan penurunan suku bunga kredit investasinya secara
bertahap. Dengan kondisi suku bunga kredit investasi yang semakin rendah, maka
kemampuan debitur untuk menyerap kredit investasi juga semakin meningkat. Di sisi lain, kondisi perekonomian yang semakin membaik akan membuat prospek
usaha debitur juga meningkat, sehingga kualitas debitur dalam menyerap kredit investasi tersebut diharapkan membaik dapat mengurangi masalah adverse
selection dan moral hazard. Agung, et al. 2001 mengatakan bahwa informasi
mengenai debitur serta sektor yang feasible untuk dibiayai merupakan salah satu faktor penentu dalam penyaluran kredit bank.
Perlu diketahui, bahwa peningkatan kredit investasi yang disalurkan oleh suatu bank juga terkait pada kondisi internal bank itu sendiri. Seperti yang terlihat
pada gambar di atas, bahwa meskipun Bank Persero dan BUSN Devisa semakin tertarik untuk meningkatkan penyaluran kredit investasinya dalam kondisi
makroekonomi yang kian membaik, tetapi BUSN Non Devisa justru menunjukkan kondisi yang stagnan. Hal ini terjadi karena BUSN Non Devisa
terdiri dari bank-bank skala kecil dengan modal dan aset yang terbatas. Padahal, kegiatan ekspansi kredit bagaimanapun membutuhkan modal yang cukup.
Sementara, realisasi investasi berupa izin usaha tetap berdasarkan gambar di atas menunjukkan tren yang meningkat kecuali tahun 2006. Dari gambar
dapat diperhatikan bahwa pada tahun 2006, di tengah stabilitas makroekonomi yang semakin membaik suku bunga yang semakin turun, rupiah terapresiasi,
interest rate differensial yang masih terjaga, pertumbuhan ekonomi yang
meningkat dan kredit investasi semakin meningkat, justru realisasi investasi menurun. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa realisasi investasi tersebut
merupakan akumulasi izin usaha tetap dari tahun-tahun sebelumnya. Jika
misalnya dilihat satu tahun sebelumnya, yakni tahun 2005, pada saat itu terjadi kenaikan harga BBM secara signifikan dan hal ini membuat inflasi meningkat
dengan tajam. Inflasi yang tinggi ini salah satunya ditandai dengan suku bunga yang tinggi pada saat itu. Sesuai dengan teori ekonomi bahwa investasi
bergantung pada tingkat suku bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Sehingga, jika suku bunga meningkat, maka lebih sedikit proyek
investasi yang dinilai menguntungkan, dan jumlah barang-barang investasi yang diminta pun akan turun.
5.3. Responsifitas Kredit Investasi