pengaruh shock atau inovasi suatu variabel terhadap variabel lainnya, serta periode berapa lama pengaruh yang ditimbulkan tersebut. Dengan kata lain, IRF
dapat menunjukkan bagaimana variabel endogen bereaksi dari sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.
3.2.3.2. Analisis Forecast Error Variance Decomposition FEVD
Forecast Error Variance Decomposition FEVD menjelaskan proporsi
dari pergerakan dalam suatu persamaan karena shock guncangan dari variabel tertentu dibandingkan dengan shock terhadap variabel yang lainnya Enders,
2004. Stock dan Watson 2001 juga menambahkan bahwa forecast error decomposition
adalah seperti parsial
2
R untuk memprediksi error dengan cara memprediksi horizonnya periode. Dengan kata lain, FEVD bermanfaat untuk
menjelaskan kontribusi dari masing-masing variabel terhadap shock yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Di samping itu,
FEVD juga menyediakan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing random innovation
guncangan acak dalam mempengaruhi variabel-variabel dalam sistem VAR Firdaus, 2006.
3.3. Kelebihan dan Kelemahan VAR
Model VAR sebagai alat analisis memiliki sejumlah kelebihan yang membuatnya digunakan secara luas oleh dunia ekonomi dan ekonometrika.
Namun demikian, VAR juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun beberapa
kelebihan dari model VAR, menurut Nachrowi dan Usman 2006, adalah sebagai berikut :
1. Model VAR merupakan model yang sederhana sehingga tidak perlu dibedakan mana variabel yang endogen dan mana variabel yang eksogen. Hal ini
dikarenakan semua variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel endogen.
2. Cara estimasi model VAR dapat dikatakan relatif mudah, yaitu dengan menggunakan Ordinary Least Square OLS pada setiap persamaan secara
terpisah. 3. Peramalan forecasting dengan menggunakan model VAR pada beberapa hal
lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model persamaan simultan yang lebih kompleks.
Sementara itu, Laksani dalam Jong 2005 mengemukakan beberapa kelebihan lain dari model VAR, yakni :
1. VAR mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks multivariate, sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan
variabel di dalam persamaan tersebut. Hubungan yang terdeteksi ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.
2. Uji VAR yang bersifat multivariate bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
3. Karena bekerja berdasarkan data, VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan semu spurious
variable endogenty dan exogenty di dalam model ekonometri konvensional
terutama pada persamaan simultan, sehingga dapat menghindari penafsiran yang salah.
4. Dengan teknik VAR, variabel yang terpilih hanya variabel yang relevan untuk disinkronisasi dengan teori yang ada.
Di samping memiliki sejumlah kelebihan, menurut Nachrowi dan Usman 2006, VAR juga memiliki beberapa kelemahan, yakni :
1. Model VAR lebih bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. Oleh karena itu, model tersebut sering disebut sebagai model
yang tidak struktural. 2. Meskipun VAR dapat digunakan untuk analisis kebijakan, tetapi hal ini bukan
yang utama, mengingat tujuan utama dari model VAR adalah untuk peramalan forecasting
. Karena itu, analisis implikasi kebijakan berdasarkan model VAR kurang sesuai karena VAR tidak mempermasalahkan perbedaan variabel
eksogen dan endogen Laksani dalam Jong, 2005. 3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat
menimbulkan permasalahan. Misalnya, terdapat tiga buah variabel eksogen dengan masing-masing lag sebanyak delapan buah. Maka, pengestimasian
yang dilakukan paling sedikit sebanyak 24 parameter. Oleh karena itu, dibutuhkan data atau pengamatan yang relatif banyak.
4. Seluruh variabel dalam VAR harus stasioner. Jika tidak stasioner, maka harus ditransformasi terlebih dahulu.
5. Tidak mudah dalam menginterpretasikan koefisien yang diperoleh berdasarkan model VAR.
IV. GAMBARAN UMUM 4.1.
Kredit Investasi Perbankan
Pertumbuhan kredit investasi secara keseluruhan dalam kurun waktu lima tahun terakhir makin tertinggal dibandingkan kredit modal kerja dan kredit
konsumsi. Keterpurukan kredit investasi ini dikarenakan belum pulihnya kinerja sektor riil pasca krisis dan kehati-hatian pihak perbankan dalam menyalurkan
kreditnya untuk memenuhi peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan penetapan batas CAR minimum dan NPL maksimum. Tingginya risiko pada
sektor riil menyebabkan bank lebih memilih untuk menyalurkan kelebihan likuiditasnya pada Sertifikat Bank Indonesia SBI. Namun, perilaku ini
mengakibatkan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan dengan baik karena dana yang diterima dari masyarakat Dana Pihak Ketiga tidak
disalurkan kembali kepada masyarakat dan menjadi dana yang menganggur idle fund
pada SBI. Secara keseluruhan, pada tahun 2005, pertumbuhan kredit investasi hanya
sebesar 13,2 persen. Hal ini menunjukkan perlambatan dibandingkan pertumbuhan tahun 2004 yang mencapai 25,6 persen. Bahkan, pada Juni 2005
ketika persetujuan kredit perbankan nasional tumbuh 27,58 persen, kredit investasi justru memberikan angka pertumbuhan yang negatif, yakni -18,58 persen
sementara, kredit konsumsi tumbuh 60,44 persen dan kredit modal kerja tumbuh sebesar 26,17 persen. Di samping itu, juga tercatat bahwa dari periode Desember
2000 hingga Desember 2005, total kredit investasi perbankan tumbuh sebesar 102 persen atau hanya meningkat sebesar Rp. 67,19 triliun menjadi Rp. 132,46 triliun